Aroma Jahe pada Semangkuk Tahok

Aku telah selesai menjelajah Keraton Surakarta Hadiningrat berserta alun-alunnya, Pasar Klewer dan Masjid Agung Keraton Surakarta. Aku mulai menyusuri pangkal selatan Jalan Jend. Sudirman menuju utara. Inilah area pemerintahan Kota Solo, aku merasa berkesan ketika melewati Balaikota Surakarta yang teramat megah dengan atap Joglonya.

Surakarta City Hall.

Trotoar di depan balaikota tampak dibuat lebih luas tanpa pagar, maklum karena kantor tempat walikota bekerja ini juga berperan sebagai rumah rakyat yang siap menerima keluh kesahnya. Balaikota masih hening pagi itu, waktu belum juga menyentuh pukul sembilan.

Tiba di sebuah pertigaan, penampakan klasik Tugu Jam Pasar Gede sungguh memesona mata. Tugu yang tak tinggi tapi juga tak rendah itu masih menunjukkan taji Kolonialisme Belanda. Inilah area Sudiroprajan dengan ikon utamanya Pasar Gede Hardjonagoro.

Pasar Gede Hardjonagoro.

Aku mulai menuju Pasar Gede Hardjonagoro. Tujuanku cuma satu….TAHOK.

Aku bahkan belum tahu rupa kuliner tradisional Kota Solo itu, bahkan lokasi dan bentuk kedainya pun aku tak pernah membayangkan rupanya. Langkahku semakin dekat dengan bangunan pasar yang tampak hening jika ditengok dari gerbang depannya.

Tetapi aku masih di seberang jalan ketika memperhatikan ada antrian panjang yang berpangkal pada sebuah gerobak dorong. Aku masih tak menahu , apa yang diniagakan di gerobak itu. Setelah mendekat dan membaca spanduk kecil yang menggantung di atap gerobak, aku baru tahu, ternyata kuliner yang kucari sedari tadi ada di depan mata. Inilah Tahok Pak Citro.

Aku: “Pak, ini bahannya apa aja ya?”

Pak Citro: “Ini dibuat dari kembang tahu dan air jahe, Mas”.

Aku: : “Rahadian, kamu mau coba ngga?. Kalau aku sih mau coba”, aku menawarkan kepada Rahadian yang tampak ragu sedari tadi.

Rahadian: “Engga, Pak. Saya ga begitu suka sama jahe. Pak Donny aja yang makan, saya tunggu saja”.

Aku: “Ah, kamu ini gimana, Rahadian. Jauh-jauh ke Solo kok ga nyobain kulinernya. Aneh”, Rahadian hanya tersenyum dan mengambil bangku di pojok trotoar.

Aku mulai mengantri, beberapa pembeli lebih memilih pesanannya dibungkus dan dibawa pulang. Menunjukkan bahwa mereka pelanggan setia kuliner ini. Tak lama mengantri, giliranku untuk mendapatkan samangkuk Tahok. Pak Citro tampak mulai menyentong tipis-tipis kembang tahu itu dan memasukkan ke mangkuk berkali-kali hingga penuh, kemudian menyiramkan air jahe hingga menenggelamkan seluruh kembang tahu itu.

Gerobak Tahok.
Tahok.

Inilah kuliner khas Kota Solo kelima yang kunikmati setelah Es Dawet Telasih, Jenang Suro, Soto Kwali dan Wedang Ronde yang kusantap sehari lalu. Paduan tekstur halus dan kehangatan jahe menjadikan kuliner ini sangat tepat di santap saat pagi hari yang masih meniupkan sisa-sisa angin dingin semalam.

Aku menyudahi pengalaman kuliner ini dengan menyerahkan uang Rp. 7.000 dan mulai meninggalkan gerobak itu. Kini aku menuju ke sisi dalam Pasar Gede Hardjonagoro untuk kedua kalinya semenjak kemarin. Aku masih penasaran dengan Es Dawet Telasih Bu Dermi yang sehari lalu tak kutemukan karena belum buka. Aku memang sempat menyantap Es Dawet Telasih Hj. Sipon sebagi penggantinya.

Tetapi rasa penasaranku masih terbayar dengan tidak keberuntungan. Kedai yang kucari belum juga buka, bahkan pasar masih tampak lengang dan belum banyak pedagang yang hadir. Keinginanku kembali tertunda.

Suasana di dalam Pasar Gede Hardjonagoro.

Nantinya aku akan merasakan Es Dawet Telasih Bu Dermi ini dua bulan sejak kadatanganku hari itu.

Pasar Klewer dan Masjid Agung Keraton Surakarta

Pasar Klewer di pagi hari.

Aku mulai melangkahkan kaki ke utara, menuju Alun-Alun Lor Keraton Surakarta Hadiningrat. Jaraknya tak sampai setengah kilometer dari pelataran keraton. Aku tiba dalam lima menit. Sejauh mata memandang, Alun-Alun Lor ini cukup terawat, dengan luas hampir tujuh hektar. Beralaskan rerumputan hijau yang tak sempurna menutupi seluruh alun-alun, jalur aspal menyilang dari utara ke selatan dan dari barat ke timur serta di setiap sisi taman dikelilingi pohon-pohon besar (pohon beringin diantaranya). Sementara untuk membatasi jalan raya yang mengelilingi taman, dibangunlah pagar besi setinggi dada yang berjajar di batas dalam trotoar.

