Sebelum benar-benar tuntas menuruni Bukit Anadu, aku terhenti pada sebuah kedai. Kedai kelontong yang menjual beberapa snack, air mineral, juga minuman beralkohol ringan. Kedai mungil beraroma harum kopi yang dihasilkan dari tungku roasting di sebelah kanannya.

“Himalayan coffee bean”, tutur si penjual ketika aku memperhatikan caranya me-roasting kopi. Buat beberapa orang, passion memang segalanya. Seperti pria ini, dia rela melepas kewarganegaraan Jepang dan memilih berganti menjadi Nepalese demi cintanya pada kopi Himalaya.
“I take it”, aku menunjuk kemasan 250 gram untuk kuseduh di Jakarta.
—-****—-
“Mr. Tirtha, your country is unique. Some Nepalese faces are like Indians, sometimes I find them similar to Chinese”, ucapku ketika Mr. Tirtha mulai menginjak pedal gas taksinya menjauhi bukit.
“Yess….Nepal is flanked by India in south and China in north. So some Nepalese have mixed marriages”, tutur beserta senyum ramahnya menjawab pertanyaan.
Kami bergerak ke timur laut dengan memutari Phewa Lake untuk kembali ke hotel yang berjarak 6 km. Setiba di New Pokhara Lodge, aku mengucapkan terimakasih kepada Mr. Tirtha yang sejak jam 4 pagi menemaniku dalam eksplorasi Pokhara. Kuserahkan Rp. 600.000 sebagai biaya jasanya, itu artinya aku hanya perlu mengeluarkan budget transportasi sebesar Rp. 150.000 karena aku memborongnya bersama trio backpacker sehotel.
Belum hilang juga nuansa perayaan tahun baru di Lakeside Road, aku kembali menjelajah pinggiran Phewa Lake setelah berbasuh dan meluruskan kaki. Kali ini, aku kelaparan dan harus makan besar. Masih ada janji pada diri pasca percakapan sepanjang hari dengan Mr. Tirtha. Ya….Aku akan mencicipi Nepali Thali.
Jajanan kaki lima sepertinya tak akan mampu meredam kelaparanku, aku bergegas memasuki sebuah resto. Terduduklah diriku di bagian dalam untuk mendapatkan udara hangat, lalu disambut oleh pelayan perempun berparas manis. Tak perlu lama memilih. “Nepali Vegetarian Thali and orange juice”, pintaku setelah melihat menu yang kubaca. Makanan khas Nepal seharga Rp. 40.000 dan juice seharga Rp. 23.000 menjadi penutup hariku malam itu.

—-****—-
Malam berganti pagi, aku menyeruput teh panas dan menghabiskan menu sarapan di pelataran hotel. Kemudian kembali ke kamar dan memanggul backpack biruku untuk bersiap pamit pada Mr. Raj. Kujabat tangan keriputnya dan kutepuk berulang kali lengan atasnya.
Aku: “Thank you Mr. Raj for your kindness and hope to see you again next time”.
Mr. Raj: “Be careful, Donny. Thank you for stopping by in New Pokhara Lodge”.
Aku tahu Mr. Raj masih memaksakan dirinya bekerja karena anak terakhirnya masih berkuliah di Kathmandu University. Karena perkerjaannya pula, dia masih terlihat bugar.
Kali ini Mr. Tirtha datang untuk terakhir kalinya memberikan jasa taksi kepadaku. Kami berdua menuju Tourist Bus Park, mengantarkanku menuju Kathmandu.

Demi kebutuhan konten, gaya makannya pun mesti imut gitu ya, Oom? 😀 😀 😀
Kuy lah, mau coba nyeduh kopi Himalaya!
Sebetulnya bukan imut….itu lagi mikirin cara nelannya pripun…lha wong rasane anyep piye ngono mas….wes dibayar, eman eman ndak dimakan…hahaha
Hahaha… Mungkin karena judulnya ada label vegetarian makanya rasanya anyep? Luwih gurih nasi liwet Sunda lah yes kalau begitu 😀
Jos gandos sundaan ama lalapan mah…hahhaa. bar mangan trus ngopi…beuhh
Kadang-kadang lihat tulisan Java-Himalayan Coffee, Mas… Ngekek jadinya. Udah jauh-jauh ketemunya varian Java juga 😀
Kalau saya terjebak di mik tea, Mas. Tiap hari, tiap makan, minumnya milk tea. Hahaha…
Berarti kopi jowo ditandur ning himalaya po piye yo mas…hahaha.
Iyo bener Chiya nya mereka yahutttt emang
Koyoke kopine transmigrasi, Mas. Hehehehe… Madang teh susu karo samosa wae saben ndino ketoke wes cukup yo, Mas Donny? Hahahaha….
Samosane padet yo mas….nendang. 1 porsi nasi gorenge cukup buat makan 2x. Sakjane nggowo rantang wae….hahaha
Samosa 2 plus kari plus milk tea wes wareg yo an. D
Porsine luar biasa. Koyo porsi nasi kandar neng Malaysia. Hahaha… Aku nggowo tupperware, Mas Donny hahahaha…. Tapi akhire ora dinggo bungkus, soale wes ntek disik. 😀
Hahaha…masalahnya nasi kandar depan masjid kapitan Keling itu enak masss…Otentik.
Wah nasi kandar neng kono joss Mas? Terakhir mrono aku gur liwat thok soale bar madang hahahaha…
Aku ngobrol sama seorang ibu tua di Penang pas makan di depanku. Kandar itu katanya pikulan. Awalnya nasi pikulan yg dijual orang India ke buruh tambang di Penang……terkenal sampai skrg. Makanya porsi banyak, orang awalnya makanan kuli tambang mas😁😁
Wah, makanya nasi kandar itu portugal (porsi tukang gali) ya Mas Donny? Hahahaha… Dirimu jago banget ini ngorek-ngorek informasi 🙂
Dodo mentoke jian gede tenan yo mas……
Yo podo karo kowe mas, senenge ngobrol sama orang yg belom dikenal..hahahaha
Kabeh porsine iso nggo mangan ping pindo, Mas. Favoritku yo dal bhat. Iso nambah nganti wareg reg… Hahahaha…
Sak loyang kuat ngentekke yo mas….manteb sampeyan😁
Cocok untuk memulihkan tenaga, Mas Donny. Mangan sedino pindo wae wes cukup banget (nanduke yo pindo) Hahahaha.
Ra sah isin, mas. Sing penting wareg…hahaha
Iyo mas.. lha gur mampir e, ra ono sing kenal hahaha
ah… perjalanan kuliner yang keren banget kak, jadi ingin tau rasanya himalayan coffe dari tempatnya langsung
Pengalaman Kuliner selalu membuat siapa saja ketagihan mendatangi tempat tempat baru ya😁😁😁