Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Menuju Stasiun G’afur G’ulom

<—-Kisah Sebelumnya

Udara mulai mendingin ketka aku bertolak dari Moyie Mubarek Library Museum, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Langkah kakiku kali ini jelas, mengakhiri eksplorasi, menuju penginapan.

Aku membuka aplikasi transportasi Kota Tashkent berbasis Android….Aplikasi itu bernama 3TM. Aku sendiri sudah mahir menggunakan aplikasi itu karena aku telah menginstallnya di telepon pintar sebulan sebelum keberangkatan. Aku bisa dengan mudah memahami beberapa nomor bus kota yang melintas di sekitar penginapan yang kupilih.

Pada awalnya aku berencana menggunakan bus dari Halte Kalkavuz Kanali yang letaknya tepat di sisi selatan dari Hast-Imam. Ada bus bernomor 42 menuju penginapan. Namun aku mengurungkan niat usai melihat penuhnya halte oleh pekerja lokal yang menanti kedatangan bus.

Aku bergegas meninggalkan halte, mencari alternatif lain yang lebih nyaman. Alternatif terbaik adalah menggunakan jasa bus bernomor 109 yang akan berhenti di sebuah halte di depan Masjid Jami’ Akhunguzar, jaraknya hanya satu kilometer di Selatan Halte Bus Kalkavuz Kanali. Tanpa berpanjang pikir, aku melangkah cepat.

Lima belas menit selanjutnya aku tiba…..

Halte itu hanya berupa tiang penanda saja, tanpa tempat duduk, juga tanpa atap. Tepat di gerbang masjid yang langsung berbatasan dengan Zarqaynar Ko’chasi terdapat pedagang “Non” yang menjajakan roti khas Uzbekistan itu kepada para pengunjung yang keluar masuk masjid.

“Non” dengan aneka ragam, bentuk dan warnanya mengkilap sempat menggodaku untuk membelinya. Tetapi karena aku masih meyimpan dua buah “Non” yang pagi sebelumya aku beli di Chorsu Bazaar, aku mengurungkan niat untuk membeli “Non” kembali.

Sudah banyak “Non” yang terjual ketika aku berdiri di tiang halte hingga aku tersadar bahwa tak ada bus yang kunjung datang. Aku kembali berpikir ulang, mengingat sebentar lagi hari akan gelap. Hingga pada suatu waktu, aku kembali mengambil keputusan lain….Ya, aku bermaksud ingin mengunakan jasa Tashkent Metropoliteni menuju penginapan.

Aku pun beranjak dari halte bus untuk menyeberang Zarqaynar Ko’chasi. Aku harus menyisir trotoar sisi selatan demi menggapai Stasiun G’afur G’ulom. Tetapi sungguh pahit rasanya, baru saja aku berhasil menyeberang dan tiba di seberang jalan, bus kota berukuran kecil bernomor 109 tiba di halte tempatku menunggu beberapa saat sebelumnya.

Menuju Stasiun G’afur G’ulom.
Sisi barat Sebzor Ko’chasi.
Gerbang masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Aku hanya menatap kesal sejenak lalu gontai menuju stasiun. Beberapa waktu kemudian, aku pun tiba di Stasiun G’afur G’ulom yang merupakan stasiun MRT yang berada pada jalur O’zbekiston Yo’li. Tak berasa aku telah berpindah dari sisi utara ke sisi timur Abdulla Qodiriy Park yang memiliki luas lebih dari 20 Hektar itu. Bisa kamu bayangkan kan seberapa jauh aku berjalan kaki?….

Tepat di sebuah perempatan dengan Ganga Skatepark sebagai landmarknya, aku menatap Halte Bus G’afur G’ulom yang berada di seberang utara jalan. Tapi sial, aku tak mampu menemukan jalur penyeberangan menujunya. Keberadaan flyover yang membentang dari selatan ke utara di atas Sebzor Ko’chasi membuatku terditraksi mencari arah.

