Ferry dari Phi Phi Islands ke Phuket: Menjemur Boots di Geladak

<—-Kisah Sebelumnya

Hari masih sangat pagi ketika aku membuka mata dan duduk terbangun di dalam capsule box Dormsin Hostel. Aku sengaja bangun lebih pagi demi mempersiapkan diri meninggalkan Phi Phi Islands. Mengingat hanya ada empat kali keberangkatan ferry menuju Phuket, yaitu jam 9, jam 11 dan jam 14:30.

Lebih baik aku ikut pelayaran jam 11 saja”, aku memutuskan.

Aku bergerak pelan menuruni capsule box supaya tak meninggalkan suara karena aku tahu bahwa penginap lain masih terlelap tidur di capsule boxnya masing-masing. Para pelancong asal Inggris, Irlandia, Jerman, Swiss dan Australia itu baru pulang tengah malam dari bar, pantas jika mereka belum bangun pagi itu.

Aku berjinjit ke arah shared bathroom untuk mandi, menyikat gigi, memakai gel rambut, dan memakai deodorant. Seusainya, aku membongkar tom yam kemasan yang tak termakan semenjak kubeli dari Phuket seminggu sebelumnya. Aku meremukkan mie di dalam kemasan, menaburinya dengan bumbu yang tersedia dan menyantapnya sebagai menu sarapan sederhana pagi itu.

Aku yang telah mengemas segenap barang bawaan sedari malam sebelumnya, akhirnya beranjak keluar kamar dan menyerahkan kunci kepada si pemilik hostel sebagai syarat untuk mengambil uang deposit senilai 100 Baht.

Berhasil menuntaskan urusan itu, aku pun akhirnya meninggalkan Dormsin Hostel, berjalan di sepanjang pantai sisi selatan menuju Ao Ton Sai Pier.

Sepuluh menit melangkah aku pun tiba….

Kali ini petugas pelabuhan tak lagi menarik uang retribusi senilai 20 Baht seperti saat kedatanganku di Phi Phi Islands. Mungkin tarif retribusi ini memang hanya dikenakan sekali saja kepada setiap turis yang berkunjung, yaitu saat mereka datang untuk pertama kali melalui pelabuhan.

Saat mengurus tiket, aku baru sadar jika salah mengantri ketika petugas pemeriksa mengembalikan tiket yang kuserahkan.

This queue is for ferry towards Krabi. Phuket’s Ferry is over there”, dia jelas menunjukkan jarinya ke dermaga sisi barat.

Tanpa pikir panjang aku menuju ke arah yang dia tunjuk. Beruntung, belum terbentuk antrian di depan ferry menuju Phuket. Aku disambut ticket checker di sebuah meja inspeksi tiket.

Hi, Do you want to go to Phuket?”, petugas pria muda itu mendahului bertanya

Yes, Sir”, aku jelas menjawab.

Setelah merobek tiket, dia memberikan sticker penanda penumpang di dadaku.

Do you want to be transferred to the airport, we have a taxi for it. Only 200 Baht”, dia menawarkan jasa lain.

Oh, Okay. Nice price, I take it”, aku memutuskan mengambil jasa transfer ke Phuket International Airport dari Rassada Harbour.

Where are you come from?”, dia bertanya hal lain

Indonesia, Sir

Ohhhhh, Indonesia….Nice….I am from Myanmar”, dia ramah bercakap-cakap denganku

Oh surprise….Burmese can work in Phi Phi Islands”, aku tersenyum lebar.

Surely, Sir….Yes, now, you can enter the ferry”, dia mempersilahkan aku menuju tititan masuk ke pintu ferry.

Aku bergegas memasuki ferry dan ternyata belum ada satu penumpang pun yang memasuki ruang penumpang. Maka, sembari menunggu waktu keberangkatan yang masih satu jam lagi, aku memutuskan untuk berkeliling ke setiap bagian ferry. Ferry itu terbagi menjadi dua lantai dan memiliki ruang First Class di lantai bawah, tetapi penumpang harus membayar sebesar 300 Baht sekali jalan jika ingin duduk di ruang itu. Sedangkan lantai atas hanya digunakan sebagai Premium Class dimana penumpang yang ingin duduk di ruangan itu perlu menambah biaya perjalanan sebesar 500 Baht sekali jalan.

Usai berkeliling aku pun kembali jenuh menunggu hingga akhirnya ferry berlayar satu jam semenjak aku menaiki ferry….

Ini dia ferryku menuju Phuket.
Ruang penumpang Lantai 1.
First Class di Lantai 1.
Ruang penumpang lantai 2 (Premium Class).
Duduk di geladak belakang.
Tiba di Rassada Harbour, Phuket lewat jam 1 siang.

Aku yang kemudian tidak merasa nyaman karena sepatu boots yang kukenakan masih basah akibat terkena hujan pada sore hari sebelumnya, memutuskan untuk keluar dari ruang penumpang dan memilih duduk di geladak belakang yang tak beratap. Aku melepas sepatu boots dan menjemurnya di geladak selama pelayaran. Sedangkan aku sendiri akhirnya harus duduk menunggu di dekat pintu ruang penumpang yang masih sedikit ternaungi oleh atap. Untuk melawan panasnya udara laut yang menerpa geladak, aku akhirnya membeli satu minuman kaleng berkarbonasi seharga 40 Baht.

Aku duduk dan terus menatap ke arah lautan lepas di belakang ferry. Tampak ferry meninggalkan Phi Phi Islands melalu sebuah celah antar dua pulau menjulang. Bak meninggalkan sebuah gerbang besar di tengah laut.

