Golden Soup Malatang: Sesaat Tertidur Pulas

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan Le Light House & Hostel sejenak menuju ke timur. Menurut aplikasi berbasis peta di telepon pintarku, tempat makan itu hanya berjarak tak lebih dari seratus meter saja.

Menyusuri Bumrungburi Road untuk berburu makan siang.

Beberapa menit melangkah pun akhirnya aku tiba di tempat makan itu. Aku yang kelaparan bergegas memasuki kedai dan disambut oleh tiga pelayan wanita berusia sangat muda. Mereka mempersilahkan kepadaku untuk mengambil beberapa menu yang tersaji di etalase.

Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil beberapa pokcoy, sawi, satu keping mie warna ungu, wortel, beberapa potong cumi, jamur, bakso, dua potongan kecil tuna dan udang. Aku menyerahkan menu itu kepada salah satu dari mereka.

Dengan gesit dia memencet-mencet tombol di mesin kasir.

One mineral water. Ms”, aku memintanya memasukkanya dalam tagihan.

128 Baht, Sir”, kasir wanita itu menyebut angka tagihan.

Aku pun membayarnya dan setelahnya dia memintaku untuk menunggu di salah satu bangku.

Dala lima menit, hidangan tiba. Karena terlanda kelaparan akut, aku menyantap dengan lahap semua menu dalam kuah sup hangat dan gurih itu.

Selama tiga puluh menit lamanya aku menikmati menu pertamaku di Chiang Mai itu itu untuk kemudian selepas menghabisinya, aku mengambil sebotol mineral water dari sebuah freezer.

Ini dia Malatang Soup.

Menenggaknya separuh, maka aku memutuskan untuk menyudahi waktuku bermakan siang.

Rasa penasaran yang tinggi membuatku melangkah ke salah satu pelayan.

What’s the name of this dish, Ms?”, aku yang penasaran memberanikan bertanya

Malatang Soup, Sir”,

Oh, thank you for the information

With pleasure, Sir”, dia menjawab singkat

Melangkah keluar kedai, aku mengambil telepon pintar di saku kanan. Mengetikkan nama “Malatang Soup” ke mesin pencari.

Dengan cepat aku menemukannya. Lepas membaca satu paragraf tentangnya, langkahku pun terhenti. Aku menggeleng-gelengkan kepala di sisi jalan.

Mesin pintar mengatakan bahwa walau beberapa versi Malatang adalah halal namun pada dasarnya kuah pedas itu ada kemungkinan besar direbus menggunakan tulang babi.

Aku terkekeh membacanya tetapi kemudian berusaha tenang dan memohon ampun kepada Tuhan jika kuah Malatang yang kusantap beberapa menit sebelumnya benar-benar direbus menggunakan tulang babi.

Aku melanjutkan langkah menuju hotel karena waktu menunjukkan hampir pukul dua siang…Waktu check-in hampir tiba.

Aku tiba di Le light House & Hostel untuk kemudian duduk kembali di salah satu bangku cafenya. Namun baru beberapa menut duduk, seorang pria yang menggantikan resepsionis wanita sebelumnya tetiba memanggilku.

Le Light House & Hostel tampak depan.

Hello….Are you Mr. Donny?”, dia memanggilku dari arah belakang

Yes, sir…That’s right”, aku menoleh lalu menjawab pertannyaannya

Sir, you can check-in now….Come here!”, dia memanggilku

Aku memberikan paspor dilanjutkan dengan dia mengcopynya, untuk kemudian dia menyerahkan pasporku kembai padaku bersamaan dengan kunci kamar.

Setelah mendengarkan penjelasan singkat tentang prosedur hotel dari resepsionis pria itu, aku berjalan menuju pintu belakang bangunan, menaiki tangga di sisi kirinya untuk kemudian melepas sepatu dan pergi menuju kamar melalui tangga tersebut.

Sesampai kamar. Aku membongkar travel bag, mengambil folding bag lalu mengambil perlengkapan penting seperti dompet, lembar itinerary, power bank, air mineral, obat-obatan, dan kamera mirrorless Canon EOS M10, lalu menaruh beberapa pakaian ganti di salah satu loker.

Aku yang mengantuk berat, memutuskan untuk naik ke kasur di ranjang tingkat atas, dan tanpa sadar untuk beberapa waktu kemudian tertidur pulas di atas kasur……

Lalu bagaimana eksplorasiku siang menjelang sore itu.

Kisah Selanjutnya—->

Nag Tibba Trek: Journey to the Serpent’s Peak

Introduction 

Nestled in the picturesque Indian state of Uttarakhand, the Nag Tibba trek is a hidden gem among the multitude of trekking destinations in the Himalayas. It offers an enthralling adventure, taking you through dense forests, serene meadows, and to the summit of Nag Tibba, often referred to as the “Serpent’s Peak.” This trek provides a perfect blend of natural beauty, cultural experiences, and a moderate level of challenge.

The Mystique of Nag Tibba:

Nag Tibba, which translates to “Serpent’s Peak,” derives its name from its unique, serpentine appearance. It stands at an elevation of around 9,915 feet (3,022 meters) above sea level, making it an ideal destination for both novice and seasoned trekkers. The trek offers captivating views of the surrounding valleys, providing an experience that’s both visually and spiritually rewarding.

The Journey Begins:

The base camp for the Nag Tibba trek is Pantwari, a small village located at a distance of around 85 kilometers from the hill station of Mussoorie. Pantwari is not only the starting point for the trek but also a window into the local culture and lifestyle of the Garhwal region.

Trek Itinerary:

The Nag Tibba trek typically spans over 2-3 days, allowing trekkers to soak in the scenic beauty of the area and acclimatize to the altitude. Here’s a rough itinerary for the trek:

Day 1: Pantwari to Nag Mandir (Nag Temple)

  • The first leg of the trek begins from Pantwari and takes you to Nag Mandir (Nag Temple), a distance of approximately 5 kilometers.
  • This segment is a gradual ascent, surrounded by dense oak and rhododendron forests.
  • The temple is dedicated to the serpent god and is an essential pilgrimage spot for the locals.

Day 2: Nag Mandir to Nag Summit

  • This is the most challenging part of the trek, covering around 4 kilometers to reach the Nag Tibba summit.
  • Trekkers encounter steep inclines and rocky terrain.
  • As you climb higher, the views of the Himalayan peaks, including Bandarpoonch and Swargarohini, become increasingly captivating.
  • Upon reaching the summit, the sense of accomplishment is overwhelming, and the 360-degree panoramic views are a sight to behold.