Aku sepertinya malas untuk menuju ke tengah alun-alun, hanya terus berjalan mengelilinginya dan berniat menuju bagian timur alun-alun untuk membunuh rasa penasaranku terhadap pusat perbelanjaan tekstil terbesar di Kota Solo yaitu Pasar Klewer. Ibarat Tanah Abang di Jakarta, maka Pasar Klewer adalah nadi ekonomi kota dengan putaran cashflow yang sangat mumpuni. Aku tepat tiba di depan gerbang pasar yang masih sunyi. Beberapa pedagang sudah mulai datang membawa berkoli-koli tekstil ke lantai atas. Sementara beberapa kios tampak mulai membuka diri untuk bersiap menghadapi perniagaan pagi itu. Aku mencoba menaiki lantai pertama dan berkeliling untuk memperhatikan setiap sisi. Melihat keadaan sekitar, terbayang bahwa pasar ini akan sangat sibuk jika semua kiosnya sudah dibuka.

Kiranya aku tak akan menunggu hingga Pasar Klewer benar-benar dibuka, aku segera turun dan menuju ke utara pasar. Kali ini aku akan menyambangi Masjid Agung Keraton Surakarta yang masih merupakan bagian dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Masjid dengan atap tiga susun ini tampak sedang khusyu’ menjadi saksi bisu atas pernikahan sepasang sejoli yang sepertinya adalah orang penting, karena kulihat terdapat papan bunga ucapan dari Presiden Joko Widodo berserta keluarga. Acara itulah yang kemudian mengurungkan niatku untuk memasuki masjid.

Masjid Agung Keraton Surakarta.
Masjid Agung Keraton Surakarta.

Masjid berhiaskan tiang-tiang lampu klasik di halaman, semakin elok dengan minaret tunggalnya yang anggun berdiri di utara pelataran. Masjid berusia 232 tahun ini masih cukup gagah  dan anggun berdiri di sisi timur ALun-Alun Lor berdampingan dengan Pasar Klewer.

Kiranya aku sudah berada di bagian terakhir dari kompleks Keraton Surakarta Hadiningrat. Aku mulai meninggalkan area keraton dengan melewati pangkal timur Jalan Slamet Riyadi yang ditandai dengan patung Brigjend Slamet Riyadi yang tampak gagah mengacungkan pistol ke udara. Slamet Riyadi sendiri adalah tokoh pahlawan Kota Solo yang meninggal di Ambon dalam menjalankan tugas negara dalam menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan.

Kini niatku beralih menuju ke destinasi pertama ketika aku melakukan survey sehari lalu. Bukan Es Dawet Telasih yang kucari, melainkan satu kuliner tradisional yang cukup ternama di Kota Solo.

Menilik Keraton Surakarta Hadiningrat

<—-Kisah Sebelumnya

Beristirahat cukup nyenyak di Amaris Hotel Sriwedari membuatku bangun tepat saat adzan Shubuh berkumandang. Menyempatkan diri menikmati fajar dari balik jendela kaca kamar maka aku memutuskan mengguyur badan di bawah shower dengan air hangat setelahnya. Aku sengaja berlama-lama di bawah shower, menyempurnakan relaksasi otot setelah sejak kemarin lusa berkejaran dengan waktu dalam melakukan banyak sekali agenda survey dengan menjelajah Kota Solo.

Setelah lebih dari setengah jam berbasuh, aku segera berbenah, merapikan tas dan bersiap diri untuk melakukan survey hari ketiga. Tepat pukul tujuh pagi, aku sudah berada di restoran hotel untuk bersarapan. Sedangkang Rahadian Sang Wakil Ketua Marketing Conference sudah berada di restoran itu semenjak setengah jam lalu. Dia merapat ke meja makanku ketika aku menyantap nasi goreng yang dipadu dengan mendoan dan kopi hangat. Kami berbincang dan membahas survey terakhir hari itu.

Setelah tiga puluh menit menikmati berbagai sajian restoran, aku dan Rahadian mulai memesan taksi online menuju ke timur di daerah Baluwarti. Pagi itu keraton resmi milik  Kasunanan Surakarta menjadi tujuan survey pertama di hari ketigaku di Kota Solo. Tak lama menunggu di lobby, Toyota Agya warna hitam datang menjemput. Aku segera mendudukkan diri di jok depan dan Rahadian di jok belakang, kemudian taksi online mulai melaju sejauh dua kilometer dalam sepuluh menit untuk mencapai tujuan.

Bangunan keraton yang telah berusia 277 tahun.

Lima belas menit menjelang pukul delapan, aku tiba di Keraton Surakarta Hadiningrat. Hari itu waktu survey kurencanakan berlangsung singkat karena Rahadian akan pulang lebih cepat dengan mengejar keberangkatan Kereta Api Lodaya menuju Bandung pada pukul 13:00. Oleh karenanya, aku mendatangi keraton ketika jam operasionalnya belum juka dibuka.

Aku dan Rahadian menikmati pelataran keraton yang juga difungsikan sebagai jalur lalu lintas satu arah. Tetapi ada satu bagian bangunan keraton yang sangat mencuri perhatian, yaitu sebuah menara setinggi tiga puluh meter yang tampak dari pelataran depan. Itulah Menara Sanggabuwana yang didirikan 38 tahun setelah bangunan keraton didirikan. Sudah bisa ditebak bahwa menara ini berfungsi sebagai menara pengawas karena keraton ini didirikan pada zaman Kolonialisme Belanda.

