Pilav dan Kegagalan Menyeruput Teh Hangat

<—-Kisah Sebelumnya

Masuk dari lantai bawah, aku terhenti dalam beberapa langkah, tertegun dengan tata letak lapak di Chorsu Bazaar. Mengikuti bentuk lingkaran bangunannya, deretan lapak pun disusun dengan pola melingkar, berpusat di titik tengah ruangan. Tata letak yang efektif, efisien, juga penuh gaya.

Aku mulai menyusuri lantai pertama pasar yang didominasi oleh penjual daging, sosis, keju, sayur-mayur, buah-buahan dan bahan pangan lainnya. Sibuknya aktivitas pasar membuat para pedagang tak mempedulikanku ketika memfoto aktivitas mereka ketika melayani pembelian para pelanggannya.

Aku yang kagum dengan aktifitas dan kebersihan pasar, harus mengitari lantai bawah pasar hingga dua kali sembari menikmati atmosfer perniagaan di dalamnya.

Lapak sekitar pintu masuk yang kulalui.
Chorsu Bazaar dari atas.

Selesai pada putaran kedua, aku mendongak ke atas, melihat sekilas apakah aktivitas di lantai itu sama bergeliatnya. Kuperhatikan dengan seksama, riuh rendah teriakan para pedagang menggema di langit-langit pasar. Aku yang tak bisa menahan rasa penasaran, mengarahkan pandangan ke bagian paling belakang deretan lapak lantai satu. Aku fokus mencari akses tangga menuju ke lantai atas.

Bersyukur aku menemukannya dengan cepat. Aku mendekatinya, entah kenapa banyak tercecer tumpahan lumpur tipis di sekitar anak tangga. Seorang petugas tampak sedang berjibaku membersihkannya dengan floor wiper. Mungkin lapisan tipis lumpur itu adalah residu dari bongkar muat ikan air tawar yang dijual di lapak paling belakang

Aku harus sedikit berjingkat demi menggapai anak tangga pertama. Aku berhasil melalui lapisan lumpur dan mulai menaiki anak tangga menuju ke lantai atas.

Setiba di lantai atas, aku langsung membuat kesimpulan bahwa lantai dua Chorsu Bazaar digunakan sebagai pasar kering dimana manisan kering, buah-buahan kering, navat (gula batu), parvarda*1), kacang-kacangan, kismis, apricot, saffron diperjualbelikan.

Melihat lantai bawah dari atas, menyematkan kesan indah di sejauh mata memandang. Susunan melingkar lapak tampak rapi dan teratur. Balon warna-warni dibentangkan dari sudut ke sudut bangunan, berhasil menambahkan suasana meriah di ruangan pasar.

Pedagang di lantai atas ternyata lebih agresif, berkali-kali mereka menjemput kedatanganku dengan menawarkan barang dagangan. Seorang pedagang pria bahkan terus mengikuti setiap langkahku sembari menawarkan saffron.

Best saffron from Kashmir, brother”, dia menyejajari langkahku sembari terus menatap mukaku yang kuarahkan ke tempat lain.

Thanks, brother. I come here just to sightseeing”, aku menegaskan maksud.

Hampir mengikutiku sejauh setengah putaran pasar hingga akhirnya dia menyerah karena usahanya tak kunjung membuahkan hasil. Dia berbalik badan dan membiarkanku lepas dari incarannya.

Doi minta difoto setelah lelah mengejarku.

Aku yang telah selesai mengelilingi lantai atas satu putaran penuh, memutuskan untuk turun. Aku menuruni tangga yang sama disaat naik, lalu keluar dari pintu bertiraikan plastik di lantai bawah.

Dalam sekejap, aku sudah berada di luar bangunan pasar kembali.

Petualangku selama 45 menit di Chorsu Bazaar usai, bahkan berhasil membuatku lapar. Maka aku menyempatkan diri untuk mencari kedai makan di sekitar pasar. Akan tetapi mengitari bagian luar Chorsu Bazaar untuk mencari makanan ternyata tetap tak membuahkan hasil.

Perut yang keroncongan akhirnya mengingatkanku pada sebuah kedai yang menggoreng nasi di tepian jalan dan sempat kulihat sebelum menuju Chorsu Bazaar beberapa menit sebelumnya.

Menemukan ingatan di kepala, aku pun tersenyum dan dengan cepat meninggalkan Chorsu Bazaar. Aku bergerak tangkas menuju kedai makan yang dimaksud.

Derean kedai makanan dekat Chorsu Bazaar.
Pilav.