Day 3: Descending to Pantwari and Departure

  • The final day involves descending back to Pantwari, retracing the same route.
  • This downhill trek is generally easier and faster than the ascent.
  • After reaching Pantwari, you can rest and then prepare to depart for your next destination.

The Wonders of Nag Tibba:

The Nag Tibba trek is a journey filled with natural wonders and cultural experiences:

  1. Flora and Fauna: Nag Tibba is part of the Nag Tibba Wildlife Sanctuary, known for its diverse flora and fauna. You can spot various bird species, including the Himalayan monal, as well as wild animals like leopards and musk deer.
  2. Camping in the Wilderness: Along the trail, there are numerous camping spots, allowing trekkers to immerse themselves in the natural beauty of the region. 
  3. Garhwali Culture: Interact with the warm and hospitable locals in Pantwari. Explore their culture, sample traditional cuisine, and even participate in local festivities if your timing aligns.
  4. Stunning Sunsets: The Nag Tibba summit is renowned for its breathtaking sunsets. Watching the sun dip below the horizon with the Himalayan peaks as a backdrop is a sight to cherish.
  5. Photographer’s Paradise: Every step of the trek offers stunning photography opportunities. From the lush forests to the snow-capped peaks, there’s something for every photography enthusiast.

Trek Essentials:

To ensure a safe and enjoyable Nag Tibba trek, make sure to carry the following essentials:

  • Appropriate Clothing: Layering is key. Good quality trekking boots are a must.
  • Backpack: A sturdy and comfortable backpack for carrying essentials is essential.
  • Water and Food: Carry sufficient water, and pack some energy-rich snacks.
  • Trekking Poles: These provide stability and support during the trek.
  • First Aid Kit: A basic medical kit for minor injuries is a must.

Best Time to Trek:

The Nag Tibba trek is accessible throughout the year, making it a versatile destination. 

  • Spring (March to April): The landscape is adorned with vibrant rhododendron blooms, and the weather is pleasant.
  • Summer (May to June): Ideal for escaping the scorching plains. The weather is mild, and the meadows are lush.
  • Monsoon (July to September): While the trek is possible, monsoon months bring heavy rainfall, which can make trails slippery.
  • Autumn (October to November): This is a fantastic time with clear skies and beautiful autumn foliage.
  • Winter (December to February): For those seeking a snowy adventure, this is the time. However, it’s essential to be prepared for sub-zero temperatures.

Conclusion:

The Nag Tibba trek is an expedition that combines the joys of trekking with the magic of the Himalayan wilderness. It’s a journey that not only tests your physical endurance but also rewards you with awe-inspiring natural beauty and cultural insights. The feeling of standing atop the “Serpent’s Peak” is truly something that stays with you long after you’ve descended.

So, pack your bags, put on your trekking boots, and embark on this journey to the heart of the Garhwal Himalayas. The Nag Tibba trek is an adventure waiting to be explored, offering a taste of the Himalayan mystique that is second to none.

Taksi dari Chiang Mai International Airport Menuju Pusat Kota

<—-Kisah Sebelumnya

Logo AOT tersebar di sekian banyak property bandara ketika tatapan mataku awas mencari keberadaan konter penyedia jasa taksi. AOT sendiri merujuk pada Airports of Thailand PCL, pengelola resmi Chiang Mai International Airport.

Beruntung aku dengan cepat menemukan konter taksi resmi “Chiang Mai Airport Taxi” yang berlokasi di dekat Door 11. Konter itu dijaga oleh staff wanita berusia paruh baya.

Hello Mam, How much is the taxi fare to Mueang Chiang Mai District?” aku bertanya lugas

150 Baht, Sir”, dia menjawab penuh senyum

OK, I take the taxi”, aku mengajukan permohonan sembari menyerahkan ongkos yang dimaksud.

Just wait here for about ten minutes, and show this receipt to the taxi driver when he picks you up from Gate 11!”, dia menunjuk pintu keluar.

Konter penyedia jasa taksi di Chiang Mai International Airport.

Mengikuti instruksinya, aku pun duduk di salah satu deret bangku bandara demi menunggu kedatangan pengemudi taksi yang dimaksud. Hingga pada akhirnya, beberapa menit kemudian,  seorang pria muda mendatangiku.

Taxi is ready, Sir”, dia menyapa dari sisi kiri tempatku duduk

Aku menoleh, memandang sebentar, lalu bangkit, “Oh, okay….I’m ready, Sir….Come On!

Aku mengikuti langkahnya menuju drop off zone di depan bangunan terminal. Tampak dari kejauhan, sebuah mobil listrik berwarna putih besutan Morris Garage (MG) telah menunggu dengan mesin menyala langsam.

Lepas memasukkan semua barang bawaan ke bagasi, aku menaiki mobil listrik itu dari pintu depan sisi kiri. Aku menghempaskan badan di kursi empuknya hingga akhirnya taksi merayap menuruni drop off zone menuju jalan utama kota.

Drop -off Zone Chiang Mai International Airport.

Chiang Mai is very hot, Sir”, aku menyela ketika dia berkonsentrasi di kemudi.

Yes, Sir….It’s been scorching these past few days”, dia menyeka dahinya yang berkeringat.

Tanpa suara, taksi itu meluncur cepat hingga akhirnya menjangkau jalur arteri menuju Le Light House & Hostel. Taksi terus meluncur cepat menuju timur, membelah kesibukan Mahidol Road.

Selanjutnya, aku tak banyak bercakap dengan pengemudi taksi, melainkan lebih memilih untuk menikmati suasana kota saja di sepanjang perjalanan menuju penginapan.

Perjalanan itu sendiri berlangsung sangat cepat, pengemudi muda itu melahap jarak lima kilometer hanya dalam waktu dua belas menit saja.

Tibalah aku di penginapan…..

Can I take a photo of the receipt?”, aku menunjuk nota pembayaran taksi di pintu sisi pengemudi.

Just take it. This is for you”, pengemudi itu sungguh baik, dia malahan memberikan nota pembayaran itu. Aku memang harus melakukan hal itu supaya nota pembayaran bisa aku reimburs ke kantor.

Ini dia penampakan taksi bandara yang kutunggangi.

Lepas turun dari taksi, aku langsung menuju ke lobby penginapan yang sebagian besar ruangannya didominasi oleh keberadaan Le Light Cafe. Pagi itu cafe sedang dikunjungi beberapa pengunjung yang kesemuanya tampak santai sembari menikmati hidangannya masing-masing.