Dikisahkan bahwa menara itu digunakan oleh Sri Susuhan Pakubuwono III untuk menemui Nyi Roro Kidul “Sang Ratu Pantai Selatan”.

Seperti layaknya tata kota zaman-zaman kerajaan tempoe doeloe, Keraton Surakarta Hadiningrat diapit oleh alun-alun, yaitu Alun-Alun Lor (Utara) dan Alun-Alun Kidul (Selatan). Alur-Alur Lor adalah alun-alun yang lebih ramai, ditempat inilah acara “Sekatenan” (Pasar Malam) diselenggarakan untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW setiap tahunnya.

Maka untuk mengeksplore area sekitar keraton, aku mulai melanjutkan perjalanan menuju Alun-Alun Lor dengan berjalan kaki.  Alun-Alun Lor ini berjarak tak lebih dari setengah kilomater dari keratin dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki dalam sepuluh menit.

Ada destinasi apakah di sekitar Alun-Alun Lor?

House of Danar Hadi dan Ngarsopuro Night Market

<—-Kisah Sebelumnya

Museum Batik Kuno Danar Hadi.

Aku hanya berusaha mencari informasi sebanyak mungkin tentang beberapa event yang akan diselenggarakan di Taman Sriwedari pada dua bulan semenjak kedatanganku. Tetapi sungguh sayang, tak akan ada pertunjukan budaya dua bulan ke depan di taman budaya itu. Itu berarti, peserta Marketing Conference nanti tidak bisa diarahkan untuk menikmati pertunjukan budaya di Taman Sriwedari. Oke lah….Tidak mengapa, survey ini boleh dibilang gagal tetapi di lain sisi, setidaknya aku pernah menyempatkan diri untuk berkunjung di Taman Sriwedari dan menambah khasanah budaya tentang Kota Solo walau hanya genap setengah jam berkunjung.

Pukul setengah sepuluh malam, aku mulai meninggalkan Taman Sriwedari. Lalu kembali mengayunkan langkah ke arah timur untuk mensurvey destinasi terakhir pada jalur Kereta Wisata Jaladara. Tempat yang kutuju ini masih merupakan wisata heritage, terletak setengah kilometer dari Taman Sriwedari.

Destinasi ini berjuluk House of Danar Hadi. Tentu aku sudah mengetahui bahwa ketika tiba nanti, tempat ini sudah pasti tutup karena jam operasionalnya memang hanya sampai pukul lima sore setiap harinya. Tapi tak mengapa, aku hanya bermaksud untuk memastikan tempatnya karena aku sudah pasti merekomendasikan Divisi Acara Marketing Conference untuk memasukkan tempat ini sebagai salah satu tempat yang akan dikunjungi. Selain berbelanja batik khas Kota Solo, peserta Marketing Conference nantinya juga bisa mengunjungi Museum Batik Kuno Danar Hadi yang mengoleksi hingga sepuluh ribu jenis batik di dalamnya.

Beberapa menit setelah sampai di tujuan, aku hanya terdiam melihat bentuk bangunan itu dan mengamati area sekitar. Perlu waktu bagiku untuk mengamati destinasi ini sebelum memutuskan untuk meninggalkannya dan berpindah ke destinasi lain. Karena malam itu, aku akan menghabiskan waktu di sekitaran Ngarsopuro Night Market sebelum pulang ke hotel untuk beristirahat.

Aku melanjutkan ayunan langkah ke daerah Keprabon. Jarak Ngarsopuro Night Market dari House of Danar tak lebih dari satu kilometer. Aku hanya memerlukan waktu lima belas menit untuk tiba di sana.

Tiba di Jalan Diponegoro. Perhatianku mendadak tertuju pada kerumunan di sisi barat jalan. Suara gamelan membuatku penasaran dan akhirnya aku tak kuasa menahan langkah untuk melongoknya.

Oh, ternyata sedang ada pertunjukan Wayang Kulit di tempat itu. Lebih baik, barang setengah jam, aku tetap berdiri dan menikmati pertunjukan itu, aku sudah sangat lama tidak menonton pertunjukan wayang.

Pertunjukan Wayang Kulit.

Beberapa waktu menjelang jam sepuluh malam, aku menyudahi menonton pertunjukan itu dan bergegas menuju ke area Ngarsopuro Night Market. Pasar malam ini sebetulnya dibuka setiap hari Sabtu malam, sedangkan aku datang di Senin malam. Oleh karenanya, keramaian pasar malam tak tampak maksimal. Hanya ada berapa food car dan gerobak kuliner yang menjaja makanan serta minuman di beberapa titik. Tetapi tetap saja, kuputuskan untuk berhangout ria dan berbaur dengan beberapa kelompok pemuda yang tampak menikmati malam dengan menyeruput kopi dan menyantap kuliner jalanan Kota Solo.

Mengambil sebuah tempat duduk dan menikmati secangkir coffee latte, aku mulai menghabiskan malam di tempat itu. Malam itu aku merasa puas karena petualangan sehari penuh yang kulakukan penuh dengan kenangan dan sangat memuaskan.

