
Aku menarik shoulder strap kuat-kuat untuk menegakkan backpack di punggung. Maklum aku baru menginjak hari pertama petualangan, muatan backpackku masih sempurna penuh, enam koma delapan kilogram beratnya, tidak kurang, tidak pula lebih.
Menatap sejenak dinding kaca bangunan terminal hingga ke setiap sudut, selanjutnya aku menaiki tangga di depan entrance gate Terminal 1 – Islam Karimov Tashkent International Airport. Dan tuntas melintasi daun pintu kacanya, maka secara bersamaan aku telah berdiri di salah satu antrian konter imigrasi.
Aku memandang lekat-lekat deretan konter imigrasi itu, bentuknya menyerupai box telepon umum. Hanya ada microphone dan lubang kecil di bagian bawah untuk berkomunikasi antara pelancong dan petugas imigrasi. Berbeda dengan konter imigrasi umumnya yang biasanya berbentuk konter setengah badan sehingga pengunjung bisa bercakap dengan petugas secara langsung tanpa penghalang apapun.
Aku segera menurunkan backpack, mengeduk isinya demi menemukan satu zipper file folder berwarna kuning dimana segenap dokumen perjalananku tersimpan di dalamnya. Satu paspor aktif, dua paspor non-aktif, lembaran-lembaran itinerary, sepuluh e-ticket penerbangan berbeda serta empat hostel confirmation booking tersimpan rapi di dalam folder itu.
Usai menemukannya, aku memegangnya erat, memanggul backpack kembali dan melanjutkan antrian. Antrian di jalurku tampak didominasi oleh warga Asia Tengah seperti Kazakhstan, Tajikistan, Kirgistan dan Turkmenistan. Selebihnya adalah pelancong asal Eropa dan Russia. Hanya diriku sendiri yang menjadi satu-satunya turis asal Asia Tenggara….Keren ga sich?……Hmmh #sombong.
Satu hal yang perlu kuceritakan perihal rasa diri ketika berada di antrian imigrasi negara asing adalah was-was. Seorang solo traveler biasanya akan melihat di sepanjang antrian untuk mencari solo traveler lain. Sangat mudah untuk ditemukan, mana diantara antrian itu, seorang solo traveler atau group traveler. Biasanya dua solo traveler akan saling tatap, tersenyum lalu mengernyitkan dahi….Pertanda kita merasakaan ketegangan yang sama sebelum menghadap meja imigrasi….Hahaha.
Tetapi sore itu, selama mengantri, terlihat tak ada sesuatu yang dipersulit oleh petugas imigrasi di antrianku. Aku berharap hal itu akan terus berlangsung hingga proses keimigrasianku tuntas.
“Next……”, teriakan yang lazim kudengar di antrian imigrasi.
“Ini giliranku…..Whatever happens, happens”, aku mantap melangkah.
Aku tiba di depan konter imigrasi, menyerahkan paspor. Atas inisiatifku sendiri, kuselipkan lembar pemesanan hostel tempatku menginap, tiket penerbangan Uzbekistan Airways menuju Kazakhstan sebagai jaminan bahwa aku akan meninggalkan Tashkent. Demikianlah keunggulanku, selalu detail mempersiapkan sesuatu. Ketika pelancong lain hanya menyerahkan paspor maka sudah menjadi kebiasaan bahwa aku akan menyerahkan dokumen tiga kali lebih lengkap dari pelancong lain.
Sejenak petugas imigrasi itu terdiam, memeriksa segenap dokumen yang kuberikan. Membaca lembar demi lembar. Hanya saja, aku mulai khawatir ketika dia terhenti pada salah satu halaman paspor. Dia mengambil sebuah alat semacam pemancar sinar ultraviolet. Berkali-kali petugas itu meletakkan pasporku di bawahnya. Aku tah dia sedang mendeteksi security ink di dalam pasporku, tinta itulah yang menjadi satu komponen penting dalam setiap paspor yang bisa digunakan untuk mengecek keabsahan sebuah paspor.
Aku begitu tegang menunggunya….Aku terus menatap wajah serius petugas imigrasi itu.
Tapi kabar baik masih berpihak padaku. Usai mengecek pasporku berkali-kali, petugas imigrasi itu akhirnya membubuhkan stempel free visa di halaman akhir paspor yang kemudian membuatku susah mencari keberadaan stempel itu.
Aku diperbolehkan memasuki wilayah yuridis Uzbekistan melalui sebuah jalur sempit di samping konter imigrasi.
Aku menarik napas panjang…..Aku berhasil memasuki Uzbekistan.
Yiaaaayyyy……Uzbekistan sendiri akhirnya menjadi negara ke-29 di dunia yang pernah aku kunjungi.
Sesenang-senangnya diriku, aku tetap waspada bahwa sejatinya aku sedang berkejaran dengan gelap. Aku sadar bahwa semakin lama berada di bangunan terminal bandara, resiko keamanan menuju ke penginapan di saat gelap juga semakin meningkat.
Oleh karenanya, aku harus segera membereskan segenap keperluan. Aku menyapukan pandangan ke segenap penjuru bangunan Terminal 1. Terminal itu tidak terlalu besar. Aku mudah sekali melihat setiap ujung ruangannya. Ya…..Aku mencari keberadaan money changer.
Melihat ke segala penjuru, tapi tak kunjung menemukannya. Aku khawatir karena bagaimana bisa membeli SIM card beserta paket datanya apabila tak bisa menukar Dollar yang kumiliki ke mata uang lokal.
Aku menarik napas dalam-dalam….Berusaha tenang.
Well shared! 🙌
Thanks