Air Arabaia G9 115 dari Muscat (MCT) ke Sharjah (SHJ)

<—-Kisah Sebelumnya

Aku terduduk di salah satu bangku berwarna hijau di waiting room Gate C3 Muscat International Airport. Aku menunggu kedatangan Air Arabia G9 115 yang rencananya akan mengantarkanku untuk transit di Sharjah sebelum sampai di tujuan akhir Manama, Bahrain.

Aku cukup sabar dan tenang ketika menunggu kedatangan pesawat tersebut. Aku menjadi penumpang pertama yang tiba di waiting room tersebut berusaha untuk khusyu’ mengamati pemandangan sepanjang apron. Hilir mudik pesawat mampu membuatku mengindahkan rasa bosan. Untuk beberapa saat aku tak menyadari bahwa seiring waktu berjalan, waiting room itu mulai didatangi calon penumpang.

Aku beranjak dari dinding kaca, dan mengambil duduk di depan gate, bersiap diri untuk melakukan boarding.

Tepat jam sepuluh pagi….

Pengumuman memenuhi langit-langit bandara, penerbangan Air Arabia G9 115 memulai proses boardingnya. Aku yang bersemangat, terkesiap dan berdiri di antrian paling depan. Tak lama kemudian, ground staff wanita yang ada di depanku melempar senyum manis dan mengangguk, pertanda bahwa aku dipersilahkan melewati gate. Aku menunjukkan boarding pass dan paspor secara bersamaan, dan dia mengarahkanku menuju aerobridge demi memasuki kabin pesawat.

Di tengah jalur aerobridge itulah, untuk pertama kalinya aku bisa melihat penampakan bangunan bandara, gagah dan berwibawa, itulah kesan pertama yang mengendap dalam pikiranku. Bangunan bandara itu tampak solid dan kokoh dengan gradasi dua warna, hitam di bagian atas dan putih di bagian bawah.

Memasuki pesawat, aku disambut oleh pramugara di tengah kabin. Sebut saja namanya Mustafa, air crew yang berperawakan tinggi.

Nice backpack”, dia tersenyum sembari menunjuk ke backpack yang aku panggul.

I had travelled with it in 30 countries”, aku bergumam pelan sambil menatapnya.

“What?”…..”Thirty”……”Cool”, dia terperangah.

Yeaaa”, aku semakin melebarkan senyum.

Waiting room Gate C3, Muscat International Airport.
Air Arabia G9 115 sudah menunggu di apron.
Melintasi aerobridge saat boarding.
Bentuk Muscat International Airport tampak dari aerobridge.
Kabin Air Arabia G9 115.

Usai memasukkan backpack di bagasi atas, aku segera duduk di bangku bernomor 20E, posisi bangku yang tak menjadi idaman buatku karena keterbatasanku untuk mengeksplorasi suasana di luar pesawat saat penerbangan berlangsung.

Air Arabia sendiri menjadi maskapai ke-26 dari 29 jenis maskapai yang pernah kunaiki. Sedangkan Air Arabia sendiri termasuk ke dalam golongan Low Cost Carrier (LCC) yang berbasis di Sharjah, Uni Emirat Arab. Menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku karena telah diberikan kesempatan untuk menikmati LCC berwarna putih denga kelir merah tersebut.

Air Arabia G9 115 yang kunaiki merupakan penerbangan berdurasi 40 menit dengan jarak tempuh 390 km. Menggunakan pesawat berjenis Airbus A320, penerbangan ini memiliki inflight magazine bertajuk “Nawras”. Dari majalah itu aku mengetahui bahwa Air Arabia memiliki 170 rute penerbangan yang melintas di 50 negara.

Penerbangan pagi itu berlangsung mulus tanpa turbulensi dan aku tiba di Terminal 2 Sharjah International Airport menjelang tengah hari.

Aku pun tak sabar untuk segera menapaki Sharjah International Airport.

Terimakasih Air Arabia.

Alternatif untuk mencari tiket pesawat dari Muscat ke Sharjah bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Gate C3: Menangkap Air Arabia G9 115

<—-Kisah Sebelumnya

Pukul setengah lima pagi aku terbangun dari sebuah bangku panjang di salah satu sudut food court Muscat International Airport Lantai 2. Aku bergegas menuju Musholla di lantai yang sama untuk menjalankan shalat dan setelahnya aku kembali ke bangku yang sama untuk menyantap cheese cake dan strawberry yogurt yang kubeli di Lulu Hypermarket pada sehari sebelumnya.

Setidaknya hingga pukul enam pagi aku bertahan di bangku itu untuk kemudian beranjak ke toilet demi menggosok gigi dan menyeka muka.

Ketika semua sudah kurasa siap, maka aku segera menuju ke Departure Hall di Lantai 3 demi menuju ke check-in desk.

Aku sudah tak sabar untuk pergi menuju ke tempat baru lainnya. Pagi itu akan terbang menuju Manama, Bahrain. Akan tetapi penerbangan Air Arabia yang kuambil akan membawaku untuk transit sementara waktu di Sharjah, Uni Emirat Arab.

Walau beberapa hari sebelumnya aku telah mengeksplorasi Dubai, ibu kota Uni Emirat Arab. Akan tetapi rencana transit di Sharjah pagi itu tetap tak mengurangi rasa antusiasku.

Melalui escalator aku menuju lantai 3. Tiba di Departure Hall, aku sigap mencari keberadaan Flight Information Display System (FIDS) demi mencari informasi tentang penerbanganku. FIDS yang terpampang di salah satu sisi koridor mengarahkanku menuju check-in desk nomor F9 untuk mendapatkan boarding pass.