Hingga tak terasa waktu hampir menginjak pukul sebelas malam. Aku memutuskan untuk segera kembali ke Amaris Hotel Sriwedari dan berisitirahat karena esok hari masih ada jadwal survey yang sangat padat.

Food car in Ngarsopuro Night Market.
Para pengunjung yang sedang menikmati malam.
Akhirnya, aku bergabung dengan mereka.
Jalan Diponegoro.

Yuk lah….Balik….Bobo!

Kisah Selanjutnya—->

Romantisme Gatokaca dan Pregiwa di Taman Sriwedari

<—-Kisah Sebelumnya

Gerbang Taman Sriwedari.

Karena Loji Gandrung pernah digunakan oleh Kolonel Gatot Subroto sebagai pusat komado dalam menghadapi Operatie Kraai yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948. Itulah sebuah alasan yang nantinya akan kuketahui kenapa patung yang dipilih untuk ditempatkan di depan Loji Gandrung adalah patung Jenderal Gatoto Subroto.

Kini kita akan bicara topik lain….

Dahulu….

Sebelum Stadion Manahan dibangun oleh Keluarga Cendana melalui Yayasan Ibu Tien Soeharto pada tahun 1998. Kota Solo memiliki stadion sepakbola yang kecil tapi legendaris. Stadion yang telah melahirkan klub sepakbola profesional yang pernah mencatatkan sejarah dalam persepakbolaan Indonesia, yaitu Arseto Solo FC. Stadion itu sendiri bernama Stadion Sriwedari. Penamaan ini sendiri tentu terkait dengan letaknya yang berada di area Sriwedari.

Malam itu, tentu aku tidak berniat mengunjungi Stadion Sriwedari selepas berkunjung ke Loji Gandrung untuk mencari informasi. Hanya perlu kamu ketahui bahwa di sisi timur stadion legendaris itu terdapat taman budaya yang terkenal dengan pementasan Seni Wayang Orang. Taman budaya ini terkenal dengan sebutan Taman Sriwedari.

Lima belas menit lewat dari pukul sembilan malam, keluar dari gerbang Loji Gandrung, aku melanjutkan perjalanan survey menuju timur sejauh setengah kilometer. Menyusuri sisi selatan Jalan Slamet Riyadi, aku melangkah dalam keramaian malam. Hingga aku tiba pada sebuah name board bertajuk “I Love Solo” yang terletak di sebuah taman kecil di bawah sebuah pohon besar, tepat ditengah trotoar lebar. Inilah penanda bahwa langkahku telah sampai di tujuan.

Tempat hangout di depan Taman Sriwedari.
Patung Gatotkaca dan Pregiwa.

Aku disambut sebuah gapura megah dengan topeng “Buto” di atasnya disusul dengan sambutan patung Gatotkaca dan Pregiwa dengan warna emas di bagian halaman. Dari situ saja, aura budaya tanah jawa tercium sangat kuat. Sementara sebuah pendopo besar menggenapi salah satu sisi taman.

Dari informasi yang kubaca pada sebuah kalender event di salah satu titik. Tepat dua bulan sebelum kunjunganku, tempat ini telah menghelat sebuah pagelaran tahunan dalam usaha peletarian Seni Wayang Orang yaitu Festiwal Wayang Bocah ke-7. Rupanya Kota Solo sangat gencar dalam melestarikan budaya. Memiliki event budaya dari usia dini hingga menyediakan tempat budaya seperti Taman Sriwedari ini adalah bukti nyatanya.

Di bagian belakang-timur pendopo berdiri Gedung Kesenian Solo. Sementara di sisi kanannya tampak beberapa papan proyek rapi mengelilingi THR (Taman Hiburan Rakyat) Sriwedari. Aku mendapatan informasi bahwa taman ini telah ditutup dan akan digantikan keberadaannya dengan Masjid Taman Sriwedari. THR Sriwedari sendiri adalah salah satu legenda taman hiburan di pusat Kota Solo pada masa lalu. Dahulu kawasan ini dikenal dengan sebutan Bon Rojo (kebon rojo/kebun raja) pada era Paku Buwono X.

Sementara di sebelah belakang-barat pendopo terletaklah Gedung Wayang Orang Sriwedari. Gedung inilah yang berperan penting dalam pelestarian Kesenian Wayang Orang yang telah berfungsi hampir satu abad lamanya.

Taman Sriwedari menjadi satu tempat yang layak dikunjungi apabila saat pelaksanaan Marketing Conference nanti terdapat event budaya. Akan tetapi jika tidak ada, maka kemungkinan menjadi sangat kecil untuk mengunjunginya.

Kisah Selanjutnya—->

Proyek di Halaman Depan Loji Gandrung

<—-Kisah Sebelumnya

Loji Gandrung.

Pernah berkunjung ke Istana Merdeka?. Atau berkunjung ke Balai Kota DKI Jakarta?. Ya, kedua tempat penting di Jakarta itu sering menawarkan wisata berkunjung.

Nah, bagaimana dengan Kota Solo?.

Yupsz, kota Solo juga memiliki wisata serupa. Tempat yang menjadi pusat perhatian untuk wisata sejenis adalah Loji Gandrung, rumah Dinas Walikota Solo yang terletak di sisi selatan Jalan Slamet Riyadi.

Malam semakin melaju, waktu hampir menyentuh jam sembilan malam ketika aku selesai merancang sebuah teaser Marketing Conference. Beruntung aku mendapat bantuan dari staff design di Jakarta. Aku juga sudah mem-blast teaser itu ke nomor Whatsapp dan email para calon peserta Marketing Conference.

