
Cukup dengan Rp. 40.000 untuk menunggang taksi selama 10 menit dari Thamel ke Kanti Path Road. Jika tak takut tersasar, kamu juga boleh menempuhnya selama 20-25 menit dengan berjalan kaki.
Imajinasiku mengatakan bahwa bus yang sedang kukejar ini akan standby di sebuah kantor travel agent. Tetapi kenyataannya jauh diluar perandaian. Semua bus dari berbagai travel agent berbaris menyemut di sepanjang Kanti Path Road.
48 menit menjelang keberangkatan, kusempatkan bersarapan ringan karena ini adalah perjalanan panjang yang aku sendiri tak tahu bagaimana manajemen waktu perjalanannya.


Tiket sendiri sudah kupesan via email dari Jakarta seharga Rp. 92.000, hanya saja pembayaran dilakukan di lokasi keberangkatan. Transaksi aneh yang kujumpai pertama kali di luar negeri. Kini masalahnya hanya satu, aku harus dioper ke bus lain karena menurut si penjual tiket, bus yang kupesan sudah fullseat (sepertinya ini memang strategi mereka, menjaring penumpang via email terlebih dahulu dan perihal akan ditempatkan di bus yang mana, itu urusan belakangan….Hahaha, cerdas).
Hebatnya lagi, Aku hanya diberikan selembar tiket lalu diminta untuk mencari bus secara mandiri di sepanjang Kanti Path Road berdasar plat nomor yang tertera di tiket. Penuh percaya diri kuiyakan perintah itu. Hanya saja, baru saja berjalan 5 menit mencarinya, aku mulai kewalahan….Ya puyeng lah!….Numerik Nepal kan berbeda dengan numerik latin!.
Parah….Kini setengah jam menuju keberangkatan mulai dihitung mundur. Tak berbekal akses komunikasi apapun, aku kembali lagi ke titik awal pencarian untuk bertanya kepada si penjual tiket yang nampaknya merangkap jabatan sebagai koordinator bus. Kelimpungan dibuatnya karena aku tak menemukan batang hidungnya. Kutunjukkan tiketku kepada beberapa orang di sekitar, mereka hanya manyahut “wait!….wait!”. Berusaha menyamarkan kepanikan dengan 15 menit tersisa menuju waktu keberangkatan, mataku lekat mengawasi satu persatu kerumunan orang untuk menemukan orang yang kucari. Yes, aku mengenali warna hijau penutup kepalanya dan kalungan handphone poliponik di lehernya. Kuhampiri dan memintanya menolongku menemukan armada yang termaksud dalam tiket….Beuh, dia hanya berucap singkat “Looking for the light green bus….Row number three from the front”. Melihatnya sibuk dan tak mungkin menemaniku mencari, aku segera berlari menuju barisan terdepan.
Akhirnya armada hijau muda bertolak tepat pukul 7. Berbekal seliter free-mineral water, aku terduduk di kursi paling belakang bersama mahasiswa asal Korea yang kemudian akan bercakap akrab sepanjang 8,5 jam perjalanan menuju Phokara.

Sepanjang perjalanan, bus akan berhenti empat kali.
Dua kali untuk toilet break selama 15 menit yaitu break stop ke-1 pada jam 9:30 dan break stop ke-4 pada jam 14:30.
Selain toilet break, bus juga akan 2 kali berhenti untuk makan masing-masing berdurasi 20 menit. Break stop ke-2 untuk sarapan pada jam 10:30 dan break stop ke-3 untuk makan siang pada jam 13:30. Aku sedikit memperhatikan meja kasir rumah makan, terlihat bahwa sedikit banyaknya makanan yang diambil, penumpang secara merata membayar Rp. 53.000.



Selama perjalanan pula, aku sungguh terpesona ketika tersuguh pemandangan dari sisi kanan. Dedaunan yang memutih karena tertutup tebalnya debu jalanan, papan-papan iklan raksasa yang terpanjang di tengah pesawahan, jembatan-jembatan gantung penghubung antar bukit, kegiatan rafting di sepanjang sungai dan ramainya wisata Chandragiri Cable Car. Bahkan aku bisa dibuat tersenyum dengan tingkah warga yang berjemur di tengah hawa dingin 9°C sembari bermain karambol atau beberapa dari mereka mengelilingi api yang dinyalakan di pelataran rumah.



Perlahan bus menaiki, menuruni dan mengelilingi pegunungan dengan jurang di sebelah kanan. Aku tak terlalu khawatir karena bus berjalan pelan. Satu hal yang kemudian membuatku tersadar bahwa kebanyakan mobil, truk dan bus di Nepal berasal dari pabrikan Tata Motor, India.

Kupikir moda bertuliskan Tourist Bus ini tak akan mengambil penumpang di jalanan, ternyata dua kali kondektur ciliknya menaikkan penumpang, hanya saja tak sampai ada yang berdiri.
Perjalanan sempat terhenti karena terjadi kebocoran roda pada 15 menit sebelum mencapai Pokhara. Kondektur belasan tahun itu pontang-panting untuk mengganti roda, beruntung 3 sopir taksi datang membantu. Dalam kondisi seperti ini, aku masih sempat saja bertransaksi di sebuah pasar tumpah untuk mendapatkan sekantong jeruk seharga Rp. 13.000. Tetapi perbaikan yang terlalu lama dan tak kunjung usai, akhirnya aku dioper ke bus lain.

Di Pokhara, bus akan berhenti di Tourist Bus Park dengan pemandangan pegunungan Himalaya di belakangnya…..cuannteeekkkkk luar biasa.
Tak mengindahkan serbuan para sopir taksi, aku bergegas menuju sebuah kantor travel agent tak jauh dari tempatku turun. Yup…Aku berinisiatif untuk langsung memesan tiket balik menuju Kathmandu karena nantinya aku akan terbang ke New Delhi melalui Tribhuvan International Airport. Travel agent ini menawarkan tiga jenis harga tiket yang berkisar dari dari Rp. 80.000 hingga Rp. 105.000 tergantung dari kualitas bus. Tak ambil pikir panjang, aku memilih harga termurah.

Yuk Explore Pokhara!
Lihat video terkait artikel ini disini: https://youtu.be/sSDNtAYx0tQ
Hi Donny!!! How are you! Have a good day my friend!!
Hi Alessia, nice to read your message. I hope you still OK with Italian condition now. Still strong Italy!.
I’m fine in Indonesia, we are “Work from Home” now.
Still health, Alessia.
Hi Donny! I’m really happy to hear that I feel good! I also work from home! Everything is almost closed in Italy and the situation is very sad. There are many deaths here … But the Italians react and fight! We are a people full of sun and joy. Thanks Donny see you soon !!
Yes, i hear about it in news.
I hope you will be OK until this disease end.
Still strong and fight, Alessia.