
Samar aku melihat pemberhentian bus kota itu, tapi aku belum yakin benar apakah itu halte bus yang sedang kucari. Aku terus melangkah mendekatinya.
Aku tiba beberapa menit kemudian….
Halte bus itu berukuran tak telalu besar untuk standar ukuran halte bus bandara. Tak semegah halte bus DAMRI Soetta tentunya.
Setiba di halte, aku berhenti sejenak, mengamati segenap petunjuk yang bisa memberikanku informasi penting. Tapi tak kunjung menemukannya. “Aku harus mencari cara lain berburu informasi”, aku memutuskan cepat.
Hingga akhirnya aku melihat kehadiran sosok pemuda yang sedang menunggu bus di salah satu sisi halte, pemuda itu sedang sibuk dengan tab di tangannya.
“Ini bisa menjadi opsi terbaikku”, aku pun melangkah mendekati pemuda itu.
“Hello, brother. Will bus No. 67 pass this shelter?”, aku mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Oh, that’s right”, dia membuang tatapnya dari tab di tangannya.
“Oh, thank you for your information. Do I need a card or not to get on the bus?”, aku mengimbuhkan.
“There are two options. You can use a card like this (dia menunjukkan kartu berlangganan busnya) or you can pay on the bus”. Bahasa Inggris pemuda itu sangat fasih
“Oh Okay…I understand. How much for the fare?”, aku terus menyelidik.
“It’s really cheap, only 1,400 Som….By the way, where are you from?”, untuk pertama kalinya dia menyerobot sebuah pertanyaan.
“I’m Donny from Indonesia…. Did you just come home from work?”
“Call me Umid. I’m from Samarkand….Oh no, I’m a student at Tashkent University of Information Technologies.”, dia akhirnya memperkenalkan diri.
Pertemuan singkatku dengan Umid menjadi momen yang cukup berkesan karena aku beruntung menemukan seseorang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan banyak memberikan informasi yang berguna bagi eksplorasiku di Tashkent beberapa hari ke depan.
Umid memberikan informasi bahwa aku harus mencicipi “Palov” makanan khas mereka. Dia juga menjelaskan bahwa 97% penduduk Uzbekitan beragama muslim, jadi budaya Islam sangat kuat tercermin di setiap sendi kehidupan “Negeri Jalan Sutera” tersebut. Dia juga memberikan pernyataan yang menenangkan hati bahwa jalanan di Tashkent sangatlah aman ditelusuri walau malam telah tiba. Satu lagi, dia menyarankanku untuk menggunakan bus kota dan MRT saja untuk melakukan eksplorasi karena tarif kedua jenis transportasi itu sangatlah murah. Apalagi, seluruh penjuru kota Tashkent terhubung oleh dua moda transportasi tersebut.
Ah, satu lagi yang masih kuingat. Dia menyebutku sebagai lelaki pemberani dan suatu saat setelah dia mendapatkan pekerjaan pasca kuliah, dia akan mulai menjelajah dunia sepertiku…..Wah, tersanjung banget aku tuh….Wkwkwkwk.

“Beinnxxx…..Beinnxxx”, sebuah bus berukuran besar merapat di platform. Seorang kondekur laki-laki paruh baya melompat ke platform dan otomatis tersenyum lebar di depanku. Dia berbicara Bahasa Uzbek kepada Umid yang aku tak paham akan maknanya.
Maka aku yang penasaran, memulai melempar tanya kepada Umid.
“What he say about me?”
“He asked where you came from, I answered Indonesia. Then he said your national football team plays well in last Asian Cup Qualifiers”, pungkas Umid.
Pernyataan Umid itu langsung mengingatkan memoriku tentang kemenangan heroik Timnas Indonesia atas Kuwait dengan skor 2-1.
“Ahahaha, Umid….Tell him, My national team usually loses if against the Uzbekistan national team”
Akhirnya kami bertiga tertawa terbahak ketika Umid dengar cerdas dan cepat menjadi penerjemah percakapanku dengan seoramg kondektur bus yang baru datang.
Akhirnya, bus kota bernomor 47 yang ditunggu-tnuggu Umid tiba. Setelah berpamitan denganku akhirnya dia menaiki bus sarat penumpang itu.
Sementara aku masih penuh kesan menunggu kedatangan bus bernomor 67.
Berselang lima menit…..bus itu datang.
“Bu avtobus…*1).” Kondektur itu rupanya diberi tahu Umid mengenai nomor bus kota yang sedang aku tunggu sehingga kodektur itu mengetahui nomornya.
“Thank you, Sir”, aku membungkukkan badan dan beringsut meninggalkannya.
Aku melompat masuk dari pintu tengah ke dalam bus bernomor 67 yang langsam berhenti. Lalu duduk di salah satu bangku sisi tengah. Bus masih tampak kosong. Lima menit menaikkan penumpang seadanya untuk kemudian bus itu meluncur pergi meninggalkan Terminal 2, Islam Karimov Tashkent International Airport.
Bus menyusuri Jalan Bobur Ko’chasi menuju pusat kota.
Sambil menunggu penumpang lain naik. Aku bertanya kepada seorang penumpang pria tentang bagaimana cara membayar tarif bus kepada kondektur.
Maka terjadilah pecakapan terunik di dunia.
“How to pay the bus fare?”, aku menunjukkan selembar 5.000 Som.
“Ty*2)” Menujuk mukaku,
“Den’g*3)”, menunuk selembar uang 5.000 Som yang kupegang.
“Ona zhenshchina*4)”. Dia menunjuk ke kondektur wanita yang berdiri di bagian depan.
“Podoyti blizhe*5)‘” dia menggerakkan telapak tangannya dari depan ke belakang.
“Den’g”, menunjuk lagi uangku lalu berganti menunjuk ke kondektur itu.
Aku hanya terus tersenyum demi memahami setengah bahasa isyarat itu.
Okay….Sepertinya petualanganku sudah terselip sebuah permainan teka-teki. Aku menunduk, mengangguk-anggukkan kepala.
“Setidaknya 50 menit ke depan, aku akan aman di dalam bus kota yang kunaiki ini”, aku membatin dan senyumku tak terbendung.
Note:
Bu avtobus*1) = Itu bus
Ty*2) = Anda
Den’g*3) = Uang
Ona zhenshchina*4) = Perempuan itu
Podoyti blizhe*5) = Datang Mendekat
One thought on “Teka-Teki Bus No. 67 Tashkent”