Tanpa pikir panjang aku segera melangkah menuju check-in desk yang dimaksud. Tiba di depannya, tampak sudah mengantri para calon penumpang dengan wajah khas Asia Selatan. Dari paspor yang dipegang, aku tahu bahwa mereka berkewarganegaraan Bangladesh.

Mengantri tak lebih dari setengah jam, akhirnya aku mendapatkan dua boarding pass. Selain untuk penerbangan Air Arabia G9 115 dari Muscat menuju Sharjah, aku juga mendapatkan boarding pass untuk penerbangan Air Arabia G9 105 dari Sharjah ke Bahrain.

Aku menggenggam dua boarding pass tersebut untuk kemudian bergegas menuju konter imigrasi. Dengan mudah aku menemukan konter imigrasi tersebut setelah mengikuti arahan dari beberapa signboard yang terpampang di beberapa titik koridor.

Abis gosok gigi….Hihihi.
Cari info di FIDS.
Menuju Check-in Desk.
Mendapatkan boarding pass di check-in desk F9.
Free duty zone.
Menuju Gate C3.

Sedang enak-enaknya mengantri di konter imigrasi. Seorang petugas imigrasi berjubah putih memanggilku untuk keluar dari antrian.

ID card please !”, dia memintaiku identitas kewarganegaraan.

Wait, Sir”, aku menurunkan backpack lalu berjongkok mengaduk-aduk isinya demi menemukan travel wallet

Is this what you mean?”, aku memberikan KTP WNIku beserta paspor.

Dia terdiam dan fokus mengamati KTP dan paspor yang kuberikan.

Traveling?”, dia berujar memastikan tujuanku berkunjung ke Oman

Yeaa, just traveling”, aku tersenyum sembari menerima kembali KTP dan pasporku.

OK”, tangannya mempersilakanku untuk kembali menuju antrian yang kutinggalkan. Bahkan petugas itu dengan baiknya memohon izin kepada para pengantri demi menyelipkanku di antrian depan, sesuai dengan urutan antrian yang kutinggalkan beberapa menit sebelumnya.

Menghadap staff imigrasi di salah satu konter, dengan mudah aku mendapatkan stempel departure di paspor.

Aku meninggalkan konter imigrasi dengan sumringah dan kemudian mengesampingkan keberadaan free duty area yang kulewati.

Aku merapat ke Gate C3 dan bersiap menuju Sharjah….

Kisah Selanjutnya—->

Menginap di Muscat International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Ruwi-Mwasalat Bus Station mulai diselimuti gelap, hanya sisa semburat senja saja yang memiliki dominasi akhir di atas atap alam terminal bus terbesar di kawasan Ruwi tersebut.

Degup jantungku perlahan melambat usai mendudukkan diri di sebuah bangku terminal, beberapa waktu sebelumnya aku berjibaku di sepanjang Al Fursan Street dengan langkah super cepat demi mendahului gelap untuk tiba di terminal bus.

Sesekali aku meneguk air mineral tersisa, aku berusaha mendinginkan keringat sebelum masuk ke dalam bus.

Sedangkan tepat di depanku, menyala dengan langsam mesin Mwasalat Bus bernomor 1B. “Lebih baik aku naik jika bus bersiap untuk jalan saja”, aku membatin sembari menatap ke arah bus yang perlahan terisi penumpang, tetapi tak terlalu penuh.

Beberapa detik menjelang pukul enam sore…

Pengemudi mulai menaiki bus di bangkunya, bersamaan dengan itu aku pun ikut serta masuk melalui pintu depan. Menyerahkan ongkos senilai 1 Rial maka aku duduk di bangku tengah, tepat di belakang seorang turis asal Eropa yang tampak sibuk mengotak-atik kamera DSLRnya.

Seperti perjalananku menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station beberapa hari lalu dari bandara, perjalanan ini akan membutuhkan waktu setengah jam saja untuk tiba di tujuan akhir .

Bus perlahan berjalan meninggalkan terminal, memasuki jalan-jalan kota yang indah tersiram cahaya lampu-lampu jalanan. Sedangkan beberapa bangunan ikonik di sepanjang jalan menampilkan keelokan tersembuyi ketika mendapatkan terpaan lampu berwarna-warni, menjadikan seluruh penjuru kota Muscat yang kulewati tampak hidup.

Menyusuri Sultan Qaboos Street, aku terus terhanyut dalam suasana malam kota. Turis Eropa yang berada di depanku tampak sesekali mengarahkan kameranya ke beberapa sudut kota yang menarik mata.

Sedikit lewat dari pukul setengah tujuh malam….

Aku tiba di Muscat International Airport dan diturunkan di Public Bus Service Area yang berlokasi di Ground Floor bandara. Aku tak terburu-buru untuk memasuki bagian dalam bangunan bandara karena memang penerbanganku menuju Bahrain masih dijadwalkan esok pagi.

Aku pun beranjak menuju Lantai 1. Aku memutuskan untuk berada di luar bangunan bandara demi menikmati keindahan Muscat International Airport di malam hari dari salah satu sudut tamannya. Udara yang belum terlalu dingin seolah mendukung niatanku untuk menghabiskan waktuku di taman depan bandara tersebut.

