Eksplorasi Tertahan di Air Mancur Jalan Pahlawan

<—-Kisah Sebelumnya

Selepas makan malam di warung makan Ayam Pak Supar Semarang, Ezra berpamitan untuk undur diri. Dia berujar membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk sampai di rumahnya. Sementara malam sudah menunjukkan pukul 22:30. Bahan percakapan kami juga sudah habis. Dia menawari untuk mengantarku balik ke Sleep & Sleep Capsule. Berfikir merepotkan, aku menolaknya halus. Akhirnya aku hanya meminta diturunkan di sebuah tempat yang masih ramai di arah pulangnya, dengan begitu aku tak akan merepotkannya.

Dengan cepat aku dibonceng dengan sepeda motor manual warna birunya. Beberapa saat kemudian, sepeda motor mulai melambat dan dia menurunkanku di sisi trotoar yang cukup lebar, penuh dengan muda-mudi yang duduk berkumpul di beberapa titik, diselingi para penjual kopi keliling di sepanjang trotoar.

Di sini nih Don, tempat teramai di arah pulangku. Gimana, mau turun di sini saja?”, ujar Ezra setelah menghentikan sepeda motornya.

OK, di sini saja. Saya ngopi dulu aja sebelum balik ke hotel, Zra”, aku meyakinkannya supaya dia bisa segera pulang. Lalu duduklah aku di sebuah beton pembatas taman, lalu memesan segelas kopi instan. Bagaimana rasanya, jika seorang penikmat kopi original, harus nongkrong dengan meminum kopi instan….Hahaha. tak apalah, yang penting aku bisa menikmati malam.

Kantor Telkomsel Semarang di daerah Mugassari.
Sebuah sisi Jalan Pahlawan.

Belum juga menghabiskan kopi dalam gelas dan sedang asyik-asyiknya menikmati aktivitas muda-mudi di depan Kantor Telkomsel Semarang, satu dua tetes air mulai jatuh dari langit. Pertanda bahwa kota akan segera tertumpah hujan.

Aku memandang sekitar untuk mencari tempat berteduh jika hujan benar-benar turun. Aku melihat di utara ada sebuah panggung yang beberapa orang tampak ramai berkumpul di dekatnya. Tanpa pikir panjang aku segera bergegas kesana.

Benar adanya, tetesan air langit telah naik tingkat menjadi gerimis lembut. Butuh waktu untuk memesan taksi online, sebelum basah kuyup lebih baik aku berteduh. Dengan cepat aku menaiki panggung itu untuk menyelamatkan diri dari hujan deras.

Ternyata panggung ini akan digunakan untuk menyambut Gubernur Jawa Tengah dalam acara Jalan Sehat dalam rangka memperingati HUT KORPRI ke-47. Akhirnya, hujan tertumpah sangat deras, walaupun berada di panggung beratap, tetap saja sebagian tubuhku basah karena air hujan itu disapu oleh angin kencang ke segala arah.

Genap 45 menit aku menunggu hujan tanpa bisa menunaikan niat awal untuk melakukan ekplorasi di sepanjang jalan protokol itu. Jalan utama di Semarang yang sangat terkenal dengan agenda Car Free Day kota itu. Aku hanya mendapatkan bonus menikmati pertunjukan warna pada sebuah air mancur di perempatan antara Jalan Pahlawan dan Jalan Imam Bardjo SH.

Panggung perayaan.
Bundaran di Jalan Pahlawan.
Air mancur di Jalan Pahlawan.
Air mancur di Jalan Pahlawan.

Menjelang tengah malam, Jalan Pahlawan sudah tak berdaya di hajar hujan. Segenap sisi menjadi sepi. Akhirnya aku memutuskan untuk segera balik ke hotel untuk merehatkan diri. Inilah malam terakhirku di Semarang sebelum besok sore kembali ke Jakarta. Tetapi aku masih ada waktu eksplorasi hingga tengah hari di esok hari.

Dua backpacker Lawang Sewu

<—-Kisah Sebelumnya

Lawang Sewu berarti seribu pintu.

Konon keangkeran bangunan berumur 116 tahun ini tersohor di Asia setelah Sekolah Tat Tak di Hong Kong. Sunyi, bertembok tebal dan sempat tak terurus. Tapi itu dulu, kini bangunan 429 pintu ini bertransformasi menjadi ikon pariwisata unggulan kota Semarang dengan segenap nilai artistik dan historisnya.

—-****—-

Malam ketiga di Semarang menjadi sebuah ajang reuni backpacker yang keduanya saling bertemu di Brunei Darussalam pada April 2015, kedua backpacker itu adalah aku dan Ezra. Aku sengaja mengirimkan pesan singkat kepadanya sehari sebelum keberangkatan ke Semarang. Aku mengajaknya bertemu di hometownnya untuk berbagi cerita petualangan masing-masing selama lima tahun terakhir.