Kini aku berfikir kembali tentang destinasi berikutnya. Tugasku kali ini adalah memilih beberapa destinasi yang berada di sepanjang jalur Kereta Wisata Jaladara yang akan disewa untuk berkeliling Kota Solo di hari kedua Marketing Conference. Maka di waktu tersisa sebelum semakin larut, aku akan mensurvey setidaknya tiga tempat wisata yang letaknya berdekatan saja.

Aku segera memesan taksi online, lalu meluncur ke pusat Kota Solo. Aku bergerak ke selatan sejauh lima kilometer daerah Manahan menuju daerah Laweyan.

Loji Gandrung ya, Mas!”, pintaku pada pengemudi taksi online.

Wah sudah tutup, Mas

Oh tidak apa-apa, Mas. Saya cuma ingin mencari informasi saja disana”.

Oh baik Mas. Loji Gandrung memang populer di Kota Solo, Mas. Dahulu, Presiden Soekarno sering singgah di Loji Gandrung ketika berkunjung ke Kota Solo”.

Wah keren ya ,Mas”, aku mulai tertegun dengan ucapan pengemudi muda itu.

Topik percakapan kami berkembang ke beberapa hal, hingga pengemudi itu menginjak rem tepat di seberang gerbang Loji Gandrung.

Gerbang Loji Gandrung.

Tanpa ragu, aku memasuki gerbang. Rupanya sedang berlangsung renovasi di halaman depan Loji Gandrung. Aku cuma melihat ujung teratas sebuah patung perunggu yang tertutup rapat oleh deretan papan proyek. Kedatanganku membuat seorang security keluar dari pos dan dengan sigap mengarahkan langkah menujuku.

Ada perlu apa, Mas?. Maaf ini bangunan pemerintah kota. Dilarang sembarangan memasuki halaman”, tegurnya.

Oh maaf, Pak. Saya hanya ingin mencari informasi

Informasi apa , Mas?

Pak, kami akan menyewa Kereta Jaladara dan bermaksud menjadikan tempat ini sebagai tempat tujuan wisata di rute kereta tersebut. Apakah saya boleh tahu prosedurnya, supaya saya bersama para peserta acara bisa mengunjungi tempat bersejarah ini, Pak?

Wah perizinannya sedikit ketat, Mas karena sedang direnovasi. Tetapi Mas boleh mengajukan permohonan resmi ditujukan ke Kepala Bagian Rumah Tangga Rumah Dinas. Mudah-mudahan pada tangga acara bisa diizinkan masuk”.

Oh baik, Pak. Saya berharap demikian”.

Aku memperhatikan sekitar. Bangunan Loji Gandrung ini berarsitektur sangat klasik. Ada perpaduan antara arsitektur Eropa dan Jawa. Tembok tebalnya khas Eropa ditutup dengan atap khas Jawa. Halaman depan dan belakang bangunan itu begitu luas dengan beberapa pepohonan.

Aku sadar bahwa yang berada di depanku adalah bangunan pemerintah dan aku tidak bisa berlama-lama di tempat itu. Aku harus segera undur diri dan berempati kepada security dengan tidak menggangu kenyamanan tempat itu.

Sebelum aku melangkah keluar dari halaman Loji Gandrung. Aku masih tergelitik dengan misteri proyek di sekitar halaman. Akhirnya kuberanikan diri untuk bertanya kepada securiry.

Pak, patung yang terhalang oleh papan proyek itu patung siapa?”.

Oh, itu patung Jenderal Gatot Subroto, Mas”.

Aku mengucapkan terima kasih kepada secutiry karena dia telah menerimaku dengan baik walau hanya berbincang tak lebih dari lima belas menit saja.

Kenapa harus patung Jenderal Gatot Subroto?……..

Kisah Selanjutnya—->

Mendesign Teaser di Stadion Manahan

<—-Kisah Sebelumnya

Patung Ir. Soekarno di depan gerbang Stadion Manahan.

Jika Jakarta memilihi Gelora Bung Karno sebagai kawasan olahraga kebanggaan warga ibukota, maka Solo memiliki area olahraga kenamaan, yaitu Stadion Manahan. Dan kali ini, aku berkesempatan secara langsung untuk mensurveynya untuk keperluan acara Marketing Conference yang akan beralangsung dua bulan setelah survey ini.

Kedatanganku di Stadion Manahan dimulai dari usainya diriku menikmati santap malam di wisata kuliner GALABO (Gladag Langen Bogan), yang berada di daerah Kedung Lumbu. Setelah memastikan perut kenyang dengan seporsi Soto Kwali bersambung dengan menghangatkan tubuh dengan seporsi Wedang Ronde, aku beranjak meninggalkan GALABO yang sedang menuju puncak keramaian. Aku menikmati lagu terakhirku di tempat itu sembari menunggu kedatangan taksi online yang telah kupesan.

Entah kenapa, musik yang tadinya ngebeat, tetapi menjelang usai mengunjungi GALABO berubah menjadi melankolis. Lagu “Sewu Kutho” milik almarhum Didi Kempot itu mengiringi langkahku meninggalkan GALABO hingga iramanya menjadi senyap ketika aku memasuki taksi online.

Stadion Manahan, Pak”.