Aku menggeret travel bag menuju resepsionis demi mengkonfirmasi kamar yang telah kupesan melalui sebuah aplikasi e-commerce perjalanan ternama.

Hi Ms….I’m Donny from Indonesia…I’ve booked a bed in your hostel….Can I check in now?”, aku menanyakan sesuatu yang sebetulnya sudah sadar bahwa permintaan check-in itu tak akan dikabulkan oleh si empunya penginapan.

Sir, you are on our list but check-in will only open at 2 pm”, wanita muda itu ramah menjawab.

Meja resepsionis Le Light House & Hostel.

Sadar diri belum bisa memasuki kamar, maka aku mundur dari meja resepsionis dan memilih untuk duduk di salah satu pojok cafe. Aku hanya duduk tanpa membeli apapun, hanya perlu menunggu hingga waktu hingga check-in tiba.

Tapi aku kalah, satu jam lamanya menunggu, akhirnya kelaparan melanda. Aku bangkit dan melangkah ke meja kasir untuk melihat menu makanan yang tersedia. Namun sayang, aku hanya menemukan berbagai jenis kue dan hidangan ringan saja di setiap lembaran menu yang kubaca.

Aku yang sangat menginginkan makanan hangat berkuah memutuskan untuk mencari tempat makan di luar penginapan.

Can I put my backpack in your locker?”, aku memohon pertolongan kepada resepsionis wanita itu.

Surely, Sir”, dia tersenyum ramah…..”Put there!”, dia menunjuk ke pojok lobby.

Thank you, Ms… I’ll just have a quick lunch”, aku menjelaskan.

Sejenak aku berburu tempat makan pada aplikasi berbasis peta dan kemudian menemukannya dalam waktu singkat.

Membuka pintu depan cafe, aku turun ke Bumrung Buri Road menuju tempat makan yang tertera di peta digital.

Aku melangkah cepat berkejaran dengan lapar…..Alamak

Kisah Selanjutnya—->

Chiang Mai International Airport: Tertahan di Conveyor Belt

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir pukul sebelas pagi….

Aku merangsek di sepanjang cabin aisle demi menuruni Scoot Air TR 676. Ucapan “Thank You” saut menyaut terdengar di pintu keluar kabin. Begitulah standar pelayanan pesawat yang dilakukan para air crew maskapai manapun.

Melaui aerobridge, aku melangkah pelan, demikianlah kebiasaanku setiap tiba di airport yang baru pertama kukunjungi. Aku berdiri di salah satu sisi aerobridge demi memperhatikan kesibukan yang terpampang di apron. Aktivitas membongkar bagasi, mengisi ulang bahan bakar dan pengecekan performa mesin pesawat dilakukan dengan gesit oleh para ground staff yang berdedikasi terhadap profesinya.

Lepas menikmati suasana itu, aku melanjutkan langkah dengan berbelok ke kanan di ujung aerobridge. Aku menelusuri koridor kedatangan demi menemukan immigration zone. Bandara yang tak terlalu besar dengan ruangan-ruangan yang tak begitu banyak, membuat langkahku cepat tiba di deretan konter imigrasi.

Antrian lumayan panjang terlihat pagi itu. Beruntung banyak konter yang dibuka sehingga antrian bisa tertangani dengan baik. Aku juga memperhatikan bahwa para petugas imigrasi begitu cepat meloloskan semua pelancong untuk memasuki wiayah yuridis Thailand.

Begitupun diriku yang diproses oleh seorang petugas imigrasi pria paruh baya dengan rambut penuh uban. Tanpa bertanya apapun, dia memintaku untuk mencetak sidik jari dan berfoto di depan sebuah kamera kecil, setelahnya dia dengan cepat membubuhi stempel kedatangan di passport.

Aku yang memegang nomor bagasi, segera mencari keberadaan conveyor belt demi mengambil kardus yang isinya akan digunakan untuk acara konferensi yang akan berlangsung tiga hari setelah kedatanganku di Chiang Mai. Acara konferensi itu sendiri akan dilaksanakan di Provinsi Phuket dan aku sengaja memanfaatkan waktu untuk berkunjung terlebih dahulu ke Chiang Mai sebelum mengikuti konferensi.

Aku yang lama menunggu di sebuah conveyor belt mulai kebingungan karena deretan bagasi belum juga memasuki ruangan baggage claim. Hingga sepuluh menit kemudian, seorang ground staff menghampiri dan mengatakan bahwa area pengambilan bagasi untuk penerbangan Scoot Air TR 676 berubah ke conveyor belt paling ujung.

Begitu dia menunjukkan conveyor belt yang dimaksud, aku segera menujunya. Untuk beberapa saat menunggu akhirnya aku mendapatkan bagasi yang kucari.

Aku melangkah pergi dengan menyaut sebuah gelas kertas dan mengisinya dengan air minum di free water station demi menghilangkan rasa haus yang telah kurasakan sejak beberapa menit sebelum mendarat.

Segar lepas meneguk sedikit air minum, aku pun segera menuju exit gate untuk menggapai Arrival Hall.

Arrival Hall sangat ramai ketika aku tiba. Penuh insting, aku tak terlalu larut dalam keramaian itu, melainkan segera mencari konter penjualan SIM card. Dengan mudah aku menemukan konter telekomunikasi dominan merah, bertajuk “true 5G” dengan taglineNo. 1 Network in Asia Pacific”. Konter itu dijaga dua staff wanita muda. Aku sejenak membaca brosur berisikan harga paket data ketika mereka sedang melayani turis lain yang sedang membeli SIM card.

Konter true 5G.
Yuk, keliling di Arrival Hall.
Lucu kan ada meja begituan di airport.
Check-in Zone di Lantai 1.
Boarding Pass Machine.

Walau ada konter lain, demi menghemat waktu, aku memutuskan untuk membeli SIM card di konter itu saja. Membayar dengan 690 Baht, kemudian aku mendapatkan paket data unlimited untuk jangka waktu tiga puluh hari.

Tenang usai mendapatkan SIM card, aku segera mengeksplorasi seisi bandara dengan mengabadikan beberapa situasi dengan kamera. Aku menelusuri Arrival Hall dari ujung ke ujung bangunan terminal bandara.

Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk mengeksplorasi bangunan bandara lantai 1. Sesudah merasa cukup mendapatkan foto-foto terbaik, aku memutuskan untuk mencari konter yang melayani jasa taksi menuju pusat kota.

Ya….Aku memang membeli SIM card terbaik dan menggunakan taksi. Itu karena semua biaya akan diganti oleh kantor tempatku bekerja.