Duduk di salah satu bangku taman, aku terus berpikir, begitu apiknya Oman Airports sebagai operator Muscat International Airport dalam menata bandara berusia setengah abad tersebut. Sejauh mata memandang, parkir area yang tertata rapi telah dipenuhi dengan kendaraan-kendaraan mewah. Sedangkan cahaya di setiap penjuru taman menjadikan gradasi tiga warna dominan melukis penampilan bandara. Warna hijau dari vegetasi di sekitar bandara berpadu dengan warna putih dan kuning cahaya lampu membuat simfoni alam yang meneduhkan mata.

Keindahan suasana manjadikanku tak sadar terpedaya oleh waktu. Tak terasa tengah malam sekejap lagi tiba. Udara juga terasa lebih dingin dari waktu sebelumnya. Tak mau kedinginan, aku pun menuju lantai dua bangunan bandara yang merupakan lantai dimana Services & Amenities Area ditempatkan.

Tujuan utama dan pertamaku di lantai itu adalah musholla, tentunya demi menunaikan kewajiban shalat Jamak Maghrib dan Isya’.

Usai shalat, aku tak punya tujuan lain setelah selain beristirahat. Maka kuputuskan untuk mengakuisisi sebuah bangku kosong di food court area untuk tidur dan beristirahat hingga fajar tiba.

Sungguh aku telah menemukan malam yang berkesan di Muscat International Airport.

Kisah Selanjutnya—->

Kembali ke Ruwi-Mwasalat Bus Station: Menutup Petualangan di Muscat

<—-Kisah Sebelumnya

Satu setengah jam lamanya, aku menyambangi setiap sudut Muscat Sports Club hingga matahari tergelincir menuju ufuk barat.

Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore….

Aku pun memutuskan untuk undur diri, mengakhiri petualangan dan beranjak kembali menuju penginapan. Aku harus mengambil backpack yang kutitipkan usai check-in siang sebelumnya. Rencananya, setelah mengambil backpack, aku akan menuju bandara dan menginap di sana saat malam tiba. Itu karena penerbanganku menuju Bahrain akan berlangsung di keesokan pagi.

Melintasi coffee shop yang terletak di sebelah gerbang utama Muscat Sports Club, aku kembali turun di jalanan. Menelusuri An Nuzhah Street sisi selatan, menuju utara. Kembali menyisir jalanan yang sama ketika aku tiba di Al Wadi Al Kabeer Park dan Muscat Sports Club.

Sore itu udara sudah tak panas lagi, melainkan bertransformasi menjadi hembusan angin dingin yang membawa butir-butir pasir, membuat kulit gatal dan mata pedih ketika menerpa badan.

Tak peduli dengan hembusan angin  itu……

Entah kenapa, tetiba langkahku menjadi kikuk ketika tiba di depan Al Wadi Al Kabir Market. Aku berhenti sejenak, menatap bangunan perbelanjaan itu. Memaksa otak untuk berpikir, “Apa yang harus kupersiapkan?”.

Aku menarik dompet dari dalam folding bag, melihat isinya, setelah merasa cukup dengan lembaran Rial yang kupunya, maka aku pun tanpa ragu masuk ke dalam bangunan itu dan bergegas memasuki Lulu Hypermarket di dalamnya.

Ya….Aku menyempatkan berbelanja beberapa makanan untuk perbekalan selama di perjalanan menuju Bahrain. Perjalananku menuju Bahrain akan dimulai dengan menginap di Muscat International Airport malam itu juga dan akan tiba di Bahrain pada pukul empat sore di keesokan harinya. Itu berarti aku akan berada diperjalanan selama 22 jam.

Setelah menelusuri seisi Lulu Hypermarket selama lima belas menit aku keluar dari pasar swalayan itu dengan membawa cheese sandwich, yogurt, orange juice dan cake. Semuanya kutebus dengan harga 725 Baisa.

Lalu aku pergi meninggalkan Al Wadi Al Kabir Market dengan menenteng kantung plastik yang berisi barang belanjaan. Selepas mengunjungi Lulu Hypermarket, aku pun melangkah secepat mungkin dan berfokus menuju penginapan. Menjelang pukul lima sore, aku pun tiba di OYO 117 Majestic Hotel, tempatku menginap.

Setelah mengambil backpack di resepsionis, aku tak terburu menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station, melainkan menuju ke kedai khas Bangladesh yang telah menjadi langgananku semenjak tiba di Muscat.

Mampir di Lulu Hypermarket.
Suasana jalanan di sekitar OYO 117 Majestic Hotel.
Tepat di tikungan menuju OYO 117 Majestic Hotel.
Makan dengan cara Bangladesh….Wkwkwkwk.
Menjelang gelap di Al Fursan Street.

Sore menjelang malam itu, aku menyantap nasi putih dengan chicken fry sebagai lauknya. Pemilik kedai itu telah paham dengan kebiasaanku selama beberapa hari sebelumnya. Dia menyuguhkanku satu potongan paha yang itu berarti menyuguhkan setengah dari porsi normal. Jadi aku hanya perlu untuk membayarnya separuh porsi saja, cara tepat bagiku untuk berhemat.

Aku pun membayar menu makan malamku dengan 250 Baisa ketika selesai menandaskan nasi di piring.

Selanjutnya aku pun kembali menelusuri Al Fursan Street. Berjalan sejauh dua kilometer dengan waktu tempuh tiga puluh menit.

Aku pun tiba di Ruwi-Mwasalat Bus Station….

Aku bersiap menuju ke Muscat International Airport

Kisah Selanjutnya—->

Muscat Club: Menguntit Sekelompok Atlet Kriket

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Al Wadi Al Kabeer Park pada pukul setengah dua siang. Tentunya matahari masih menyengat kuat. Langkahku berlanjut ke arah selatan.