Jalan utama menuju ke sana sedang direnovasi, Mas. Ada pembangunan jalan layang. Saya boleh ambil rute lain ya, Mas. Sedikit lebih lama untuk sampai di tujuan

Baik, tidak apa-apa. Saya juga tidak sedang buru-buru. Santai saja, Pak”.

Siap, Mas”.

Aku tak memahami rute mana yang diambil oleh pengemudi setengah baya itu Aku hanya menikmati saja setiap injakan pedal gas menelusuri jalanan malam Kota Solo. Suasana kota masih tampak ramai walaupun waktu sudah lewat pukul delapan malam.

Aku tiba di tujuan lebih lama 10 menit dari waktu yang terjadwal. Aku diturunkan  di sisi selatan stadion, tepat di depan Patung Ir. Soekarno. Patung perunggu Presiden pertama RI itu terlihat duduk membaca buku. Sementara di bagian dasar patung, lampu-lampu LED memainkan perannya dalam menghasilkan gradasi warna yang memikat para pengunjung. Dan dalam siraman cahaya lampu aneka warna itu, air mancur pun bergantian meluncur memperindah area kolam oval.

Air Mancur Menari Manahan.

Tidak bisa masuk ke dalam ya, Pak”, tanyaku kepada seorang security penjaga gerbang stadion.

Maaf, Mas. Sudah tutup dari jam empat sore. Jadi kami sudah tidak bisa menerima pengunjung masuk ke dalam”.

Oh baik pak. Buka jam berapa ya pak setiap harinya?”.

Jam delapan pagi sudah buka, Mas. Jadi saya sarankan besok saja mas datang kesini lagi”.

Oh baik, Pak”.

Aku balik badan lalu mendudukkan diri di tepian Air Mancur Menari Manahan.

Kriiingggg….. Kriiingggg. Gawai pintarku berdering.

Halo Donny. Gimana Solo? OK kan?. Oh ya Donny, kamu harus publish teaser pertama Marketing Conference malam mini ya, karena hari ini tepat dua bulan sebelum waktu penyelenggaraan!”, CEO perusahaan memberiku perintah.

Baik, Ibu”.

Jadilah malam itu, aku sibuk mendesain teaser pertama Marketing Conference. Aku segera menghubungi staff Divisi Design perusahaan di Jakarta, Tommi namanya. Lalu menceritakan konsep yang kuinginkan kepadanya. Aku terus memandu detail konsep dan dia cepat sekali mengeksekusi  beberapa revisi hingga design teaser bisa selesai dalam satu jam pengerjaan. Karena kesibukan itu, praktis aku tak bisa menilik beberapa sudut lain di luar Stadion Manahan.

Setelah selesai mengirimkan informasi kepada setiap calon peserta Marketing Conference, aku segera bergegas meninggalkan Stadion Manahan. Waktu sudah semakin larut dan aku harus terus bergerak…..

Kisah Selanjutnya—->

Soto Kwali dan Wedang Ronde GALABO

<—-Kisah Sebelumnya

Gerbang depan GALABO.

Gladag Langen Bogan atau lebih dikenal dengan sebutan GALABO adalah kompleks pasar kuliner yang diselenggarakan di Jalan Kapten Mulyadi di area Kedung Lumbu. Konsep pasar jalanan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pemimpin perusahaan tempatku bekerja sebagai kandidat utama untuk dikunjungi saat acara Marketing Conference nanti.

Oleh karenanya, aku perlu melihat kondisi sesungguhnya dari GALABO. Aku harus membedah perihal konten kuliner di dalamnya, konsep aktivitasnya dan tentu waktu operasionalnya. Dan untuk bisa melakukannya, tentu aku harus mensurveynya saat malam karena ini adalah pasar malam kuliner.

—-****—-

Aku meluncur bersama taksi online yang kupesan menuju barat daya, meninggalkan Taman Pelangi yang berada di area Jurug. Waktu yang tepat menuju GALABO, karena aku akan tiba disana sekitar pukul 19:00 dan berfikir dengan yakin bahwa tenda-tenda kuliner sudah didirikan di sepanjang jalan.

Aku berpindah dari Taman Pelangi melalui Jalan Ir. Juanda, lalu berlanjut ke Jalan Jend. Urip Sumoharjo, hingga akhirnya aku tiba di sebuah pelataran luas dengan deretan kios-kios di salah satu sisinya.

GALABO sebelah mana, Pak?”.

Ini GALABO, Mas. Kita sudah sampai”.

GALABO bukannya tenda-tenda kuliner di sepanjang jalan ya, Pak

Oh itu dulu, Mas. Sekarang sudah di relokasi dan dipindahkan ke sini. Ini tepat di selatan Benteng Vredeburg”.

Oh sejak kapan, Pak dipindahin?

Pertengahan 2018, Mas”.

Aku membuka pintu taksi online dengan berusaha meyembunyikan raut kekecewaan. Aku masih saja berfikir bahwa GALABO adalah kuliner jalanan. Karena kuliner jalanan akan lebih menarik antusiasme para peserta Marketing Conference nantinya.

28 kedai kuliner pilihan.
Kedai yang hanya menjual kuliner legendaris Kota Solo.
Buka dari pukul 17:00 hingga pukul 05:00

Tak apa, Donny. Kita cicipi dulu saja makanannya!”, batinku meneguhkan diri.