Nah, enak kan jalan-jalan dibayari…..

Kisah Selanjutnya—->

Scoot Air TR 676 dari Singapura (SIN) ke Chiang Mai (CNX)

<—-Kisah Sebelumnya

Jangan salah fokus, gaes….Bahaya.

Pukul delapan pagi….

Kesibukan super cepat berlangsung di dalam kabin Scoot Air TR 676 tujuan Chiang Mai. Bunyi gesekan travel bag dengan kompartemen bagasi saut menyaut di sepanjang kabin, dipadu dengan rentetan nada “klik” yang dikeluarkan oleh karena pemasangan keledar keselamatan di pinggang masing-masing penumpang, membuat aku menikmati suasana khas penerbangan.

Aku telah duduk di aisle seat bernomor 18D, tepat di kabin sisi tengah, sembari sabar menunggu semua penumpang untuk bersiap.

Hampir setengah jam lamanya kesibukan itu berlangsung, hingga akhirnya semua penumpang telah duduk tenang di kursinya masing-masing.

Para awak kabin serentak bergerak ke sepanjang kabin untuk memperagakan prosedur keselamatan penerbangan yang pada akhirnya menyirap segenap penumpang hingga tanpa sadar pesawat sudah berdiri di ujung runway.

Pilot sesekali terdengar bercakap dengan pihak ATC (Air Traffic Controller). Hingga beberapa saat kemudian, kedua mesin jet kembarnya berdesing, lalu menghentakkan kabin panjang TR 676 ke depan, meluncur cepat di atas landas pacu menuju ujung lain runway Changi International Airport.

Pada kecepatan 140 Knot, akhirnya moncong pesawat menaik dan airborne terjadi dengan sangat cepat. Pemandangan apik kota Singapura terbentang dari atas ketika pesawat melakukan banking (bergulir) kea rah kanan. Tentu Marina Bay Sands menjadi aktor utama dalam pertunjukan singkat di atas Kota Singapura.

Pesawat terbang menuju utara. Pagi itu pesawat akan menempuh jarak sejauh lebih dari 2.000 km dengan waktu tempuh 2 jam 40 menit. Scoot Air TR 676  sendiri terbang dalam ketinggian jelajah  tiga puluh delapan ribu kaki.

Kembali ke dalam kabin. Aku duduk antusias di samping seorang wanita muda asal Singapura. Hal itu kuketahui dari passport merah yang dia selipkan di bagasi kursi. Wajahnya begitu berseri, mungkin karena dia hendak berwisata ke Chiang Mai. Sedangkan di window seat, duduk seorang perempuan paruh baya, dari raut muka dan perawakannya, wanita itu berasal dari Negeri Gajah Putih. Dia memilih untuk tidur selama penerbangan.

Perjalanan pagi itu berlangsung sangat mulus dan minim sekali turbulensi. Aku selalu saja mendapatkan kesan baik ketika terbang bersama Scoot Air. Sedangkan penerbangan terakhirku bersama Scoot Air adalah ketika pulang dari Maldives pada 6 Januari 2019.

Aku yang tak bisa memejamkan mata karena rasa excited untuk pertama kalinya hendak menginjakkan kaki di Chiang Mai, hanya terus membaca lembar demi lembar inflight magazine selama penerbangan.

Sok mau jajan aja kamu, Donny….

Hingga akhirnya rasa penasaran itu terkikis, ketika pilot menyampaikan informasi bahwa pesawat akan segera mendarat di Chiang Mai International Airport.

Terasa jelas, Scoot Air TR 676 mulai menurunkan ketinggian, sesekali aku mengintip ke jendela dari aisle seat. Daratan Chiang Mai mulai tampak jelas dari ketinggian. Hanya perlu menunggu beberapa saat hingga akhirnya pesawat menyentuh landas pacu dengan mulus.

Apron di Chiang Mai International Airport.

Rasa penasaranku semakin tak terbendung selama pesawat melakukan taxiing. Aku sudah tak sabar lagi untuk mengeksplorasi Chiang Mai, kota keempat yang pernah aku kunjungi di Thailand setelah Bangkok, Pattaya dan Phuket.

Kisah Selanjutnya—->

Menyambut Pagi di Terminal 1D, Changi International Airport

Bangun, Donny….!!!

Pukul enam pagi….

Koridor Transit Hall Terminal 1D (T1D) mulai dipenuhi para pelancong yang berlalu lalang dengan hajatnya masing-masing. Beberapa diantara mereka berkejaran dengan waktu menuju gate demi menangkap penerbangan masing-masing. Sebagian diantaranya sibuk berlalu lalang demi mencari sarapan, barang-barang duty free, souvenir atau bahkan mengantri di beberapa money changer demi berburu Dollar Singapura.

Aku yang memiliki jam terbang pukul 08:15, memaksakan diri untuk bangun dari tidur dengan posisi duduk di salah satu deret bangku Transit Hall.

Badanku yang sedikit remuk, mulai menggeret travel bag menuju toilet di pusat koridor. Toilet belumlah terlalu ramai ketika aku menyeka beberapa bagian badan dengan tisu basah berpewangi dan juga menggosok gigi di sebuah wastafel besar dengan cermin lebar di depannya.

Aku selesai dalam dua puluh menit untuk kemudian mengantri di depan free water station untuk mendapatkan air minum cuma-cuma. Ketika mendapatkan giliran, aku segera membungkuk dan menenggak pelan pancuran air minum yang dingin nan segar itu.

Lepas menyirnakan haus dari tenggorokan, aku melangkah pergi meninggalkan free water station demi menuju Dining At Level 3, spot kuliner di Terminal 1D-Changi International Airport. Menaiki lift aku menggapai spot kuliner itu dengan mudah. Ada satu outlet yang cukup ramai di spot itu, yaitu 4FINGeRS Crispy Chicken. Aku yang tak berselera dengan menu ayam, akhirnya memutuskan untuk pergi dan turun ke Lantai 2 lagi. Itu juga setelah aku mengacuhkan keberadaan food vending machine yang hanya menerima pembayaran dengan kartu kredit.

Tiba di Lantai 2, aku menuju More Dining Options, spot kuliner lain yang menyediakan beberapa outlet penting seperti Crave (The Original Adam Road Nasi Lemak by Selera Rasa), Ippudo Express, Ya Ku Kaya Toast dan Starbucks.

