• <—-Kisah Sebelumnya

    Meninggalkan Kotabumi.

    Lazim seperti biasanya….Sifat normal manusia….”Diam dikala kenyang”…..Bahasa halusnya…..”Habis makan bego”….Itulah kondisi singkat yang bisa digambarkan setelah bersarapan bubur ayam.

    Aku menginjak pelan pedal gas menelusuri Jalan Soekarno-Hatta yang mulai padat. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Mobil yang kukendarai mulai meninggalkan Kotabumi Selatan, melewati jalanan dua arah dengan satu ruas di setiap arahnya. Membelah hamparan ladang milik penduduk dan rumah-rumah warga yang berjarak satu sama lain, membuatku mampu melupakan sejenak suasana hiruk pikuk ibukota.

    Satu jam perjalanan berlalu….

    Aku tiba di keramaian Pasar Bukit Kemuning. Lalu dihadapkan pada Pertigaan Mekah yang apabila berbelok ke kanan maka arus kendaraan akan diarahkan ke Way Kanan. Karena hendak menuju Liwa maka aku harus membelokkan arah kendaraan ke kiri.

    Pasar Bukit Kemuning

    Kini aku memasuki ruas jalan baru, yaitu Jalan Lintas Liwa….Menuju Barat Daya….Ya, tujuan utamaku hari itu adalah Liwa.

    Sementara itu, pemandangan Gunung Pesagi membuat perjalanan menelusuri Jalan Lintas Liwa menjadi tidak membosankan. Gunung Pesagi sendiri terletak di daeran Balalau, Lampung Barat. Gunung itu nampak indah walaupun jaraknya hampir seratus kilometer dari tempatku melihat.

    Beberapa menit kemudian, aku melintasi area Perkebunan Kopi Tanjung Baru yang ditandai dengan lintasan jalan yang berkelok-kelok. Aku tahu bahwa di sebalik perkebunan itu tersimpan keindahan Air Terjun Beringin, tapi tentu aku tak bisa mengunjunginya karena keterbatasan waktu.

    Jalan Lintas Liwa

    Beberapa saat kemudian aku meninggalkan daerah Bukit Kemuning untuk kemudian memasuki kawasan Sumber Jaya melalui Monumen Soekarno. Ketika aku bertanya kepada Kak Yusril yang menemani perjalananku siang itu tentang kenapa patung Ir. Soekarno dibangun di Pekon Sukapura, maka Kak Yusril hanya menjawab singkat…..”Ya, karena Pak Soekarno pernah datang ke daerah ini pada satu dekade awal kemerdekaan”.

    Demikianlah kenyataannya bahwa Sang Presiden pernah memberikan perintah melalui Badan Rekonstruksi Nasional untuk menjalankan program transmigrasi bagi para veteran pejuang demi menata ulang kehidupan mereka setelah perang kemerdekaan.

    Perjalanan terus berlanjut…..

    Kini aku melewati tengara besar yang terletak di ketinggian. Adalah Tugu Bumi Sekala Bekhak yang dipugar di kawasan puncaknya Lampung Barat. Bumi Sekala Bekhak itu sendiri merupakan sebutan lain untuk Kabupaten Lampung Barat. Di masa lalu, Sekala Bekhak adalah nama sebuah Kerajaan lokal yang masyarakatnya menjadi nenek moyang warga Lampung.

    Kak Deni, teman kedua yang menemaniku dalam perjalanan ini menawarkan untuk mampir di tugu tersebut, tetapi aku menolaknya karena kurasa tujuan utama perjalanan ini adalah Liwa dan waktu yang kami miliki sangatlah terbatas. Akhirnya kami memutuskan untuk terus saja melanjutkan perjalanan.

    Perjalanan selanjutnya menjadi sangat menyenangkan, karena kendaraan yang kunaiki benar-benar menjelajah ketinggian. Pemandangan Sumber Jaya terlihat sangat elok dinikmati.

    Namun tetiba Kak Yusril menyampaikan sebuah tawaran yang tak bisa kutolak. “Bagaimana kalau kita mampir ke Sekolah Kopi?”, demikian ucapnya.

    Wah, kalau masalah kopi, aku tak akan pernah menolak Kak Yus?”, aku menjawab cepat. “Ngomong-ngomong apa itu Sekolah Kopi, Kak Yus?”, aku menambahkan pertanyaan.

    Itu kedai kopi yang dimiliki oleh Pemda Lampung Barat,Kak. Tetapi uniknya pengunjung bisa langsung mengunjungi kebun kopi dan belajar bagaimana membuat secangkir kopi dari biji kopi yang dipetik di kebun”, begitu penjelasan singkat Kak Yusril.

    Ah, tanpa pikir panjang, aku mengiyakan ajakan itu. Maka meluncurlah mobil sewaan menuju Sekolah Kopi.

    Tak susah untuk menemukan Sekolah Kopi. Aku melihatnya di sebelah kanan jalan, sedikti terletak di ketinggian. Maka mobil sewaan pun harus menanjak demi mencapainya.

    Aku pun tiba…..

    Menghentikan mobil di tempat parkir, maka selain melihat bangunan coffee shop, aku juga melihat keberadaan food court yang cukup luas. Tetapi aku melihatnya masih sepi. Kulihat jam tanganku masih menunjukkan pukul sebelas siang. Aku pun tergelitik dan akhirnya memberanikan diri bertanya kepada seorang petugas parkir.

    Daerah Sumber Jaya dilihat dari Sekolah Kopi.
    Sekolah Kopi mengandalkan biji kopi yang ditanam sendiri.
    Sekolah Kopi.

    Pak, coffee shopnya sudah buka?

    Oh, belum Mas. Nanti buka jam satu siang

    Oalah belum buka ya, Pak?….Tutupnya jam berapa, Pak?

    Jam delapan malam, Mas

    Wah, Saya mau ke Liwa pak.  Mungkin saya ke sini nanti saja ya pak, saat balik dari Liwa

    Nah begitu juga bisa mas. Mendingan ke Liwa dulu sebelum kesorean sampai sana”.

    Baik, makasih, Pak

    Sama-sama, Mas

    Maka aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Sekolah Kopi.

    Tanpa pikir panjang aku segera bergegas untuk mencapi Liwa secepat mungkin.

