Menuju Stasiun G’afur G’ulom

<—-Kisah Sebelumnya

Udara mulai mendingin ketka aku bertolak dari Moyie Mubarek Library Museum, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Langkah kakiku kali ini jelas, mengakhiri eksplorasi, menuju penginapan.

Aku membuka aplikasi transportasi Kota Tashkent berbasis Android….Aplikasi itu bernama 3TM. Aku sendiri sudah mahir menggunakan aplikasi itu karena aku telah menginstallnya di telepon pintar sebulan sebelum keberangkatan. Aku bisa dengan mudah memahami beberapa nomor bus kota yang melintas di sekitar penginapan yang kupilih.

Pada awalnya aku berencana menggunakan bus dari Halte Kalkavuz Kanali yang letaknya tepat di sisi selatan dari Hast-Imam. Ada bus bernomor 42 menuju penginapan. Namun aku mengurungkan niat usai melihat penuhnya halte oleh pekerja lokal yang menanti kedatangan bus.

Aku bergegas meninggalkan halte, mencari alternatif lain yang lebih nyaman. Alternatif terbaik adalah menggunakan jasa bus bernomor 109 yang akan berhenti di sebuah halte di depan Masjid Jami’ Akhunguzar, jaraknya hanya satu kilometer di Selatan Halte Bus Kalkavuz Kanali. Tanpa berpanjang pikir, aku melangkah cepat.

Lima belas menit selanjutnya aku tiba…..

Halte itu hanya berupa tiang penanda saja, tanpa tempat duduk, juga tanpa atap. Tepat di gerbang masjid yang langsung berbatasan dengan Zarqaynar Ko’chasi terdapat pedagang “Non” yang menjajakan roti khas Uzbekistan itu kepada para pengunjung yang keluar masuk masjid.

“Non” dengan aneka ragam, bentuk dan warnanya mengkilap sempat menggodaku untuk membelinya. Tetapi karena aku masih meyimpan dua buah “Non” yang pagi sebelumya aku beli di Chorsu Bazaar, aku mengurungkan niat untuk membeli “Non” kembali.

Sudah banyak “Non” yang terjual ketika aku berdiri di tiang halte hingga aku tersadar bahwa tak ada bus yang kunjung datang. Aku kembali berpikir ulang, mengingat sebentar lagi hari akan gelap. Hingga pada suatu waktu, aku kembali mengambil keputusan lain….Ya, aku bermaksud ingin mengunakan jasa Tashkent Metropoliteni menuju penginapan.

Aku pun beranjak dari halte bus untuk menyeberang Zarqaynar Ko’chasi. Aku harus menyisir trotoar sisi selatan demi menggapai Stasiun G’afur G’ulom. Tetapi sungguh pahit rasanya, baru saja aku berhasil menyeberang dan tiba di seberang jalan, bus kota berukuran kecil bernomor 109 tiba di halte tempatku menunggu beberapa saat sebelumnya.

Menuju Stasiun G’afur G’ulom.
Sisi barat Sebzor Ko’chasi.
Gerbang masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Aku hanya menatap kesal sejenak lalu gontai menuju stasiun. Beberapa waktu kemudian, aku pun tiba di Stasiun G’afur G’ulom yang merupakan stasiun MRT yang berada pada jalur O’zbekiston Yo’li. Tak berasa aku telah berpindah dari sisi utara ke sisi timur Abdulla Qodiriy Park yang memiliki luas lebih dari 20 Hektar itu. Bisa kamu bayangkan kan seberapa jauh aku berjalan kaki?….

Tepat di sebuah perempatan dengan Ganga Skatepark sebagai landmarknya, aku menatap Halte Bus G’afur G’ulom yang berada di seberang utara jalan. Tapi sial, aku tak mampu menemukan jalur penyeberangan menujunya. Keberadaan flyover yang membentang dari selatan ke utara di atas Sebzor Ko’chasi membuatku terditraksi mencari arah.

Rupanya opsi terakhiru untuk menggunakan bus kota pupus. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, maka aku memutuskan untuk turun ke bawah tanah melalui pintu masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Kisah Selanjutnya—->

Larangan Mengambil Foto di Hast-Imam

<—-Kisah Sebelumnya

Lewat pukul dua siang….

Aku memaksakan langkah menyeberangi pertigaan di hadapan. Abdulla Qodiriy Ko’chasi cukup sibuk siang itu. Aku menunggu giliran menyeberang dengan sabar, berdiri di bawah tiang lampu merah dengan ukuran yang tak cukup besar.

Beberapa saat menunggu, lampu merah berganti hijau, untuk kemudian aku mulai melangkah menapaki jalur penyeberangan yang tak ada markah zebra crossnya. Aku terus mengarahkan pandangan mata ke samping kiri, menjaga diri jikalau ada kendaraan yang menyelonong melanggar lampu merah. Begitulah aku, selalu waspada ketika berpetualang sendirian di negeri orang.

