Tubuhku remuk redam, hampir dari dua hari sebelumnya aku menghabiskan waktu di jalanan dan perjalanan. Otomatis fatigue segenap otot membuatku cepat terlelap dan akhirnya lambat terbangun di pagi itu. Beruntung aku masih bisa menyempatkan diri untuk menjalankan Shalat Subuh, walaupun setelahnya aku kembali terlelap di kasur empuk OYO 117 Majestic Hotel.
Pukul sepuluh pagi aku terbangun kembali dari tidur lelap….
Kemudian, aku pun berlama-lama menikmati siraman air panas di shower kamar mandi, membiarkan otot-otot betisku mendapatkan relaksasi karena aku baru akan mendapatkan kamar hotel kembali di keesokan malam ketika aku memasuki Kota Manama, Bahrain.
Setelah sadar bahwa aku berada di bawah shower lebih dari setengah jam, maka aku pun segera menyudahi mandi pagi dan mulai bersiap diri untuk melakukan eksplorasi di waktu tersisa. Aku mulai mengemasi semua barang dan perlengkapan ke dalam backpack biruku, untuk kemudian mulai meninggalkan kamar hotel.
“Can me put my backpack here?. I will take it on 5 pm”, aku meminta tolong kepada resepsionis pria yang sehari sebelumnya menerima kedatanganku.
“Sure, you can put your backpack”, dia pun menerima backpackku dan menaruhnya di salah satu titik ruang resepsionis.
Aku pun mulai pergi meninggalkan hotel. Kali ini tujuan pertamaku adalah mencari sarapan. Tentu aku menuju kedai khas Bangladesh yang telah menjadi langgananku semenjak tiba di Muscat. Kedai itu hanya berjarak seratus meter dari hotel, sehingga dengan cepat aku mencapainya.
Pagi itu aku mencicipi menu baru, tidak lagi nasi seperti hari-hari sebelumnya, kini aku mencicipi dua potong Chappatti yang dibanderol seharga 100 Baisa.
Tak perlu waktu lama untuk bersarapan. Aku pun segera beranjak menuju selatan, menelusuri jalanan di sisi kanan hotel tempatku menginap. Maka dalam jarak tempuh setengah kilometer, maka aku mulai merapat di An Nuzhah Street.
An Nuzhah Street adalah jalan raya yang memiliki lebar tak kurang dari lima puluh meter, sedangkan di bagian tengahnya tampak membentang wadi (jalur air yang biasanya hanya dilewati air pada musim penghujan). Wadi itu telah di beton memanjang menyesuaikan kontur jalan.
Aku terus melangkah ke selatan hingga kemudian berhenti di sebuah gerbang besar berwarna cokelat.
“Muntazah Al Wadii Al Kabiir”, aksara Arab itu dengan jelas kubaca.
“Taman Al Wadi Al Kabiir”, aku bergumam mengartikan aksara itu.
Seketika aku sangat berniat memasukinya.
Membaca dua belas larangan utama ketika beraktivitas di dalam taman, aku mencoba mengingat beberapa aturan taman yang jarang kutemukan di taman-taman lain, beberapa peraturan yang tertera di papan berbahan besi itu adalah larangan menghisap shisha, membawa sepeda dan kendaraan, memetik bunga, dan melakukan aktivitas barbeque.
Begitu memasukinya, aku mencoba mengamati taman dari ujung ke ujung, membayangkan bentuk aslinya. Sekilas taman itu berbentuk heksagon, seperti layang-layang dan memiliki luasan berkisar empat hektar.





Taman itu tampak indah karena tepat berada di kaki perbukitan berbatu. Nuansa komersial juga tampak menyelimuti taman, karena di beberapa titik strategisnya, terpasang beberapa papan iklan yang menjadi bagian bisnis dari JCDecaux.
JCDecaux sendiri adalah perusahaan periklanan multinasional terbesar di dunia yang berbasis di Neauilly-sur-Seine, Prancis.
Taman ini terasa istimewa dengan keberadaan kedai kopi di pusatnya dan tersedianya kids playground di sisi lainnya. Sementara itu, pohon palem tetap menjadi vegetasi utama di dalamnya seperti kekhasan taman-taman di seluruh negara di Kawasan Timur Tengah.
Dan kunjungan di Al Wadi Al Kabeer Park kuakhiri dengan dengan menikmati pemandangan unik dengan keberadaan seekor kuda yang rupanya menjadi properti taman. Rupanya kuda tersebut menjadi daya tarik bagi penduduk lokal untuk mengunjungi taman tersebut.
Baru kali ini aku melihat taman ada kudanya….Wkwkwkwk.
One thought on “Al Wadi Al Kabeer Park: Kuda sebagai Pusat Perhatian”