  • Kamis pagi bertepatan dengan perayaan Hari Buruh Internasional……Langit tampak cerah, tak ada mendung seperti hari-hari sebelumnya.

    Hari itu harusnya aku menikmati libur di rumah. Tapi aku tak segera meninggalkan “Kota Tapis Berseri” usai menjalankan tugas kantor. Aku urung pulang ke ibukota, tetapi memilih untuk mengajak dua sahabat akamsi (anak kampung sini) yang bekerja sekantor denganku untuk menjelajah Lampung.

    Kamar 102 yang kuinapi di Hotel De Green.

    Aku bersiap lebih pagi, bergegas mandi selepas Shalat Subuh, lantas menyantap Nasi Berkat yang aku dapatkan dari acara Yasinan 100 hari meninggalnya kakak sahabat di bilangan Way Halim pada malam sebelumnya. Aku sadar diri karena tak akan sempat menyantap sarapan yang disediakan hotel.

    Usai bersarapan dan setelah lima belas menit menunggu di lobby hotel, tepat pukul setengah tujuh, aku dijemput menggunakan All New Avanza sewaan oleh dua temanku. Mereka mendapatkan mobil sewaan itu dari kerabat salah satu temanku hanya dengan tarif sewa tiga ratus ribu per hari di luar bensin yang nantinya harus kami bayar secara patungan di sepanjang perjalanan.

    Aku benar-benar siap meninggalkan Hotel De Green yang berada di bilangan Jalan Jenderal Suprapto, “Ini mobil masih baru, tak boleh ada lecet sedikitpun, aku yang harus pegang kemudi”, aku membatin tak percaya pada kemampuan menyetir kedua temanku sendiri. Kedua teman sejawat kuperintahkan untuk memandu jalan dan duduk manis saja di sepanjang perjalanan.

    Avanza sewaan meluncur cepat meninggalkan pusat kota. Hanya dalam setengah jam, injakan pedal gas mengantarkan kami memasuki Gerbang Tol ITERA Kotabaru. Nama “ITERA” merujuk pada kampus negeri Institut Teknologi Sumatera yang terletak persis di dekat gerbang tol. Memasuki gerbang tol, kami terus merangsek menelusuri tol Trans Sumatera demi menggapai Gerbang Tol Terbanggi Besar.

    Keluar Gerbang Tol Terbanggi Besar.

    Suasana di dalam tol sangat lengang pagi itu. Dalam waktu empat puluh lima menit, kami pun berhasil keluar melalui Gerbang Tol Terbanggi Besar. Membayar tarif tol dengan e-tol card sebesar Rp. 83.500, selanjutnya perjalanan kami teruskan melalui jalur non-tol, yaitu Jalan Lintas Sumatera.

    Kotabumi, Stop Point Pertama….

    Aku sedikit menurunkan kecepatan mobil begitu memasuki Jalan Lintas Sumatera, jalan utama dua arah dengan satu ruas jalur di setiap arahnya. Pemandangan kiri kanan jalanan didominasi oleh barisan menghijau pepohonan yang membuat perjalanan tidak cepat membosankan.

    Selama lima belas menit lamanya, aku mengendalikan kecepatan mobil di sepanjang ruas jalanan yang terletak di Kecamatan Terbanggi Besar dan Way Pangubuan yang keduanya berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Tengah.

    Suasana jalanan di Kec. Terbanggi Besar.
    Gerbang Perbatasan Kab. Lampung Tengah-Lampung Utara.

    Di ruas jalan tersebut, lalu lalang kendaraan truk besar berjenis Hino 500 Series yang ukurannya hampir memenuhi satu ruas jalan dan juga medium bus berukuran ¾ yang melaju sangat cepat dari arah berlawanan membuat fokusku tetap terjaga.

    Tepat pukul 08:15, aku mencapai Gerbang Perbatasan antara Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Lampung Utara.

    Melintasi gerbang perbatasan itu, maka secara otomatis aku telah memasuki Kabupaten Lampung Utara melalui daerah Blambangan Pagar. Di daerah ini hamparan persawahan yang berpadu dengan permukiman warga masih sangat mudah ditemukan.

    Setelah sekian lama mengendara mobil dalam senyap, akhirnya satu keramaian aku temukan di Pasar Candimas yang terletak di daerah Abung Selatan. Perpaduan keramaian pasar tradisional, aktivitas minimarket modern dan kios-kios perniagaan sangat kental terasa ketika aku melewati kawasan ini.

    Persawahan dan pemukiman penduduk di Kec. Blambangan Pagar.
    Daerah di sekitar Pasar Candimas.

    Tetapi selalu saja, dalam sebuah perjalanan rame-rame selalu aja ada kekonyolan di balik kesenangan. “Edannn, indikator bensinya kedap-kedip….Hahaha”, aku tertawa terhenyak. Berharap segera bisa menemukan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) sebelum kami mendorong mobil sewaan di jalanan.

    Setelah sekian lama ber-spot jantung akhirnya kami menemukan SPBU di daerah Kotabumi Selatan. Sudah bersenang hati menemukan SPBU, kami mendapatkan masalah berikutnya, SPBU tidak bisa menerima pembayaran dengan Debt Card karena sistem pembayaran SPBU sedang offline. Untuk mengatasi permasalahan ini maka kami berinisiatif berpatungan dengan uang recehan untuk membeli Pertalite. Sontak mbak-mbak yang bertugas sebagai operator SPBU menahan tawa dengan tangannya melihat kelakuan kami menghitung uang recehan kertas dan koin di depannya. Akhirnya terkumpul uang sebesar Rp. 72.500 untuk membeli Pertalite darurat.

    Drama tegang dan konyol kami lalui dengan tawa terbahak, kami berhasil melanjutkan perjalanan kembali. Kali ini tujuan kami tentu simple, yaitu mencari ATM BCA untuk menarik uang tunai.

    Ternyata susah sekali mendapatkan ATM BCA. Hingga salah satu temanku memberikan informasi. “Bro, ada ATM BCA di Rumah Sakit Handayani. Aku dulu waktu kerja jadi Medical Representative pernah ambil uang di sana”.  Maka tanpa pikir panjang, aku menginjak pedal gas lebih kencang menuju ke sana, aku sudah tidak perlu berkedara pelan sembari celingukan ke kiri dan ke kanan demi mencari keberadaan ATM BCA.