Aku terus menikmati keindahan pantai Selatan Thailand selama dua jam pelayaran dengan konsisten duduk di geladak belakang. Alhasil, sepatu bootsku pun berhasil kering ketika tiba di Rassada Harbour.

Alternatif untuk membeli tiket ferry atau speedboat dari Ao Ton Sai Pier (Phi Phi Islands) ke Rassada Harbour (Phuket) bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Qoori Qoori Coffee Shop: Americano Penutup Eksplorasi

<—-Kisah Sebelumnya

Aku menyegerakan langkah di tengah gerimis ringan.

Kalau menunggu hingga hujan berhenti, aku akan berada di atas bukit ini hingga malam”, aku sebetulnya mulai terbesit rasa khawatir mengingat para pelancong sudah meninggalkan bukit beberapa menit sebelum hujan turun.

Sudah hampir pukul empat sore ketika aku menuruni bukit dan kembali terjebak hujan. Hal itu memaksaku untuk berteduh di bawah pohon besar yang rimbun. Untuk beberapa waktu aku merasa aman di bawah naungan pohon itu.

Hingga akhirnya dedaunan pohon tak mampu lagi menahan air hujan yang turun terlalu lama. Rintik hujan mulai menembus dedaunan dan lambat laun jatuh mengguyur badan. Mataku awas mengamati sekitar demi mencari tempat perlindungan lain.

Sepertinya ruang di bawah batu itu cukup aman”, aku menemukannya cepat.

Ada sebuah ruang pendek di bawah tebing batu. Kontan aku berlari menujunya dan memasuki lubang itu. Aku harus berjongkok cukup rendah untuk masuk ke lubang. Untuk sementara waktu aku aman bersembunyi di bawah batu tebing.

Pegal juga rasanya berjongkok cukup lama. Beruntung hujan segera berhenti. Aku memutuskan keluar dari lubang dan melanjutkan perjalanan, melangkah cepat karena khawatir hujan turun lagi.

Akan tetapi, baru saja melangkah seratus meter, hujan turun kembali. Aku yang berada di tempat terbuka kembali memperhatikan sekitar. Tidak menemukan tempat perlindungan, aku coba mengingat sesuatu.

Seingatku di dekat menara BTS tadi ada sherler kecil beratap”, aku menjetikkan jari tenang walau dihajar hujan yang mulai melebat.

Aku berlari sekencang mungkin menuju shelter kecil dalam ingatan. Beruntung aku segera menemukannya. Sayangnya lebar shelter itu tak seberapa dengan bentuk memanjang dan memiliki atap. Otomatis aku harus terpaksa berdiri di bawah atapnya suapaya tidak kehujanan, bentuk shelter seperti itu membuat sepatu boots yang kukenakan terguyur hujan dan membuatnya basah kuyup.

Empat puluh lima menit lamanya, aku berdiri di shelter tepat di bawah menara BTS menunggu hingga hujan benar-benar reda. Usai hujan reda, aku pun melangkah cepat menuruni bukit, mengingat hari sudah beranjak gelap dan waktu sudah menunjukkan lewat dari pukul lima sore.

Beruntung aku sudah mencapai pusat keramaian Phi Phi Islands ketika hujan turun kembali untuk kesekian kali dan memaksaku untuk kembali berteduh tepat di depan sebuah ruko.

Hujan pamungkas yang tak berlangsung lama hingga akhirnya aku bisa segera mendekat ke arah penginapan. Tetapi sebelum benar-benar sampai di penginapan, aku yang kelaparan karena hanya menyantap seporsi cup noodle saat makan siang di atas bukit, memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah kedai makan sederhana serta sekaligus memutuskan untuk mempercepat makan malam.

Menu makan malam itu hanya berupa nasi, sayur, ikan dan sayap ayam seharga 120 Baht. Harga semurah itu juga membuatku masih mendapatkan satu potong hati-ampela goreng untuk dibawa pulang. Kebetulan di kedai itu hanya ada aku dan seorang pelancong asal Jepang yang menyantap makanannya di kursi belakang.

Lalapan gratis itu ludes pada akhirnya…..

Meninggalkan kedai makan, aku menyempatkan mampir di sebuah minimarket untuk membeli sekaleng minuman berkarbonasi. Memang begitulah kebiasaanku yang selalu menikmati malam dengan bersantai menyeruput minuman kemasan di atas tempat tidur saja.

Namun nyatanya fakta berkata lain, entah mengapa malam terakhirku di Phi Phi Islands agak berbeda, karena aku justru memilih keluar dari penginapan dan menghabiskan malam untuk menyeruput secangkir Americano panas seharga 89 Baht di sebuah coffee shop yang terletak di tepian Phi Phi Beach. Pantai itu terletak kurang lebih satu kilometer di selatan penginapan.

Qoori Qoori Coffee Shop adalah nama kedai kopi yang kumaksud. Dijaga oleh dua wanita muda yang cantik, ramah dan penuh senyum. Aku menjadi tamu tunggal mereka di malam minggu itu. Aku sendiri baru beranjak meninggalkan coffee shop itu tepat lima menit sebelum tutup. Pukul sepuluh malam adalah jam tutup operasional kedai kopi itu.

Santai sejenak di Phi Phi Islands.
As always….Americano

Malam itu akhirnya menjadi penutup serangkaian petualanganku selama tiga hari di Phi Phi Islands.

Kisah Selanjutnya—->

Phi Phi Viewpoint 2: Terhenti di Titik Tertinggi

<—-Kisah Sebelumnya

Melipir dari sisi barat kantin, jalur eksplorasi mengarahkanku menuju ke tengah pulau. Aku sangat beruntung karena jalur yang kulalui siang itu dipenuhi oleh pepohonan, sehingga bisa memberikan naungan yang baik dari teriknya matahari.