Dari sudut pandang lain, setiap mata pengendara yang berhenti di lampu merah tampak memperhatikan setiap langkahku di jalur penyeberangan itu, karena memang akulah satu-satunya penyeberang jalan yang melintas. Canggung tetapi menjadi sebuah kesan yang menyenangkan tentunya.

Berhasil menyeberangi Abdulla Qodiriy Ko’chasi, hamparan panjang trotoar Qorasaroy Ko’chasi menanti di hadapan. Sejauh mata memandang, trotoar itu tersusun dari beton precast yang berfungsi ganda, selain sebaga u-ditch cover, juga berfungsi sebagai jalur trotoar.

Sementara itu di sisi kanan adalah jalur hijau dimana pohon-pohon berukuran besar, berumur tua, dengan cat putih di setengah batangnya, berbaris rapi di tepian jalan yang tercover oleh hamparan rerumputan nan hijau. Sedangkan ruang kota di sebelah kanan trotoar sepenuhnya tertutup oleh lembaran-lembaran papan seng proyek berlogokan Pemerintah Kota Tashkent “Toshkent Shahar Hokimligi” yang menjadi penanggung jawab pembangunan Islamic Civilization Center di Distrik Olmazor.

Islamic Civilization Center yang akan menjadi bangunan raksasa di sekitar Hast-Imam.

Trotoar yang kulalui tak begitu ramai, justru cenderung sepi dan lengang. Namun, aku telah mengenyahkan ragu, mantap melangkah menuju destinasi terakhir pada petualangan hari keduaku di Tashkent.

Dua puluh menit kemudian, aku tiba di tujuan…..

Sejenak aku terdiam di gerbang tujuan, menatap lekat-lekat Masjid Abdullah Murodkhojayev yang telah berusia sepuluh abad. Sontak rasa penasaran muncul ketika menatap menara kembar masjid yang tinggi menjulang. Oleh karenanya, aku berusaha mendekati masjid dari sisi depan. Hingga tiba tepat berada dibawah kaki menara, aku seolah nampak kerdil, bangunan masjid itu sungguh megah luar biasa, berarsitektur klasik, berdiri sangat kokoh.

Semakin penasaran, aku mencoba menemukan keotentikan arsitektur masjid dari sisi lain. Berpindahlah aku ke sisi selatan yang kebetulan berfungsi sebagai area parkir. Di sisi itulah, aku menemukan ruangan komersial untuk pemberdayaan masjid. Tampak dua belas kios dipergunakan untuk aktivitas perniagaan. Kios-kios itu ramai disinggahi para pengunjung dan siswa yang besekolah di Imam Al Bukhari Islamic Institute.

Masjid Abdullah Murodkhojayev tampak depan.
Masjid Murodkhojayev tampak belakang.

Langkahku semakin intens, berlanjut ke sisi belakang masjid. Di halaman belakangnya yang luas, aku menemukan dua bangunan besar lain, yaitu salah satu bagian Barakhan Madrasah dan Moyie Mubarek Library Museum.

Aku mulai memasuki bangunan bersejarah Barakhan Madrasah, bangunan yang didirikan oleh Raja Navruz Ahmadkhan pada pertengahan Abad ke-16.  Di dalam bangunan selain memiliki banyak ruangan kelas juga terdapat beberapa toko souvenir. Menakjubkannya, sebagian besar lantai plaza bagian dalam madrasah terselimuti oleh lapisan es. Hal ini dimungkinkan karena dinginnya cuaca Tashkent di akhir Desember.

Khatam menikmati suasana di Barakhan Madrasah, aku meninggalkan bangunan klasik itu demi menuju Moyie Mubarek Library Museum. Tak berjarak jauh, tak sampai lima puluh meter, aku tiba di pos penjualan tiket masuk. Aku harus membayar 30.000 Som untuk kemudian penjaga memberikanku selembar tiket dan mempersilahkanku untuk masuk.

Can me take a picture in the museum?”, aku memeperagakan tangan layaknya memfoto sesuatu dengan memicingkan mata

No”, petugas itu melambaikan tangannya sebagai isyarat tak mengizinkan.

Aku pun melepas sepatu boots dan mulai memasuki ruangan museum. Tampak seorang penjaga duduk mengawasi para tamu yang datang. CCTV tampak disiagakan di setiap kamar. Ada satu naskah besar di ruangan utama, adalah naskah Al Qur’an yang sedang dibaca Khalifah Usman bin Affan ketika beliau dibunuh.

Bagian dari Barakhan Madrasah.
Moyie Mubarek Library Museum.

Sedang di ruangan kamar yang berukuran lebih kecil tampak beberapa pajangan mushaf Al Qur’an dari berbagai masa, dari yang berukuran besar hingga Al Qur’an berukuran super kecil. Moyie Mubarek Library Museum menjadi titik terakhir petualangan hari keduaku di Tashkent.

Aku mengakhiri kunjungan lewat pukul empat sore, kemudian bersiap diri untuk pulang menuju penginapan.

Kisah Selanjutnya—->