Berdiri di salah satu titik, aku memperhatikan sekitar dengan seksama. Tampak outlet Crave dan Ipudo Express memiliki antrian yang panjang. Aku yang tak mau ketinggalan untuk boarding, akhirnya memilih untuk membeli dua potong Almond Croissant seharga 9 Dollar Singapura dan secangkir Chai Latte seharga 6,6 Dollar Singapura di outlet Starbucks Coffee.

Beberapa lama mengantri di belakang tiga pelancong wanita asal Phillippines, aku mendapatkan pesananku dengan cepat dan mudah.

Secangkir Chai Latte yang menambah mood.

Maka berjalanlah aku menuju gate sembari menyantap Almond Croissant yang kupesan, aku sengaja menyisakannya satu potong untuk makan siang hari itu.

Tiba di Gate D43, aku hanya perlu menunggu sepuluh menit hingga akhirnya antrian mulai terbentuk ketika boarding dibuka. Lepas menunjukkan passport dan boarding pass, aku pun memasuki tahap screening.

Proses boarding akhirnya dimulai.

Melewatinya screening gate dengan mudah, aku ditanya oleh seorang petugas aviation security yang sudah berumur,

Chiang Mai or Kuala Lumpur?”, dia menunjuk boarding pass yang kuselipkan pada passport.

Chiang Mai, Sir”, aku menjawab tegas

Okay, Go down that stairs”, dia menunjuk ke salah satu tangga menuju lantai bawah.

Sunrise di Changi International Airport.
Singapore Airlines yang terpergok parkir….
Ini dia tungganganku.

Aku pun bergegas menuruni anak tangga itu untuk menggapai waiting room. Ternyata begitu sampai, aku dan penumpang lain harus diangkut lagi menggunakan apron shuttle bus menuju pesawat Scoot Air TR 676 yang terparkir entah di apron sebelah mana.

Aku menurut saja pada putaran roda apron shuttle bus, mengelilingi bangunan bandara selama enam menit lamanya, hingga akhirmya aku diturunkan tepat di bawah roda-roda raksasa Airbus A320-twin jet.

Tapi bukan pada pesawat itu aku tertegun, melainkan pada Airbus A350-900 yang berdiri gagah di balik punggungku. “Astaga, itu pesawat milik Singapore Airlines yang akan kunaiki Desember nanti”, aku tersenyum menatapnya hingga akhirnya seorang ground staff memintaku untuk segera menaiki tangga pesawat.

Aku bergegas naik melalui tangga dan akhirnya berhasil memasuki kabin pesawat.

Air Asia AK 380 dari Kuala Lumpur ke Jakarta: Mengukur Jejak Chai di KLIA2

<—-Kisah Sebelumnya

Geretan travel bag para pengunjung bandara akhirnya membuatku terbangun…..

Aku bangkit dan terduduk di area sempit nan pendek tepat di bawah pangkal escalator. Kulihat layar telepon pintar, waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Mataku yang masing mengantuk dan badan yang belum benar-benar segar harus kupaksakan untuk mulai beraktivitas.

Aku membuka travel bag, mengaduk-aduk isinya, mencari keberadaan kemaja putih beserta jas dan dasi. Aku harus segera pergi ke toilet untuk menyikat gigi, mencuci muka dan berganti baju formal sebagai persiapan menghadapi rapat ketika aku tiba di Jakarta beberapa jam ke depan.

Selesai urusan toilet, aku berinisiatif untuk segera mencari sarapan di koridor menuju deret gerbang Q, itu karena aku akan dilepas landas dari Gate Q13.

Mataku awas menyapu sekitar koridor hingga akhirnya menemukan sebuah tenant kuliner yang cukup ramai dikunjungi para pelancong.

NOOODLES”, aku membaca nama tenant itu.

Tanpa ragu, aku melangkah menujunya. Seorang pria India menungguku di meja kasir.

Penang Curry Noodle Soup.

Hello, Sir. Welcome. Please see our menu!”, dia menujukkan padaku deretan menu di meja kasir

Penang Curry Noodle Soup….Can you make it less spicy”, aku meminta menu khusus kepadanya karena memang tak suka pedas.

Yes, of course….28.9 Ringgit, Sir”, dia menambahkan.

And Chai….One”, aku mengacungkan jari telunjuk.

What….”, dia agak terheran mendengar kata itu

Chai, Sir…”, aku mengulangnya kembali. Aku justru heran kenapa dia yang berketurunan India tidak tahu istilah Chai

I don’t know what do you say, Sir”, dia menengadahkan kedua tangannya

Teh Tarek, Sir….” Aku menjelaskan dengan cara yang lebih mudah

Oh, I See….6,9 Ringit, Sir”, dia menambahkan tagihan dalam bill ku

Usai membayar 35,8 Ringgit aku pun mulai mencari tempat duduk

Aku mengambil tempat duduk di sofa restoran yang memanjang untuk mendapatkan rasa nyaman. Sedangkan hanya beberapa meter di sisi kananku, seorang karyawan restoran wanita keturunan India tampak tertidur pulas di bangku yang sama. Aku menebaknya sebagai karyawan “Nooodles” karena t-shirt yang dikenakannya.

Makanan yang kupesan tersaji tak lama kemudian. Aku menyantapnya dengan lahap karena memang aku selalu saja suka dengan segenap resep makanan Negeri Jiran, selalu sesuai dengan selera lidahku. Dan Teh Tarik khas Malaysia akhirnya menjadi penutup sarapan pagi itu.

Sekiranya pukul enam pagi, aku meninggalkan restoran “Nooodle” dan mulai bergerak menuju gate. Aku melangkah cepat menujunya walaupun aku tahu bahwa gate masih akan tutup dan aku akan menunggu di surau hingga gate dibuka.

Lima menit melangkah, begitu sumringahnya aku setelah melihat kenyataan bahwa gate room sudah dibuka. Maka aku menyegerakan untuk menjalankan Shalat Subuh untuk kemudian memutuskan untuk mengambil sebuah tempat duduk di pojok ruang tunggu dan memejamkan mata dengan cepat karena sejatinya aku masih digelayuti rasa kantuk akut.

ZZZZZZZZ…….

Entah berapa lama aku tertidur, hingga tiba-tiba….

Hello Sir….Can you wait outside the room?”, seorang airport staff menegur.

Aku yang gelagapan terbangun, mengucek mata dan lamat memperhatikan staff wanita itu.

Yes, Ms….What happen?”, aku yang bingung pun akhirnya bertanya

Can you wait outside, sir. We will start the boarding procedure”, dia menunjuk ke boarding gate.