Jalur yang kutempuh memiliki elevasi yang tak begitu curam tetapi tetap konsisten menanjak, membuatku terengah-engah dan akhirnya memaksaku untuk rehat sejenak di sebuah batu besar, tepat di bawah pohon yang sangat rindang.

Hayo….Kamu berani ga sendirian?

Sepuluh menit lamanya aku terduduk mengatur nafas untuk kemudian kembali berjibaku dengan jalur setapak yang semakin menanjak. Aku terus waspada mengikuti beberapa signboard mini yang mengarahkan setiap wisatawan ke tujuan akhir. Aku harus jeli mencari petunjuk-petunjuk berukuran kecil yang beberapa tampak tersembunyi karena tertutup daun.

Satu lagi yang menjadi perhatian penting adalah menghindari berjalan kaki tepat di bawah pohon kelapa yang sedang berbuah. Angin yang berhembus kencang membuatku khawatir apabila kejatuhan buah kelapa….Ouchhh, ngeri kali.

Sekali waktu aku melintas di bawah menara BTS (Base Transceiver Station) yang diletakkan di salah satu sisi pulau bagian dalam.

Oh, ini toh menara yang menjamin penduduk pulau dan wisatawan mudah dalam mengakses internet”, aku memandangi menara yang tinggi menjulang di hadapan.

Lebih dari setengah kilometer menaklukkan tanjakan, langkah kaki mengantarkanku tepat berada di bawah tebing Phi Phi Viewpoint 2. Aku yang terhenti kembali karena kehabisan nafas, memandang lekat ke atas bukit dimana sangat jelas sekali tampak beberapa turis sedang bersuka ria dan berfoto pada spot yang disediakan pengelola wisata. Pastinya itu adalah spot terbaik di bukit itu.

Melihat sepasang turis menuruni bukit dari sisi timur, membuatku mengambil kesimpulan bahwa akses masuk menuju puncak bukit tentunya berada di sisi yang lain….Ya, akses masuk itu berada di sisi barat.

Aku kembali mengayunkan langkah ketika diri sendiri merasa malu karena seorang wisatawan pria berumur tua melenggang ringan saja melewatiku.

Aku menguntitnya dari belakang untuk kemudian benar-benar tiba di atas bukit.

Hampir pukul satu siang ketika aku benar-benar berada di titik terbaik, sebidang papan kayu yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk luasan bujur sangkar yang lapang dan bisa menampung banyak wisatawan untuk berfoto secara bersamaan.

Ketika banyak wisatawan berebut untuk berfoto berlatarkan pemandangan Phi Phi Islands yang sangat indah di kejauhan, aku lebih asyik berdiam, mematung dan tersenyum khusyu’ memandangi panorama itu. Dataran rendah Phi Phi Islands tergambar utuh jauh di bawah, menampilkan gradasi warna laut yang luar biasa, dari hijau, biru muda dan biru tua dengan padu padan putihnya warna pasir di sepanjang garis pantai. Seakan kaki tak mau beranjak lagi dari titik itu.

Phi Phi Islands di kejauhan.

Hanya lapar yang akhirnya mampu mengganggu konsentrasiku menikmati pemandangan indah itu. Aku memutuskan untuk menuju kantin di belakang titik pandang. Memasuki kantin, aku langsung menuju rak etalase dan mengambil satu kemasan cup noodle berlogo halal dan satu kaleng minuman berkarbonasi.

How much, Sir?”, aku menunjukkan dua makanan dan minuman kemasan itu kepada pria yang sabar menungguiku berbelanja

Eighty Baht, Sir”, dia menjawab cepat.

Aku menyerahkan cup noodle kepadanya dan dia dengan gesit menyeduhnya dengan air panas. Sewaktu kemudian aku membawanya keluar kantin dan aku duduk di atas batu besar yang dinaungi pohon besar nan rindang, lalu aku menyantapnya pelan-pelan sembari menikmati pesona dan keindahan Phi Phi Islands.

Setengah jam lamanya aku menikmati hidangan sederhana itu untuk kemudian aku memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi taman di sekitar viewpoint. Dari eksplorasi itu, aku melihat keberadaan satu resto lagi di sisi timur bukit yang tampak lebih sepi.

Kantin di Phi Phi Viewpoint 2.
Menu makan siangku.
Lihatlah mendung itu !….Bersiap huan turun.

Ketika sedang asyiknya menikmati taman, tanpa diduga, hujan pun turun dengan lebat, membuatku terpaksa untuk berlari menuju kantin dan berteduh di dalamnya.

Langkahku untuk sementara dihentikan oleh hujan di sebuah kedai yang terletak di titik tertinggi Phi Phi Islands.

Kisah Selanjutnya—->

Phi Phi Viewpoint 1: Bersembunyi dari Panasnya Matahari

<—-Kisah Sebelumnya

Sangat jelas di hadapan, tiga signboard besar akan memaksa siapapun yang lewat untuk membacanya,

Viewpoint 1”, dengan mudah aku menangkap keberadan signboard terbesar

I Love Phi Phi”, aku membaca tulisan yang berukuran lebih kecil di bagian dalam taman.

Sedangkan satu signboard lagi dengan Akson Thai*1), aku tak mampu membacanya, karena aku memang tak paham cara membaca aksara Thailand tersebut.

Seperempat jam menjelang tengah hari…..

Udara terasa segar, tetapi panas matahari terasa membakar kulit. Beberapa turis memang tampak menikmati cuaca terik itu dengan berdiri menikmati keindahan alam Phi Phi Islands di titik terbaik, titik itu tepat berada di bibir tebing.