Taksi online dengan cepat meninggalkanku di area baru GALABO. Aku segera menyusuri sepanjang deretan kedai untuk mencari makan malam yang cocok. Kali ini makan malamku sedikit telat sehingga kuputuskan mencari hidangan yang masih panas. Aku tak ragu memesan Soto Kwali Mbok Yem. Kemudian kupadukan dengan memesan Wedang Ronde sebagai minumannya.

Aku mengambil duduk di sebuah umbrella shading-bench. Tak lama setelah aku duduk, lagu yang dibawakan oleh seorang biduan dengan iringan organ tunggal mulai mengalun. Aku baru saja menikmati suasana indah GALABO malam itu. GALABO belum ramai tetapi para pengunjung secara konsisten mulai berdatangan. Perlahan deretan umbrella shading-bench mulai penuh.

Sepuluh menit kemudian, makanan yang kupesan tiba dan mulai kusantap Soto Kwali yang masih mengepul itu dengan lahap. Biasanya kalau telat makan maka secara otomatis aku akan kehilangan nafsu makan. Tapi kali ini aroma harum Soto Kwali membuatku terlupa akan kondisi perutku yang sudah mulai masuk angin. Sementara ritme lagu yang dibawakan semakin cepat dan ngebeat.

Malam yang indah di Solo.

Di akhir waktu makan malamku, aku mulai berfiikir, membayangkan membawa peserta Marketing Conference yang berjumlah 76 orang ke GALABO untuk makan malam. Di fikiran lain, aku membandingkan jika makan malam itu diselenggarakan di De’ Tjolomadoe.

Sepertinya aku sudah memiliki kecenderungan untuk memilih destinasi yang mana. GALABO atau De’ Tjolomadoe?

Kini aku harus bergegas untuk mengunjungi destinasi lain. Destinasi yang akan dikunjungi di sore hari saat Marketing Conference, tetapi aku akan mensurveynya di malam hari.

Mari kita lanjutkan perjalanan kita ke pusat olahraga terbesar di Kota Bengawan itu.

Kisah Selanjutnya—->

Survey Dadakan di Taman Pelangi

<—-Kisah Sebelumnya

Selepas menelusuri Pasar Jongke, aku sejenak berdiri di atas sebuah jembatan penghubung dua sisi Jalan Dr. Rajiman yang terpisahkan oleh Kali Solo. Kuperhatikan lekat-lekat sungai selebar sepuluh meter itu yang airnya tampak mengering berwarna kecoklatan.

Sore hampir menyentuh pukul lima, dari salah satu sisi jembatan itu, aku menunggu kedatangan taksi online yang kupesan.

Tak lama, lima menit kemudian taksi online itu tiba. Aku bergegas menaikinya di bangku depan, bersebelahan dengan pengemudi.

GALABO ya, Mas!”, aku mengonfirmasi tujuan.

Wah, GALABO jam segini belum siap, Mas. Para pedagang masih menyiapkan makanan yang akan dijualnya”, pengemudi muda itu memberikan informasi penting.

Waduh….Mas, saya sebetulnya sedang survey tempat wisata untuk sebuah acara penting kantor saya. Mas ada rekomendasi tempat yang bisa dikunjungi buat para peserta acara itu nanti?”.

Bagaimana kalau saya antar ke Taman Pelangi?”

 “Oke lah Mas, daripada saya menunggui GALABO yang belum buka”.

Okay, kita meluncur kesana ya, Mas!”.

Tak terasa, taksi online yang kutunggangi sudah meninggalkan daerah Laweyan. Perlahan tapi pasti merangsek ke arah timur melewati Jalan Abdul Rahman Saleh, berlanjut ke Jalan Monginsidi dan sedikit berjalan kencang di ruas Jalan Kolonel Sutarto.

Setelah berjibaku di macetnya jalanan Solo maka aku tiba di Taman Pelangi pada pukul 18:41.Secara keseluruhan aku telah berpindah sejauh sepuluh kilometer dalam waktu tiga puluh menit.

Gerbang Taman Pelangi Jurug yang merupakan bagian dari Taman Satwa Taru Jurug.
Area parkir.

Taksi online berhenti di salah satu slot parkir di halaman depan yang luas. Aku segera turun dan menuju ke loket penjualan tiket masuk.

Masih buka, Mbak?”

Baru saja buka jam 17:00 tadi, Mas. Kita tutup jam 23:00”.

Berapa harga tiket masuknya, Mbak?

Dua puluh lima ribu, Mas”.

 “Oh, baik. Saya beli satu tiket ya, Mbak”.

Baik, Mas”.

Aku segera memasuki taman setelah memiliki tiket dalam genggaman. Memasuki area taman, aku langsung faham bahwa ini adalah wisata malam yang menggoda setiap pengunjungnya dengan permainan cahaya di setiap sisi dan sudut taman. Taman berusia tiga tahun ini penuh dengan cahaya.

Hanya saja aku datang terlalu awal, pukul enam sore di kota Solo belum mampu menggelapkan langit. Permainan lampu itu keindahannya belum terlihat sempurna karena langit masih saja terang benderang. Menurut penjaga loket, waktu terbaik untuk berkunjung di taman ini adalah diatas pukul delapan malam.

Tetapi itu semua tak masalah bagiku, karena aku datang ke tempat ini hanyalah untuk melakukan survey lokasi wisata untuk kandidat destinasi Marketing Conference.