    Patung Letjen. Alamsyah Ratu Prawiranegara, tokoh militer asli Kotabumi.
    Melalui Tugu Payan Mas.
    Mencari ATM BCA di RS Handayani.

    Sekitaran jam 8:40, aku berhasil mencapai pusat kota Kotabumi yang merupakan ibukota Kabupaten Lampung Utara. Aku juga melewati landmark utama Kotabumi, yaitu Tugu Payan Mas. Tugu ini berwujud tombak berwarna emas dengan sembilan Payan (perisai). Sembilan Payan merujuk pada jumlah total sembilan marga yang berada di Kabupaten Lampung Utara yaitu Campang Gijul, Nyapah Banyu, Ogan Campang, Ogan Jaya, Pekurun, Pekurun Tengah, Pekurun Udik, Sinar Gunung, dan Sumber Tani. Marga yang dimaksudkan di sini adalah wilayah besar yang terdiri dari beberapa desa.

    Tak begitu lama dari tugu terebut, akhirnya kami tiba di Rumah Sakit Handayani. Mengambil parkir di pinggiran jalan aku pun bersiap mengisi kembali dompet dengan uang cash dan membiarkan kedua temanku berburu bubur ayam untuk memenuhi sarapan paginya….

    Selamat datang Kotabumi, persinggahan singkat pertama perjalanan kami.

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Menjelang jam empat sore…..

    Aku tiba di halaman depan Museum Pusat Negara.  Aku sendiri tak segera bergegas memasuki museum meskipun udara dingin di luar semakin mengintimidasi. Aku lebih sibuk memilih tempat berdiri terbaik demi mengabadikan perwujudan bangunan museum yang telah berusia 39 tahun itu.

    Sekilas pandang, bangunan itu tampak tinggi menjulang dan kokoh karena ketebalan temboknya. Sementara itu, tepat di depannya terdapat sebuah plaza nan luas berhiaskan pot-pot beton berukuran besar yang disusun memanjang dan berjeda mengikuti kontur plaza yang menghubungkan museum dengan Furmanov Avenue. Sayangnya pot-pot beton itu memutih berselimutkan salju sehingga keindahan bunga-bunga taman tak bisa dinikmati mata telanjang.

    Lima menit berselang…..

    Aku memutuskan untuk memasuki museum. “Masih ada waktu 3 jam untuk mengeksplorasi seisi museum”, aku bergumam dalam hati.

    Aku pun melangkah menuju pintu masuk museum….

    aku membaca tulisan besar itu di atas gerbang masuk yang disusun dari empat lembar daun pintu berukuran besar dengan ukiran khas dan memiliki satu daun pintu yang terbuat dari kaca berada tepat di tengahnya.

    Ketika memasuki gerbang, aku sedikit terkaget, karena di sebalik pintu masih terdapat pintu lagi. Jadilah aku berada di ruang jeda antar dua sisi pintu. Hanya satu kesan yang kudapatkan di ruangan jeda itu, yaitu kehangatan suhu ruangannya.

    Usai menghangatkan badan sejenak, aku bergegas membuka daun pintu sisi dalam untuk memasuki museum. Berhasil melewati pintu maka aku berinisiatif mencari keberadaan loket penjualan tiket untuk mendapatkan tiket masuk.

    Berhasil mendapatkan tiket seharga 500 Tenge, aku diarahkan untuk menghadap ke seorang lelaki paruh baya yang bertugas sebagai security museum. Berdiri dihadapannya, dia bertanya kepadaku, “Where are you come from, boy?”. Senyum tipisnya membuat suasana menjadi hangat sore itu.

    Indonesia, Sir”, aku menyambut senyumnya. “Do you come alone to Kazakhstan?”, dia kembali melontarkan pertanyaan ringan. “Absolutely, yes Sir”, dengan cepat aku menjawab.

    How about Kazakhstan? How about Almaty, boy? Is it nice?”, dia tertawa ringan sembari menyapukan metal detector untuk memeriksaku. 

    Nice food, nice culture, nice people, aku menutup percakapan dengan tertawa ringan.

    Usai pemeriksaan, aku pun mulai menelusuri lorong-lorong di museum. Layout museum membuat setiap pengunjung dipastikan memasuki Paleontology Hall sebagai ruangan pertama yang harus dikunjungi.

    Tak pelak, di lorong itu, aku berhadapan dengan koleksi museum yang sebagian besar terkait dengan fosil dari kehidupan zaman purba.

    Di hall ini, aku benar-benar bisa menikmati temuan tulang-tulang mamalia purba dari Era Mesozoikum (beberapa khalayak menyebutnya Era Dinosaurus atau Era Reptil yang berlangsung dari 252 juta hingga 66 juta tahun yang lalu). Tulang-tulang mamalia purba yang hidup laut, darat dan udara terpampang di lorong ini.

    Tiba diujung Paleontology HallI, aku diarahkan oleh staff wanita yang duduk di sebuah kursi hall untuk naik ke lantai dua menuju Archeology Hall.

    Di Archeology Hall, aku menikmati beberapa peninggalan budaya berupa maket mausoleum (monumen pemakaman) beberapa tokoh terkenal Kazakhstan seperti Khoja Akhmed Yassawi (penyair ulung Kazakhstan), Joshy Khan (Putra tertua Genghis Khan), dan Alasha Khan (Pemimpin terkenal Bangsa Kazakhstan).

    Fosil mammoth yang ditemukan di Kazakhstan.
    Mausoleum Khoja Akhmed Yassawi.
    Pasukan Kekaisaran Khwarezmian menghadapi invasi Genghis Khan
    Pemukiman Bangsa Kazakhstan pada Zaman Perunggu.
    Penampakan lantai 2 museum.
    Souvenir Hall.

    Di sudut lain tampak terpajang Atlas Catalonia, peta dunia yang dibuat pada Abad Pertengahan. Peta ini dibuat atas pesanan King Juan I, raja Kastila yang memerintah Semenanjung Iberia.

    Juga tampak benda bernama Paiza yang merupakan prasasti yang dikeluarkan kerajaan-kerajaan zaman dahulu untuk diberikan kepada seseorang pejabat yang memiliki hak-hak tertentu untuk memerintah.