Namun aku yang tak bersahabat dengan cuaca terik itu lebih memilih untuk memanfaatkan fasilitas hammock berbahan jaring yang disediakan cuma-cuma oleh pengelola wisata di bawah sebuah gazebo besar.

Semilir angin yang berhembus di atas perbukitan membuatku terlelap hingga satu jam lamanya di atas hammock . Entah berapa banyak turis yang melintas di depan gazebo dan menemukanku tertidur pulas di bawahnya.

Saatnya tidur siang….Hahaha.

Aku terbangun ketika beberapa awan mulai menampakkan batang hidungnya, berebut satu sama lain untuk menutup sinar surya yang berpendar ke bumi. Sesekali membuat suasana taman di sepanjang viewpoint menjadi teduh.

Susasana teduh itu sesekali masih berganti jeda dengan terik matahari. Maka aku memanfaatkan momen itu untuk menyudahi tidur dan memutuskan turun dari hammock. Saat sinar surya terhalang awan, maka aku segera berlari ke tepi tebing untuk menikmati pemandangan.

Wow….Pemandangan yang spektakuler”, aku tersenyum melihat keindahan itu.

Sangat tampak keindahan dataran rendah Phi Phi Islands yang memisahkan pesisir pantai sebelah utara dan selatan. Phi Phi Islands dilihat dari ketinggian bagaikan logo pabrikan otomotif terkemuka asal Jepang, yaitu Honda. Dimana bagian garis vertikal dalam logo terwujud sebagai jajaran perbukitan tinggi di timur dan barat pulau, sedangkan garis horizontal penghubung dua garis vertikal pada logo Honda, diinterpretasikan dengan hamparan dataran rendah yang dipenuhi aktifitas pariwisata, dimana dataran rendah itu menghubungkan perbukitan sisi timur dan sisi barat dengan sempurna.

Di sisi lain mata memandang, tampak kemewahan Phi Phi Rim Khao Hotel yang menampilkan bangunan-bangunan kamar yang berundak-undak menuju ke atas. Terlihat kolam renang diletakkan tepat di bangunan paling ujung sekaligus pada posisi paling tinggi. Tak bisa kubayangkan bagaimana indahnya berenang di tempat setinggi itu.

Pantai sisi selatan.
Pantai sisi utara.
Phi Phi Khao Ram Hotel yang berundak-undak.
Taman di sekitar Phi Phi Viewpoint 1.

Tetapi nyatanya….Ditengah waktu menikmati pemandangan itu, kadang aku harus berlari kembali menuju ke gazebo ketika awan melepas matahari untuk menyinari bumi, kemudian aku akan kembali ke titik pandang tepi tebing apabila sinar matahari terhalang awan kembali, begitu seterusnya.

Maka seusai puas menikmati pemandangan Phi Phi Islands dari atas bukit, aku mendekat ke bagian lain taman. Adalah papan informasi tentang sejarah tsunami yang pernah menghantam Phi Phi Islands pada tahun 2004 yang kemudian menjadi tujuanku berikutnya.

Aku menarik bangku plastik yang disediakan di bawah gazebo panjang, lalu menempatkannya di posisi terbaik untuk memandangi foto-foto yang ditampilkan dalam galeri sejarah itu.

Pada papan galeri itu, tampak foto-foto ketika Phi Phi Islands luluh lantak dihantam tsunami lalu disertai dengan foto-foto Phi Phi Islands setelah mengalami pembangunan kembali. Spot sejarah tsunami ini mengingatkanku ketika mengunjungi Museum Tsunami Aceh pada dua bulan sebelum keberangkatanku ke Phi Phi Islands.

Kisah tsunami yang menerjang Phi Phi Islands.

Dalam dua puluh menit, aku menyudahi diri dalam memandangi foto-foto memilukan itu. Untuk selanjutnya aku memutuskan untuk meninggalkan Phi Phi Viewpoint 1 melalui sebuah jalur tunggal yang terletak di sisi barat kantin.

Aku tak sabar menantikan pemandangan menakjubkan lain dari Phi Phi Viewpoint 2.

Note:

Akson Thai*1) = Aksara dalam Bahasa Thailand

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Phi Phi Viewpoint 1

<—-Kisah Sebelumnya

Setengah sepuluh pagi….

Aku meninggalkan Loh Dalum Beach dan memutuskan untuk kembali ke penginapan sejenak demi mengambil segenap perlengkapan sebelum melakukan eksplorasi selanjutnya yang kuprediksi akan selesai di sore hari.

Aku melangkah cepat…..

Tiba di penginapan, aku mengambil folding bag, memasukkan sebotol air mineral berukuran 1,5 liter, dompet, passport, powerbank, kacamata rayben untuk kemudian siap melanjutkan perjalanan kembali.

Menuruni tangga penginapan, aku kemudian duduk di teras Dormsin Hostel dan mulai mengenakan sepatu boots.

Where will you go, Donny”, tak mendengar langkahnya, tetiba Asil duduk di sebelah dan juga mulai mengikat tali sepatu ketsnya.

Going to the viewpoint, Asil”, aku menjawab.

Oh, really….That’s good spot to visit. I’d been there yesterday” dia mengambil telepon pintarnya dan mulai menunjukkan beberapa foto kepadaku. Tampak beberapa foto pemandangan garis pantai yang sangat indah yang diambil dari atas perbukitan. Gradasi warna yang indah antar sisi pantai berbeda.

Beautiful photos, Asil”, aku terkagum-kagum

Any restaurant there?”, aku bertanya demi memastikan tidak kelaparan ketika berada di atas bukit pada siang nantinya.

