Forty Four Domes of the Domes Mosque

<—-Previous Story

I heard a faint sound of adzan calling me while I was walking around Souq Faleh. That was a moment that I’ve been waiting for. My imagination of praying in congregation with Qataris for the first time would come true soon. For that reason, I rushed down stairs to first floor and immediately left this modest shopping center. Goodbye Souq Faleh

A last photo before leaving an Abaya sales center.

Located 200 meters to southeast, it didn’t make me worry that Iqomah will overtake me. I slowly but surely treaded Al Ahmed Street, a one-lane two-way street with a parking lot lane to north.

Five minutes later I arrived. There were no signboards except for a light brown board with the lightning logo titled KAHRAMAA….Oh, that must be Qatar’s state electricity company. Very predictable.

Front gate.

The old mosque building looked more like a fort than a worship place. It was difficult to tell whether it was brown with faded white or white with brown plaque. But this combination gave it a classic and aged feel.

I slowly step in a short stairs in front of entrance gate and a moment later was greeted by mosque’s courtyard which was beyond my expectations, it wasn’t covered in luxurious ceramics, but left authentically covered with white desert sand.

Sandy yard.

The main building of mosque was to right of entrance gate, while a single minaret was to left, which combined with a room that didn’t know what its function. The main building itself had forty-four domes in an arrangement of eleven columns and four rows.

Domes Mosque’s single minaret with a room.

I kept looking for ablution room, I looked on every side of main court and never found it. I tried to wait for arrival of another congregation and follow him, because I believed that the first place he would look for was a place for ablution. It turned out that the ablution room was in the west of the building, hidden behind. Meanwhile, in the front left corner of courtyard, was a house of mosque’s imam (leader).

Ablution room.
Al Imam House.

Now I entered the main part of mosque to pray Dzuhur, along the entrance side of main building was made from clear glass so as to made the whole mosque visible from courtyard. The mosque, which was believed to have originated in the Middle Ages, was supported by 60 giant pillars. This shows the robustness of Domes Mosque.

The main pillars.

When viewed from above, Domes Mosque had a Letter-L shape with an area of ​​about one and a half hectares. Built on Old Doha area with Al Ahmad Street in the north, Al Jabr Street in the east, while the west and south sides were directly adjacent to Doha Metro Souq Waqif Station.

The room itself was quite neatly arranged with a green carpet with Air Conditioner. The Domes Mosque also implied the strength of Qatar by decorating the spearheads in each dome.

After Dzuhur congregational prayer was over, I finally exited from back door on Al Jabr Street side.

Then, I struggled a bit by walking to find a cheap but decent restaurant for lunch.

I found a small typical Indian restaurant, similar to “warteg (warung tegal)” in Indonesia. I ordered a portion of Indian style’s rice and chicken fry.

Restaurant or stall?

Next Story—->

Empat Puluh Empat Kubah Domes Mosque

<—-Kisah Sebelumnya

Kumandang suara adzan sayup memanggilku ketika sedang berkeliling Souq Faleh. Itulah saat yang kutunggu. Imajinasiku shalat berjama’ah dengan Qataris untuk pertama kali akan segera terwujud. Karena alasan itulah, aku bergegas menuruni tangga menuju lantai satu dan segera meninggalkan pusat perbelanjaan sederhana itu. Selamat tinggal Souq Faleh !

Foto terakhir sebelum meninggalkan pusat penjualan Abaya tersebut.

Terletak 200 meter di tenggara, tak membuatku khawatir tersalip Iqomah. Aku perlahan tapi pasti menapaki Al Ahmed Street, sebuah jalan satu jalur dua arah dengan lajur parking lot di utara.

Lima menit kemudian aku tiba. Tak ada papan nama apapun kecuali papan coklat muda berlogo petir bertajuk KAHRAMAA….Ah, itu pasti PLNnya Qatar. Sangat mudah ditebak.

Gerbang depan.

Bangunan masjid tua itu sekilas lebih mirip sebuah benteng daripada tempat peribadatan. Sulit membedakan apakah berwarna coklat meluntur putih atau putih terkotori plak berwarna coklat. Tetapi kombinasi itu memberikan nuansa klasik dan berumur.

Aku perlahan menaiki anak tangga berukuran pendek di depan pintu masuk dan sesaat kemudian disambut dengan halaman masjid yang di luar dugaanku, tak berlapis keramik mewah, tapi dibiarkan otentik berlapis pasir gurun berwarna putih.

Pelataran berpasir.

Bangunan utama masjid ada di kanan pintu masuk sedangkan minaret tunggal berada di kirinya yang berkombinasi dengan sebuah ruangan yang entah berfungsi sebagai apa. Bangunan utama sendiri memiliki empat puluh empat kubah dengan susunan sebelas kolom dan empat baris.

Minaret tunggal Domes Mosque beserta sebuah ruangan.

Aku terus mencari keberadaan tempat berwudhu, aku mecari di setiap sisi  pelataran utama dan tak pernah menemukannya. Aku mencoba menunggu kedatangan jama’ah lain dan mengikutinya, karena aku yakin tempat pertama yang akan dicarinya adalah tempat berwudhu. Ternyata ruang wudhu ada di bagian barat bangunan, tersembunyi di belakang. Sedangkan di pojok depan kiri pelataran, terletak rumah imam masjid.

Ruang berwudhu.
Al Imam House.

Kini aku memasuki bagian utama masjid untuk bershalat Dzuhur, sepanjang sisi masuk bangunan utama terbuat dari kaca bening sehingga membuat seisi masjid terlihat dari pelataran. Masjid yang dipercaya berasal dari abad pertengahan ini ditopang oleh 60 tiang raksasa. Hal ini menunjukkan kekokohan Domes Mosque.

Tiang-tiang utama.

Jika dilihat dari atas, Domes Mosque memiliki bentuk Letter-L dengan luas sekitar satu setengah hektar. Dibangun di atas kawasan Old Doha dengan batas Al Ahmad Street di bagian utara, Al Jabr Street di sisi timur, sedangkan sisi barat dan selatan berbatasan langsung dengan Stasiun Doha Metro Souq Waqif.

Ruangan dalam sendiri tertata cukup rapi dengan karpet hijau dengan siraman Air Conditioner. Domes Mosque juga menyiratkan kekuatan Qatar dengan penghiasan mata tombak di setiap kubahnya.

Setelah shalat berjama’ah selesai, akhirnya aku keluar dari pintu belakang di sisi Al Jabr Street.

Kemudian, aku sedikit berjuang keras dengan berjalan kaki untuk menemukan rumah makan murah tetapi layak dijadikan sebagai tempat makan siang.

Aku menemukan sebuah restoran kecil khas India, mirip dengan warteg di Indonesia. Kupesan seporsi nasi dan chicken fry ala India.

Restoran atau kedai ya?

Kisah Selanjutnya—->