    Sedangkan lukisan beberapa garmen khas suku Kimak dan Karluk yang merupakan suku besar di Kazakhstan dari akhir Abad ke-9 menghiasi beberapa sisi dinding museum.

    Romantisme perjuangan masa lalu Bangsa Kazakhstan juga tergambar sempurna pada diorama perlawanan pasukan Kekaisaran Khwarezmian yang dipimpin oleh Alauddin Muhammad II  dalam menghadang invasi 150.000 pasukan Genghis Khan. Seperti yang tercatat di dalam sejarah bahwa dalam peperangan ini ibukota kekaisaran, Kota Urgench jatuh ke tangan pasukan Mongol pada tahun 1221.

    Di satu sudut museum, aku juga menemukan maket pemukiman Bangsa Kazakhstan pada Zaman Perunggu.

    Tetapi sungguh sayang…..

    Baru juga menikmati pesona museum selama 45 menit, tiba-tiba seorang petugas museum menghampiriku dan mengatakan bahwa museum akan segera ditutup beberapa menit lagi.

    Hmmm….mereka akan menutup museum satu jam lebih cepat dari jadwal seharusnya”, aku bergumam sedikit kesal.

    Maka aku pun bergegas turun ke lantai satu untuk meninggalkan museum, tetapi floor plan museum telah diatur sedemikian rupa, sehingga semua pengunjung yang hendak keluar dari museum harus melewati area souvenir. Tak hayal, tak sedikit dari penjunjung akhirnya berbelanja souvenir di museum tersebut.

    Aku sendiri yang tak berminat dan tak memiliki budget untuk membeli souvenir, akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan museum. Aku harus bergegas menuju penginapan sebelum hari beranjak gelap.

    Petualangan di museum itu pun usai….

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Bagian dalam kereta Metro Almaty.

    Aku sudah berada di line tunggal Metro Almaty. Line tunggal ini diberi nama Alatau Line oleh pemerintah setempat. “Alatau” sendiri bermakna “Pegunungan”, itu karena di kota Alamaty terdapat Gunung Alatau.

    Di dalam MRT, aku menikmati design interior gerbong kereta buatan Korea Selatan yang dominan berwarna biru.  Kereta yang kunaiki itu tampak keren, berwarna abu- abu di bagian luarnya dengan kelir biru.

    Dalam 17 menit……

    Aku tiba di Abay Station, jarak stasiun ini hanya berjeda dua stasiun dari Zhibek Zholy Station. Penamaan stasiun itu sendiri didedikasikan untuk tokoh nasional bernama Abay Kunanbayev, seorang sastrawan yang mempelopori bergulirnya era sastra Kazakhtan modern.

    Turun dari gerbong kereta, sejenak aku menyempatkan waktu berjalan di sepanjang ruang tunggu Abay Station. Sepintas lalu, ruangan stasiun tampak dominan dengan sudut-sudut arsitektur berbentuk persegi. Focal point dari ruang tunggu stasiun itu berada di ujung dinding. Relief cerita tentang sang tokoh Abay Kunanbayev terpampang megah di dinding itu.

    Ruang tunggu Abay Station.
    Relief tentang Abay Kunanbayev.

    Aku berdiri lama menatapnya di bawah dinding, lalu menggenapi kepuasan dalam menikmati seisi ruang tunggu, untuk kemudian meninggalkannya melalui sebuah koridor panjang dan berlanjut dengan menaiki escalator yang menanjak tajam hingga menemukan lobby utama stasiun yang merupakan akses terakhir menuju ke jalan utama.

    Adalah Abay Avenue yang menjadi jalan arteri di depan stasiun. Maka melalui jalanan sisi selatan, aku bergegas menuju ke bagian plaza stasiun.

    Suhu mencapai -9 derajat Celcius …..

    Sebagian besar area plaza berselimut salju. Maka aku sekejap teringat dengan Direct Message Instagram dari salah satu sahabat. Panggilan kesayangan dariku untuknya adalah “Teh Uchi”, travel blogger asal Medan yang memiliki mimpi untuk melihat salju di habitat aslinya. Maka dia menitip kepadaku untuk menuliskan harapannya di atas salju kota Almaty. Maka aku pun segera menuliskan harapan itu di segenggam salju yang aku ambil dari salah satu sudut plaza Abay Station.

    Pada akhirnya, suhu yang teramat dingin memaksaku untuk bergegas menuju ke destinasi berikutnya. Destinasi ini berlokasi satu setengah kilometer dari Abay Station. Aku melangkah menuju selatan, melewati jalur pedestrian di sepanjang Furminov Avenue demi menujunya.

    Resolusi hidup dari teteh Uchie, si empunya https://trisuci.com/
    Plaza Abay Station.
    Perempatan Satpaev Street dan Furmanov Avenue.

    Dalam dua puluh menit…..

    Dari Furmanov Avenue, aku menikung di jalanan kecil yang kuperhatian dengan seksama tampak mengelilingi bangunan besar yang difungsikan sebagai Central State Museum of The Republic of Kazakhstan. Jalan setapak itu tampak licin karena lapisan tipis salju yang mengeras di atasnya. Tampak beberapa lembar seng dipasang sebagai pembatas antara jalan setapak itu dengan area halaman samping museum.

    Central State Museum of The Republic of Kazakhstan tampak dari sisi samping utara.

    Tak ada pintu masuk di sisi ini”, aku membatin.

    Aku melihat ada beberapa turis Eropa tampak mendekat ke salah satu pintu besar di halaman samping museum.

    Did you find an entrance gate there?”, aku berteriak dari sisi jalan kepada mereka.

    No….No entrance here”, salah satu dari mereka menimpali.

    Maka aku mengurungkan niat dalam melangkah menuju pintu itu. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak ke arah timur bangunan besar tersebut. Lalu di ujung timur, aku menemukan kerumunan turis yang sedang berjalan sembari bercanda menuju sebuah pintu besar.

    Oh, itu pasti pintu masuknya”, aku menyimpulkan dan dengan sangat yakin telah berhasil menemukan pintu masuk musem.

    Nah, ada apa di dalam museum?…..

    Tunggu di artikel selanjutnya ya, kak….

    Kisah Selanjutnya—>>>

  • <—-Kisah Selanjutnya

    Aku memperhatikan tingkah seekor anjing jenis husky terduduk manis memperhatikan sekumpulan merpati gendut nan jinak, dua jenis satwa itu tampak akur seolah mereka telah berteman sejak lama di dalam taman.