Yes, absolutely. I enjoyed coconut water on the hill”, dia tersenyum menjelaskan

Okay, Asil….Thank you….It’s time for me to go”, aku berpamitan pada Asil yang juga tampaknya telah siap melakukan eksplorasi ke tempat berbeda.

Aku pun melangkah meninggalkan pemuda Trukit itu….

Aku mulai melakukan eksplorasi dengan menyusuri Chaokoh Road menuju utara melewati jalur datar hampir satu kilometer jauhnya. Situasi jalanan mulai tampak rama, banyak turis berlalu-lalang di jalanan demi menuju destinasi ataupun sekedar untuk berburu sarapan, berbaur dengan warga lokal yang sedang bergegas menuju tempat kerjanya masing-masing, kedai-kedai makan tampak telah buka dan dipenuhi para wisatawan yang sedang menikmati hidangannya masing-masing.

Untuk dua puluh menit kemudian, akhirnya aku menemukan signboard sebagai petunjuk untuk menuju ke Phi Phi Viewpoint. Maka ketika tiba di depan hotel bintang tiga Blue Monkey Phi Phi Islands, aku segera berbelok ke kiri untuk menanjaki anak tangga.

Chaokoh Road menuju Phi Phi Viewpoint.
Mudah sekali untuk mendapatkan sarapan di sekitar Chaokoh Road.
Signboard yang membantu turis untuk mencapai Phi Phi Viewpoint.

Beberapa turis di belakang juga tampak mengikutiku untuk menanjak, namun beberapa turis juga tampak menuruni tangga sebagai pertanda bahwa mereka telah usai menikmati viewpoint.

Untuk beberapa kali aku berhenti pada anak tangga karena merasa kecapekan ketika menanjak. Di bagian atas tambak beberapa anak tangga sedang dalam proses maintenance. Beberapa pria melakukan pengecatan anak tangga, mereka berusaha mengecat anak tangga sehingga lapisan beton nampak persis seperti susunan batu kali yang menebarkan kesan kokoh pada siapapun yang melewati anak tangga tersebut.

Aku kemudian tiba di di sebuah shelter pengunjung yang berukuran tak terlalu besar, shelter itu terletak pada jarak puluhan anak tangga sebelum tiba di gerbang viewpoint. Berhenti sejenak di shelter itu untuk mengatur nafas maka aku disuguhkan selarik spoiler terbatas atas pemandangan Phi Phi Islands dari ketinggian.

Spoiler pemandangan Phi Phi Islands dari sebuah shelter di pertengahan jalan.
Konter penjualan tiket Phi Phi Viewpoint.

Aku yang tak sabaran untuk bisa melihat sepenuhnya, maka memutuskan untuk segera menaiki kembali beberapa anak tangga sisa untuk tiba di Phi Phi Viewpoint 1.

Dengan terengah-engah, aku tiba….

Hello…..”, seorang wanita paruh baya dengan jilbab menyapaku dari sebuah meja

Ticket, Sir….”, dia menambahkan.

Aku seketika menoleh dan melihatnya menujuk sebundle tiket yang dipegang di tangan kanannya.

Oh, harus bayar tiket rupanya”, aku membatin

Aku menghampiri wanita paruh baya itu.

How much, Mam?”, aku mengeluarkan dompet

Thirty Bath”, wanita itu menyobek selembar tiket dan memberikannya untukku

Aku menyerahkan 30 Baht untuk mengunjungi dua viewpoint sekaligus.

Thai?”, dia menunjuk kepadaku

Oh, No….I’m from Indonesia…..Jakarta”, aku tersenyum menjelaskan.

Oh….Moslem?”, dia mulai tergelitik

Yes, I’m moslem, Mam

Assalamu’alaikum….Many moslems in Phi Phi”, dia menjelaskan penuh antusias.

Wa’alaikumsalam….Yeaa….I know, Mam”, aku tersenyum senang.

Sewaktu kemudian aku membalikan badan, melihat ke hadapan. Hamparan taman dengan rancang bangun yang menarik mata.

Saatnya menikmati Phi Phi Islands dari ketinggian”, aku mengayunkan langkah dengan penuh semangat.

Kisah Selanjutnya—->

Ton Sai Beach atau Loh Dalum Beach?

<—-Kisah Sebelumnya

Beranjak dari teras McDonald’s, aku melangkah menuju barat. Aku memilih jalur pedestrian sisi dalam untuk mendapatkan perlindungan dari rimbunnya pepohonan.

Sempat terhenti si sebuah pertigaan, aku memperhatikan sekitar, mengamati setiap ujung dari ketiga jalan itu. Jalan ke arah kanan lebih menggoda sepertinya, ada pantai yang cukup indah di ujungnya.

Tapi sejenak aku mengindahkannya, menyimpannya untuk kunjungan berikutnya. Aku fokus untuk menyambangi Ton Sai Beach saja sebagai pantai pertama yang akan kukunjungi hari itu.

Masih ada banyak waktu”, aku membatin.

Selanjutnya aku sampai pada jalanan tepat di depan Phi Phi Cabana Hotel yang masih tampak sunyi, mungkin para penginapnya masih menikmati pagi di kasurnya masing-masing pagi itu.

Mungkin aku masih terlalu pagi untuk berkeliling pulau”, aku menertawakan diriku sendiri.

Beberapa waktu kemudian, aku berhenti sejenak memandangi Koh Phi Phi Hospital, tampak seorang turis sedang didorong di atas kursi roda menuju rumah sakit kecil itu. Juga tampak beberapa warga lokal sedang duduk di lobby rumah sakit yang sudah memasuki jam buka operasional hariannya.

