<—-Kisah Sebelumnya

Menjelang jam empat sore…..

Aku tiba di halaman depan Museum Pusat Negara.  Aku sendiri tak segera bergegas memasuki museum meskipun udara dingin di luar semakin mengintimidasi. Aku lebih sibuk memilih tempat berdiri terbaik demi mengabadikan perwujudan bangunan museum yang telah berusia 39 tahun itu.

Sekilas pandang, bangunan itu tampak tinggi menjulang dan kokoh karena ketebalan temboknya. Sementara itu, tepat di depannya terdapat sebuah plaza nan luas berhiaskan pot-pot beton berukuran besar yang disusun memanjang dan berjeda mengikuti kontur plaza yang menghubungkan museum dengan Furmanov Avenue. Sayangnya pot-pot beton itu memutih berselimutkan salju sehingga keindahan bunga-bunga taman tak bisa dinikmati mata telanjang.

Lima menit berselang…..

Aku memutuskan untuk memasuki museum. “Masih ada waktu 3 jam untuk mengeksplorasi seisi museum”, aku bergumam dalam hati.

Aku pun melangkah menuju pintu masuk museum….

aku membaca tulisan besar itu di atas gerbang masuk yang disusun dari empat lembar daun pintu berukuran besar dengan ukiran khas dan memiliki satu daun pintu yang terbuat dari kaca berada tepat di tengahnya.

Ketika memasuki gerbang, aku sedikit terkaget, karena di sebalik pintu masih terdapat pintu lagi. Jadilah aku berada di ruang jeda antar dua sisi pintu. Hanya satu kesan yang kudapatkan di ruangan jeda itu, yaitu kehangatan suhu ruangannya.

Usai menghangatkan badan sejenak, aku bergegas membuka daun pintu sisi dalam untuk memasuki museum. Berhasil melewati pintu maka aku berinisiatif mencari keberadaan loket penjualan tiket untuk mendapatkan tiket masuk.

Berhasil mendapatkan tiket seharga 500 Tenge, aku diarahkan untuk menghadap ke seorang lelaki paruh baya yang bertugas sebagai security museum. Berdiri dihadapannya, dia bertanya kepadaku, “Where are you come from, boy?”. Senyum tipisnya membuat suasana menjadi hangat sore itu.

Indonesia, Sir”, aku menyambut senyumnya. “Do you come alone to Kazakhstan?”, dia kembali melontarkan pertanyaan ringan. “Absolutely, yes Sir”, dengan cepat aku menjawab.

How about Kazakhstan? How about Almaty, boy? Is it nice?”, dia tertawa ringan sembari menyapukan metal detector untuk memeriksaku. 

Nice food, nice culture, nice people, aku menutup percakapan dengan tertawa ringan.

Usai pemeriksaan, aku pun mulai menelusuri lorong-lorong di museum. Layout museum membuat setiap pengunjung dipastikan memasuki Paleontology Hall sebagai ruangan pertama yang harus dikunjungi.

Tak pelak, di lorong itu, aku berhadapan dengan koleksi museum yang sebagian besar terkait dengan fosil dari kehidupan zaman purba.

Di hall ini, aku benar-benar bisa menikmati temuan tulang-tulang mamalia purba dari Era Mesozoikum (beberapa khalayak menyebutnya Era Dinosaurus atau Era Reptil yang berlangsung dari 252 juta hingga 66 juta tahun yang lalu). Tulang-tulang mamalia purba yang hidup laut, darat dan udara terpampang di lorong ini.

Tiba diujung Paleontology HallI, aku diarahkan oleh staff wanita yang duduk di sebuah kursi hall untuk naik ke lantai dua menuju Archeology Hall.

Di Archeology Hall, aku menikmati beberapa peninggalan budaya berupa maket mausoleum (monumen pemakaman) beberapa tokoh terkenal Kazakhstan seperti Khoja Akhmed Yassawi (penyair ulung Kazakhstan), Joshy Khan (Putra tertua Genghis Khan), dan Alasha Khan (Pemimpin terkenal Bangsa Kazakhstan).

Fosil mammoth yang ditemukan di Kazakhstan.
Mausoleum Khoja Akhmed Yassawi.
Pasukan Kekaisaran Khwarezmian menghadapi invasi Genghis Khan
Pemukiman Bangsa Kazakhstan pada Zaman Perunggu.
Penampakan lantai 2 museum.
Souvenir Hall.

Di sudut lain tampak terpajang Atlas Catalonia, peta dunia yang dibuat pada Abad Pertengahan. Peta ini dibuat atas pesanan King Juan I, raja Kastila yang memerintah Semenanjung Iberia.

Juga tampak benda bernama Paiza yang merupakan prasasti yang dikeluarkan kerajaan-kerajaan zaman dahulu untuk diberikan kepada seseorang pejabat yang memiliki hak-hak tertentu untuk memerintah.

Sedangkan lukisan beberapa garmen khas suku Kimak dan Karluk yang merupakan suku besar di Kazakhstan dari akhir Abad ke-9 menghiasi beberapa sisi dinding museum.

Romantisme perjuangan masa lalu Bangsa Kazakhstan juga tergambar sempurna pada diorama perlawanan pasukan Kekaisaran Khwarezmian yang dipimpin oleh Alauddin Muhammad II  dalam menghadang invasi 150.000 pasukan Genghis Khan. Seperti yang tercatat di dalam sejarah bahwa dalam peperangan ini ibukota kekaisaran, Kota Urgench jatuh ke tangan pasukan Mongol pada tahun 1221.

Di satu sudut museum, aku juga menemukan maket pemukiman Bangsa Kazakhstan pada Zaman Perunggu.

Tetapi sungguh sayang…..

Baru juga menikmati pesona museum selama 45 menit, tiba-tiba seorang petugas museum menghampiriku dan mengatakan bahwa museum akan segera ditutup beberapa menit lagi.

Hmmm….mereka akan menutup museum satu jam lebih cepat dari jadwal seharusnya”, aku bergumam sedikit kesal.

Maka aku pun bergegas turun ke lantai satu untuk meninggalkan museum, tetapi floor plan museum telah diatur sedemikian rupa, sehingga semua pengunjung yang hendak keluar dari museum harus melewati area souvenir. Tak hayal, tak sedikit dari penjunjung akhirnya berbelanja souvenir di museum tersebut.

Aku sendiri yang tak berminat dan tak memiliki budget untuk membeli souvenir, akhirnya memutuskan untuk pergi meninggalkan museum. Aku harus bergegas menuju penginapan sebelum hari beranjak gelap.

Petualangan di museum itu pun usai….

Kisah Selanjutnya—->

Posted in , , , ,

One response to “The Central State Museum of The Republic of Kazakhstan: Jejak Genghis Khan di Kazakhstan.”

  1. Mencoba Metro Almaty: “Salju di Habitatnya” Avatar

    […] ← Stasiun Zhibek Zholy: Menghafal Makna “бекеті”The Central State Museum of The Republic of Kazakhstan: Jejak Genghis Khan di Kazakhstan. → […]

    Like

Leave a reply to Mencoba Metro Almaty: “Salju di Habitatnya” Cancel reply