Wat Chedi Luang (1): Lelah di Tempat Pembakaran Dupa

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku sedikit melambat ketika meninggalkan Wat Muen Tum, itu karena letak destinasiku tak jauh lagi, hanya berjarak tiga ratus meter lagi.

Tetapi belum juga sampai di tujuan, langkahku dihadang oleh keberadaan kuil lain. Wat Chang Taem namanya. Kuil ini adalah vihara tempat disimpannya Buddha Fon Saen Ha yang berusia lebih dari seribu tahun. Fon Saen Ha sendiri memiliki makna sepuluh ribu tetes hujan, maka khalayak sering memanggil Wat Chang Taem sebagai “Kuil Sepuluh Ribu Tetes Hujan”.

Namun, aku harus merelakan destinasi itu karena waktu yang sangat terbatas. Aku memilih untuk melanjutkan langkah menuju tujuan utama.

Namun sejenak aku menghentikan langkah, sebuah pesan Whatsapp datang dari pimpinan di perusahaan tempatku bekerja. Aku diminta membeli beberapa perlengkapan untuk dibawa di acara konferensi di Phuket.

Beruntung, aku melihat keberadaan sebuah gerai 7-Eleven di ujung blok. Tanpa pikir panjang, aku melangkah menujunya dan berbelanja kebutuhan konferensi di gerai itu.

Aku memang harus standby kapan pun perihal pekerjaani, karena tujuanku datang ke Thailand adalah menghadiri sales conference di Phuket yang akan berlangsung tiga hari semenjak ketibaanku di Chiang Mai.

Lepas menyelesaikan urusan belanja kantor, aku segera melanjutkan eksplorasi. Beruntung tujuan utama destinasi hari itu ada di seberang gerai 7-Eleven.

Adalah Wat Chedi Luang, sebuah kuil yang berasal dari abad ke-14 yang sore itu telah berada di hadapan. Aku memang tak bisa melihat bagian dalamnya, kerena setiap sisi pelataran kuil ditutup oleh tembok.

Aku yang diselimuti rasa penasaran, segera memasuki gerbang, mengambil antrian di loket penjualan tiket. Antrian yang tak terlalu panjang, membuatku lebih cepat dalam medapatkan tiket, setelah aku menyerahkan uang sebesar 50 Baht kepada seorang penjaga loket wanita berusia muda.

Kompleks Wat Chedi Luang tampak depan.
Loket penjualan tiket Wat Chedi Luang.

Bagian pertama dari Wat Chedi Luang yang kusambangi adalah San Lak Mueang. “Lak Mueang” berarti “Pilar Kota”, hal ini merujuk pada adat isitiadat di Thailand yang selalu membuat pilar tunggal pertama sebelum membangun sebuah kota. Pilar ini biasanya dibuat dari batang pohon Akasia dan ditaruh di sebuah kuil kota.

Di San Lak Mueang, aku tak bisa melihat keberadaan “Pilar Kota” yang dimaksud karena pilar itu telah diabadikan di dalam tanah.

Selain patung King Kawila (Raja Chiang Mai yang memerintah pada abad ke-18) yang kutemukan di bagian depan San Lak Mueang, aku juga menemukan papan yang menjelaskan aturan berkunjung dimana wanita yang sedang mengalami menstruasi dilarang berkunjung karena dianggap akan mempermalukan dan merusak kesucian “Pilar Kota”.

San Lak Mueang dengan patung King Kawila.
Bagian dalam San Lak Mueang.

Lepas mengunjungi San Lak Mueang, aku bergeser ke sisi selatan area kuil. Terdapat satu bangunan unik dengan patung raksasa berwarna hijau. Raksasa itu bernama Phaya Yakkharat yang merupakan penjaga “Pilar Kota” di sisi selatan dan dibangun pada abad ke-18 oleh Raja Kawila.

Di area Wat Chedi Luang juga terdapat raksasa dengan fungui serupa di sisi utara kuil, namaya Wat Amonthep. Keduanya telah ditakdirkan untuk menjaga “Inthakhin” atau “Pilar Kota” Chiang Mai.

Kuil Phaya Yakkharat.
Phaya Yakkharat si penjaga setia Inthakhin.

Aku merasa Lelah lepas mengunjungi Phaya Yakkharat, oleh karenanya aku memilih istirahat sejenak dan duduk di belakang sebuah area lapang dimana para pengunjung memanjatkan do’a dengan membakar dupa.

Untuk sementara aku menikmati aktivitas religius itu sebelum melanjutkan perjalanan mengeksplorasi Wat Chedi Luang yang memiliki luas tak kurang dari enam hektar.

Kisah Selanjutnya—->