Aku sudah dekat dengan Ton Sai Beach ketika melewati Koh Phi Phi Hospital, maka aku memutuskan untuk mengambil tempat duduk di bawah sebuah pohon besar tepat di tepian pantai yang memiliki pasir berwarna putih.

Koh Phi Phi Hospital.
Ton Sai Beach.

Akun tidak bisa melangkah lebih jauh, karena lahan di ujung pantai telah diakuisisi oleh Phi Phi Cliff Beach Resort. Resort raksasana berwarna orange nitu tampak luas nan megah. Beberapa turis yang menginap di resort tampak berenang ringan di pantai tepat di depan resort. Area berenangya bahkan dibatasi dengan garis berpelampung untuk menjaga keamanan para penginap yang sedang menikmati pantai.

Aku terduduk di sisi timur Ton Sai Beach lebih sibuk mengamati beberapa Anak Buah Kapal yang sedang menyiapkan pelayaran. Anak-anak muda itu tampak sibuk turun ke pantai untuk mencari sarapan, sedangkan ABK lain tampak sibuk membersihkan geladak kapal dan menyiapkan peralatan.

Aku duduk di pantai itu hampir setengah jam lamanya. Hingga akhirnya bertolak pergi demi mengunjungi pantai yang lain.

Pantai di ujung pertigaan tadi bagus ga, ya?”. Aku menanyai diriku sendiri.

Aku menyusuri melalui rute semula berangkat, melewati Koh Phi Phi Hospital, Maya Restaurant, dan Phi Phi Cabana Hotel untuk akhirnya tiba di pertigaan yang sempat kuindahkan tadi. Berbelok ke utara, aku melewati jalanan sebuah plaza yang lebar dan rapi, jalan itu dipenuhi pertokoan di kanan kirinya. Sedangkan di tengah plaza tampak patung jangkar menjadi landmark plaza. Aku terus melangkah hingga ke ujung utara dan akhirnya kembali menemukan pantai. Loh Dalum Beach adalah nama pantai itu.

Banyak turis yang berbondong-bondong memenuhi Rom Mai Restaurant ketika aku tiba di pantai, restoran itu memang terletak persisi di tepi pantai. Sedangkan beberapa turis lain tampak mendatangi penyewaan kano untuk bersenang-senang pagi itu.

Landmark di dekat Loh Dalum Beach.
Loh Dalum Beach.
Loh Dalum Beach.

Aku hanya berdiri di pinggir pantai menikmati suasana yang masih cenderung sepi, tak ada satupun turis yang turum ke laut. Hingga akhirnya tiga turis pria mendekat ke bibir pantai untuk melakukan aktivitas canoeing.

Tak lebih dari satu jam aku berada di pantai itu, untuk kemudian kembali lagi menuju Dormsin Hostel untuk bersiap diri melakukan eksplorasi ke tempat yang lebih jauh lagi.

Kisah Selanjutnya—->

Berbaur di Hiruk Pikuk Ao Ton Sai Pier

Mataku mengerjap-ngerjap, melawan kantuk yang masih menggelayuti muka, aku memaksakan diri untuk bangun. Kondisi kamar masih gelap ketika aku menyibak gorden capsule box tempatku tidur. Menuruni tempat tidur, dengan sedikit berjingkat, aku memanggul folding bag menuju shared bathroom. Hanya menggosok gigi, mencuci muka, memakai gel rambut dan mengoles roll-on untuk kemudian bersiap diri melakukan eksplorasi.

Pagi itu aku memilih mengenakan celana pendek warna merah dan memakai sepatu boots untuk menghabiskan hari keduaku di Phi Phi Islands. Usai siap, aku menuruni tangga penginapan menuju pintu keluar dan akhirnya kembali menyusuri Chaokoh Road menuju barat.

Aku sudah berencana untuk mencari sarapan di Phi Phi Market terlebih dahulu karena harga makanan di pasar itu sangatlah murah. Jarak pasar hanya berkisar tiga ratus meter dari penginapan, jadi aku hanya perlu melangkah selama lima menit saja.

Aku tiba di pasar, lalu berkeliling untuk mencari menu sarapan yang cocok dengan seleraku pagi itu. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli rice with chicken breast yang kutebus dengan harga 60 Baht saja. Kemudian aku menyantapnya di bawah Marlin Statue, landmark Phi Phi Islands yang terletak tepat di tepian pantai. Maka apa yang terjadi berikutnya?….Setiap turis atau warga lokal yang melintas melewati patung itu, tampak selalu tersenyum melihat tingkah lakuku menyantap menu sarapan pagi itu.

Yuk sarapan….

Aku sendiri akhirnya tak mampu menghabiskan sarapan berporsi besar itu, dengan segala maaf kepada Tuhan, aku membuang sisa sarapan ke dalam tempat sampah….Maafkan aku, Tuhan.

Aku pun melanjutkan perjalanan menuju barat melalui jalanan utama di pantai selatan Phi Phi Islands. Beberapa menit kemudian aku tiba di Ao Ton Sai Pier, pelabuhan penumpang utama di Phi Phi Islands.

Sebetulnya pada sore di hari sebelumnya, aku berlabuh di pelabuhan itu setelah berlayar selama dua jam dari Rassada Pier di Distrik Mueang Phuket. Hanya karena terlalu sore berlabuh, aku tak bisa berlama-lama menikmati Ao Ton Sai Pier. Oleh karenanya pagi itu aku berhenti cukup lama di pelabuhan untuk menikmati suasana dan pemandangan di sekitarnya.

Aku harus melakukan itu karena di keesokan hari, aku harus pulang menuju Jakarta. Oleh karenanya, aku memperhatikan dengan seksama, alur penumpang yang akan menaiki ferry dan apa saja yang perlu dilakukan penumpang di pos penjagaan pelabuhan.

