Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Berkejaran dengan Gelap di Sepanjang O’zbekistan Yo’li

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku menuruni anak tangga di gerbang Stasiun G’afur G’ulom terus diperhatikan oleh seorang wanita yang tampak cantik dalam balutan winter jacket berwarna pink, dia berhenti di tangga jeda demi berbicara dengan seseorang melalui telepon pintarnya. Aku paham bahwa wanita itu berdiri di tangga jeda juga untuk menghindari hawa dingin yang sore itu juga mulai menembus winter jacket bekas yang kukenakan.

Aku mengindahkannya ketika tepat berpapasan dengannya. Mataku lebih tertarik memperhatikan ruangan di ujung lorong, bertanya-tanya dalam hati, kejutan apa lagi yang akan aku temukan di ruangan stasiun mengingat ruangan di setiap stasiun Tashkent Metropoliteni memiliki desain klasik yang berbeda-beda.

Sore itu, aku tak kebingungan lagi tentang bagaimana harus mendapatkan tiket one-way, mengingat pada pagi sebelumnya, aku untuk pertama kalinya membeli tiket Tashkent Metropoliteni di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku menyerahkan 1.300 Som kepada kasir di loket stasiun. Sesudahnya akan memasuki pintu masuk yang dijaga oleh petugas keamanan. Hanya perlu untuk membuka tas untuk diperlihatkan kepadanya hingga aku diizinkan memasuki peron setelah dinyatakan aman.

Seperti yang kuduga, kembali terpesona, aku terpesona dengan ruangan bawah tanah stasiun yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa berwarna hijau dengan lekukan-lekukan klasik di sepanjangnya. Sedangkan langit-langit stasiun dipenuhi dengan pola-pola lingkaran yang dilengkapi lampu-lampu penerang di setiap pusat lingkarannya. Sungguh perwujudan desain interior yang mengesankan.

Peron Stasiun G’afur G’ulom.

Lima menit menunggu, kereta putih berkelir biru datang dari salah satu lorong, decit rodanya memekakkan telinga, getarannya terasa di peron tempatku menunggu.

Sepertinya inilah kereta yang harus kunaiki”, aku membatin.

Benar saja, itulah kereta yang akan membawaku menuju Stasiun Oybek. Tanpa pikir panjang aku melompat masuk di gerbong belakang setelah kereta berhasil menghentikan lajunya. Untuk beberapa detik berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang, maka kereta itu kembali melanjutkan perjalanan.

Aku bersandar pada sebuah tiang di dalam gerbong, menikmati rasa capek usai berjalan kaki seharian, hanya bersandar terpaku, melamun, menyerahkan diri mengukiti laju kereta.

Setidaknya aku harus melewati tiga stasiun lain sebelum tiba di Stasiun Oybek sebagai stasiun transfer menuju Yunusobod Yo’li. Tiga stasiun yang kumaksud adalah Stasiun Alisher Navoiy, Stasiun O’zbekiston, dan Stasiun Kosmonavtlar.

Aku sadar, kesalahanku hanya satu ketika berada di O’zbekistan Yo’li ini, yaitu tidak mencoba berhenti di Stasiun Kosmonavtlar yang konon memiliki desain super klasik nan megah.

Aku melewatkannya begitu saja hingga akhirnya sampai di Stasiun Oybek, untuk kemudian melalui lorong penghubung antar stasiun aku berhasil sampai di Stasiun Ming O’rik.

Stasiun Ming O’rik kembali memamerkan desain klasik lainnya. Memang tiang penyangga ruangannya tampak biasa saja, namun rasa klasiknya terletak pada desain lampu yang diinstall di langit-langit ruangan stasiun. Desainnya mirip stalagtit, unik tetapi tak meninggalkan sisi kewibawaan dari gaya arsitekturnya.

Menunggu selama enam menit, ternyata kereta yang datang memiliki beda bentuk dari kereta O’zbekistan Yo’li. Sore itu, kereta yang datang berwarna sepenuhnya biru langit, berbentuk kotak sempurna dengan usia gerbong yang nampak tua. Aku melompat di gerbong depan demi memasukinya. Kursi gerbong depan dipenuhi oleh penumpang lokal yang tampaknya baru saja pulang dari kantornya masing-masing. Aku memilih berdiri tepat di dekat pintu kereta, karena stasiun tempatku turun tidaklah jauh. Untuk turun di Stasiun Abdulla Qodiry, aku hanya perlu melintasi satu stasiun saja, yaitu Stasiun Yunus Rajabiy.

