Dua backpacker Lawang Sewu

<—-Kisah Sebelumnya

Lawang Sewu berarti seribu pintu.

Konon keangkeran bangunan berumur 116 tahun ini tersohor di Asia setelah Sekolah Tat Tak di Hong Kong. Sunyi, bertembok tebal dan sempat tak terurus. Tapi itu dulu, kini bangunan 429 pintu ini bertransformasi menjadi ikon pariwisata unggulan kota Semarang dengan segenap nilai artistik dan historisnya.

—-****—-

Malam ketiga di Semarang menjadi sebuah ajang reuni backpacker yang keduanya saling bertemu di Brunei Darussalam pada April 2015, kedua backpacker itu adalah aku dan Ezra. Aku sengaja mengirimkan pesan singkat kepadanya sehari sebelum keberangkatan ke Semarang. Aku mengajaknya bertemu di hometownnya untuk berbagi cerita petualangan masing-masing selama lima tahun terakhir.

Salah satu koridor di dalam Lawang Sewu.
Salah satu koridor di bagian teras Lawang Sewu.

Sepulang dari Pantai Marina, aku segera berpisah dengan Pak Muchlis. Beliau harus pulang lebih dahulu ke Gresik menggunakan kereta api Argo Bromo Anggrek. Aku menuju  ke Masjid Raya Baiturrahman di Simpang Lima sebagai meeting point dengan Ezra. Dengan cepat aku tiba di sana pada pukul 19:30. Beberapa saat menunggu, Ezra pun tiba dan kami berdua menunaikan ibadah shalat Isya bersama.

Dia bercerita banyak mengenai pekerjaannya yang seorang dosen dan membuatnya bisa mengikuti konferensi ke Amerika Serikat dan kemudian naluri backpackernya mengantarnya melipir ke Kanada. Dia juga sudah mengunjungi Israel dan Russia. Wah gilaaaa, aku bahkan jauh tertinggal dari segenap pengalamannya. Sedangkan aku, di malam itu mengisahkan bahwa di akhir tahun setelah pertemuan dengannya, akan berangkat menuju Penang, Ipoh, Dhaka, Mumbai, Colombo, dan Maldives.

Tangga menuju lantai atas Lawang Sewu.
Menonton video sejarah Lawang Sewu bersama warga lokal.
Foto-foto kegiatan renovasi Lawang Sewu.

Menaiki sepeda motor warna biru, aku diboncengnya menuju Lawang Sewu di Jalan Pemuda. Dalam perjalanan menuju ke sana, Ezra sedikit menceritakan bahwa gedung yang sedang kita tuju ini adalah bekas kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada masa kolonial Belanda. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, maka gedung ini menjadi penjara paling kejam pada masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan, gedung ini menjadi kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang dikenal sebagai PT Kereta Api Indonesia.

Setelah tiba di tempat tujuan, Ezra dengan cekatan menuju loket penjualan tiket untuk membeli tiket masuk. Kali ini dia membayari semua biaya tiket untuk memasuki Lawang Sewu. Karena tempat wisata ini akan tutup jam 21:00, maka aku hanya memiliki waktu tiga puluh menit saja untuk menjelajah tempat wisata ini.

Halaman di dalam bangunan Lawang Sewu.
Sisi lain halaman dalam.
Keanggunan arsitektur Eropa dalam siraman lampu malam.

Tapi waktu yang sebentar itu tak membuatku terburu-buru, aku lebih mementingkan berdiskusi dan bercerita pengalaman masing-masing. Seakan Lawang Sewu hanya menjadi background pembicaraan kami berdua malam itu. Kuhabiskan sebagian besar waktu untuk duduk di teras dalam bangunan.  Terus berbincang dan menjelaskan setiap rencana masing-masing. Aku juga berharap, kami berdua bisa backpackeran bersama lain waktu ke luar negeri.