Rupanya opsi terakhiru untuk menggunakan bus kota pupus. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, maka aku memutuskan untuk turun ke bawah tanah melalui pintu masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Kisah Selanjutnya—->

Pilav dan Kegagalan Menyeruput Teh Hangat

<—-Kisah Sebelumnya

Masuk dari lantai bawah, aku terhenti dalam beberapa langkah, tertegun dengan tata letak lapak di Chorsu Bazaar. Mengikuti bentuk lingkaran bangunannya, deretan lapak pun disusun dengan pola melingkar, berpusat di titik tengah ruangan. Tata letak yang efektif, efisien, juga penuh gaya.

Aku mulai menyusuri lantai pertama pasar yang didominasi oleh penjual daging, sosis, keju, sayur-mayur, buah-buahan dan bahan pangan lainnya. Sibuknya aktivitas pasar membuat para pedagang tak mempedulikanku ketika memfoto aktivitas mereka ketika melayani pembelian para pelanggannya.

Aku yang kagum dengan aktifitas dan kebersihan pasar, harus mengitari lantai bawah pasar hingga dua kali sembari menikmati atmosfer perniagaan di dalamnya.

Lapak sekitar pintu masuk yang kulalui.
Chorsu Bazaar dari atas.

Selesai pada putaran kedua, aku mendongak ke atas, melihat sekilas apakah aktivitas di lantai itu sama bergeliatnya. Kuperhatikan dengan seksama, riuh rendah teriakan para pedagang menggema di langit-langit pasar. Aku yang tak bisa menahan rasa penasaran, mengarahkan pandangan ke bagian paling belakang deretan lapak lantai satu. Aku fokus mencari akses tangga menuju ke lantai atas.

Bersyukur aku menemukannya dengan cepat. Aku mendekatinya, entah kenapa banyak tercecer tumpahan lumpur tipis di sekitar anak tangga. Seorang petugas tampak sedang berjibaku membersihkannya dengan floor wiper. Mungkin lapisan tipis lumpur itu adalah residu dari bongkar muat ikan air tawar yang dijual di lapak paling belakang

Aku harus sedikit berjingkat demi menggapai anak tangga pertama. Aku berhasil melalui lapisan lumpur dan mulai menaiki anak tangga menuju ke lantai atas.

Setiba di lantai atas, aku langsung membuat kesimpulan bahwa lantai dua Chorsu Bazaar digunakan sebagai pasar kering dimana manisan kering, buah-buahan kering, navat (gula batu), parvarda*1), kacang-kacangan, kismis, apricot, saffron diperjualbelikan.

Melihat lantai bawah dari atas, menyematkan kesan indah di sejauh mata memandang. Susunan melingkar lapak tampak rapi dan teratur. Balon warna-warni dibentangkan dari sudut ke sudut bangunan, berhasil menambahkan suasana meriah di ruangan pasar.

Pedagang di lantai atas ternyata lebih agresif, berkali-kali mereka menjemput kedatanganku dengan menawarkan barang dagangan. Seorang pedagang pria bahkan terus mengikuti setiap langkahku sembari menawarkan saffron.

Best saffron from Kashmir, brother”, dia menyejajari langkahku sembari terus menatap mukaku yang kuarahkan ke tempat lain.

Thanks, brother. I come here just to sightseeing”, aku menegaskan maksud.

Hampir mengikutiku sejauh setengah putaran pasar hingga akhirnya dia menyerah karena usahanya tak kunjung membuahkan hasil. Dia berbalik badan dan membiarkanku lepas dari incarannya.

Doi minta difoto setelah lelah mengejarku.

Aku yang telah selesai mengelilingi lantai atas satu putaran penuh, memutuskan untuk turun. Aku menuruni tangga yang sama disaat naik, lalu keluar dari pintu bertiraikan plastik di lantai bawah.

Dalam sekejap, aku sudah berada di luar bangunan pasar kembali.

Petualangku selama 45 menit di Chorsu Bazaar usai, bahkan berhasil membuatku lapar. Maka aku menyempatkan diri untuk mencari kedai makan di sekitar pasar. Akan tetapi mengitari bagian luar Chorsu Bazaar untuk mencari makanan ternyata tetap tak membuahkan hasil.

Perut yang keroncongan akhirnya mengingatkanku pada sebuah kedai yang menggoreng nasi di tepian jalan dan sempat kulihat sebelum menuju Chorsu Bazaar beberapa menit sebelumnya.

