Romantisme Gatokaca dan Pregiwa di Taman Sriwedari

<—-Kisah Sebelumnya

Gerbang Taman Sriwedari.

Karena Loji Gandrung pernah digunakan oleh Kolonel Gatot Subroto sebagai pusat komado dalam menghadapi Operatie Kraai yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948. Itulah sebuah alasan yang nantinya akan kuketahui kenapa patung yang dipilih untuk ditempatkan di depan Loji Gandrung adalah patung Jenderal Gatoto Subroto.

Kini kita akan bicara topik lain….

Dahulu….

Sebelum Stadion Manahan dibangun oleh Keluarga Cendana melalui Yayasan Ibu Tien Soeharto pada tahun 1998. Kota Solo memiliki stadion sepakbola yang kecil tapi legendaris. Stadion yang telah melahirkan klub sepakbola profesional yang pernah mencatatkan sejarah dalam persepakbolaan Indonesia, yaitu Arseto Solo FC. Stadion itu sendiri bernama Stadion Sriwedari. Penamaan ini sendiri tentu terkait dengan letaknya yang berada di area Sriwedari.

Malam itu, tentu aku tidak berniat mengunjungi Stadion Sriwedari selepas berkunjung ke Loji Gandrung untuk mencari informasi. Hanya perlu kamu ketahui bahwa di sisi timur stadion legendaris itu terdapat taman budaya yang terkenal dengan pementasan Seni Wayang Orang. Taman budaya ini terkenal dengan sebutan Taman Sriwedari.

Lima belas menit lewat dari pukul sembilan malam, keluar dari gerbang Loji Gandrung, aku melanjutkan perjalanan survey menuju timur sejauh setengah kilometer. Menyusuri sisi selatan Jalan Slamet Riyadi, aku melangkah dalam keramaian malam. Hingga aku tiba pada sebuah name board bertajuk “I Love Solo” yang terletak di sebuah taman kecil di bawah sebuah pohon besar, tepat ditengah trotoar lebar. Inilah penanda bahwa langkahku telah sampai di tujuan.

Tempat hangout di depan Taman Sriwedari.
Patung Gatotkaca dan Pregiwa.

Aku disambut sebuah gapura megah dengan topeng “Buto” di atasnya disusul dengan sambutan patung Gatotkaca dan Pregiwa dengan warna emas di bagian halaman. Dari situ saja, aura budaya tanah jawa tercium sangat kuat. Sementara sebuah pendopo besar menggenapi salah satu sisi taman.

Dari informasi yang kubaca pada sebuah kalender event di salah satu titik. Tepat dua bulan sebelum kunjunganku, tempat ini telah menghelat sebuah pagelaran tahunan dalam usaha peletarian Seni Wayang Orang yaitu Festiwal Wayang Bocah ke-7. Rupanya Kota Solo sangat gencar dalam melestarikan budaya. Memiliki event budaya dari usia dini hingga menyediakan tempat budaya seperti Taman Sriwedari ini adalah bukti nyatanya.

Di bagian belakang-timur pendopo berdiri Gedung Kesenian Solo. Sementara di sisi kanannya tampak beberapa papan proyek rapi mengelilingi THR (Taman Hiburan Rakyat) Sriwedari. Aku mendapatan informasi bahwa taman ini telah ditutup dan akan digantikan keberadaannya dengan Masjid Taman Sriwedari. THR Sriwedari sendiri adalah salah satu legenda taman hiburan di pusat Kota Solo pada masa lalu. Dahulu kawasan ini dikenal dengan sebutan Bon Rojo (kebon rojo/kebun raja) pada era Paku Buwono X.

Sementara di sebelah belakang-barat pendopo terletaklah Gedung Wayang Orang Sriwedari. Gedung inilah yang berperan penting dalam pelestarian Kesenian Wayang Orang yang telah berfungsi hampir satu abad lamanya.

Taman Sriwedari menjadi satu tempat yang layak dikunjungi apabila saat pelaksanaan Marketing Conference nanti terdapat event budaya. Akan tetapi jika tidak ada, maka kemungkinan menjadi sangat kecil untuk mengunjunginya.

Kisah Selanjutnya—->

Gatokaca and Pregiwa Romanticism in Sriwedari Park

<—-Previous Story

Sriwedari Park gate.

Because Loji Gandrung was once used by Colonel Gatot Subroto as the commado centre in facing Operatie Kraai which was launched by Dutch in December 1948. That was a reason which I would find later why a statue chosen to be placed in front of Loji Gandrung was General Gatoto Subroto Statue.

Now we would talk about other topic….

In the past….

Before Manahan Stadium was built by Cendana Family*1 through Ibu Tien Soeharto Foundation in 1998. Solo City had a small but legendary football stadium. The stadium which had given birth to a professional football club that had made history in Indonesian football, namely Arseto Solo FC. The stadium itself was called Sriwedari Stadium. This naming itself was of course related to its location in Sriwedari area.

That night, of course, I had no intention of visiting Sriwedari Stadium after visiting Loji Gandrung to seek information. But you just needed to know that on east side of this legendary stadium, there was a cultural park which was famous in Wayang Orang Art*2 performance. This cultural park was known as Sriwedari Park.

Fifteen minutes past nine o’clock in evening, exiting Loji Gandrung gate, I continued my survey trip to east for half a kilometer. Along south side of Slamet Riyadi Street, I stepped into night crowd. Until I arrived at a name board entitled “I Love Solo” which was located in a small park under a large tree, right in the middle of a wide sidewalk. This was a sign that my step had reached in the destination.

Hangout place in front of Sriwedari Park.
Gatotkaca and Pregiwa statue.

I was greeted by a magnificent gate with a “Buto*3” mask on it then followed by a welcome greeting by a golden statues of Gatotkaca and Pregiwa*4 in courtyard. From there alone, Javanese cultural aura smelled very strongly. Meanwhile, a large pavilion filled one side of  park.

From the information which I read on an event calendar at one point. Exactly two months before my visitation, this place has held an annual performance in Wayang Orang Art preservation effort, i.e 7th Wayang Bocah Festival. It seemed that Solo was very active in preserving culture. Having cultural events from an early age to providing cultural venues such as Sriwedari Park was a real proof.

At back-east of pavilion stands Gedung Kesenian Solo. While on the right side, there were several neat project boards which surround THR (Taman Hiburan Rakyat) Sriwedari. I received information that this park had been closed and would be replaced by Taman Sriwedari Mosque. THR Sriwedari itself was one of legends of an amusement park at Solo city centre on the past. Previously, this area was known as Bon Rojo (Kebon Rojo/King’s Garden) in Paku Buwono X era.

Meanwhile, to back-west of pavilion was Gedung Wayang Orang Sriwedari. This building had played an important role in Wayang Orang Art  preservation which had been functioning for nearly a century.

Sriwedari Park was a place which worth visiting if there was a cultural event during Marketing Conference. However, if there was no, there was very little chance of visiting it.

Note:

Cendana Family*1 is Second President of Republic of Indonesia’s family.

Wayang Orang Art*2  is a type of classical Javanese dance theatrical performance with themes taken from episodes of the Ramayana or Mahabharata.

Buto*3 is another term for evil giant

Gatotkaca and Pregiwa*4. Gatotkacais a character in Mahabharata epic, he is a son of Bima. Pregiwa is Gatotkaca’s wife.

Next Story—->