Tampak empat staff Air Asia sedang menyiapkan diri dan bangku ruangan yang tadinya dipenuhi calon penumpang telah kosong kembali. Itu artinya, aku dibiarkan tidur sendirian di dalam ruangan hingga ditegur oleh staff bandara.

Tanpa pikir panjang, aku keluar dari ruangan dan akhirnya harus berdiri di ujung antrian. Aku terus diperhatikan semua penumpang yang telah mengantri sedari beberapa menit sebelumya dan aku terpaksa harus menyembunyikan rasa malu dalam-dalam.

Tak lama mengantri, antrian itu mulai merangsek masuk kembali ke gate room. Sabar mengantri dari ujung, aku akhirnya tiba di depan pintu, kemudian harus menyerahkan boarding pass dan passport untuk kemudian dipersilahkan masuk ke dalam gate room.

Menuju Gate Q13.
Air Asia AK 380 (Airbus 320 twin-jet).
Cariin bangkuku,gaes!….Nomor 16A.
Sunrise di Kuala Lumpur International Airport Terminal 2.
Tiba di Soekarno Hatta International Airport.

Tak perlu lama duduk, proses boarding akhirnya dimulai.

Melalui aerobridge, aku perlahan mendekati pintu kabin. Dan ketika benar-benar memasuki kabin, aku merangsek ke dalam untuk mencari bangku bernomor 16A.

Di window seat, aku duduk bersebelahan dengan dua orang ustadz asal Malaysia. Tepat di sebelahku adalah sekarang ustadz bergamis dan bertubuh kurus, sedangkan di aisle seat terduduk seorang ustadz berperawakan tambun yang tampak sangat kerepotan untuk duduk di dalam pesawat berjenis Low Cost Carrier (LCC).

Penerbangan menggunakan Airbus A320 twin-jet itu berlangsung selama 1 jam 55 menit dengan jarak tempuh lebih dari 1.100 km.  Pernerbangan pagi itu sangat menyenangkan karena pesawat sama sekali tidak mengalami turbulensi.

Satu momen yang menyita perhatian adalah ketika pesawat Air Asia yang kutumpangi, terbang bersebelahan dengan pesawat Garuda Indonesia yang sama-sama hendak mendarat di Soekarno Hatta International Airport.

Salip menyalip di udara itu akhirya terhenti ketika Air Asia dan Garuda Indonesia menyentuh landasannya masing-masing dan lindap di balik bangunan bandara ketika melakukan taxiing demi mengantarkan masing-masing penumpangnya di terminal akhir yang dituju.

Aku sendiri tiba di Soekarno Hatta International Airport pada pukul 08:30. Itu artinya aku akan terlambat menghadiri rapat di kantor yang rencananya akan dimulai pada pukul 09:00.

Semenjak memasuki bangunan terminal, aku terus berlari menuju konter imigrasi. Aku sengaja memanfaatkan e-passport gate untuk menghindari antrian, mengisi formular bea cukai secara daring dan mencari taksi INKOPAU seharga 300 ribu demi menuju kantor.

Benar adanya, aku harus terlambat 30 menit dalam mengikuti rapat. Hanya saja tak semua orang tahu bahwa aku langsung menghadiri rapat di kantor sepulang dari Phuket dan mendarat di Soekarno Hatta International Airport.

Dasar travel maniac kamu, Donny….

—-TAMAT—-

Air Asia AK 823 dari Phuket ke Kuala Lumpur

<—-Kisah Sebelumnya

Rute penerbangan Air Asia AK 823 (sumber: flightaware).

Waktu satu setengah jam aku manfaatkan dengan cara duduk bersantai di salah satu bangku di waiting hall sembari menikmati secangkir cold latte sehaga 89 Baht yang aku beli dari salah satu tenant kopi, Phuket International Airport. Tenant itu bernama Siam Express dengan tagline utamaya Fresh & Go dan terletak persis di depan Gate 9, tempat pelepasan pesawat yang akan kutumpangi.

Gerbang itu berebelahan dengan Gate 10 yang akan digunakan VietJet Air untuk boarding menuju Vietnam.

Kursi di waiting hall tampak penuh malam itu, susah sekali untuk mendapatkan bangku kosong. Tetapi beruntung, aku mendapatkan satu bangku kosong di sebuah koridor tersembunyi, tepat di belakang sebuah tenant souvenir.

Setelah menunggu satu setengah jam lamanya, akhirnya panggilan boarding menggema di langit-langit bangunan terminal. Aku mengambil antrian di belakang seorang pasangan muda Malaysia yang tampak mesra, bak perangko dengan amplopnya, aku sendiri akhirnya menebak bahwa mereka usai berbulan madu di Phuket.

Aku melewati bagian pemeriksaan boarding pass dengan mudah, kemudian menuruni tangga demi menuju ke sebuah koridor dimana deretan gate pelepasan di tempatkan.

Memasuki aerobridge, aku terus merangsek menuju kabin dan segera mencari keberadaan window seat bernomor 32A, aku menemukannya di bangku paling belakang tepat di depan toilet kabin.

Begitu duduk dan memasang sabuk pengaman, aku baru menyadari setelah melongok sejenak dari kaca jendela bahwa kondisi di luar bandara sedang hujan deras, setelah melongok sejenak dari kaca jendela.

Bersiap untuk boarding.
Itu dia penampakan Air Asia AK 823 (Airbus A320 twin-jet).
Boarding di kursi paling belakang.

Setengah jam lamanya proses boarding, hingga akhirnya pesawat telah bersiap untuk lepas landas. Pesawat memulai proses taxiing menuju runway ketika para awak kabin sedang memperagakan prosedur keselamatan penerbangan.

Berhenti di atas runway, sejenak pilot berkoordinasi dengan petugas ATC untuk meminta izin lepas landas. Setelah petugas ATC menyetakan siap dan aman, maka pesawat mulai menyalkan mesin jetnya, meluncur cepat di sepanjang runway untuk akhirnya berhasil airborne dengan sempurna.

Aku mulai terbang meninggalkan Phuket…..

Sejenak usai lepas landas, pelita bumi di atas Phuket tampak cantik walau tak semeriah pelita di kota-kota besar, aku menangkap sejenak beberapa gambar malam dari kota Phuket.

Pemandangan Phuket malam hari saat airborne.

Perjalanan menuju Kuala Lumpur sendiri ditempuh dalam jangka waktu satu setengah jam dengan menempuh jarak sejauh 1.200 kilometer.