Menemukan ingatan di kepala, aku pun tersenyum dan dengan cepat meninggalkan Chorsu Bazaar. Aku bergerak tangkas menuju kedai makan yang dimaksud.

Derean kedai makanan dekat Chorsu Bazaar.
Pilav.

Menghafalkan rute dengan baik, aku tiba di lokasi dalam tujuh menit. Semua pintu di deret kedai makan tampak sama. Aku susah membedakan pintu mana yang menjual “nasi goreng” yang dimaksud. Aku juga tak melihat pemuda yang beberapa menit sebelumnya kulihat memasak di tepian trotoar.

Maka kulongokkan muka dari pintu ke pintu untuk menemukan masakan itu. Tiga pintu yang kulongok tak membuahkan hasil. Hingga akhirnya pada pintu keempat, aku melihat seorang pria berumur yang mengangkat penggorengan besar dan menumpahkan isinya ke lima piring kosong nan lebar.

Itu dia”, aku bersorak dalam hati.

Aku yang antusias, memberanikan diri masuk ke pintu yang berhadapan langsung dengan dapur dan meja kasir.

Seorang perempuan berkerudung dan bersepatu boots menyambutku, dia tampak modis dan cantik.

A portion….that food, Mam!”, aku menunjuk nasi goreng di sebuah penggorengan yang asapnya menebarkan bau super sedap.

Da*2)……”, dia mengangguk dengan ekspresi wajah datar sembari menunjuk ke arah bangku kosong.

Aku yang menahan lapar, menyeret langkah dan duduk di meja yang dimaksud.

Tak lama, makanan pesananku datang dan disajikan di meja makan. Terdapat tiga potongan roti berukuran sedang yang disuguhkan bersama seporsi nasi bertabur rempah, daging domba, telur puyuh dan sedikit sayur.

Tak berpikir panjang, aku segera menyantapnya. Tetapi gigitan pertamaku pada roti memberikan kesan tawar. Maka kuputuskan untuk memasukkan tiga kerat roti itu kedalam plastik dan menenggelamkannya di dalam folding bag.

Lebih baik untuk makan malam nanti saja”, aku cengar-cengir sendirian.

Dengan lahap aku menyantap makanan itu. Sendok dan garpu berkelontangan beradu dengan piring.

Fokus pada makanan, membuatku tak memperhatikan jika sewaktu kemudian empat sekawan datang dan duduk di bangku sebelah. Mereka berempat sepertinya mahasiswa dan sedang riuh rendah bercakap-cakap di sisi kananku.

Ramainya suasana di bangku sebelah membuatku mengarahkan pandangan kepada mereka. Aku menatap mereka ketika mereka berempat kompak melihatku yang sedang rakus menyantap makanan. Aku tersenyum kepada mereka ketika sesendok nasi masih kukunyah di mulut.

Aku pun segera menelannya dengan cepat. Kemudian mengajukan pertanyaan singkat pada keempat pria muda itu.

What is the name of this?”, aku menunjuk pada hidangan yang kumakan.

Pilav….That is Pilav3*), our typical food”, salah satu dari mereka yang berpostur paling tinggi menjawab.

Oh, Pilav…..Nice food”, aku menimpali.

Melihat Pilav membuatku  teringat oleh makanan dengan penampilan yang sama. Namanya Pullao, makanan asal Pakistan yang pernah kusantap ketika mengunjungi Qatar. Cuma waktu itu Pullao tersebut dimasak oleh seseorang hanya dengan bercampukan sayuran dan kacang-kacangan.

Enjoy that….”, pemuda itu menambahkan dan menutup percakapan.

Sure…”, aku kembali menghadapi makananku.

Aku menyantapnya kembali ketika pilav itu mendingin dengan cepat oleh sebab dinginnya udara sekitar.

Porsinya yang banyak dan kondisinya yang sudah dingin memaksaku untuk memindahkan separuh porsi pilav itu ke dalam foldable lunch box. Aku bisa memanfaatkannya untuk makan malam.

Usai sudah menyantap pilav.

Aku melangkah ke meja kasir untuk meminta sesuatu….