    Selepas puas mengunjungi Zenkov Cathedral, aku memutuskan untuk meninggalkan 28 Panfilov Guardsmen Park melalui pintu sisi utara di bilangan Gogol Street. Aku menuju barat menelusuri jalan itu, menikmati suasana sekitar ditengah terpaan suhu dingin yang tak kunjung menghangat walau telah lama diterpa sinar matahari.

    Pukul setengah tiga sore….

    Hamparan salju di sepanjang saluran irigasi pedestrian dan gedung-gedung berbentuk persegi dengan lima hingga tujuh lantai menghampar di sepanjang jalan. Jalanan pun mulai ramai dengan kehadiran warga Almaty yang sedang  beraktivitas.

    Aku akhirnya tiba di depan Stasiun MRT Zhibek Zholy setelah berjalan selama lima belas menit. Sekilas tampak muka bahwa bangunan stasiun ini mirip bangunan perkantoran. Gedung stasiun itu tampak elegan dengan kemiringan dinding kacanya. Cukup mudah bagiku untuk memahami bahwa bangunan itu adalah stasiun MRT karena aku selalu menghafal kata “бекеті” yang bermakna “stasiun” dalam Bahasa Russia.

    Perempatan Gogol Street dan Furmanov Avenue 100 meter di timur Stasiun Zhibek Zholy.
    Stasiun Zhibek Zholy tampak muka.

    Tanpa ragu aku memasuki bangunan stasiun. Desain interior stasiun tampak modern walau stasiun ini baru selesai dibangun empat belas tahun lalu. Sementara itu di tengah ruangan didominasi dengan keberadaan stand coffee shop berukuran besar.

    Aku sengaja berdiam diri di ruangan itu untuk menghangatkan badan. Berjalan lima belas menit saja di jalanan Almaty bisa membuat jari tangan membeku. Aku berdiri di sudut ruangan stasiun sembari memperhatikan warga Almaty yang lalu lalang keluar masuk stasiun.

    Setidaknya stasiun di Almaty lebih kedap dari dinginnya suhu di luar dibandingkan dengan lobby stasiun-stasiun MRT di Tashkent yang kebanyakan masih terpapar udara luar nan dingin yang masuk melalui pintu yang tak tertutup rapat..

    Usai kondisi tubuh telah menghangat, maka aku memutuskan untuk turun ke lantai bawah melalui tangga regular untuk berburu token Metro Almaty.

    Aku menemukan beberapa ticket vending machine di lantai bawah, tapi tak satupun dari mesin-mesin itu aku mampu mendapatkan sebuah token untuk menaiki Metro Almaty. Maka aku coba berdiri di sudut ruangan, memperhatikan bagaimana warga lokal mendapatkan token untuk menaiki MRT.

    Kulihat kebanyakan dari mereka menggunakan monthly pass dan dengan mudah mereka melakukan tapping di ticket gate. Beruntung ada seorang ibu paruh baya yang tampak menuju sebuah loket, menyerahkan sejumlah uang ke petugas di loket lalu mendapatkan sebuah token warna kuning beserta struk pembayarannya.

    Oh, bisa tunai ternyata”, aku membatin.

    Akhirnya aku berjalan menuju loket yang sama dan membeli satu token MRT seharga 120 Tenge. Usai mudah mendapatkannya maka aku pun bergegas menuju ticket gate.

    Aku menuruni escalator yang tajam nan panjang demi menggapai platform kereta. Tiba di ujung bawah escalator, aku berlanjut menyusuri koridor panjang beralas marmer abu-abu dengan langit-langit berbentuk cekung. Maka tiga menit kemudian aku tiba tepat di platform kereta. Jalur kereta itu tak berpelindung dengan partisi, melainkan dibiarkan terbuka dengan garis pembatas tunggu penumpang. Hanya saja ruang tunggu dan platform kereta dipisahkan oleh tembok dengan lubang-lubang pintu berbentuk setengah oval.

    Lantai teratas Stasiun Zhibek Zholy.
    Token kuning Metro Almaty.
    Ruangan tunggu Stasiun Zhibek Zholy.
    Platform Stasiun Zhibek Zholy.

    Desain stasiun yang sangat menarik”, aku bergumam dalam hati. Sementara itu di sisi tengah ruang tunggu tersedia bangku-bangku duduk berbahan beton. Aku tampak asyik memperhatikan seorang bapak setengah baya beserta anak perempuannya yang duduk di salah satu bangku menunggu kedatangan kereta.

    Aku terus berjalan mengeksplorasi seisi rungan hingga tepat berada di ujung platform. Di dinding ruangan tampak relief benda dan binatang yang berhubungan dengan aktivitas tempo dulu di Jalur Sutera. Tentu hal ini tak lepas dari nama stasiun itu sendiri “Zhibek Zoly” yang bermakna sebagai “Jalur Sutera”. Hal ini menunjukkan bahwa Almaty berada di salah satu titik dari Jalur Sutera.

    Sepuluh menit menunggu, akhirnya kereta tiba dan aku menaikinya dari gerbong tengah.

    Kemanakah langkahku selanjutnya?

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Beranjak meninggalkan toilet container, wajahku tertunduk menahan dinginnya udara Almaty. Tetapi langkahku terhenti ketika tetiba memandang keberadaan beberapa keping koin Tenge yang kuperkirakan terjatuh dari saku pemiliknya. Koin itu tersebar di sepanjang jalur pedestrian di dalam 28 Panfilov Guardsmen Park. Maka tanpa pikir panjang, aku pun bergegas memunguti keping-keping Tenge logam itu dan memasukkan ke dalam salah satu kantong saku winter jacketku. “Lumayan untuk membayar toilet nanti-nanti”, gumamku sembari meyeringai.

    Seusainya, aku melanjutkan diri untuk berjalan menelusuri jalur pedestrian hingga menemukan sebidang area lapang yang dipenuhi oleh sekawanan merpati. Tampak sekelompok wisatawan lokal dengan riangnya memberi makan merpati-merpati itu. Aku berkali-kali menyunggingkan ujung bibir, melihat sekumpulan merpati yang gemuk, jinak dan berjalan lamban, seakan mereka baru keluar dari sarang hibernasinya. Mereka tampak lahap sekali menyantap butiran pelet yang ditebarkan para wisatawan. Para wisatawan itu mendapatkan pelet merpati dari para pedagang pakan burung yang ada di sekitar taman.