Duduk di sebelah pria Malaysia yang kuduga dari dandanannya sebagai seorang pebisnis, aku memaksakan diri untuk tidur, mengingat pada malam sebelumnya aku kurang istirahat di Dormsin Hostel. Memang demikian jika aku hendak melakukan penerbangan, aku akan mengalami kesulitan tidur nyenyak karena takut tertinggal penerbangan.

Mataku sendiri akhirnya terbuka ketika pilot memberitahu kepada awak kabin bahwa pesawat bersiap untuk mendarat. Aku melongok ke jendela dan melihat pelita bumi di Kuala Lumpur tampak sangat indah dan dominan dilihat dari atas.

Sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki di Kuala Lumpur kembali”, aku membatin sumringah.

Pesawat perlahan menurunkan ketinggian dan akhirnya roda raksasanya berhasil menyentuh landas pacu dengan mulus. Aku telah tiba di Kuala Lumpur untuk sekedar transit sebelum terbang kembali menuju Jakarta di keesokan paginya.

Pemandangan malam Kuala Lumpur dari atas.
Merapat di KLIA2

Usai taxiing, pesawat merapat ke bangunan terminak Kuala Lumpur International Airport Terminal 2. Setelah pramugari membuka pintu pesawat,  aku merangsek melalui aerobridge menuju sisi dalam arrival hall demi mencari keberadaan transfer hall. Aku yang sudah hafal jalurnya, menemukan transferr hall itu dengan sangat mudah.

Malam itu, transfer hall dijaga oleh aviation security wanita. Dia hanya bertanya kepadaku hendak pergi kemana. Aku hanya menunjukkan boarding pass terusan yang kudapatkan dari Phuket International Airport beserta passport hingga dia menunjukkan pintu menuju transferr hall.

Memang malam itu aku terkesan malas untuk keluar dari konter imigrasi ketika tiba, melainkan lebih memilih untuk beristirahat saja di transfer hall mengingat di keesokan harinya aku ada agenda meeting dengan manajemen di perusahaan tempatku bekerja.

Mencari barisan Gate Q, akhirnya aku tiba di transit hall luas dan berkapet tebal. Aku yang merasa sangat haus, membeli jus apel kemasan di sebuah beverage tenant.

Aku pun segera mencari tempat tidur yang tepat untuk memejamkan mata. Aku menemukan tempat yang nyaman di bawah escalator dan aku dengan percaya diri tidur di bawah escalator tersebut hingga pagi menjelang.

Terimakasih KLIA2….Izinkan diriku untuk tidur sejenak…..

Alternatif untuk mendapatkan tiket pesawat dari Phuket ke Kuala Lumpur bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->

Merekayasa Berat Bagasi di Phuket International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Sekitar pukul setengah tiga sore aku sudah memasuki bangunan bandara. Sedangkan penerbanganku ke Kuala Lumpur telah terjadwal pada pukul sebelas malam. Itu artinya aku harus berada di Phuket International Airport selama 8 jam lamanya.

Aku yang baru saja tiba di bandara, langsung berinisiatif untuk mencari keberadaan Flight Information Display System (FIDS) demi memastikan status penerbangan. Aku akan melakukan penerbangan malam menggunakan Maskapai Air Asia dengan nomor penerbangan AK 823.

Beruntung, nomor penerbangan yang kucari sudah tertera di layar FIDS dan bersyukur pula karena tidak ada perubahan jadwal lagi setelah dua hari sebelumnya aku mendapat pemberitahuan lewat surel bahwa penerbangan diundur satu jam dari rencana awal.

Menurut informasi yang kudapatkan di layar FIDS bahwa proses check-in penerbanganku akan diurus di konter pada barisan D.

Tiba di International Terminal.
Check-in Desk Zone.
International Terminal, Phuket International Airport.
Area parkir sisi utara Phuket International Airport.

Langkah berikutnya yang harus aku lakukan adalah memastikan berat travel bag supaya tidak melebihi berat standar yaitu 7 kg.

Untuk itulah, aku melangkah menuju salah satu konter luggage wrapping untuk menimbang travel bag. Beruntung aku punya koin 10 Baht untuk menggunakan timbangan digital yang mereka punya.

Aku lama terdiam melihat hasil timbangan karena aku tahu akan disibukkan untuk mencari cara supaya travel bagku bisa berbobot lebih ringan lagi, karena hasil pada timbangan digital menampilkan angka 8,6 kg.

Kalau aku tak kurangi bebannya, aku akan kena denda 960.000 rupiah”, aku berpikir kecut.

Aku menepi di salah satu pojok utara bangunan terminal, duduk berpikir sembari menatap area parkir dari dinding kaca. Aku mulai membuka travel bag, lalu mulai beraksi untuk merekayasa bobotnya.

Aku mengeluarkan dan mengenakan sepatu pantofel yang berbobot lebih berat dari sepatu boots yang kukenakan, aku berencana membuang saja sepatu boots itu. Lalu aku juga membuang semua jenis kopi dan teh kemasan yang kuambil dari Renaissance Phuket Resort & Spa -tempatku menghadiri konferensi seminggu sebelumnya-, membuang sebungkus masker dan menyisakan dua lembar saja untuk perjalanan pulang, membuang wadah pomade dan memindahkan isinya pada sebuah plastik obat karena berat wadah pomade bisa mencapai 220 gram sendiri, merobek dan membuang semua dokumen yang sudah tak terpakai beserta map plastiknya, dan membuang semua faktur transaksi setelah memfotonya.

Itu hanya e-ticket pesawat, konfirmasi pemesanan hotel dan beberapa nota-nota transaksi yang bisa dilaporkan melalui foto”, aku senyam-senyum sendirian.

Aku juga berencana akan mengenakan jas, menaruh power bank dan charger laptop di kedua saku, lalu memindahkan laptop ke folding bag.

Usai mensimulasi rekayasa itu, kemudian aku kembali ke konter luggage wrapping untuk menimbang ulang travel bag. Aku tertawa pelan ketika melihat angka pada skala digital.

Enam koma tiga kilogram….Cerdas kamu, Donny”, aku membanggakan diri sendiri.

Sebelum melakukan proses check-in, aku menunaikan shalat berjama’ah di musholla bandara bersama para staff bandara. Lantas, usai shalat aku meninggalkan sepatu boots di rak sepatu.

Benar saja sesuai dugaan…..

Tak ada masalah berarti ketika aku menjalani proses check-in. Sudah pasti, aku lolos dengan mudah dari penimbangan bagasi.

Sudah pukul tujuh malam ketika aku mendapatkan boarding pass…..