Can you serve me a cup of tea?”, aku menunjuk pada sebuah tea pot yang terletak di sebuah meja makan.

Nima?*3)”, dia mengambil kalkulator dan menujukkan angka 27.000 padaku

Tea….Please!”, aku menegaskan bahwa aku belum bermaksud menyudahi makan siangku

Rupanya nona cantik itu tak paham dan hanya tersenyum melihatku.

Aku yang sudah kehabisal akal memutuskan untuk menyudahi saja makan siangku dan membayar pilav yang sudah aku santap.

Sudahlah, aku membalikkan punggung dan meninggalkan kedai itu.

Keterangan:

Parvarda*1) : Caramel khas Uzbekistan yang sangat populer, berbentuk manisan kecil yang dilapisi tepung.

Da*2): OK

Nima?*3) : Apa

Kisah Selanjutnya—->

Chorsu Bazaar: Tertegun pada Lapak Kaki Ternak

<—-Kisah Sebelumnya

Dengan tegas, aku mengarahkan langkah menuju Chorsu Bazaar, sebuah pasar tradisional terbesar di Kota Tashkent atau boleh dikatakan sebagai pasar tradisional tertua di kawasan Asia Tengah.

Dari pelataran atas stasiun bawah tanah Chorsu, aku bersusah payah mencari jalur menuju jalan arteri. Aku sepenuhnya paham bahwa Chorsu Bazaar terletak di utara tempatku berdiri dan jalan arteri untuk menujunya berada di sisi barat, itu berarti bahwa aku harus berjalan memutar demi menuju pasar tradisional yang sudah berdiri sejak Abad Pertengahan tersebut.

Maka melangkahlah aku ke barat, melewati jalur kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki. Jalur itu membawaku melintasi Chorsu Gold Center yang merupakan pusat perdagangan emas terbesar di Tashkent. Sentra emas itu sengaja dibangun oleh pemerintah Uzbekistan untuk melawan dominasi brand perhiasan emas dari luar negeri.

Aku berhenti sejenak di depan sentra emas itu, memperhatikan antrian warga lokal di depan bangunan kecil bertajuk “Bankomat ATM”.

Pasti mereka menarik uang tunai untuk berbelanja emas di sentra emas itu”, aku mengambil kesimpulan cepat.

Chorsu Gold Center.
Toko souvenir.

Sementara itu, membalikkan badan ke arah seberang, aku mendapati sebuah toko besar yang menjual souvenir khas “Negeri Jalan Sutera”. Karpet berpola khas, guci klasik dari berbagai macam bahan dan pernak-pernik lain yang tersusun di etalase dengan mudah bisa dilihat dari luar toko. Tetapi aku toh tetap tak mengindahkan keberadaannya.

Justru aku lebih tertarik pada sebuah lapak tanpa tenda dimana seorang pria paruh baya menjual potongan kaki ternak yang ramai dengan antrian pengunjung. Aku yang beruntung melihat pemandangan itu, memutuskan untuk mengambil foto beberapa momen transaksi jual beli di lapak mungil itu. Untuk beberapa saat, langkahku tersangkut di lapak kaki ternak yang baru pertama kali kulihat dalam hidup.

Hingga akhirnya aku mencukupkan diri mbengambil foto transaksi jual beli ketika si bapak penjual menatap dan tersenyum lebar melihat kehadiranku.

Wonderful, Sir….Thank you for this special moment”, aku bercakap kepadanya yang entah dia paham atau tidak..

Penjual kaki ternak.

Aku berhasil menggapai tepian Saqichmon Ko’chasi*1), lalu tersenyum menatap utara. Jalanan sedang macet-macetnya menjelang pukul sebelas siang. Sepanjang mata memandang, jalan arteri itu dipenuhi oleh brand Chevrolet, compact car varian The New Chevrolet Spark  tampak mendominasi kepadatan jalan. Konon, Chevrolet memang mendominasi pangsa pasar mobil di Uzbekistan.

Di sisi lain, di sepanjang trotoar yang kulintasi, aktivitas perdagangan tepi jalan juga sangat bergairah. Gerobak-gerobak beroda berjajar rapi dan menawarkan berbagai makanan, buah-buahan dan hasil bumi lainnya.