Area parking.
Bersiap memasuki Taman Pelangi Jurug.

Tak sampai setengah jam berkeliling taman, aku mulai melangkah keluar meningglkan taman. Kemudian aku mulai berfikir mengambil kesimpulan. Sepertinya Taman Pelangi ini tidak akan kujadikan destinasi bagi para peserta Marketing Conference karena jenis wisata yang ditawarkan taman ini tidak cocok dengan konsep acaraku. Tapi setidaknya aku memperkaya opsi destinasi yang bisa menjadi masukan untuk panitia Marketing Conference.

Aku segera memesan taksi online kembali karena pukul tujuh malam nanti, aku harus sudah berada di GALABO. GALABO adalah wisata kuliner malam di daerah Kedung Lumbu.

Aku akan menikmati makan malam di tempat itu.

Kisah Selanjutnya—->

Puro Mangkunegaran: Simbol Perlawanan Atas Kesewenangan

<—-Kisah Sebelumnya

Puro Mangkunageran.

Cerah sekali sore itu. Sudah lewat pukul lima tetapi langit masih saja bercahaya. Aku masih duduk pada sebuah kursi di sisi dalam gerbang depan Pasar Triwindu dan menikmati sajian gratis Jenang Suro.  Solo memang sedang menyambut Tahun Baru Islam yang akan datang esok hari, sehingga Paguyuban Pedangang Pasar Triwindu secara sukarela membagikan makanan khas itu ke seluruh pengunjung.

Pasar Triwindu sendiri, pada masa lalunya berjuluk Pasar Windujenar. Sebuah pasar barang seni dan barang antik yang dibangun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara VII untuk memperingati dua puluh empat tahun masa pemerintahannya. Oleh karenanya pasar ini terletak tak jauh dari istana.

Oleh karena sejarah itulah, kunjungan ke Pasar Trwindu tak akan pernah sempurna jika tak mengunjungi istana raja sang pembuat pasar itu. Bahkan setelah perjalanan surveyku ini selesai, aku menempatkan Pura Mangkunegaran dan Pasar Triwindu sebagai paket destinasi yang sangat dianjurkan untuk dikunjungi oleh selurh peserta Marketing Conference.

Tak lama setelah selesai menyantap Jenang  Suro yang bertabur Sambal Tumpang khas jawa, aku pun meninggalkan Pasar Triwindu, melewati pelataran depannya yang luas dan kembali menatap bangunan pasar yang sangat khas dan klasik sebelum berucap sampai jumpa lagi.

Aku berjalan perlahan menyusuri  trotoar di sepanjang Jalan Diponegoro, menuju ke utara sejauh tiga ratus lima puluh meter untuk mengunjungi Pura Mangkunegaran. Menginjakkan kaki di ujung pertigaan, maka aku telah sampai di seberang gerbang istana kenamaan itu. Padatnya arus lalu lintas membuatku sedikit berjibaku menyeberangi Jalan Ronggowarsito yang menerapkan sistem satu arah dan melingkari kompleks istana tersebut.

Sementara di salah satu sudut pertigaan menyuguhkan pemandangan penuh keramaian para pengunjung sebuah hotel berpadu restoran berjuluk Omah Sinten Heritage.Setelah kuselidik, nantinya aku baru tahu bahwa restoran itu memang menjadi salah satu tempat favorit bagi kaum muda hingga pegawai kantoran untuk berhangout ria menyambut hari libur nasional esok hari.

Berhasil menyeberangi Jalan Ronggowarsito, aku bergegas menuju pintu gerbang istana melewati jalur setapak sepanjang seratus lima puluh meter dengan pelataran sangat luas di kiri-kanannya. Sebelum benar-benar tiba di gerbang, sebuah bangunan Museum Puro Mangkunegaran meyambutku di sisi kiri gerbang. Museum itu tampak sepi dan tanpa penjaga, membuatku tak bisa memastikan apakah museum tersebut masih menerima tamu untuk berkunjung atau tidak.

Museum Puro Mangkunegaran.
Gerbang istana.

Begitu pula dengan gerbang tinggi istana, pagar besi itu pun tertutup rapat tanpa penjaga. Jelas menandakan bahwa istana tak menerima tamu sore itu. Istana memang ditutup untuk pengunjung tepat pukul lima sore.

Aku hanya bisa menikmati keanggunan istana dari kejauhan dan menatap sekelilingnya dengan kagum. Tapi aku tak pernah kecewa, aku sudah sangat bersyukur bisa mengunjunginya. Inilah istana yang menjadi simbol kekuasaan Kota Solo tempoe doeloe.

Puro Mangkunegaran juga menjadi lambang perlawanan seorang bangsawan atas kekuasaaan VOC dan kesewenangan lokal yang diterapkan Pakubuwono II sebagai pemimpin tertinggi Kasunanan Surakarta. Sebuah perlawanan sengit yang membuahkan kemenangan gilang-gemilang dari seorang Raden Mas Said kala itu.

Petulanganku di Puro Mangkunegaran harus segera diusaikan karena aku tak bisa berbuat apapun di depan gerbang raksasa itu. Aku memutuskan undur diri dan menuju ke destinasi berikutnya yang sudah tertuang dalam daftar panjang surveyku.

Mari kita pergi dari sini !

Kisah Selanjutnya—->