Pagi itu pelabuhan cukup ramai, selain hilir mudik turis, di bagian dermaga juga dipenuhi warga lokal yang menawari jasa pariwisata seperti snorkling, diving, ataupun canoeing di beberapa spot menarik Phi Phi Islands.

Sedangkan pemandangan Ao Ton Sai Pier menampilkan panorama yang memukau, padu padan deretan perahu gypsy milik penduduk lokal yang bersandar rapi di sepanjang pantai, dilengkapi dengan keberadaan dua kapal ferry yang bersandar di ujung dermaga demi bersiap mengantarkan para turis menuju dua kota utama, yaitu Phuket dan Krabi. Sedangkan di sisi barat pelabuhan, bentangan perbukitan yang menjulang dan berwarna hijau semakin memperindah suasana saja.

Gerbang Ao Ton Sai Pier.
Ferry menuju Phuket.
Perahu Gypsy khas Phi Phi Islands.

Hampir setengah jam lamanya aku menikmati suasana pelabuhan, untuk kemudian duduk melepas lelah di teras outlet McDonald’s yang terletak di dekat pelabuhan. Beberapa toko tampak sedang sibuk untuk membuka gerainya, bersiap diri untuk menyambut kehadiram para turis yang akan datang dari trip pertama ferry, yaitu sekitar pukul sepuluh pagi.

Ketika semua toko sudah terbuka dan keadaan mulai ramai, maka aku beranjak dari teras McDonald’s untuk melanjutkan eksplorasi.

Nongkrong di teras McDonald’s….Tuh, di ujung.

Tujuanku berikutnya adalah Ton Sai Beach yang berada di sebelah barat pelabuhan.

Kiah Selanjutnya—->

Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Berkejaran dengan Gelap di Sepanjang O’zbekistan Yo’li

<—-Kisah Sebelumnya

Langkahku menuruni anak tangga di gerbang Stasiun G’afur G’ulom terus diperhatikan oleh seorang wanita yang tampak cantik dalam balutan winter jacket berwarna pink, dia berhenti di tangga jeda demi berbicara dengan seseorang melalui telepon pintarnya. Aku paham bahwa wanita itu berdiri di tangga jeda juga untuk menghindari hawa dingin yang sore itu juga mulai menembus winter jacket bekas yang kukenakan.

Aku mengindahkannya ketika tepat berpapasan dengannya. Mataku lebih tertarik memperhatikan ruangan di ujung lorong, bertanya-tanya dalam hati, kejutan apa lagi yang akan aku temukan di ruangan stasiun mengingat ruangan di setiap stasiun Tashkent Metropoliteni memiliki desain klasik yang berbeda-beda.

Sore itu, aku tak kebingungan lagi tentang bagaimana harus mendapatkan tiket one-way, mengingat pada pagi sebelumnya, aku untuk pertama kalinya membeli tiket Tashkent Metropoliteni di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku menyerahkan 1.300 Som kepada kasir di loket stasiun. Sesudahnya akan memasuki pintu masuk yang dijaga oleh petugas keamanan. Hanya perlu untuk membuka tas untuk diperlihatkan kepadanya hingga aku diizinkan memasuki peron setelah dinyatakan aman.

Seperti yang kuduga, kembali terpesona, aku terpesona dengan ruangan bawah tanah stasiun yang ditopang oleh tiang-tiang raksasa berwarna hijau dengan lekukan-lekukan klasik di sepanjangnya. Sedangkan langit-langit stasiun dipenuhi dengan pola-pola lingkaran yang dilengkapi lampu-lampu penerang di setiap pusat lingkarannya. Sungguh perwujudan desain interior yang mengesankan.

Peron Stasiun G’afur G’ulom.

Lima menit menunggu, kereta putih berkelir biru datang dari salah satu lorong, decit rodanya memekakkan telinga, getarannya terasa di peron tempatku menunggu.

Sepertinya inilah kereta yang harus kunaiki”, aku membatin.

Benar saja, itulah kereta yang akan membawaku menuju Stasiun Oybek. Tanpa pikir panjang aku melompat masuk di gerbong belakang setelah kereta berhasil menghentikan lajunya. Untuk beberapa detik berhenti, menurunkan dan menaikkan penumpang, maka kereta itu kembali melanjutkan perjalanan.

Aku bersandar pada sebuah tiang di dalam gerbong, menikmati rasa capek usai berjalan kaki seharian, hanya bersandar terpaku, melamun, menyerahkan diri mengukiti laju kereta.

Setidaknya aku harus melewati tiga stasiun lain sebelum tiba di Stasiun Oybek sebagai stasiun transfer menuju Yunusobod Yo’li. Tiga stasiun yang kumaksud adalah Stasiun Alisher Navoiy, Stasiun O’zbekiston, dan Stasiun Kosmonavtlar.

Aku sadar, kesalahanku hanya satu ketika berada di O’zbekistan Yo’li ini, yaitu tidak mencoba berhenti di Stasiun Kosmonavtlar yang konon memiliki desain super klasik nan megah.

Aku melewatkannya begitu saja hingga akhirnya sampai di Stasiun Oybek, untuk kemudian melalui lorong penghubung antar stasiun aku berhasil sampai di Stasiun Ming O’rik.

Stasiun Ming O’rik kembali memamerkan desain klasik lainnya. Memang tiang penyangga ruangannya tampak biasa saja, namun rasa klasiknya terletak pada desain lampu yang diinstall di langit-langit ruangan stasiun. Desainnya mirip stalagtit, unik tetapi tak meninggalkan sisi kewibawaan dari gaya arsitekturnya.

