
Aku sudah faham sebelum Mr. Tirtha memberitahuku bahwa destinasi berikutnya adalah Tashiling, pemukiman para pengungsi Tibet di Pokhara. Nepal sendiri memberikan akses migrasi ini karena sejak zaman dahulu, Tibet dan Nepal telah memiliki hubungan kerjasama yang erat dalam bidang ekonomi, diplomasi dan budaya. Kedua belah pihak pernah berulangkali dalam sejarah menandatangi berbagai perjanjian kerjasama sebagai dua bangsa yang saling berdaulat.
Bertolak dari International Mountain Museum, taksi kini merapat ke timur dan berlari sejauh 3,5 km. Kali ini Mr. Tirtha yang berganti menginterupsi perjalanan, dia berhenti di sebuah apotek untuk membeli seracik obat. Dia bertutur dengan tabah, bahwa ayah kandungnya mengalami gangguan liver yang mengharuskannya menyisihkan penghasilan dari menyopir taksi untuk pengobatan sang ayah.
“Namaska”, teriaknya pada teman-teman seprofesinya di jalanan. Dia sedikit menjelaskan bahwa Namaska adalah sapaan yang mirip dengan “Namaste”.
Kemudian, dia menegaskan bahwa pariwisata bak emas buat negaranya. Jadi banyak orang seusianya berjuang memiliki sebuah mobil kecil untuk dipekerjakan menjadi sebuah taksi. Dan english adalah kunci bagi mereka untuk menggaet wisatawan….”Maaf Mr Tirtha, kalau di Jakarta, aku lebih memilih menjadi salesman dengan komisinya”….Hahaha, dia tertawa lebar.
15 menit kemudian, taksi keluar dari jalan utama Siddhartha Rajmarg. Berhenti di sebuah jalanan tanah. “Welcome to Tashiling”, Ucap Mr. Tirtha.

Langkahku langsung tertuju pada deretan kios penjual souvenir. Yesss….Disitulah para Tibetan mengais rezeqi untuk menyambung hidup di pengungsian. Dalam perjalanan pulang nanti, Mr. Tirtha menyayangkan para Tibetan yang bermigrasi ini karena saat ini Tiongkok sudah lebih memperhatikan kesejahteraan Tibet.

Memasuki perkampungan berusia 56 tahun ini, aku bisa mengintip sedikit budaya Tibet. Cara mereka berpakaian dan beribadah adalah hal yang gampang ditangkap dalam kunjungan singkat ini. Keramahan penduduk berbadan mungil dengan kulit sawo matang dan bermata sipit menjadi sesuatu yang tak terlupakan. Menurut pengakuan dari salah satu mereka, ada sekitar 700 pengungsi Tibet di kampung ini. Bahkan di masa-masa awal pengungsian terdapat hampir 2.000 warga.
Tashiling sendiri hanya merupakan salah satu dari 12 kamp pengungsian di seluruh penjuru Nepal. Seperti diketahui bahwa semenjak perlawanan Dalai Lama, banyak warga Tibet yang bermigrasi ke Nepal pada tahun 1959-1961.
Puas melihat muka Tashiling, aku menyempatkan diri untuk duduk di sebuah kedai makan milik mereka. Kupesan semangkuk mie sebagai menu makan siang. Menu sederhana seharga RP. 20.000 yang membuatku siap untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya.

Yuk, jalan lageeeeeeh….
Wuiii mie-nya gede-gede yes; mirip pentil (huruf e dibaca seperti pengucapan pada kata “tempe” ya, Oom… jangan salah 😀 ) ban. Mengingatkan saya pada mi Medan
Lah makanya….kok tadi bacanya sambil ketawa….ternyata tempe….hahaha. Saya puas makan mie mereka….jian marai wareg tenan, mungkin karena itu makanan pokok mereka jd sedikit lebih padat.
Pokoke wareg, itu kata kunci sebagian besar backpacker kayaknya, Oom 😀
Kamu juga begitu kan mas….makan nomor dua, pemandangan nomor siji….pas plek
Asseem 😀 😀 😀
Wah, enak mana, Mas Donny, ketimbang chowmien? Hahahaha…
Btw, iku ono blog award nggo Mas Donny. Biasane aku wegah nompo-nompo award ngeneki. Isin juga mesti nge-pass ro konco-konco. Tapi, ya, sudahlah. Wes kadung. 😀 Nek ra digarap yo ra popo. Nggo seneng-seneng wae. Hahaha… https://morishige.wordpress.com/2020/04/21/liebster-award/