Tepat pukul 21:00, aku dan Ezra terpaksan harus meninggalkan Lawang Sewu karena jam operasionalnya sudah berakhir. Kami berpindah ke keramaian lain tepat di seberang Lawang Sewu. Yups, area Tugu Muda yang masih penuh pengunjung. Bahkan beberapa komunitas seperti pecinta reptil yang datang kesini untuk memamerkan koleksi seperti ular, Cuvier’s Dwarf Caiman (buaya mini), iguana dan beberapa jenis reptil lain pada kerumunan masyarakat. beberpa badut juga memeriahkan suasanan. Malam itu menjadi malam penuh kesan tentang Semarang.

Pertemuanku bersama Ezra malam itu, ditutup dengan makan malam bersama di sebuah restoran bermenu ayam….Ayam Pak Supar Semarang. Malam penuh kesan yang mempertemukan dua sahabat lama dengan passion yang sama.

Aku dan Ezra di Tugu Muda.

Kisah Selanjutnya—->

Two Backpackers in Lawang Sewu

Lawang Sewu means a thousand doors.

It’s said that the haunted of this 116-year-old building is second famous in Asia after Tat Tak School in Hong Kong. Quiet, thick walls and neglected. But that was in the past, now this 429-door building is transformed into a leading tourism icon in Semarang City with all its artistic and historical values.

—-****—-

My third night in Semarang became a backpacker reunion event where two of them met in Brunei Darussalam in April 2015, Ezra and I were that two backpackers. I purposely sent him a short message a day before my departure to Semarang. I invited him to meet in his hometown to share stories of each other’s adventures over past five years.

One of corridors inside Lawang Sewu.
One of corridors at Lawang Sewu terrace.

After returning from Marina Beach, I immediately parted ways with Mr. Muchlis. He had to go back to Gresik firstly, using Argo Bromo Anggrek train. I headed to Baiturrahman Grand Mosque at Simpang Lima as a meeting point with Ezra. I quickly arrived there at 19:30 hours. some minutes waiting, Ezra arrived and we both performed Isha prayer together..

He told a lot about his job as a lecturer which allowed him to attend a conference in United States and then his backpacker instinct drove him to Canada. He had also visited Israel and Russia. Wow, crazy, even I’m far behind from all his experiences. As for me, that night told that at end year after meet with him, I would go to Penang, Ipoh, Dhaka, Mumbai, Colombo and Maldives.

Stairs to Lawang Sewu top floor.
Watching Lawang Sewu historical videos with local residents.
Photos of Lawang Sewu renovation activities.

Riding a blue motorbike, I was taken by him to go to Lawang Sewu on Pemuda Street. On the way there, Ezra explained a little stories that the building which we were going to was the former office of Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) during Dutch colonial era. When Dutch surrendered to Japan in 1942, this building became the most violent prison during Japanese occupation. After Indonesia gained independence, this building became the office of Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) or now known as PT Kereta Api Indonesia.

After arriving at our destination, Ezra deftly went to ticket counter to buying an entrance ticket. This time, he paid all ticket fees to entering Lawang Sewu. Because this tourist spot would close at 21:00 hours, so We only had thirty minutes to explore this tourist spot.

The yard inside Lawang Sewu building.
The other side of inner yard.
The elegance of European architecture in the shower of night lights.

But that short time didn’t made me rush, I was more concerned with discussing and telling stories about each other’s experiences. It was as if Lawang Sewu was only be the background for our conversation that night. I spent most of time for sitting in building terrace. Continued to talk and explained each our plan. I also hoped that two of us can backpack abroad together next time.

At exactly 21:00 hours, Ezra and I were forced to leave Lawang Sewu because its operating hours had ended. We moved to another crowd just across Lawang Sewu. Yups, Tugu Muda area was still full of visitors. Even some communities such as reptile lovers who came here to exhibit collections such as snakes, Cuvier’s Dwarf Caiman (mini crocodiles), iguanas and several other types of reptiles in the crowd. Some clowns also enlivened situation. That time became a night which full of impressions about Semarang.

My reunion with Ezra that night was closed by having dinner together at a restaurant with a chicken menu….Ayam Pak Supar Semarang. An impressive night that brings together two old friends with the same passion.

I and Ezra at Tugu Muda.