Sangat mengejutkan, karena aku bertemu dengan salah satu peserta konferensi, Syam namanya. Entah apa saja yang dia lakukan selama extend. Kami tidak bisa bercakap lama karena dia tampak terburu-buru mengejar keberangkatan Singapore Airlines menuju Negeri Singa.

Pasca pertemuan singkat itu, aku memutuskan untuk mencari makan malam.

Aku menemukan Thai Street Food by Kin restaurant di sisi Selatan bangunan terminal.

Demi menghemati waktu, aku segera memesan Tom Yum Shrimp Set yang disajikan dalam dua bagian yaitu semangkuk Tom Yum Goong  dan sepiring Jasmine Rice dengan topping omlette di atasnya. Tak lupa, aku juga memesan secangkir jasmine tea untuk menghangatkan badan yang kedinginan karena pendingin ruangan bandara. Untuk semua menu yang kupesan itu, aku harus menebusnya dengan harga 374 Baht.

Thai Street Food by Kin.
Tom Yum Goong with Jasmine Rice and Omlette.
Mau langsung seperti aku?….Olah raga dunk😁.

Usai makan malam, aku segera menuju ke konter imigrasi untuk mendapatkan izin keluar dari Thailand. Menuju konter imigrasi, aku mulai iseng dengan kembali menuju musholla, mengambil sepatu boots yang awalnya akan kutinggal dan memasukkannya kembali ke dalam travel bag.

Tak akan ada pemeriksaan bobot bagasi lagi setelah konter imigrasi”, aku membatin jahat.

Waiting Hall setelah konter imigrasi.
Waiting Hall.
Tenant makanan di waiting hall.
Tenant lainnya.
Deretan tenant makanan.
Gate tempat aku akan boarding jam 11 malam.

Selanjutnya, aku melewati konter imigrasi dengan mudah untuk kemudian tiba di waiting hall dan bersiap terbang bersama Air Asia AK 823 dalam satu setengah jam ke depan.

Kisah Selanjutnya—->

Minibus Transfer dari Rassada Harbour ke Phuket International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Royal Jet Cruiser 8 merapat pelan pada salah satu dermaga Rassada Harbour di Distrik Mueang Phuket. Aku telah merampungkan pelayaran selama dua jam yang bertolak dari Ao Ton Sai Pier di Phi Phi Islands. Phi Phi Islands sendiri berjarak laut 50 Km dari Phuket.

Usai ferry bersandar sempurna, aku segera menggeret travel bag menuju bangunan pelabuhan, melangkah cepat menuju toilet, itu karena minibus menuju airport yang telah kupesan ketika hendak berlayar di Ao Ton Sai Pier telah menunggu di pelataran Rassada Harbour.

Beruntung aku telah mengetahui letak toilet karena aku telah menggunakan toilet itu tiga hari sebelum kedatanganku siang itu, yaitu ketika aku hendak berangkat menuju Phi Phi Islands.

Kemudian aku tiba di pelataran pelabuhan ketika hampir semua minibus telah dipenuhi penumpang. Kutunjukkan tiket minibus transfer kepada koordinator pemberangkatan yang ternyata adalah petugas pemeriksa tiket ketika aku hendak berangkat dari Ao Ton Sai Pier.

Follow that driver, Sir”, dia tersenyum, mungkin karena sudah mengenalku semenjak bertemu di Ao Ton Sai Pier

Okay, Sir”, aku melangkah meninggalkannya dan menuju salah satu minibus.

Yang berbaju kuning itu adalah petugas tiket ferry sekaligus koordinatoe minibus transfer.
Nah itu Abang Sopirnya yang memiliki keturunan Melayu.

Minibus itu memiliki 3 baris kursi dengan tiga penumpang di setiap barisnya. Aku sendiri duduk di baris kedua, tepat di sisi paling kiri, bersebelahan dengan seorang pelancong Eropa yang duduk bersebelahan dengan kekasih Thailandnya.

Hanya perlu lima menit menunggu semenjak aku duduk di salah satu bangku minibus hingga akhirnya pengemudi minibus menginjak gas dan memulai perjalanan.

Perlahan minibus meninggalkan Rassada Harbour, keluar dari gerbangnya dan memulai perjalanan di Tharuamai Road menuju Phuket International Airport.

Sedangkan porsi besar perjalanan minibus yang kunaiki adalah melalui Thep Krasattri Road, jalanan utama selebar 40 meter dan memiliki tiga ruas di setiap arahnya.

Perjalanan sendiri memakan waktu kurang lebih satu jam dengan menempuh jarak sekitar 40 Km. Bersyukur Thep Krasattri Road tak begitu padat siang itu sehingga aku tidak menemukan kemacetan yang berarti.

Minibus transfer seharga 200 Baht saja.
Suasana di sepanjang Thep Krasattri Road.

Pukul setengah tiga sore, minibus untuk pertama kali tiba di Phuket International Airport dengan mengantarkan beberapa penumpang di Domestik Terminal, para pelancong Eropa itu sepertinya ingin melanjutkan eksplorasi di kota-kota lain Thailand.

Do you wanna go to International Terminal, Sir?”, pengemudi minibus itu bertanya kepadaku yang ikut turun dari minibus. “This is the Domestic Terminal, just stay in the van. I will transfer you to the International Terminal”, dia menjelaskan.

Oh, Okay Sir”, aku menjawab sekenanya dan kembali memasuki minibus.

Where are you come from?”, dia kembali mengajukan pertanyaan ketika kembali menginjak pedal gas menuju International Terminal.

Indonesia, Sir….Jakarta”, Aku menjawab singkat sembari awas menatap keluar kaca minibus.

Oh, tunggu. Hanya sekejap nak sampai”, dia tetiba bercakap dalam Bahasa Melayu

Oh, Abang bisa Bahasa Melayu”, aku tertawa

Bisa, Bang, sikit”, dia tersenyum menjelaskan. “Abang kerja atau melawat?”, dia melanjutkan pertanyaan

Melawat saja, Bang”, aku sebenarnya telah paham bahwa di daerah Phi Phi Islands dan Phuket banyak terdapat warga Thailand keturunan Melayu. Oleh karenanya banyak muslim yang tinggal di kedua daerah itu.

Tak terasa, akhirnya aku tiba di International Terminal.

Drop off zone International Terminal, Phuket International Airport.
Pintu masuk International Terminal.

Aku turun dan mengucapkan terimakasih kepada pengemudi minibus. Setelah minibus itu pergi, baru aku masuk ke bangunan terminal bandara.

Saatnya terbang ke Kuala Lumpur…..

Kisah Selanjutnya—->