Salah satu koridor di dalam Lawang Sewu.
Salah satu koridor di bagian teras Lawang Sewu.

Sepulang dari Pantai Marina, aku segera berpisah dengan Pak Muchlis. Beliau harus pulang lebih dahulu ke Gresik menggunakan kereta api Argo Bromo Anggrek. Aku menuju  ke Masjid Raya Baiturrahman di Simpang Lima sebagai meeting point dengan Ezra. Dengan cepat aku tiba di sana pada pukul 19:30. Beberapa saat menunggu, Ezra pun tiba dan kami berdua menunaikan ibadah shalat Isya bersama.

Dia bercerita banyak mengenai pekerjaannya yang seorang dosen dan membuatnya bisa mengikuti konferensi ke Amerika Serikat dan kemudian naluri backpackernya mengantarnya melipir ke Kanada. Dia juga sudah mengunjungi Israel dan Russia. Wah gilaaaa, aku bahkan jauh tertinggal dari segenap pengalamannya. Sedangkan aku, di malam itu mengisahkan bahwa di akhir tahun setelah pertemuan dengannya, akan berangkat menuju Penang, Ipoh, Dhaka, Mumbai, Colombo, dan Maldives.

Tangga menuju lantai atas Lawang Sewu.
Menonton video sejarah Lawang Sewu bersama warga lokal.
Foto-foto kegiatan renovasi Lawang Sewu.

Menaiki sepeda motor warna biru, aku diboncengnya menuju Lawang Sewu di Jalan Pemuda. Dalam perjalanan menuju ke sana, Ezra sedikit menceritakan bahwa gedung yang sedang kita tuju ini adalah bekas kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada masa kolonial Belanda. Ketika Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, maka gedung ini menjadi penjara paling kejam pada masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaan, gedung ini menjadi kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang dikenal sebagai PT Kereta Api Indonesia.

Setelah tiba di tempat tujuan, Ezra dengan cekatan menuju loket penjualan tiket untuk membeli tiket masuk. Kali ini dia membayari semua biaya tiket untuk memasuki Lawang Sewu. Karena tempat wisata ini akan tutup jam 21:00, maka aku hanya memiliki waktu tiga puluh menit saja untuk menjelajah tempat wisata ini.

Halaman di dalam bangunan Lawang Sewu.
Sisi lain halaman dalam.
Keanggunan arsitektur Eropa dalam siraman lampu malam.

Tapi waktu yang sebentar itu tak membuatku terburu-buru, aku lebih mementingkan berdiskusi dan bercerita pengalaman masing-masing. Seakan Lawang Sewu hanya menjadi background pembicaraan kami berdua malam itu. Kuhabiskan sebagian besar waktu untuk duduk di teras dalam bangunan.  Terus berbincang dan menjelaskan setiap rencana masing-masing. Aku juga berharap, kami berdua bisa backpackeran bersama lain waktu ke luar negeri.

Tepat pukul 21:00, aku dan Ezra terpaksan harus meninggalkan Lawang Sewu karena jam operasionalnya sudah berakhir. Kami berpindah ke keramaian lain tepat di seberang Lawang Sewu. Yups, area Tugu Muda yang masih penuh pengunjung. Bahkan beberapa komunitas seperti pecinta reptil yang datang kesini untuk memamerkan koleksi seperti ular, Cuvier’s Dwarf Caiman (buaya mini), iguana dan beberapa jenis reptil lain pada kerumunan masyarakat. beberpa badut juga memeriahkan suasanan. Malam itu menjadi malam penuh kesan tentang Semarang.

Pertemuanku bersama Ezra malam itu, ditutup dengan makan malam bersama di sebuah restoran bermenu ayam….Ayam Pak Supar Semarang. Malam penuh kesan yang mempertemukan dua sahabat lama dengan passion yang sama.

Aku dan Ezra di Tugu Muda.

Kisah Selanjutnya—->

Exploration Stuck in Pahlawan Street Fountain

After dinner at Ayam Pak Supar Semarang food stall, Ezra said goodbye to go home. He said, it took thirty minutes to reach his home. While, the night showed on 22:30 hours. Our conversation material had also ran out. He offered to take me back to Sleep & Sleep Capsule. Thinking troublesome, I subtly refuse it. Finally I just asked to be dropped off at a place where was still busy on his way to home, so I wouldn’t troublesome him.

I quickly took a ride on his blue manual motorcycle. A few moments later, the motorbike started to slow down and he lowered me on a side of sidewalk which was wide enough, full of young people who sitting together at several points, interspersed with roving coffee sellers along the sidewalk.

Here, Donny, the busiest place on my way to go home. Do you want to get off here? ”Ezra said after stopping his motorbike.

OK, just here. I’ll have a coffee first before going back to hotel, Ezra”, I assured him so he could go home. Then I sat on a concrete dividing, then ordered a glass of instant coffee. How does it feel, if you are an original coffee connoisseur, and then you have to hang out with drinking instant coffee… .Hahaha. Never mind, the important thing was I could enjoy the night.