Sudah kepalang  tanggung….Aku akan menuju ujung selatan distrik Al Wadi Al Kabeer sekalian”, aku membatin yakin.

Aku melanjutkan petualangan melalui sisi selatan An Nuzhah Street. Sesekali aku harus berhenti di teras-teras toko hanya untuk bersembunyi sejenak dari teriknya matahari. Bahkan ketika baru berjalan sejauh setengah kilometer, aku menyempatkan diri untuk memasuki bangunan Al Wadi Al Kabir Market yang didalamnya terdapat outlet Lulu Hypermarket. Aku harus membeli dua botol air mineral karena telah kehabisan air semenjak meninggalkan Al Wadi Al Kabeer Park. Dua botol air mineral berukuran 500 ml tersebut aku tebus dengan 170 Baisa.

Setelah mendinginkan badan sejenak di ruangan berpendingin udara milik Lulu Hypermarket, aku pun melanjutkan langkah, melawan kembali panasnya cuaca Muscat. Niatanku hanya ingin mengakhiri petualangan ketika telah mengkhatamkan beberapa sudut Distrik Al Wadi Al Kabeer.

Menggandakan langkah hingga satu kilometer aku pun melintasi sebuah sekolah swasta, Ibn Khaldoun School namanya. Ketika tiba di gerbang sekolah tersebut, aku melihat sekelompok pria yang membawa cricket bat memasuki sebuah gang di sisi An Nuzwah Street. Tentu sekelompok pria yang kutebak sebagai sekelompok atlet tersebut membangkitkan rasa penasaran di hati.

Aku pun bergegas untuk mengikuti sekelompok atlet kriket tersebut. Hanya berjarak tiga ratus meter, aku akhirnya tiba tepat di depan gang dimana para atlet tadi berbelok dari trotoar.

Muscat Club…..”, begitulah aku membaca sebuah signboard di pintu gerbang stadion berukuran sedang.

Gerbang stadion itu tertutup rapat. Aku yang penasaran, tanpa ragu mendekatinya, lalu memutari stadion demi menemukan celah untuk masuk ke dalamnya. Akhirnya aku mendapat celah itu di pojok kiri dari tribun utama stadion. Maka aku pun menyelinap masuk dan kemudian mendudukkan diri di salah satu bangku tribun.

Dari tribun utama itu, aku bisa melihat dengan jelas bahwa stadion utama itu diapit oleh dua buah lapangan bola tanpa tribun di sisi utara dan selatannya.

Muscat Club….Apa itu?

Gerbang stadion.
Stadion utama untuk latihan Muscat Club.
Ini buat latihan futsal kali ya…?
Lapangan pendamping.
Lapangan untuk berlatih memukulkan cricket bat.

Muscat club sendiri adalah sebuah klub olahraga di Oman yang mengembangkan beberapa kelompok tim olah raga yaitu sepak bola, hoki, bola voli, bola tangan, bola basket, bulu tangkis, squash hingga kriket. Khusus untuk tim sepak bola Muscat Club, saat ini tim tersebut adalah salah satu kontestan dari Oman Professional League yang merupakan level tertinggi kompetisi sepakbola di Oman.

Aku baru paham bahwa sekelompok atlet yang kulihat tadi adalah tim kriket milik Muscat Club yang hendak melakukan latihan rutin. Tampak lapangan kriket beserta lajur-lajur untuk berlatih memukulkan cricket bat ada di sisi utara stadion utama, sejajar dengan lapang sepak bola pendamping.

Sedangkan lapangan hoki berada tepat di sisi selatan lapangan untuk bermain kriket.

Tentu kompleks lapangan ini hanya digunakan sebagai sarana berlatih saja buat Muscat Club, karena tim ini menggunakan lapangan milik pemerintah sebagai venue kandangnya, yaitu Sultan Qaboos Sports Complex yang terletak di Distrik Boshar.

Senang rasanya, bisa mengunjungi salah satu kompleks milik klub sepakbola ternama di Oman tersebut.

Kisah Selanjutnya—->

Al Wadi Al Kabeer Park: Kuda sebagai Pusat Perhatian

<—-Kisah Sebelumnya

Tubuhku remuk redam, hampir dari dua hari sebelumnya aku menghabiskan waktu di jalanan dan perjalanan. Otomatis fatigue segenap otot membuatku cepat terlelap dan akhirnya lambat terbangun di pagi itu. Beruntung aku masih bisa menyempatkan diri untuk menjalankan Shalat Subuh, walaupun setelahnya aku kembali terlelap di kasur empuk OYO 117 Majestic Hotel.

Pukul sepuluh pagi aku terbangun kembali dari tidur lelap….

Kemudian, aku pun berlama-lama menikmati siraman air panas di shower kamar mandi, membiarkan otot-otot betisku mendapatkan relaksasi karena aku baru akan mendapatkan kamar hotel kembali di keesokan malam ketika aku memasuki Kota Manama, Bahrain.

Setelah sadar bahwa aku berada di bawah shower lebih dari setengah jam, maka aku pun segera menyudahi mandi pagi dan mulai bersiap diri untuk melakukan eksplorasi di waktu tersisa. Aku mulai mengemasi semua barang dan perlengkapan ke dalam backpack biruku, untuk kemudian mulai meninggalkan kamar hotel.

Can me put my backpack here?. I will take it on 5 pm”, aku meminta tolong kepada resepsionis pria yang sehari sebelumnya menerima kedatanganku.

Sure, you can put your backpack”, dia pun menerima backpackku dan menaruhnya di salah satu titik ruang resepsionis.