    Di sisi lain taman, dua pemuda tampak sibuk menyewakan seekor kuda besar dan seekor kuda poni yang diantri oleh anak-anak kecil untuk menungganginya. Anak-anak tampak antusias mengantri didampingi orang tuanya.

    Sementara di sisi lain lagi, kereta kuda dengan karavan berbentuk tabung kaca tampak menjadi atraksi lain di dalam taman. Sang kusir sengaja mengenakan seragam santa karena momennya memang sedang bertepatan dengan nuansa natal. Melihat karavan berkuda di tengah taman bersalju seakan menjadi mimpi masa kecil yang ingin melihat adegan semacam itu dengan mata kepala sendiri. Di masa lalu, aku hanya sanggup melihat suasana yang demikian di film-film natal yang hanya diputar di layar kaca.

    Bak merpati hibernasi.
    Wisata menunggang kuda poni.
    Sinterkas dan keretanya.

    Dan pemandangan terbaik di taman itu adalah sebuah gereja katedral. Dinamai dengan sebutan Zenkov Cathedral, gereja yang kusambangi merupakan Katedral Ortodoks khas Russia yang telah berusia hampir 120 tahun dan menjadi bangunan kayu tertinggi nomor 27 di dunia.

    Aku mulai menikmati keindahan katedral dari halaman depannya. Aku sendiri ragu untuk memasuki bagian dalamnya, ada kekhawatiran akan larangan masuk bagi warga non Nasrani. Aku mengamati dengan seksama beberapa warga Nasrani yang berdoa di depan katedral sebelum memasuki bagian dalamnya. Aku sepenuhnya paham bahwa 26 persen dari keseluruhan populasi Kazakhstan adalah umat Nasrani.

    Aku yang tak mau rugi karena telah membiayai diri dalam melanglang jauh ke negeri seberang, akhirnya memutuskan untuk berani memasuki bagian dalam kathedral. Aku melihat tanda larangan mengambil gambar, maka aku pun sigap memasukkan kamera ke dalam folding bag dan duduk khusyu’ di salah satu bangku katedral demi menikmati keindahan katedral tersebut.

    Zenkov Cathedral.

    Aku sangat mengagumi keindahan interior di dalam gereja lima kubah itu, lukisan para Santo (Saint) menghiasi dinding katedral. Sementara itu desain dekoratif fretworks semakin menyematkan budaya tinggi bangsa Kazhakstan dalam mendesain rumah-rumah ibadah warganya.

    Usai puas menikmati keindahan Zenkov Cathedral, maka aku memutuskan untuk segera meninggalkan katedral yang indah itu demi mengunjungi destinasi lainnya.

    Menjelang pukul dua siang, aku kembali melangkah ke arah timur menuju Stasiun MRT Zhibek Zholy untuk menuju suatu tempat menarik.

    Kemanakah tujuanku berikutnya?

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Hai, kalian pernah menonton kisah nyata pada film Panfilov’s 28 Men?

    Aku spill dikit ya ceritanya….

    Film ini mengisahkan perjuangan 28 serdadu Tentara Merah Russia dari Divisi Rifle 316 yang secara patriotik menghadang serbuan pasukan panser Jerman yang hendak menuju Moscow. Pencegatan ini dilakukan di daerah Volokolamsk, lokasi yang berjarak 130 km di Barat Laut Moscow.

    Mengapa aku menyampaikan perihal perang ini kepada kalian?

    Karena destinasi berikutnya yang akan aku sambangi di Almaty adalah sebuah taman kota yang didedikasikan untuk perjuangan 28 serdadu ini. Nama taman ini adalah 28 Panfilov Guardsmen Park.

    Singkat cerita….

    Aku melangkah menelusuri 7 Dostyk Avenue. Dostyk bermakna friendship (persahabatan) yang merujuk pada persahabatan antara Russia dan Kazakhstan. Jalan sepanjang dua ratus meter itu adalah penghubung utama antara Green Bazaar dan 28 Panfilov Guardsmen Park.

    Dengan berjalan kaki, aku hanya perlu waktu sepuluh menit untuk tiba di taman itu.

    Sebelum memasuki taman. Apakah kamu tahu mengapa 28 Panfilov Guardsmen ini populer di Kazakhstan?

    Jawabannya tak lain karena anggota Divisi Rifle 316 ini adalah pasukan Uni Soviet yang direkrut dari para pemuda Kazakhstan. Sedangkan Panvilov adalah nama pemimpin mereka, yaitu Mayor Jenderal Ivan Panvilov

    Kemudian, aku mulai memasuki taman dari gerbang utara. Berjalan perlahan melalui jalur lebar berdasar paving block yang panjang berliku membelah hamparan salju yang menutupi seluruh taman.

    Sementara itu, matahari siang menjadi satu-satunya sumber penghangat yang terus kucari ketika badan mulai kewalahan dan menggigil menghadapi terpaan suhu dingin yang tetap saja menembus tebalnya berlapis-lapis baju yang kukenakan.

    Aku terus menguatkan diri untuk tetap mampu mengeksplorasi seisi taman. Tampak salju menutupi hampir seluruh luasan taman yang mencapai 18 hektar. Satu persatu spot mulai kuperhatikan dengan seksama:

    Yuk, kuperlihatkan ada monumen apa saja di taman ini:

    Naval Altilery yang biasanya dipasang di kapal perang. (di gerbang utara taman).
    Monumen untuk mengenang salah satu anggota pasukan 28 Panfilov yaitu Konkin Grigory Efimovich yang gugur di usia muda yaitu 30 tahun.

    Lalu siapa sesungguhnya Konkin Grigory Efimovich?

    Konkin Grigory Efimovich adalah seorang penembak jitu asal Kazakhstan yang ikut serta dalam Great Patriotic War yang kemudian gugur dan dinobatkan sebagai Pahlawan Uni Soviet

    Sculpture Bauyrzhan Momyshuly, seorang perwira militer dari Kazakhstan yang dianugerahi gelar Pahlawan Uni Soviet. Dialah salah satu perwira pasukan Panfilov.