Menghafalkan rute dengan baik, aku tiba di lokasi dalam tujuh menit. Semua pintu di deret kedai makan tampak sama. Aku susah membedakan pintu mana yang menjual “nasi goreng” yang dimaksud. Aku juga tak melihat pemuda yang beberapa menit sebelumnya kulihat memasak di tepian trotoar.

Maka kulongokkan muka dari pintu ke pintu untuk menemukan masakan itu. Tiga pintu yang kulongok tak membuahkan hasil. Hingga akhirnya pada pintu keempat, aku melihat seorang pria berumur yang mengangkat penggorengan besar dan menumpahkan isinya ke lima piring kosong nan lebar.

Itu dia”, aku bersorak dalam hati.

Aku yang antusias, memberanikan diri masuk ke pintu yang berhadapan langsung dengan dapur dan meja kasir.

Seorang perempuan berkerudung dan bersepatu boots menyambutku, dia tampak modis dan cantik.

A portion….that food, Mam!”, aku menunjuk nasi goreng di sebuah penggorengan yang asapnya menebarkan bau super sedap.

Da*2)……”, dia mengangguk dengan ekspresi wajah datar sembari menunjuk ke arah bangku kosong.

Aku yang menahan lapar, menyeret langkah dan duduk di meja yang dimaksud.

Tak lama, makanan pesananku datang dan disajikan di meja makan. Terdapat tiga potongan roti berukuran sedang yang disuguhkan bersama seporsi nasi bertabur rempah, daging domba, telur puyuh dan sedikit sayur.

Tak berpikir panjang, aku segera menyantapnya. Tetapi gigitan pertamaku pada roti memberikan kesan tawar. Maka kuputuskan untuk memasukkan tiga kerat roti itu kedalam plastik dan menenggelamkannya di dalam folding bag.

Lebih baik untuk makan malam nanti saja”, aku cengar-cengir sendirian.

Dengan lahap aku menyantap makanan itu. Sendok dan garpu berkelontangan beradu dengan piring.

Fokus pada makanan, membuatku tak memperhatikan jika sewaktu kemudian empat sekawan datang dan duduk di bangku sebelah. Mereka berempat sepertinya mahasiswa dan sedang riuh rendah bercakap-cakap di sisi kananku.

Ramainya suasana di bangku sebelah membuatku mengarahkan pandangan kepada mereka. Aku menatap mereka ketika mereka berempat kompak melihatku yang sedang rakus menyantap makanan. Aku tersenyum kepada mereka ketika sesendok nasi masih kukunyah di mulut.

Aku pun segera menelannya dengan cepat. Kemudian mengajukan pertanyaan singkat pada keempat pria muda itu.

What is the name of this?”, aku menunjuk pada hidangan yang kumakan.

Pilav….That is Pilav3*), our typical food”, salah satu dari mereka yang berpostur paling tinggi menjawab.

Oh, Pilav…..Nice food”, aku menimpali.

Melihat Pilav membuatku  teringat oleh makanan dengan penampilan yang sama. Namanya Pullao, makanan asal Pakistan yang pernah kusantap ketika mengunjungi Qatar. Cuma waktu itu Pullao tersebut dimasak oleh seseorang hanya dengan bercampukan sayuran dan kacang-kacangan.

Enjoy that….”, pemuda itu menambahkan dan menutup percakapan.

Sure…”, aku kembali menghadapi makananku.

Aku menyantapnya kembali ketika pilav itu mendingin dengan cepat oleh sebab dinginnya udara sekitar.

Porsinya yang banyak dan kondisinya yang sudah dingin memaksaku untuk memindahkan separuh porsi pilav itu ke dalam foldable lunch box. Aku bisa memanfaatkannya untuk makan malam.

Usai sudah menyantap pilav.

Aku melangkah ke meja kasir untuk meminta sesuatu….

Can you serve me a cup of tea?”, aku menunjuk pada sebuah tea pot yang terletak di sebuah meja makan.

Nima?*3)”, dia mengambil kalkulator dan menujukkan angka 27.000 padaku

Tea….Please!”, aku menegaskan bahwa aku belum bermaksud menyudahi makan siangku

Rupanya nona cantik itu tak paham dan hanya tersenyum melihatku.

Aku yang sudah kehabisal akal memutuskan untuk menyudahi saja makan siangku dan membayar pilav yang sudah aku santap.

Sudahlah, aku membalikkan punggung dan meninggalkan kedai itu.

Keterangan:

Parvarda*1) : Caramel khas Uzbekistan yang sangat populer, berbentuk manisan kecil yang dilapisi tepung.

Da*2): OK

Nima?*3) : Apa

Kisah Selanjutnya—->