Aku pun mulai pergi meninggalkan hotel. Kali ini tujuan pertamaku adalah mencari sarapan. Tentu aku menuju kedai khas Bangladesh yang telah menjadi langgananku semenjak tiba di Muscat. Kedai itu hanya berjarak seratus meter dari hotel, sehingga dengan cepat aku mencapainya.

Pagi itu aku mencicipi menu baru, tidak lagi nasi seperti hari-hari sebelumnya, kini aku mencicipi dua potong Chappatti yang dibanderol seharga 100 Baisa.

Tak perlu waktu lama untuk bersarapan. Aku pun segera beranjak menuju selatan, menelusuri jalanan di sisi kanan hotel tempatku menginap. Maka dalam jarak tempuh setengah kilometer, maka aku mulai merapat di An Nuzhah Street.

An Nuzhah Street adalah jalan raya yang memiliki lebar tak kurang dari lima puluh meter, sedangkan di bagian tengahnya tampak membentang wadi (jalur air yang biasanya hanya dilewati air pada musim penghujan). Wadi itu telah di beton memanjang menyesuaikan kontur jalan.

Aku terus melangkah ke selatan hingga kemudian berhenti di sebuah gerbang besar berwarna cokelat.

“Muntazah Al Wadii Al Kabiir”, aksara Arab itu dengan jelas kubaca.

Taman Al Wadi Al Kabiir”, aku bergumam mengartikan aksara itu.

Seketika aku sangat berniat memasukinya.

Membaca dua belas larangan utama ketika beraktivitas di dalam taman, aku mencoba mengingat beberapa aturan taman yang jarang kutemukan di taman-taman lain, beberapa peraturan yang tertera di papan berbahan besi itu adalah larangan menghisap shisha, membawa sepeda dan kendaraan, memetik bunga, dan melakukan aktivitas barbeque.

Begitu memasukinya, aku mencoba mengamati taman dari ujung ke ujung, membayangkan bentuk aslinya. Sekilas taman itu berbentuk heksagon, seperti layang-layang dan memiliki luasan berkisar empat hektar.

An Nuzhah Street.
Layout taman.
Taman yang artistik.
Kids Playground.
Mau naik kuda?

Taman itu tampak indah karena tepat berada di kaki perbukitan berbatu. Nuansa komersial juga tampak menyelimuti taman, karena di beberapa titik strategisnya, terpasang beberapa papan iklan yang menjadi bagian bisnis dari JCDecaux.

JCDecaux sendiri adalah perusahaan periklanan multinasional terbesar di dunia yang berbasis di Neauilly-sur-Seine, Prancis.

Taman ini terasa istimewa dengan keberadaan kedai kopi di pusatnya dan tersedianya kids playground di sisi lainnya. Sementara itu, pohon palem tetap menjadi vegetasi utama di dalamnya seperti kekhasan taman-taman di seluruh negara di Kawasan Timur Tengah.

Dan kunjungan di Al Wadi Al Kabeer Park kuakhiri dengan dengan menikmati pemandangan unik dengan keberadaan seekor kuda yang rupanya menjadi properti taman. Rupanya kuda tersebut menjadi daya tarik bagi penduduk lokal untuk mengunjungi taman tersebut.

Baru kali ini aku melihat taman ada kudanya….Wkwkwkwk.

Kisah Selanjutnya—->

Muttrah ke Ruwi: Mubadzir Air di OYO 117 Majestic Hotel

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berkejaran dengan gelap demi tiba di halte bus Fish Market yang terletak di tepian Harat A’Shamal Street. Bersyukur sekali, aku tiba di halte tepat bersamaan dengan merapatnya Mwasalat Bus Line 4 yang berwarna dominan merah.

Aku segera melompat dari pintu depan ketika bus tersebut berhenti mendecit di depan halte. Membayar dengan 200 Baisa kepada pengemudi, aku pun menduduki bangku tengah. Tak berselang lama Mwasalat Bus itu melaju dengan anggun di Al Mina Street menuju Ruwi-Mwasalat Bus Station.

Aku sampai dalam lima belas menit….

Tiba di terminal utama Ruwi tidak berarti perjalananku usai. Melainkan aku harus menyambung langkah sejauh dua kilometer demi tiba di OYO 117 Majestic Hotel yang terletak di daerah Al Wadi Al Kabir.

Bak atlit jalan cepat, aku melahap blok demi blok daerah Al Humriyyah dan dalam waktu tiga puluh menit aku telah berjarak seratus meter dari penginapan.

Belum juga tiba di penginapan….

Tetiba perutku berbunyi. “Oh, iya….Sudah waktunya makan malam”, aku yang terlupa akhirnya membatin.

Tanpa pikir panjang, aku segera berbalik arah demi menyambangi kantin langganan yang sudah terlewat beberapa puluh meter di belakang.

Sore itu aku pun menyantap setengah porsi chicken fry khas Bangladesh beserta sepiring nasi dan menebusnya dengan 700 Baisa.

Aku menyantap menuku dengan cepat untuk kemudian kembali bergegas menuju penginapan.

Hatiku terasa lega ketika tiba di depan penginapan, setidaknya aku bisa mendahului datangnya malam demi mengamankan diri di penginapan.

Melangkahlah aku di lobby penginapan…..

“Hello, sir…. How is your day…. Is it fun?”,, sapa resepsionis pria yang menerima kedatanganku pada pagi sebelumnya.

Hi, Sir….Wonderful, I had explored the beauty of Muttrah all day”, aku melambaikan tangan kepadanya

Have a good rest, Sir”, dia terseyum ramah kepadaku.