    Satu hal yang menarik dalam eksplorasi ini adalah, inilah kali pertama aku menemukan toilet umum di Almaty yang pada nantinya fasilitas ini sangat susah ditemukan di stasiun MRT atau tempat umum lainnya. Toilet ini dijaga oleh seorang perempuan tua dan aku harus membayar 50 Tenge (senilai Rp. 1.600) untuk sekali buang air kecil.

    Artillery Cannon Gun.

    Selain itu aku juga dibuat tertawa terpingkal-pingkal atas kelakuan dua anak kecil yang dengan suka ria menaiki artillery cannon gun sembari berteriak sesuka hati macam serdadu yang sedang menyalakkan peluru artileri. Sementara kedua orang tuanya tampak sebal menunggu kedua anak itu  karena sedari beberapa menit sebelumnya sejatinya keluarga kecil itu sudah bersiap diri meninggalkan taman tersebut.

    Eksplorasi yang mempesona dan menyenangkan tentunya

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Empat puluh lima menit lamanya aku menghangatkan badan di Almaty Central Mosque…..

    Bersembunyi di balik masjid telah menguak perangai pengecutku saat menantang suhu -13o Celcius di pusat kota Almaty.

    Kau ingin terus bersembunyi di masjid atau melakukan eksplorasi, Donny?” naluri petualangku mulai melontarkan komplain.

    Tanpa pikir panjang pun, aku segera menuruni lantai atas menuju pintu keluar masjid, mengenakan sepasang sepatu boots coklatku dan pergi meninggalkan Almaty Central Mosque.

    Aku melanjutkan langkah menuju selatan, menelusuri Pushkin Street, jalanan dua arah dengan tiga jalur di masing-masing arahnya dan di kedua ruasnya dipisahkan bidangan rerumputan yang lebar. Tapi dimana saja sama, semua permukaan selain jalan raya sempurna tertutup salju. Di beberapa sisi jalan, tampak dimanfaatkan pedagang kaki lima untuk menjual pakaian dengan lapak sederhananya. Nama Pushkin sendiri merujuk pada sastrawan terkenal Russia yang berkarya pada Abad ke-19, nama lengkapnya adalah Aleksandr Sergeyevich Pushkin.

    Berselang lima ratus meter, aku merubah arah menuju timur di sepanjang Zhibek Zholy Street, jalanan satu arah menuju timur dengan tiga ruas.

    Kamu tahu makna Zhibek Zholy?

    Ini adalah nama untuku Jalur Sutera dalam Bahasa Kazakhstan. Dahulu Jalur Sutera ini melewati sisi selatan negeri Kazakhstan dan yang perlu kamu tahu, Almaty adalah kota terbesar yang terletak di bagian Selatan Kazakhstan. Almaty juga pernah menjadi ibukota sebelum dipindah ke Kota Astana di utara Negeri “Tanah Perawan” ini.

    Dalam tiga puluh menit, akhirnya aku tiba tepat di depan Green Bazaar, pasar terbesar di Almaty yang telah berusia satu setengah abad. Aku yang tak tahan dengan dingin segera memasuki area pasar.

    Di dalam pasar….

    Sejauh mata memandang, segenap pedagang di dalam pasar mengenakan rompi serba hijau bertuliskan “Көк базар” (baca: Kök bazar). Lapak-lapak pedagang tersusun rapi dan ubin selalu dipertahankan kering dan bersih. Sementara itu, arsitektur bangunan pasar memfungsikan jendela dan atap kaca menjadi sumber cahaya alami untuk menerangi seisi ruangan pasar.

    Ketika memasuki pintu pasar. Aku mengambil posisi berdiri di salah satu spot. Sontak para pedagang melambai-lambaikan tangan kepadaku dengan harapan aku berbelanja di lapak-lapak mereka. Untuk menghindari panggilan-panggilan itu, aku memutuskan berjalan berkeliling, mengunjungi lapak demi lapak yang menjual berbagai macam kebutuhan rumah tangga.

    Datanglah Sinterklas itu…

    Ada satu momen menarik ketika aku sedang asyik mengeksplorasi seisi pasar, tetiba datanglah seorang berbusana Sinterklas dan seorang pengawal cantiknya. Sinterklas itu bernyayi menghibur para pedagang serta mengucapkan selamat Natal kepada semua pengunjung.

    Aku turut larut dalam kemeriahan itu dan mengikuti pergerakan Sinterklas ke berbagai sudut pasar bersama pengunjung lainnya.

    Lelah berkeliling pasar…Aku pun merasakan lapar ketika waktu telah menunjukkan pukul satu siang.

    Aku yang kelaparan akhirnya memutuskan untuk membeli sepotong sandwich dari sebuah outlet roti di depan pasar. Aku menebusnya dengan harga 550 Tenge (atau senilai Rp. 17.000) dan juga membeli secangkir teh manis seharga 150 Tenge (atau senilai Rp. 5.000) dari ibu pedagang keliling menggunakan kotak dorong di sekitar pasar. Suhu yang sangat rendah membuat teh hangat yang kubeli cepat mendingin, aku pun menyeruputnya cepat-cepat.

    Secangkir teh itu akhirnya mengakhiri eksplorasiku di Green Bazaar.

    Lalu baiknya bagaimana setelahnya, aku harus melangkah kemana lagi ya?

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Aku melangkah penuh kepayahan karena tebalnya busana yang kukenakan. Melewati jalur pedestrian lebar bardasar pavling block berwarna merah yang membelah salah satu sisi jalan yang tertutup  sempurna oleh lapisan salju, salju itu menumpuk hingga memenuhi sepanjang saluran drainase.

    Sementara itu di sisi lain jalan, kendaraan alat berat wheel loader buatan Tiongkok sangat sibuk membersihkan jalanan dari lapisan salju yang bisa membahayakan para pengemudi kendaraan.

    Kamu pernah berjalan di kota penuh salju begitu tak?

    Jalanan masih sepi menjelang pukul sebelas siang, satu dua warga lokal tampak berjalan menuju tempat kerjanya masing-masing. Beberapa anak kecil tampak keluar dari apartemennya dan bermain di playground penuh salju, salah satu dari mereka iseng merontokkan salju di pohon berketinggian rendah, membuat baju teman-teman sebayanya terguyur butiran salju, gelak tawa mereka membuat suasana pagi itu menjadi ceria.