Peron Stasiun Ming O’rik.
Interior kereta di Yunusobod Yo’li.

Dalam delapan menit aku tiba…..

Maka aku telah berada di titik awal petualanganku kembali.

Aku beranjak keluar dari bawah tanah untuk naik ke plaza stasiun di permukaan. Berhasil menginjakkan kaki di plaza, gelap pun menyambutku. Gemerlap lampu telah berpendar di setiap bangunan di sekitar stasiun. Udara juga semakin dingin terasa.

Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.
Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku yang tak mampu berlama-lama di area plaza, segera beranjak menuju penginapan yang jaraknya hanya berkisar satu kilometer saja dari Stasiun Abdulla Qodiriy.

Kisah Selanjutnya—->

Чорсу  бекати: Bertemu Pedagang Paling Ramah se-Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Masih duduk di salah satu bangku tunggu Oybek Station….

Aku antusias menikmati kesibukan warga lokal yang berlalu lalang di ruangan stasiun. Gelombang penumpang terus berdatangan dari anak tangga sisi kiri, kanan dan tengah stasiun.

Beruntung, kereta yang aku tunggu tiba dengan cepat.

Ternyata, kereta di O’zbekistan Line berpenampilan lebih garang dan maskulin. Bekelir putih dengan padanan biru navy, tetapi tetap tampak sama, berusia tua.

Seorang petugas perempuan membawa tongkat bundar berwarna merah berlari kecil di sepanjang platform mempersiapkan proses naik-turun penumpang.

Tak mau tertinggal, aku bangkit, mendekat ke kereta, melompat masuk melalui gerbong tengah, dan kembali mengambil posisi berdiri di dekat pintu.

Suasana gerbong kereta di O’zbekistan Line.

Tak berhenti lama, kereta melaju menuju barat. Menembus lorong-lorong panjang bawah tanah dengan cepat. Hanya perlu waktu sepuluh menit untuk tiba di tujuan akhirku, Chorsu Station.

Turun dari gerbong dengan cepat aku menyusuri ruangan Chorsu Station. Berbeda dengan Abdulla Qodiriy Station, Ming O’rik Station dan Oybek Station yang ruangan utamanya berbentuk persegi, Chorsu Station memiliki bentuk ruangan setengah lingkaran dengan padanan cat putih dan krem. Bentuk setengah lingkaran mampu memberikan kesan ruangan stasiun yang lebih luas.

Suasana di Chorsu Station.
Jalur keluar dari Chorsu Station.

Aku keluar dari “Shaharga Chiqish*1)” dengan menaiki tangga manual. Aku memilih exit gate itu karena terdapat “Chorzu Plaza Savdo Markazi*2)” tak jauh dari pintu keluarnya.

Keluar dari bangunan stasiun, aku kembali menoleh ke belakang, mencoba membaca sebuah signboard di atas dinding terowongan stasiun bawah tanah itu.

“Чорсу  бекати”

Aku berdiri terdiam. Mencoba membaca Aksara Kiril itu. Aku yang sebelum berangkat telah belajar untuk memahami cara membaca Aksara Kiril, dengan sangat terbata-bata mulai membacanya.

Yopsi….Eh….Yopsu….Eh, bukan….Chorsu….Oh, Chorsu Bekati….Bekati itu stasiun….Ya, itu artinya Stasiun Chorsu”, aku menyunggingkan sebelah bibir.

Kubalikkan badan kembali, pandanganku menuju ke permukaan tanah. Langkahku terhantar pada sebuah area perdagangan yang dijejali deretan tenda-tenda niaga.

Deret tenda niaga itu memenuhi ruang-ruang kosong yang diapit oleh sebuah ruas jalan dan pertokoan. Berdiri dengan jarak sangat rapat satu sama lain, lapak-lapak itu menjual buah-buahan, kacang-kacangan, pakaian, rempah-rempah, dan pernak-pernik lainnya.

Langkahku menyusuri gang-gang antar tenda menciptakan ketertarikan pada sebuah lapak tak bertenda yang dijaga oleh seorang ibu paruh baya. Dia duduk tenang menunggui roti khas Uzbekistan yang dijualnya. Non*3) adalah nama dari roti jenis itu. Aku mengetahui roti khas Uzbekistan ini dari sebuah artikel yang kubaca sebelum berangkat ke Uzbekistan.

Aku perlahan mendekat dan si ibu sepertinya memahami bahwa aku sedang menuju ke lapaknya. Kontan dia melempar senyum ketika jarakku hanya tinggal beberapa meter saja. Aku pun tak ragu melemparkan senyum balasan kepadanya.

Non….How Much?”, aku menginisiasi sebuah pertanyaan.

Nima….Nima*4)”, si ibu tampak panik dan bertanya kepada teman di lapak sebelahnya.

Demi memecahkan masalah percakapan itu, aku selalu memiliki ide sederhana.

Kukeluarkan dompet, kutarik selembar Som*5) dan kutunjukkan kepada si ibu, “How Much, mother?”. Si ibu lantas paham dan membuka kelima jarinya dan mengarahkan jarinya ke pandanganku.

Oh, Lima Ribu Som”, aku membatin.

Aku mengambil lembaran Som lain di dompet dan menyerahkan 5.000 Som kepada si ibu penjual roti itu. Si ibu dengan gesit mengambil dua buah Non, memasukkannya ke dalam plastik dan memberikannya kepadaku. Si ibu menjadi pedagang paling ramah yang kutemui pagi itu di Tashkent, dia selalu tersenyum ketika bertransaksi denganku.

Aku yang penasaran, sejenak mencicip Non yang kubeli di depan si ibu. Non yang diberikan kepadaku berasa samar manis dan meluruskan anggapanku yang kukira roti itu berasa tawar. Aku memasukkan roti ke dalam plastik kembali dan memutuskan untuk memakannya saat makan malam saja.

Sebelum berpamitan, aku meminta izin kepada si ibu untuk mengambil fotonya sebagai kenang-kenangan. Beruntung si ibu dengan baik hati memberiku izin. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Cekrak….Cekrek….Cekrak….Cekrek, aku beraksi mengambil gambar.

Tenda-tenda niaga di sekitar Chorsu Station.
Ibu baik hati penjual Non.
Pedagang sosis yang minta difoto….Hihihi.

Tetapi kejutan lain kemudian datang, mungkin iri melihat si ibu yang kuabadikan dalam Canon EOS M10 ku, seorang pria muda pedagang sosis menepuk punggungku dari belakang. Aku yang kaget segera mengalihkan pandangan dari si ibu dan menoleh ke belakang.

Photo….photo”, dia menunjuk ke Canon EOS M10 ku lalu bergantian menunjukkan dirinya sendiri.

Oh….Okay, brother….You look handsome”, aku tertawa kecil atas kejadian unik itu.

I’ll keep your photo to Indonesia”, aku menyudahi dalam mempotretnya.

Yaxshi….Yakxhi*6)”, dia mengacungkan jempolnya kepadaku.

Aku berpamitan kepada ibu penjual roti dan pemuda penjual sosis untuk meninggalkan lapaknya dan melanjutkan perjalanan…….

Keterangan Kata:

  1. Chiqish*1) = Keluar, Exit
  2. Savdo Markazi*2) = Shopping Mall
  3. Non*3) = Roti khas Uzbekistan, berebentuk bulat, berwarna mengkilat di salah satu sisinya
  4. Nima*4) = Apa
  5. Som*5) = Mata uang Uzbekistan
  6. Yakxhi*6) = Bagus

Kisah Selanjutnya—->

Tashkent Metropoliteni: Kejutan Klasik di Sepanjang Bekati

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berdiri mematung di depan empat daun pintu kaca bertuliskan tiga kata yang diulang-ulang, yaitu Вход*1), Kirish*2), dan Entrance. Ketiganya tentu bermakna sama, yaitu “entry”.

Aku mendorong salah satunya dan memasuki ruangan yang dijaga oleh dua security pria yang menenteng metal detector di tangannya. Dia menunjuk folding back yang kupanggul dan mengalihkan arah telunjuknya ke sebuah meja. Aku paham bahwa mereka akan memeriksa tasku.

Percaya diri dan tanpa banyak tanya, aku menaruh folding bag di meja berwarna putih, kemudian salah satu dari mereka membuka resleting tasku untuk mengintip isinya.

Petugas itu hanya tersenyum dingin, memberi kode bahwa aku sudah dinyatakan aman untuk memasuki platform.

Ternyata bagiku, tak secepat yang terkira demi memasuki platform stasiun, aku bediri sejenak di depan ticket collection gate, memperhatikan dengan seksama bagaimana warga lokal menggunakan tiket kertasnya yang mirip karcis parkir demi memasuki gerbang platform.

Mudah ternyata, mereka hanya perlu untuk me-scan barcode yang tertera di tiket pada gate detector, lalu mereka akan melewati besi penghalang dengan mudah. Setelahnya, mereka akan membuang tiket kertasnya di tempat sampah yang disediakan di sisi dalam ticket collection gate.

Maka selanjutnya adalah giliranku untuk menduplikasi apa yang mereka lakukan. Aku berhasil melakukannya dengan mudah. Hanya bedanya, aku tak membuang tiket kertas itu melainkan menyimpannya sebagai sebuah kenangan perjalanan.

Berhasil melewati bagian itu, aku pun mulai menuruni tangga menuju platform. Dengan hati berdebar aku tak sabar ingin melihat nuansa klasik yang tersemat di ruangan Abdulla Qodiriy Station. Debar penasaran yang tak lain disebabkan oleh studi literatur yang memberikanku informasi bahwa desain interior semua stasiun MRT di Tashkent mengusung gaya klasik.

Dan begitu kagetnya aku ketika benar-benar tiba di tengah stasiun. Koridor stasiun ternyata memiliki platform area tak bersekat pelindung di sisi kiri-kanannya. Sementara itu, sangat jelas terlihat bahwa koridor stasiun bawah tanah itu ditopang oleh pilar-pilar besar yang berderet hingga di kedua ujung stasiun. Langit-langit koridor didesain melengkung berhiaskan gantungan lampu-lampu kristal nan klasik. Sementara itu, deretan bangku-bangku tunggu diletakkan tepat di tengah koridor dengan interval teratur.

Di sisi lain, tampak beberapa petugas keamanan berjalan mondar-mandir di tepian platform demi memastikan tidak ada penumpang yang berdiri di zona bahaya.

Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiriy Sration.
Ngeri kan ga ada sekat pemisah antara rel kereta dan platform.

Dan tak perlu menunggu lama, tepatnya enam menit semenjak ketibaanku, kereta Tashkent Metropoliteni berwarna biru langit tiba.

Aku melompat masuk dari gerbong tengah setelah kereta itu berdecit, melambat dan akhirnya berhenti. Pagi itu, tempat duduk di gerbong dipenuhi oleh para penumpang, memaksaku untuk mengambil posisi berdiri di dekat pintu. Beberapa detik kemudian, kereta akhirnya melaju kembali meninggalkan Abdulla Qodiriy Station, stasiun yang telah berusia pakai 22 tahun di jalur Yunusobod Line.

Di dalam gerbong, mataku awas mengamati desain interior gerbong kereta Tashkent Metropoliteni. Aku teringat pada interior yang biasa terlihat di gerbong Kereta Komuter Jabodetabek. Keduanya cenderung berpenampilan tua.

Bagaimana tidak tua jika kereta Tashkent Metropoliteni yang didatangkan dari Russia itu sudah beroperasi semenjak 46 tahun silam.

Tetapi kesan lain tetap kudapatkan selama perjalanan. Para penumpang, khususnya muda-mudi Uzbekistan, mereka tampak super cantik dan super tampan dalam penampilan modis mereka. Tinggi badan mereka yang menjulang, telah menenggelamkanku yang berpostur kecil di dalam kerumunan gerbong.

Kereta Tashkent Metropoliteni di Yunusobod Line. MRT ke-17 yang kunaiki dari total 19 jenis MRT selama backpacking.
Interior di dalam kereta. Jadoel kan?

Sayangnya, dalam perjalanan menuju Distrik Chorsu, aku tak bisa langsung menuju Chorsu Station, karena stasiun itu berada di jalur kereta yang berbeda. Jadi aku harus berpindah ke Oybek Station yang terletak di O’zbekistan Line. Untuk menggapai Oybek Station, aku pun harus terlebih dahulu mencapai Ming O’rik Station yang jaraknya hanya tiga stasiun dari tempatku bertolak. Ming O’rik Station dan Oybek Station terletak di titik yang sama dan hanya terpisahkan oleh sebuah koridor penghubung.

Dalam sepuluh menit, kereta merapat cepat di Ming O’rik Station. Aku bergegas menuruni kereta dan untuk kesekian kalinya kembali berdiri di platform yang berbeda. Desain interior stasiunnya hampir mirip dengan milik Abdulla Qodiriy Station, hanya saja bentuk lampu kristal yang menggantung di langit-langit Ming O’rik Station sedikit berbeda, bentuknya lebih mirip stalaktit dan sekilas lalu menyematkan kesan modern pada Ming O’rik Station.

Satu yang menjadi masalah kemudian adalah kesulitanku dalam menemukan koridor penghubung menuju Oybek Station. Mungkin aku sendiri yang tak paham dengan Aksara Kiril yang tertera di berbagai titik. Untuk beberapa menit aku hanya mondar-mandir di sepanjang platform.

Hingga pada akhirnya, seorang petugas keamanan menyadari bahwa aku sedang kebingungan.  

Bergegas dia mendekatiku….

Where Go?”, tampaknya dia tak cakap berbahasa Inggris, tapi aku cukup paham apa maksudnya.

Chorsu Bekati*3)”, aku membalasnya singkat.

Oh….U Yerda*4)”, telunjuknya menunjuk ke atas tepat di sisi belakangku

Aku mengamati dengan cermat, memang ada tangga manual di arah yang dia tunjuk, dan ada terowongan menuju ke tempat lain dari Ming O’rik Station.

Jangan-jangan itu koridor penghubung ke Oybek Station”, aku manggut-manggut sendirian.

Thanks you, Sir”, aku menaruh respek pada petugas keamanan itu yang secara proaktif mendatangiku sebagai orang asing yang kebingungan di negerinya.

Aku meninggalkan petugas keamanan itu dan mulai menaiki tangga, untuk kemudian lindap di dalam interchange corridor.

Koridor yang kulewati tampak tua, klasik, langit-langitnya berbentuk melengkung setengah lingkaran dan dindingnya berlapis keramik dengan pola tua di sepanjangnya.

Hanya perlu waktu lima menit untuk tiba di mulut koridor di sisi yang lain.

Interchange corridor antara Ming O’rik Station dan Oybek Station.
Suasana di Oybek Station.
Oybek Station.

Di mulut koridor aku dihadapkan pada ruangan stasiun lain, Oybek Station.

Secara sekilas, Oybek Station tak memiliki ornamen istimewa di setiap jengkal koridornya. Hanyalah sematan ukiran keramik berwarna hijau yang menghias di setiap pilar stasiun.

Maka terduduklah aku di salah satu bangku demi menunggu kedatangan kereta di jalur O’zbekistan Line itu.

Satu hal yang membuatku penasaran selama duduk adalah sebuah pertanyaan sepele tentang bagaimana bentuk kereta di jalur O’zbekistan Line. Apakah mirip dengan kereta di jalur Yunusobod Line?. Pertanyaan itu akan selalu muncul oleh karena tidak adanya sekat penghalang antara platform dan jalur kereta, sehingga memudahkan siapa saja untuk melihat secara langsung gerbong kereta yang melintas.

Aku terus diam mengamati sekitar, sekaligus sumringah karena tak lama lagi akan tiba di Distrik Chorsu.

Keterangan:

Вход*1) (Baca “Vhod”) = Masuk

Kirish*2) = Entry

Bekati*3) = Stasiun

U Yerda*4) = di sana

Kisah Selanjutnya—->

Paradise Hostel: Menolak Tertangkap Petugas Keamanan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku menyusuri jalan setapak nan sempit berbahan beton, untuk kemudian memasuki area hostel dari sisi belakang. Akhirnya aku pun tiba di pekarangan hostel.

Terimakasih, Tuhan”, aku bersyukur dalam hati, “Ternyata memang tempat ini yang kucari

Aku memang beruntung, karena secara tak sengaja telah memasuki pekarangan hostel yang sedang kucari, Paradise Hostel. Aku mengucek mata, meyakinkan sekali lagi, membaca papan nama di lokasi minim cahaya. Memastikan untuk yang terakhir kali.

Berhasil meyakinkan diri maka tanpa pikir panjang aku membuka sebuah pintu yang tak terkunci. Aku terhenyak kaget karena aku membuka sebuah pintu ruangan bersama para tamu. Tak kurang dari lima penginap tampak menikmati kopi hangat, sajian makanan, menonton TV dan bercanda bersama.

Hellooo, where is the reception desk, Sir?”, aku melemparkan tanya kepada salah satu dari mereka.

“There”, seorang pria di antara mereka menunjuk sebuah arah.

Oh, Okay, Thanks, Sir”, aku pun bergegas menutup pintu itu.

Aku mencari pintu lain yang dimaksud dan menemukan di sisi barat bangunan. Benar saja, aku menemukan meja resepsionis ketika masuk dari pintu itu.

Seorang lelaki muda tampak tenggelam dalam kesibukannya di meja resepsionis. Bukan berwajah Uzbekistan dalam pandanganku, tetapi lebih mirip berwajah Asia Selatan.

Hello, Sir. Can you check a reservation by Donny via Booking.com!”,

Hello, brother. Ok, please wait!”, dia mulai menatap layar monitor.

Yesss, I find you. For 3 nights, isn’t?

Yes, I had guaranteed my booking with a credit card. Can you check it?

Wait”, tatapannya kembali ke layar monitor. “I didn’t find any payment in your booking. I think you must pay your room in the hostel”.

Let me check my credit card account”, aku sibuk memeriksa aplikasi kartu kredit salah satu bank nasional di layar telepon pintarku.

Okay, no billing on my credit card. How much must I pay?”

280.000 Som

Aku menyelesaikan pembayaran dengan cepat, untuk kemudian pria muda itu memberikanku kunci kamar dan menunjukkanku lokasi kamar, dapur bersama, ruang tamu bersama, ruang makan bersama dan kamar mandi bersama khusus pria…..Begitulah, semua serba “bersama” jika kamu menginap di sebuah dormitory. Tapi itu asyik loh, gaes…..Wkwkwkwk.

Aku telah mendapatkan kamar, memasukinya, dan kemudian duduk di salah satu bunk bed. Untuk sejenak aku menghangatkan badan yang beku setelah setengah jam lamanya berjibaku di jalanan Tashkent tanpa persiapan.

Tempat tidurku bersama sekelompok turis Turki.
Tempatku makan dan berkenalan dengan turis dari berbagai negara.

Perlahan aku membuka backpack, mengaduk-aduk isinya, mencari dua kerat roti yang kudapat dari penerbangan Uzbekitan Airways HY 554. Aku juga masih menyimpan beberapa snack pemberian Dasha, penumpang wanita yang duduk di sebelahku selama penerbangan.

Aku yang kelaparan, menyantap sisa makanan yang kupunya di ruang tamu bersama. Aku tak mempedulikan tatapan aneh para tamu-tamu Turki yang sedang berkumpul di ruang yang sama.

Tak lupa aku menyisakan sebungkus kecil biskuit untuk sarapan esok hari. Tak mungkin bagiku keluar mencari makanan malam itu.

Untuk sementara aku merasa tenang, kenyang dan relaks.

Membuatku cepat terlelap di atas bunk bed usai membasuh badan di bawah shower hangat Paradise Hostel.

—-****—-

Pagi sekali…..Masih gelap di Tashkent.

Jam 6 pagi tepatnya……

Paradise Hostel masih senyap, lampu di semua ruangan masih padam. Aku berjinjit ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi, membasahi rambut dan mencuci muka. Aku tak akan mandi pagi itu. Begitulah kebiasaan diri saat ber solo-traveling, aku hanya akan mandi ketika hendak beranjak tidur malam saja….Jangan ditiru ya….Kebiasaan jorok itu….Hahaha.

Aku masih memiliki sebungkus kecil biskuit dan sebungkus salted peanuts yang bisa kunikmati sebagai menu ringan sarapan. Air minum hangat?….Ya, aku menemukannya dengan mudah di pantry bersama hostel.

Menjelang pukul tujuh pagi, dua staff Paradise Hostel mulai bangun dan membersihkan ruangan. Sepertinya mereka tinggal di dormitory itu. Seorang staff tampak masih muda, berparas cantik dan berambut panjang kepirangan khas gadis Uzbekistan. Seorang lagi adalah perempuan setengah baya yang aku tebak adalah ibu gadis itu. Wajahnya tampak mirip.

Nantinya, selama tiga malam menginap di dormitory itu, dua perempuan super baik itu akan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan bagiku.

Pukul delapan….Beberapa penginap sudah mulai bangun dan duduk di ruang bersama. Bahkan,  satu rombongan pejalan dalam waktu singkat memenuhi ruangan, hampir seluruh bangku di meja makan berukuran panjang diakuisisi oleh mereka.

Tiga gadis muda dalam rombongan sibuk menuangkan berbagai macam makanan. Berkerat-kerat roti, potongan keju yang melimpah dan berbungkus-bungkus biskuit mereka hidangkan di meja panjang. Sesaat kemudian, sekitar enam belas anggota rombongan bersarapan bersama dengan duduk berhadap-hadapan. Mereka sepertinya rombongan mahasiswa yang sedang melakukan perjalanan bersama.

Aku yang sendirian dan tak berteman memilih untuk menepi dan duduk di sebuah sofa depan TV dan menikmati menu sarapan super sederhanaku.

Pukul sembilan pagi,…..

Aku melongok keluar jendela. Tampak jalanan kecil di depan hostel sesekali dilintasi oleh warga lokal yang sudah memulai aktivitas rutinnya. Satu dua mobil mulai dinyalakan untuk memanasi mesin.

Saatnya memulai eksplorasi”, aku merengkuh winter jacket yang kusampirkan di sebuah kursi.

Bagian depan Paradise Hostel.

Sewaktu kemudian aku sudah berada di tepian Navoiy Shoh Ko’chasi. Menuju ke timur, aku berusaha mengalahkan dinginnya suhu -4oC.

Aku bermaksud menuju ke Abdulla Qodiry Station dan akan mengunjungi Distrik Chorsu.

Di sebuah trotoar, aku yang terpesona dengan bentuk-bentuk bangunan khas Uzbekistan di sepanjang jalan memutuskan untuk sesekali berhenti demi mengabadikan pemandangan kota.

Pada satu titik, aku diteriaki oleh seorang security dari sebuah kantor pemerintah. Aku tahu bahwa teriakan itu tertuju padaku, sepertinya dia hendak melarangku untuk mengambil foto. Aku meliriknya yang sedang berlari kecil dari halaman gedung menuju ke trotoar tempatku berdiri.

Aku yang paham kondisi itu memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu secepat kilat. Berpura-pura tidak mengetahui keberadaan secutiry itu, aku melangkah cepat meninggalkan lokasi.

Beberapa detik kemudian, tanpa menengok ke belakang pun aku tahu bahwa security bertubuh tegap itu berhenti lalu memandangiku dari kejauhan. Dia enggan mengejarku karena aku sudah terlalu jauh untuk dikejar olehnya.

Aku sepenuhnya paham bahwa pada masa lalu tidak sembarangan orang boleh mengambil foto di jalanan Uzbekistan. Mungkin pemerintah Uni Soviet merasa perlu menjaga diri di masa perang dingin dari tindak spionase.

Memang aturan mengambil foto itu telah dihapuskan tetapi toh kenyataannya beberapa warga mereka masih merasa aneh ketika seorang asing mengambil foto di tempat-tempat umum.

Suasan trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi.
Gedung National Library of Uzbekistan.
Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiry Station.

Usai menyeberangi lebarnya Amir Temur Ko’chasi dan menempuh jarak hampir 1 Km, aku tiba di stasiun.

Aku menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah. Sejenak aku menikmati udara hangat di ruangan bawah tanah itu. Aku berhenti sejenak mengamati situasi, berusaha memahami bagaimana warga lokal membeli tiket MRT.

Sebuah loket tampak dijejali warga lokal yang mengantri untuk mendapatkan tiket. Ada selembar kertas bertuliskan 1,400 Som di atas lubang loket. Aku yakin bahwa nominal itu adalah harga tiket MRT.

Aku mempersiapkan uang koin sisa menaiki bus kota semalam dan mulai mengantri di loket. Usai mendapatkan tiket, aku pun mencari pintu masuk menuju platform.

METROGA KIRISH”. Aku melihat signboard berwarna kuning tergantung di langit-langit koridor.

Aku yakin itu adalah pintu masuk menuju platform. “KIRISH” bermakna akses dalam Bahasa Indonesia.

Tanpa ragu sedikitpun….Aku pun melangkah memasukinya.

Kisah Selanjutnya—->