“Thanks….”, aku pun meninggalkannya demi menuju lift yang akan mengantarkanku menuju lantai 3.

Beberapa saat kemudian, aku pun tiba di depan pintu kamar.

Aku sudah tak sabar untuk menghempaskan tubuhku di kasur dengan segera, mengingat sedari malam sebelumnya, aku tak bisa memejamkan mata dengan sempurna karena harus menempuh perjalanan udara dari Dubai. Ingin rasanya untuk membalas dendam kekurangan tidurku.

Aku pun membuka pintu dengan santainya, tak ada siapapun di lorong kamar sore menjelang malam itu. Aku segera memasuki kamar, mengunci pintu dan bersiap untuk melompat ke kasur.

Tetapi….

Tolakan kakiku terhenti seketika ketika aku mendengar bunyi samar gemerecik air.

“Itu dari kamar mandi”, aku diam berkonsentrasi mendengarkan.

Halte Bus Fish Market\.
Chicken Fry khas Bangladesh.
Ini dia, warung makan langgananku selama du Muscat.
Kamarku lega banget kan?

Aku pun segera menuju ke kamar mandi.

“Astaga……”, aku menepok jidat, memaki diri sendiri melihat apa yang terjadi di wastafel.

Kran itu mengucurkan air dengan pelannya.

Hmmh…..Sudah berapa banyak air yang kubuang sia-sia sedari meninggalkan kamar pagi tadi?”, aku merasa berdosa karenanya.

Parah kamu Donny…..”, aku terus memaki diri.

Selepas kejadian itu, aku pun segera membersihkan diri dan kemudian berisitirahat demi memulihkan kesegaran badan untuk berpetualang di keesokan harinya.

Kisah Selanjutnya—->

Mina Al Sultan Qaboos Waterfront: Percobaan Curang yang Gagal

<—-Kisah Sebelumnya

Aku menyandarkan diri di sebuah tanggul batu di tepian pantai, memandangi indahnya permukaan laut yang disiram cahaya matahari yang mulai memerah. Sementara para nelayan di dermaga tampak sibuk menyiapkan jaring, menggulungnya rapi untuk kemudian dinaikkan ke perahu-perahu kayu yang mengangguk-angguk di terpa gelombang dan ujungnya diikatkan pada tiang-tiang tambat dermaga.

Jangan dibayangkan seperti dermaga ikan pada umumnya, dermaga ini hanya berupa deretan platform beton yang seolah mengapung di lautan. Dermaga itu tampak menghampar di tengah perairan.

Sementara itu latar belakang dermaga itu adalah Passanger Cruise Terminal milik Sultan Qaboos Port yang memarkirkan sebuah kapal pesiar yang sibuk dengan aktivitas di sekitarnya.

Untuk beberapa saat aku membiarkan diri untuk mengagumi pemandangan itu.

“Ayo Donny….Beranjaklah!, Saatnya pulang….”, tetiba aku mengingatkan diriku sendiri.

Aku akhirnya menuruti bisikan itu, toh memang benar, sebentar lagi gelap akan datang menggantikan siang.

Aku pun melangkahkan kaki kembali melalui sisi timur Muttrah Fish Market. Aku pun sering mencuri-curi pandang ke bangunan pasar yang megah tersebut. Beberapa waktu sebelumnya aku sudah menjelajah setiap sisi bagian dalam dari pasar ikan tersebut. Tetapi toh tetap saja, kharisma bangunan itu masih mencuri perhatianku ketika aku mulai meninggalkannya.

Aku akhirnya tiba kembali di sebuah sisi Harat A’Shamal Street. Arahku untuk pulang ada di sisi kiri…..Akan tetapi entah kenapa, pandanganku terlempar ke sisi kanan. Tatapku tertambat di sebuah bangunan di ujung barat Harat A’Shamal Street.

Bangunan itu berbentuk persegi dilengkapi dengan exterior berbentuk lingkaran-lingkaran di sisi panjangnya. Tekstur bebatuan menjadi permukaan utama tembok bangunan. Sementara itu signboard bernamakan DAMAC tampak menghiasi bagian teratas bangunan.

Aku pernah sekilas bertutur mengenai DAMAC pada artikelku saat mencicipi jasa Dubai Tram di Uni Emirat Arab.

Bolelah kuulang sekali lagi bahwa DAMAC Properties adalah sebuah perusahaan pengembangan properti terkemuka di kawasan Timur Tengah.

Daripada kehilangan kesempatan untuk mengetahuinya, lebih baik aku menyambanginya sejenak”, aku telah memutuskan,

Kuayunkan langkah menuju bangunan itu, dalam jarak dua ratus meter, aku tiba. Kini perhatianku tertuju pada banyaknya rombongan turis yang menuju ke sebuah bangunan lain, tampaknya bangunan itu masih terkait dengan bangunan bertajuk DAMAC yang berada tepat di hadapanku.

Dermaga untuk nelayan.
Gedung milik DAMAC.
Gerbang Mina Al Sultan Qaboos Waterfront yang gagal kulewati.

Aku memutuskan mengikuti arus turis-turis Eropa tersebut. Hingga aku tiba di sebuah gerbang dengan dua sisi, gerbang untuk kendaraan roda empat di sisi barat dan gerbang pejalan kaki di sisi timurnya. Turis-turis itu tampak memasuki jalur pejalan kaki tanpa pemeriksaan dari para serdadu yang menjaga gerbang.

Aku pun berinisiatif mengikuti para turis tersebut.