Menunggu selama enam menit, ternyata kereta yang datang memiliki beda bentuk dari kereta O’zbekistan Yo’li. Sore itu, kereta yang datang berwarna sepenuhnya biru langit, berbentuk kotak sempurna dengan usia gerbong yang nampak tua. Aku melompat di gerbong depan demi memasukinya. Kursi gerbong depan dipenuhi oleh penumpang lokal yang tampaknya baru saja pulang dari kantornya masing-masing. Aku memilih berdiri tepat di dekat pintu kereta, karena stasiun tempatku turun tidaklah jauh. Untuk turun di Stasiun Abdulla Qodiry, aku hanya perlu melintasi satu stasiun saja, yaitu Stasiun Yunus Rajabiy.

Peron Stasiun Ming O’rik.
Interior kereta di Yunusobod Yo’li.

Dalam delapan menit aku tiba…..

Maka aku telah berada di titik awal petualanganku kembali.

Aku beranjak keluar dari bawah tanah untuk naik ke plaza stasiun di permukaan. Berhasil menginjakkan kaki di plaza, gelap pun menyambutku. Gemerlap lampu telah berpendar di setiap bangunan di sekitar stasiun. Udara juga semakin dingin terasa.

Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.
Plaza di Stasiun Abdulla Qodiriy.

Aku yang tak mampu berlama-lama di area plaza, segera beranjak menuju penginapan yang jaraknya hanya berkisar satu kilometer saja dari Stasiun Abdulla Qodiriy.

Kisah Selanjutnya—->

Menuju Stasiun G’afur G’ulom

<—-Kisah Sebelumnya

Udara mulai mendingin ketka aku bertolak dari Moyie Mubarek Library Museum, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Langkah kakiku kali ini jelas, mengakhiri eksplorasi, menuju penginapan.

Aku membuka aplikasi transportasi Kota Tashkent berbasis Android….Aplikasi itu bernama 3TM. Aku sendiri sudah mahir menggunakan aplikasi itu karena aku telah menginstallnya di telepon pintar sebulan sebelum keberangkatan. Aku bisa dengan mudah memahami beberapa nomor bus kota yang melintas di sekitar penginapan yang kupilih.

Pada awalnya aku berencana menggunakan bus dari Halte Kalkavuz Kanali yang letaknya tepat di sisi selatan dari Hast-Imam. Ada bus bernomor 42 menuju penginapan. Namun aku mengurungkan niat usai melihat penuhnya halte oleh pekerja lokal yang menanti kedatangan bus.

Aku bergegas meninggalkan halte, mencari alternatif lain yang lebih nyaman. Alternatif terbaik adalah menggunakan jasa bus bernomor 109 yang akan berhenti di sebuah halte di depan Masjid Jami’ Akhunguzar, jaraknya hanya satu kilometer di Selatan Halte Bus Kalkavuz Kanali. Tanpa berpanjang pikir, aku melangkah cepat.

Lima belas menit selanjutnya aku tiba…..

Halte itu hanya berupa tiang penanda saja, tanpa tempat duduk, juga tanpa atap. Tepat di gerbang masjid yang langsung berbatasan dengan Zarqaynar Ko’chasi terdapat pedagang “Non” yang menjajakan roti khas Uzbekistan itu kepada para pengunjung yang keluar masuk masjid.

“Non” dengan aneka ragam, bentuk dan warnanya mengkilap sempat menggodaku untuk membelinya. Tetapi karena aku masih meyimpan dua buah “Non” yang pagi sebelumya aku beli di Chorsu Bazaar, aku mengurungkan niat untuk membeli “Non” kembali.

Sudah banyak “Non” yang terjual ketika aku berdiri di tiang halte hingga aku tersadar bahwa tak ada bus yang kunjung datang. Aku kembali berpikir ulang, mengingat sebentar lagi hari akan gelap. Hingga pada suatu waktu, aku kembali mengambil keputusan lain….Ya, aku bermaksud ingin mengunakan jasa Tashkent Metropoliteni menuju penginapan.

Aku pun beranjak dari halte bus untuk menyeberang Zarqaynar Ko’chasi. Aku harus menyisir trotoar sisi selatan demi menggapai Stasiun G’afur G’ulom. Tetapi sungguh pahit rasanya, baru saja aku berhasil menyeberang dan tiba di seberang jalan, bus kota berukuran kecil bernomor 109 tiba di halte tempatku menunggu beberapa saat sebelumnya.

Menuju Stasiun G’afur G’ulom.
Sisi barat Sebzor Ko’chasi.
Gerbang masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Aku hanya menatap kesal sejenak lalu gontai menuju stasiun. Beberapa waktu kemudian, aku pun tiba di Stasiun G’afur G’ulom yang merupakan stasiun MRT yang berada pada jalur O’zbekiston Yo’li. Tak berasa aku telah berpindah dari sisi utara ke sisi timur Abdulla Qodiriy Park yang memiliki luas lebih dari 20 Hektar itu. Bisa kamu bayangkan kan seberapa jauh aku berjalan kaki?….

Tepat di sebuah perempatan dengan Ganga Skatepark sebagai landmarknya, aku menatap Halte Bus G’afur G’ulom yang berada di seberang utara jalan. Tapi sial, aku tak mampu menemukan jalur penyeberangan menujunya. Keberadaan flyover yang membentang dari selatan ke utara di atas Sebzor Ko’chasi membuatku terditraksi mencari arah.

Rupanya opsi terakhiru untuk menggunakan bus kota pupus. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, maka aku memutuskan untuk turun ke bawah tanah melalui pintu masuk Stasiun G’afur G’ulom.

Kisah Selanjutnya—->