    Aku terus menelusuri Abylai Khan Avenue menuju selatan, jalanan dua arah dengan enam jalur. Di setiap sisi jalan, berderet pepohonan besar yang berdiri kokoh dengan dedaunan yang meranggas karena musim dingin.

    Menemui perempatan pertama, aku merubah arah menuju timur menelusuri Manshuk Mametova Street. Setahuku, jalan ini didedikasikan untuk Sersan Senior Manshuk Mametova, seorang pahlawan Uni Soviet asal Kazakhstan yang meninggal pada pertempuran Nevel pada tahun 1943 melawan invasi Jerman saat bertugas di kesatuan meriam mesin.

    Satu spot di Manshuk Mametova Street.

    Manshuk Mametova Street adalah jalanan dua arah dengan empat jalur. Di beberapa sudut jalan ini, aku menemukan sisa-sisa gelas kopi dan rokok yang tergeletak begitu saja di tempat duduk yang berada di jalur pedestrian. Suasana pagi yang super dingin tentu akan menjadi lebih hangat dengan menyeruput secangkir kopi dan menghisap asap tembakau dari sepotong sigaret.

    Inilah ruas jalan sebagai salah satu akses yang akan kulalui demi menuju Almaty Central Mosque, bangunan ibadah berkapasitas tujuh ribu jama’ah dan berada di situs masjid tertua di Almaty dengan usia situs mencapai 134 tahun.

    Tujuanku yang sebenarnya adalah Green Bazaar yang merupakan pasar tradisional utama di kota Almaty. Tetapi karena suhu yang terlalu dingin, aku memutuskan transit terlebih dahulu di masjid sentral itu untuk menghangatkan badan.

    Aku tiba di masjid dalam dua puluh menit perjalanan dari penginapan. Mengambil beberapa potret dari sisi jalan, aku akhirnya memutuskan untuk memasuki masjid dan segera mengambil air wudhlu lalu menunaikan shalat tahiyatul masjid.

    Almaty Central Mosque
    Yuk baca Al Qur’an !

    Setelah memanjatkan doa usai shalat, aku sejenak menyandarkan tubuh pada salah satu sisi tembok dan menikmati hangatnya ruangan, sangat berbeda dengan kondisi di luar yang dingin menusuk. Sempat terlelap sejenak, aku lalu terjaga dan bangkit, berjalan perlahan menaiki tangga menuju lantai kedua. Mengambil satu kitab suci Al Qur’an dan membaca beberapa ayat di masjid sentral itu.

    Tempat yang hening untuk beribadah dan sekaligus menghangatkan badan.

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Dalam pejaman mata, aku tahu bahwa Arsen memasuki kamar pada tengah malam. Lalu mematikan lampu yang sengaja kuhidupkan ketika beranjak tidur demi menghangatkan ruangan, menyamarkan beku udara luar yang mengintimidasi. Arsen dengan cepat mengambil ranselnya, mematikan lampu dan pergi meninggalkan kamar.

    Aku yang terpejam tetap enggan membuka mata karena telah nyaman berada di balik selimut. “Mungkin Arsen mendapatkan kamar yang lebih nyaman di rumah temannya”, aku membatin dan melanjutkan tidur.

    —-****—-

    Pagi tiba,

    Cahaya pagi menyeruak dari celah-celah yang tak tertutup tirai di sebalik jendela. Aku yang cukup tidur semalaman merasa antusias. Berasa ingin segera menikmati suasana Almaty.

    Aku yang paham bahwa tak ada kamar mandi di penginapan, segera mempersiapkan diri. Mengenakan selapis long john hitam yang kumiliki semenjak berkelana ke Negeri Sakura 6 tahun sebelumnya. Kutambahkan dua helai kaos berlengan panjang kemudian untuk terakhir kali kubalut tubuhku dengan winter jacket yang kubeli di salah satu kios baju bekas di Pasar Baru. Aku juga mengenakan celana panjang berbahan katun dan kulapis dengan celana parasut berbahan dasar bulu.

    Sudah hangat, saatnya berkelana menikmati kota”, aku cengar-cengir melihat ke arah jendela.

    Menuruni lima tingkat tangga hingga berdiri tepat di pintu penginapan. Aku tahu bahwa suhu di luar mencapai angka -13oC, level suhu terendah yang akan segera aku rasakan.

    Membuka pintu sejenak, aku berdiri tepat di bawah pintu, merentangkan kedua tangan dan merasakan dinginnya udara luar.

    Sepertinya aku bisa melewati dinginnya cuaca ini seharian”, aku jumawa meremehkan keadaan, ditambah aku melihat seorang perempuan muda berjalan santai hanya dengan menggunakan kaos tipis sekeluar dari kendaraan pribadinya.

    Abylai Khan Avenue

    Aku pun memutuskan untuk keluar dari penginapan. Menyusuri pedestrian kecil yang memutari playground di depan penginapan dan menuju jalur utama kendaraan di Abylai Khan Avenue.

    Tetapi….

    Baru saja berjalan tak lebih dari 300 meter, suhu dingin mulai menyelinap tajam ke dalam tubuh yang telah tertutup empat lapis jenis pakaian berbeda dan tiga lapis jenis celana. Dalam sekejap aku menggigil hebat, aku yang sedikit panik segera memutuskan untuk kembali ke penginapan, menyusun ulang pengenaan pakaian untuk melawan dinginnya suhu udara luar.

    Akhirnya aku mengenakan long john lengkap atas bawah rangkap dua, t-shirt lengan panjang rangkap tiga, celana panjang berbahan katun dirangkap dengan celana parasut musim dingin, winter jacket, syal leher dan wajah, winter cap dirangkap earmuff, sepatu boots lengkap dengan kaos kaki rangkap dua, di akhiri dengan kaos tangan rangkap dua.

    Astronaut Mode.

    Cara berbusana yang demikian membuatku berdiri gagah macam astronot luar angkasa yang susah sekali berjalan di jalanan umum. Aku tertawa geli dalam batin. Beruntung kejadian ini berada jauh di negeri seberang dan tak ada satupun orang yang mengenaliku, tak mengurangi rasa percaya diriku ketika banyak warga lokal merasa aneh melihat caraku berjalan dan berbusana.

    Gaya berbusana teraneh Abad ini…….

    Kisah Selanjutnya—->