Aku yang tanpa rasa was-was pun berhasil melewati gerbang itu setelah menempel di bagian akhir rombongan turis asal Jerman.

Tetapi belum juga menghabiskan lima langkah, salah satu serdadu yang menjaga gerbang memanggilku.

“Hi, Sir….Wait….Wait” , dia menunjuk mukaku

“Yes, Sir”, aku menunjukkan mukaku sendiri untuk meyakinkan dia sedang memanggilku.

“ Yes, you, come here!”, dia mengangguk.

“Where is your ticket?”, dia berdiri tegap menatapku

“They don’t show their ticket to you”, aku menunjuk serombongan turis Jerman yang kukuntit.

“Their tour guide shows their group’s ticket to me”, tentara itu tersenyum menatapku seolah memenangkan percakapan.

“Oh I’m so sorry, so I can’t go there”, aku menunjuk ke bagian dalam.

“No”, dia menjawab dingin.

Aku yang dalam hati tertawa terpingkal pun meninggalkan serdadu itu.

“Percobaan curangku gagal”, aku akhirnya tak bisa menahan senyum yang akhirnya tersungging ketika aku berbalik badan dan melangkah pergi.

Destinasi wisata yang hendak kutuju tersebut adalah Mina Al Sultan Qaboos Waterfront.

Mina Al Sultan Qaboos Waterfront merupakan proyek kawasan pesisir Teluk Oman yang di masa depan akan menaungi beberapa zona sekaligus, yaitu zona bisnis dan perumahan, pusat-pusat perbelanjaan, enam hotel utama, fasilitas rekreasi dan tempat wisata, serta fasilitas pelabuhan bagi kapal pesiar dan kapal pesiar.

Kisah Selanjutnya—->

Muttrah Fish Market: Tengara Baru di Sepanjang Corniche

<—-Kisah Sebelumnya

Sebuah bangunan kecil nan unik menarik perhatianku ketika berada di lantai teratas beranda utara Muttrah Souq. Bangunan itu berada di sisi timur pasar. Maka tanpa berpikir panjang, aku pun menuruni tangga dan melangkahkan kaki menujunya.

Hanya perlu bergerak sejauh seratus meter, maka aku pun tiba di depan bangunan mungil itu.

“Omani Heritage Gallery….”, aku membaca sebuah signboard yang terpajang di bagian depan bangunan.

Tanpa pikir panjang aku pun memasukinya….

Di ruangan bagian dalam aku meliat etalase yang memajang dan menjual kerajinan tangan dan buah tangan khas Oman. Beberapa turis asal Eropa tampak khusyu’ menawar beberapa produk asli masyarakat Muttrah itu.

Berdasar informasi yang kudapatkan, outlet ini memang didirikan untuk memfasilitasi para pengrajin lokal dalam memasarkan karyanya. Kerena berfungsi sebagai fasilitator maka Omani Heritage Gallery menyerahkan semua keuntungan penjualannya kepada para pengrajin. Salah satu hasil kerajinan yang kulihat di salah satu etalasenya adalah Frankincense Essential Oil yang merupakan minyak olahan khas Timur Tengah.

Untuk beberapa saat, aku bisa menikmati karya-karya otentik tersebut, untuk kemudian aku pun keluar dari ruangan dan berniat untuk melanjutkan eksplorasi.

Aku kembali berjalan menuju ke arah barat. Tujuanku adalah ujung barat Al Bahri Road.

Aku akan mengakhiri petualanganku di titik itu”, aku telah memutuskan.

Kali ini aku berjalan mengikuti kontur depan pertokoan yang kebanyakan menjual kain-kain sutra. Beberapa diantaranya menjual perhiasan yang terbuat dari perak. Beberapa saat kemudian berganti melintasi Masjid Nabawi-Muttrah yang didesain dengan warna dominan biru.

Dalam setengah kilometer akhirnya aku benar-benar tiba di ujung barat Al Bahri Road yang ditengarai dengan keberadaan Al Saidia School.

Al Saidia School yang berada di Muttrah merupakan sekolah cabang ketiga yang sudah berusia 63 tahun. Sedangkan Al Saidia School sendiri adalah sekolah pertama yang berdiri di Negara Oman pada masa modern. Keberadaan sekolah berusia tua di sini menunjukkan bahwa area Muttrah telah lama memegang peranan penting dalam perkembangan Kesultanan Oman.

Dari titik itulah aku melihat dengan jelas bangunan besar modern dan futuristik, letaknya tepat di sisi seberang Al Saidia School sedikit ke barat.

Aku pun bergegas mendekatinya….

Begitu tiba tepat di hadapan bangunan raksasa itu, aku membaca signboard di depannya.

Mutrah Market For Fish, Fruits & Vegetables….Oh, pasar ikan”, aku bergumam pelan.

Pasar ikan itu berwarna putih dengan atap yang dibuat bergelombang bak permukaan lautan. Area parkir yang luas tampak dipenuhi oleh mobil-mobil warga yang terparkir dengan rapi. Sementara di bagian belakang pasar adalah Sultan Qaboos Port yang berdampingan dengan dermaga beton yang menyandarkan perahu-perahu mungil nelayan.

Sore itu pasar tak begitu ramai, mungkin aku tidak datang di puncak keramaiannya. Biasaya pasar ikan memang ramai pada dini hari hingga menjelang fajar. Tetapi toh aku masih bisa menemukan beberapa pedagang yang menjajakan ikan di lapak-lapaknya.

Omani Heritage Gallery.
Pertokoan di sisi selatan Al Bahri Road.
Al Saidia School.
Muttrah Fish Market.
Dermaga nelayan di belakang Muttrah Fish Market.

Muttrah Fish Market adalah tengara baru di tepian pantai, tepatnya di salah satu titik dari corniche yang ramai. Pasar ini diproyeksikan Kesultanan Oman sebagai pusat industri perikanan Oman yang terus berkembang dengan pesat.

Hal ini tentu sangat selaras dengan semangat Muttrah yang telah melegenda dengan sejarah panjangnya sebagai pusat perdagangan komersial, pelabuhan, dan tradisi perikanan.

Dengan mencapai titik ini, sudah dipastikan petualangan pada hari perdanaku di Oman telah usai.

Sampai jumpa di area lain pada keesokan hari…..

Kisah Selanjutnya—->

Muttrah Souq: Al Dhalam yang Mengesankan

<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang pukul setengah tiga sore, aku memutuskan untuk meninggalkan benteng.

Aku belum juga sampai di bagian akhir Muttrah. Aku harus bergegas sebelum gelap menggantikan terang”, gumamku ketika menuruni anak-anak tangga Muttrah Fort.

Beberapa saat kemudian, tibalah aku di gerbang Muttrah Souq yang berada tepat di sisi utara Muttrah High Street.

Kali ini aku tidak kembali ke jalanan utama area Muttrah, yaitu Al Bahri Road. Melainkan aku memutuskan untuk melintasi jalan belakang demi menuju ujung barat Muttrah.

Muttrat High Street adalah jalanan kecil yang terletak di belakang deretan bangunan perkantoran serta barisan pertokoan yang menjejali sisi selatan Al Bahri Road.

Tapi entah kenapa, menjelang pukul tiga sore, pertokoan di sekitaran Muttrah High Road menutup pintunya. Tetapi mobil-mobil pribadi tampak padat berjejer di area-area parkir gedung dan pertokoan. Untuk sementara aku menghiraukan keanehan itu.

Aku terus saja melangkahkan kaki, aku paham bahwa jika meneruskan langkah menuju barat maka aku akan tiba di pasar tradisional terkenal, Muttrah Souq nama tempat perdagangan itu.

Benar adanya….Dalam jarak setengah kilometer, aku akhirnya tiba di pintu selatan Muttrah Souq. Sebelum memasuki bagian dalam pasar, aku mencoba untuk diam dan berdiri sejenak mengawasi sekitar. Mengumpulkan beberapa informasi dari segenap papan-papan pengumuman yang berada di area parkir.

Dari sebuah papan pengumuman lebar berwarna merah, aku akhirnya paham bahwa waktu kerja normal di kawasan pasar adalah dari pukul 08:00 – 13:30 dan dilanjutkan pada pukul 16:00 – 22:00, sedangkan pukul 13:30 -16:00 adalah waktu jeda yang digunakan untuk beristirahat.

Akhirnya aku mulai memasuki gerbang pasar….

Kesan pertama yang menyelimuti bilik pengalamanku adalah gelapnya suasana di dalam pasar. Cahaya lampu yang tak begitu benderang menjadi satu-satunya sumber cahaya yang membantu para pedaganng dan pembeli dalam bertransaksi.

Ciri khas Muttrah Souq yang gelap ini untuk kemudian menjadikan pasar tersebut memiliki julukan lokal Al Dhalam. Hal ini dikarenakan cahaya matahari yang tidak bisa masuk ke dalam pasar karena rapatnya kios-kios di dalamnya. Al Dhalam sendiri berarti kegelapan.

Suasana di dalam Muttrah Souq sendiri tampak begitu ramai ketika aku tiba, padahal aku tiba saat jeda istirahat pasar. Tak sedikit para wisatawan yang berburu souvenir di pasar tersebut. Bukhoor (minyak wangi), peralatan yang terbuat dari perak, barang-barang antik, pakaian tradisional ataupun rempah-rempah menjadi barang dagangan pavorit yang diperjual belikan di dalam pasar

Barang-barang antik yang mengkilap.
Turis-turis Eropa sedang berburu souvenir.
Tetap saja ramai walau sedang jeda istirahat.
Lampu-lampu gantung yang indah.
Kompas-kompas besar nan antik.
Suasana di sekitar gerbang utara Muttrah Souq.

Menurut catatan sejarah, area Muttrah sejak dulu memang sangat cocok menjadi pelabuhan alami yang kemudian otomatis membuat Muttrah bertransformasi menjadi kawasan perdagangan. Aktivitas perdagangan itu untuk kemudian membutuhkan keberadaan sebuah pasar sebagai pusatnya, oleh karena itulah Muttrah Souq didirikan oleh Kesultanan Oman.

Usaha kesultanan dalam menjaga otentiknya Muttrah Souq menjadikan pasar tradisional tersebut tetap menampilkan kekhasan budaya Oman yang kental didalamnya. Memiliki keunggulan dalam kelengkapan barang yang diperdagangkan menjadikan Muttrah Souq sebagai salah satu tujuan wisata terpopuler di Oman. Bahkan mayoritas wisatawan menjadikan Muttrah Souq sebagai lokasi terbaik untuk berburu souvenir.

Kunjunganku ke Muttrah Souq sendiri hanya berlangsung tak lebih dari satu jam, selain tak ada niatan untuk mencari souvenir apapun, waktu juga sudah mendekati pukul empat sore dan aku masih memiliki satu tujuan terakhir di ujung barat area Muttrah pada hari pertamaku di Oman.

Yuk ikut aku…..

Kisah Selanjutnya—->