Larangan Mengambil Foto di Hast-Imam

<—-Kisah Sebelumnya

Lewat pukul dua siang….

Aku memaksakan langkah menyeberangi pertigaan di hadapan. Abdulla Qodiriy Ko’chasi cukup sibuk siang itu. Aku menunggu giliran menyeberang dengan sabar, berdiri di bawah tiang lampu merah dengan ukuran yang tak cukup besar.

Beberapa saat menunggu, lampu merah berganti hijau, untuk kemudian aku mulai melangkah menapaki jalur penyeberangan yang tak ada markah zebra crossnya. Aku terus mengarahkan pandangan mata ke samping kiri, menjaga diri jikalau ada kendaraan yang menyelonong melanggar lampu merah. Begitulah aku, selalu waspada ketika berpetualang sendirian di negeri orang.

Dari sudut pandang lain, setiap mata pengendara yang berhenti di lampu merah tampak memperhatikan setiap langkahku di jalur penyeberangan itu, karena memang akulah satu-satunya penyeberang jalan yang melintas. Canggung tetapi menjadi sebuah kesan yang menyenangkan tentunya.

Berhasil menyeberangi Abdulla Qodiriy Ko’chasi, hamparan panjang trotoar Qorasaroy Ko’chasi menanti di hadapan. Sejauh mata memandang, trotoar itu tersusun dari beton precast yang berfungsi ganda, selain sebaga u-ditch cover, juga berfungsi sebagai jalur trotoar.

Sementara itu di sisi kanan adalah jalur hijau dimana pohon-pohon berukuran besar, berumur tua, dengan cat putih di setengah batangnya, berbaris rapi di tepian jalan yang tercover oleh hamparan rerumputan nan hijau. Sedangkan ruang kota di sebelah kanan trotoar sepenuhnya tertutup oleh lembaran-lembaran papan seng proyek berlogokan Pemerintah Kota Tashkent “Toshkent Shahar Hokimligi” yang menjadi penanggung jawab pembangunan Islamic Civilization Center di Distrik Olmazor.

Islamic Civilization Center yang akan menjadi bangunan raksasa di sekitar Hast-Imam.

Trotoar yang kulalui tak begitu ramai, justru cenderung sepi dan lengang. Namun, aku telah mengenyahkan ragu, mantap melangkah menuju destinasi terakhir pada petualangan hari keduaku di Tashkent.

Dua puluh menit kemudian, aku tiba di tujuan…..

Sejenak aku terdiam di gerbang tujuan, menatap lekat-lekat Masjid Abdullah Murodkhojayev yang telah berusia sepuluh abad. Sontak rasa penasaran muncul ketika menatap menara kembar masjid yang tinggi menjulang. Oleh karenanya, aku berusaha mendekati masjid dari sisi depan. Hingga tiba tepat berada dibawah kaki menara, aku seolah nampak kerdil, bangunan masjid itu sungguh megah luar biasa, berarsitektur klasik, berdiri sangat kokoh.

Semakin penasaran, aku mencoba menemukan keotentikan arsitektur masjid dari sisi lain. Berpindahlah aku ke sisi selatan yang kebetulan berfungsi sebagai area parkir. Di sisi itulah, aku menemukan ruangan komersial untuk pemberdayaan masjid. Tampak dua belas kios dipergunakan untuk aktivitas perniagaan. Kios-kios itu ramai disinggahi para pengunjung dan siswa yang besekolah di Imam Al Bukhari Islamic Institute.

Masjid Abdullah Murodkhojayev tampak depan.
Masjid Murodkhojayev tampak belakang.

Langkahku semakin intens, berlanjut ke sisi belakang masjid. Di halaman belakangnya yang luas, aku menemukan dua bangunan besar lain, yaitu salah satu bagian Barakhan Madrasah dan Moyie Mubarek Library Museum.

Aku mulai memasuki bangunan bersejarah Barakhan Madrasah, bangunan yang didirikan oleh Raja Navruz Ahmadkhan pada pertengahan Abad ke-16.  Di dalam bangunan selain memiliki banyak ruangan kelas juga terdapat beberapa toko souvenir. Menakjubkannya, sebagian besar lantai plaza bagian dalam madrasah terselimuti oleh lapisan es. Hal ini dimungkinkan karena dinginnya cuaca Tashkent di akhir Desember.

Khatam menikmati suasana di Barakhan Madrasah, aku meninggalkan bangunan klasik itu demi menuju Moyie Mubarek Library Museum. Tak berjarak jauh, tak sampai lima puluh meter, aku tiba di pos penjualan tiket masuk. Aku harus membayar 30.000 Som untuk kemudian penjaga memberikanku selembar tiket dan mempersilahkanku untuk masuk.

Can me take a picture in the museum?”, aku memeperagakan tangan layaknya memfoto sesuatu dengan memicingkan mata

No”, petugas itu melambaikan tangannya sebagai isyarat tak mengizinkan.

Aku pun melepas sepatu boots dan mulai memasuki ruangan museum. Tampak seorang penjaga duduk mengawasi para tamu yang datang. CCTV tampak disiagakan di setiap kamar. Ada satu naskah besar di ruangan utama, adalah naskah Al Qur’an yang sedang dibaca Khalifah Usman bin Affan ketika beliau dibunuh.

Bagian dari Barakhan Madrasah.
Moyie Mubarek Library Museum.

Sedang di ruangan kamar yang berukuran lebih kecil tampak beberapa pajangan mushaf Al Qur’an dari berbagai masa, dari yang berukuran besar hingga Al Qur’an berukuran super kecil. Moyie Mubarek Library Museum menjadi titik terakhir petualangan hari keduaku di Tashkent.

Aku mengakhiri kunjungan lewat pukul empat sore, kemudian bersiap diri untuk pulang menuju penginapan.

Kisah Selanjutnya—->