Gelap mulai meyelinap, temperatur kota mulai jatuh, pelita buatan mulai menerangi jalanan. Sementara aku berdiri di bawah gerbang utama Al Fateh Grand Mosque, menatap GO Cards warna merah yang kupegang dengan tangan kanan.
“Seingatku saldonya sudah habis semenjak kemarin sore”, aku bergumam pelan.
Gumamku punya makna bahwa aku harus pulang menuju penginapan dengan mengandalkan langkah kaki.
Terbesit ragu dalam hati, ada rasa tak yakin dengan jalanan yang mulai dikuasai gelap. Begitulah aku, jika pulang terlambat, selalu saja khawatir jikalau menemukan “blank spot” di jalanan yang identik dengan kriminalitas.
“Sekarang atau tidak sama sekali, Donny!”, aku mulai menghardik mentalku sendiri untuk segera memutuskan sebelum malam mulai hadir sepenuhnya.
Aku memutuskan mulai melangkah menuju penginapan daripada mencari mesin otomatis penambah saldo GO Cards.
Mengambil arah kiri dari gerbang Al Fateh Grand Mosque, aku mengayun langkah cepat dengan fokus tinggi demi mengumpulkan keberanian. Tiba di sebuah perempatan besar, aku memilih memindahkan langkah di ruas baru, Bani Otbah Avenue.
Oh ya, siapa sebenarya Bani Otbah hingga bisa menjadi nama jalan utama di Manama?
Bani Otbah adalah perkumpulan dari beberapa suku Arab yang asalnya mendiami sebuah dataran tinggi di wilayah tengah negara Saudi Arabia, yang dikemudian hari, suku ini menyebar hingga ke Kuwait dan Bahrain dan menjadi penguasa di kedua negara itu.
Langkahku tiba di sebuah pertigaan, adalah Osama bin Zaid Avenue yang membentuk pertigaan itu. Kini langkahku berbelok menuju utara, masih mempertahankan ruas yang sama. Tengara dari pertigaan itu adalah penginapan bintang empat bertajuk Ramada, sebuah penginapan yang berafiliasi dengan hotel kelas dunia berbintang lima, Wyndham Hotel namanya.



Bani Otbah Avenue mulai padat, sepertinya para pekerja sedang dalam perjalanan ke rumah masing-masing. Kemacetan tampak tak terhindarkan. Tetiba dari sebuah mobil jeep warna hitam, seorang perempuan meneriakiku sambil menunjuk kabin belakang. Aku paham bahwa dia sedang menawariku tumpangan. Beberapa saat setelahnya, seorang laki-laki dari balik kemudi menampakkan wajahnya dan melambaikan tangan untuk memintaku masuk sambil tersenyum.
Aku yang merasa aneh dengan kejadian itu, lantas berinsting untuk mengambil opsi aman. Tentu aku tak akan mengambil tawaran itu. Aku berusaha memberikan kode dengan merapatkan kedua telapak tangan sebagai penanda bahwa tempat yang kutuju sudahlah dekat dan akan lebih baik jika ditempuh dengan berjalan kaki. