Aku menyusuri jalan setapak nan sempit berbahan beton, untuk kemudian memasuki area hostel dari sisi belakang. Akhirnya aku pun tiba di pekarangan hostel.
“Terimakasih, Tuhan”, aku bersyukur dalam hati, “Ternyata memang tempat ini yang kucari”
Aku memang beruntung, karena secara tak sengaja telah memasuki pekarangan hostel yang sedang kucari, Paradise Hostel. Aku mengucek mata, meyakinkan sekali lagi, membaca papan nama di lokasi minim cahaya. Memastikan untuk yang terakhir kali.
Berhasil meyakinkan diri maka tanpa pikir panjang aku membuka sebuah pintu yang tak terkunci. Aku terhenyak kaget karena aku membuka sebuah pintu ruangan bersama para tamu. Tak kurang dari lima penginap tampak menikmati kopi hangat, sajian makanan, menonton TV dan bercanda bersama.
“Hellooo, where is the reception desk, Sir?”, aku melemparkan tanya kepada salah satu dari mereka.
“There”, seorang pria di antara mereka menunjuk sebuah arah.
“Oh, Okay, Thanks, Sir”, aku pun bergegas menutup pintu itu.
Aku mencari pintu lain yang dimaksud dan menemukan di sisi barat bangunan. Benar saja, aku menemukan meja resepsionis ketika masuk dari pintu itu.
Seorang lelaki muda tampak tenggelam dalam kesibukannya di meja resepsionis. Bukan berwajah Uzbekistan dalam pandanganku, tetapi lebih mirip berwajah Asia Selatan.
“Hello, Sir. Can you check a reservation by Donny via Booking.com!”,
“Hello, brother. Ok, please wait!”, dia mulai menatap layar monitor.
“Yesss, I find you. For 3 nights, isn’t?”
“Yes, I had guaranteed my booking with a credit card. Can you check it?”
“Wait”, tatapannya kembali ke layar monitor. “I didn’t find any payment in your booking. I think you must pay your room in the hostel”.
“Let me check my credit card account”, aku sibuk memeriksa aplikasi kartu kredit salah satu bank nasional di layar telepon pintarku.
“Okay, no billing on my credit card. How much must I pay?”
“280.000 Som”
Aku menyelesaikan pembayaran dengan cepat, untuk kemudian pria muda itu memberikanku kunci kamar dan menunjukkanku lokasi kamar, dapur bersama, ruang tamu bersama, ruang makan bersama dan kamar mandi bersama khusus pria…..Begitulah, semua serba “bersama” jika kamu menginap di sebuah dormitory. Tapi itu asyik loh, gaes…..Wkwkwkwk.
Aku telah mendapatkan kamar, memasukinya, dan kemudian duduk di salah satu bunk bed. Untuk sejenak aku menghangatkan badan yang beku setelah setengah jam lamanya berjibaku di jalanan Tashkent tanpa persiapan.


Perlahan aku membuka backpack, mengaduk-aduk isinya, mencari dua kerat roti yang kudapat dari penerbangan Uzbekitan Airways HY 554. Aku juga masih menyimpan beberapa snack pemberian Dasha, penumpang wanita yang duduk di sebelahku selama penerbangan.
Aku yang kelaparan, menyantap sisa makanan yang kupunya di ruang tamu bersama. Aku tak mempedulikan tatapan aneh para tamu-tamu Turki yang sedang berkumpul di ruang yang sama.
Tak lupa aku menyisakan sebungkus kecil biskuit untuk sarapan esok hari. Tak mungkin bagiku keluar mencari makanan malam itu.
Untuk sementara aku merasa tenang, kenyang dan relaks.
Membuatku cepat terlelap di atas bunk bed usai membasuh badan di bawah shower hangat Paradise Hostel.
—-****—-
Pagi sekali…..Masih gelap di Tashkent.
Jam 6 pagi tepatnya……
Paradise Hostel masih senyap, lampu di semua ruangan masih padam. Aku berjinjit ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi, membasahi rambut dan mencuci muka. Aku tak akan mandi pagi itu. Begitulah kebiasaan diri saat ber solo-traveling, aku hanya akan mandi ketika hendak beranjak tidur malam saja….Jangan ditiru ya….Kebiasaan jorok itu….Hahaha.
Aku masih memiliki sebungkus kecil biskuit dan sebungkus salted peanuts yang bisa kunikmati sebagai menu ringan sarapan. Air minum hangat?….Ya, aku menemukannya dengan mudah di pantry bersama hostel.
Menjelang pukul tujuh pagi, dua staff Paradise Hostel mulai bangun dan membersihkan ruangan. Sepertinya mereka tinggal di dormitory itu. Seorang staff tampak masih muda, berparas cantik dan berambut panjang kepirangan khas gadis Uzbekistan. Seorang lagi adalah perempuan setengah baya yang aku tebak adalah ibu gadis itu. Wajahnya tampak mirip.
Nantinya, selama tiga malam menginap di dormitory itu, dua perempuan super baik itu akan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan bagiku.
Pukul delapan….Beberapa penginap sudah mulai bangun dan duduk di ruang bersama. Bahkan, satu rombongan pejalan dalam waktu singkat memenuhi ruangan, hampir seluruh bangku di meja makan berukuran panjang diakuisisi oleh mereka.
Tiga gadis muda dalam rombongan sibuk menuangkan berbagai macam makanan. Berkerat-kerat roti, potongan keju yang melimpah dan berbungkus-bungkus biskuit mereka hidangkan di meja panjang. Sesaat kemudian, sekitar enam belas anggota rombongan bersarapan bersama dengan duduk berhadap-hadapan. Mereka sepertinya rombongan mahasiswa yang sedang melakukan perjalanan bersama.
Aku yang sendirian dan tak berteman memilih untuk menepi dan duduk di sebuah sofa depan TV dan menikmati menu sarapan super sederhanaku.
Pukul sembilan pagi,…..
Aku melongok keluar jendela. Tampak jalanan kecil di depan hostel sesekali dilintasi oleh warga lokal yang sudah memulai aktivitas rutinnya. Satu dua mobil mulai dinyalakan untuk memanasi mesin.
“Saatnya memulai eksplorasi”, aku merengkuh winter jacket yang kusampirkan di sebuah kursi.