Semarang Telkomsel office in Mugassari area.
A side of Pahlawan Street.

Having not finished yet drinking coffee in a glass and enjoying youth people activities in front of Semarang Telkomsel Office, one or two drops of water began to fall from the sky. A sign that the city would soon be pouring by rain.

I looked around for shelter in case it really rained. I saw in north, there was a stage where several people seemed to be crowded around it. Without thinking I immediately rushed there.

It was true, drops of sky water had risen to next level be a gentle drizzle. It took time to order a taxi online, before getting soaked, I better took shelter. I quickly climbed the stage to save myself from heavy rain.

It turned out that this stage would be used to welcome Governor of Central Java in a Healthy Walk event to commemorate the Anniversary of KORPRI (Indonesian Civil Servants Corps). Finally, rain poured down very hard, even though I was on roofed stage, still some parts of my body was wet because rainwater was swept away by strong winds in all directions.

Even 45 minutes I waited for the rain without being able to fulfill my initial intention to explore along this protocol road. The main street in Semarang which was very famous for routine Car Free Day agenda. I only got bonus for enjoying color show at a fountain at an intersection between Pahlawan Street and Imam Bardjo SH Street.

Celebration stage.
Roundabout at Pahlawan Street.
Fountain at Pahlawan Street.
Fountain at Pahlawan Street.

By midnight, Pahlawan Street was helpless in the rain. All sides were deserted. Finally I decided to immediately return to hotel for rest. This was my last night in Semarang before returning to Jakarta on tomorrow afternoon. But I still have time to explore Semarang until noon on next day.

Two Backpackers in Lawang Sewu

Lawang Sewu means a thousand doors.

It’s said that the haunted of this 116-year-old building is second famous in Asia after Tat Tak School in Hong Kong. Quiet, thick walls and neglected. But that was in the past, now this 429-door building is transformed into a leading tourism icon in Semarang City with all its artistic and historical values.

—-****—-

My third night in Semarang became a backpacker reunion event where two of them met in Brunei Darussalam in April 2015, Ezra and I were that two backpackers. I purposely sent him a short message a day before my departure to Semarang. I invited him to meet in his hometown to share stories of each other’s adventures over past five years.

One of corridors inside Lawang Sewu.
One of corridors at Lawang Sewu terrace.

After returning from Marina Beach, I immediately parted ways with Mr. Muchlis. He had to go back to Gresik firstly, using Argo Bromo Anggrek train. I headed to Baiturrahman Grand Mosque at Simpang Lima as a meeting point with Ezra. I quickly arrived there at 19:30 hours. some minutes waiting, Ezra arrived and we both performed Isha prayer together..

He told a lot about his job as a lecturer which allowed him to attend a conference in United States and then his backpacker instinct drove him to Canada. He had also visited Israel and Russia. Wow, crazy, even I’m far behind from all his experiences. As for me, that night told that at end year after meet with him, I would go to Penang, Ipoh, Dhaka, Mumbai, Colombo and Maldives.

Stairs to Lawang Sewu top floor.
Watching Lawang Sewu historical videos with local residents.
Photos of Lawang Sewu renovation activities.

Riding a blue motorbike, I was taken by him to go to Lawang Sewu on Pemuda Street. On the way there, Ezra explained a little stories that the building which we were going to was the former office of Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) during Dutch colonial era. When Dutch surrendered to Japan in 1942, this building became the most violent prison during Japanese occupation. After Indonesia gained independence, this building became the office of Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) or now known as PT Kereta Api Indonesia.

After arriving at our destination, Ezra deftly went to ticket counter to buying an entrance ticket. This time, he paid all ticket fees to entering Lawang Sewu. Because this tourist spot would close at 21:00 hours, so We only had thirty minutes to explore this tourist spot.

The yard inside Lawang Sewu building.
The other side of inner yard.
The elegance of European architecture in the shower of night lights.

But that short time didn’t made me rush, I was more concerned with discussing and telling stories about each other’s experiences. It was as if Lawang Sewu was only be the background for our conversation that night. I spent most of time for sitting in building terrace. Continued to talk and explained each our plan. I also hoped that two of us can backpack abroad together next time.

At exactly 21:00 hours, Ezra and I were forced to leave Lawang Sewu because its operating hours had ended. We moved to another crowd just across Lawang Sewu. Yups, Tugu Muda area was still full of visitors. Even some communities such as reptile lovers who came here to exhibit collections such as snakes, Cuvier’s Dwarf Caiman (mini crocodiles), iguanas and several other types of reptiles in the crowd. Some clowns also enlivened situation. That time became a night which full of impressions about Semarang.

My reunion with Ezra that night was closed by having dinner together at a restaurant with a chicken menu….Ayam Pak Supar Semarang. An impressive night that brings together two old friends with the same passion.

I and Ezra at Tugu Muda.