Bahkan beberapa puluh meter kemudian, aku menemukan deretan kedai makan yang telah bergeliat dengan aktivitas memasak. Aku tertegun di satu titik, tempat dimana seorang pria muda sedang mengaduk-aduk nasi di sebuah wajan besar, dia sengaja memasak di atas perapian yang diletakkan di tepian trotoar. Bau rempahnya kuat menusuk indra pencium, otomatis membuatku lapar.

Nasi goreng macam apakah ini?”, aku bertanya dan terkekeh dalam hati.

Tapi belum saatnya untuk makan….Aku harus segera sampai di Chorsu Bazaar”, aku memutuskan untuk menghampiri lagi kedai makan itu setelah mengeksplorasi Chorsu Bazaar.

Saqichmon Ko’chasi yang macet.

Aku meneruskan langkah kaki, melewati area parkir yang sangat luas. Sepertinya itu adalah area parkir khusus untuk pengunjung Chorsu Bazaar, karena aku telah melihat bangunan besar dengan atap sepenuhnya berbentuk kubah warna biru.

Itu pasti Chorsu Bazaar yang sedang kutuju”, aku menatapnya lekat-lekat dari area parkir.

Aku yang sumringah, melangkah lebih cepat demi menggapai gerbang Chorsu Bazaar.

Akhirnya aku sampai……

Aku sendiri tak terburu-buru masuk, aku lebih memilih duduk di pelataran luasnya. Pengelola pasar setempat tampaknya sangat mengerti kebutuhan warga dan wisatawan dengan menyediakan tempat duduk yang nyaman di sekitar pasar.

Aku memilih salah satu bangku beratap dan ternyata betah duduk di bangku itu. Suhu 4oC tak mengalahkan rasa antusiasku untuk menikmati kesibukan di sekitar gerbang masuk. Chorsu Bazaar jika dilihat sepintas lalu, lebih tampak seperti sebuah shopping mall yang besih dan bergaya.

Untuk beberapa saat, aku menikmati duduk manisku di bangku mungil itu.

Hanya saja, karena tak mau didahului siang, aku pun bangkit dan menuju gerbang pasar yang dijaga seorang petugas keamanan yang membawa metal detector.

Tapi entah bagaimana, aku bisa lolos dari pemeriksaannya. Tapi toh aku tak khawatir jika sewaktu-waktu harus diperiksa ketika sudah berada di dalam pasar. Aku melenggang masuk melewati gerbang yang penuh dengan hiasan ucapan selamat tahun baru dengan warna dominan biru. Tampak beberapa pohon natal di tempatkan di anak tangga teratas di sebelah pintu pasar. Yang perlu kamu tahu bahwa 5% penduduk Uzbekistan beragama Kristen Orthodox.

Aku sendiri tak langsung menaiki tangga menuju ke ruangan utama pasar, melainkan memilih berdiri di dekat pintu gerbang demi mengamati aktivitas sekitar. Mengambil beberapa foto menarik di beberapa titik. Memenuhi memori Canon EOS M10 yang setia menemaniku sejak lima tahun terakhir.

Gerbang Chorsu Bazaar.
Nah….Setelah berjibaku, sampai juga di Chorsu Bazaar.

Aktivitas tak normalku membuat security yang berjaga di gerbang lebih intens mengamatiku. Aku hanya berharap dia tak menaruh kecurigaan apapun. Bersyukurnya, segenap waktuku di sekitar gerbang tak ditegur olehnya. Aku dibiarkannya begitu saja. Mungkin dia memahami bahwa aku hanyalah seorang turis yang sedang menikmati suasana saja.

Cukup dengan beberapa gambar yang kudapat, aku pun mulai menaiki anak tangga demi anak tangga untuk memasuki ruangan pasar.

Di anak tangga teratas aku dihadapkan pada akses masuk tak berdaun pintu, melainkan hanya tirai plastik yang digunakan untuk mencegah udara dingin memasuki ruangan dalam pasar.

Aku segera menyingkap tirai itu, masuk ke ruangan pasar, dan terkesima dengan segenap isinya….