Sewaktu kemudian aku sudah berada di tepian Navoiy Shoh Ko’chasi. Menuju ke timur, aku berusaha mengalahkan dinginnya suhu -4oC.
Aku bermaksud menuju ke Abdulla Qodiry Station dan akan mengunjungi Distrik Chorsu.
Di sebuah trotoar, aku yang terpesona dengan bentuk-bentuk bangunan khas Uzbekistan di sepanjang jalan memutuskan untuk sesekali berhenti demi mengabadikan pemandangan kota.
Pada satu titik, aku diteriaki oleh seorang security dari sebuah kantor pemerintah. Aku tahu bahwa teriakan itu tertuju padaku, sepertinya dia hendak melarangku untuk mengambil foto. Aku meliriknya yang sedang berlari kecil dari halaman gedung menuju ke trotoar tempatku berdiri.
Aku yang paham kondisi itu memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu secepat kilat. Berpura-pura tidak mengetahui keberadaan secutiry itu, aku melangkah cepat meninggalkan lokasi.
Beberapa detik kemudian, tanpa menengok ke belakang pun aku tahu bahwa security bertubuh tegap itu berhenti lalu memandangiku dari kejauhan. Dia enggan mengejarku karena aku sudah terlalu jauh untuk dikejar olehnya.
Aku sepenuhnya paham bahwa pada masa lalu tidak sembarangan orang boleh mengambil foto di jalanan Uzbekistan. Mungkin pemerintah Uni Soviet merasa perlu menjaga diri di masa perang dingin dari tindak spionase.
Memang aturan mengambil foto itu telah dihapuskan tetapi toh kenyataannya beberapa warga mereka masih merasa aneh ketika seorang asing mengambil foto di tempat-tempat umum.



Usai menyeberangi lebarnya Amir Temur Ko’chasi dan menempuh jarak hampir 1 Km, aku tiba di stasiun.
Aku menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah. Sejenak aku menikmati udara hangat di ruangan bawah tanah itu. Aku berhenti sejenak mengamati situasi, berusaha memahami bagaimana warga lokal membeli tiket MRT.
Sebuah loket tampak dijejali warga lokal yang mengantri untuk mendapatkan tiket. Ada selembar kertas bertuliskan 1,400 Som di atas lubang loket. Aku yakin bahwa nominal itu adalah harga tiket MRT.
Aku mempersiapkan uang koin sisa menaiki bus kota semalam dan mulai mengantri di loket. Usai mendapatkan tiket, aku pun mencari pintu masuk menuju platform.
“METROGA KIRISH”. Aku melihat signboard berwarna kuning tergantung di langit-langit koridor.
Aku yakin itu adalah pintu masuk menuju platform. “KIRISH” bermakna akses dalam Bahasa Indonesia.
Tanpa ragu sedikitpun….Aku pun melangkah memasukinya.
2 thoughts on “Paradise Hostel: Menolak Tertangkap Petugas Keamanan”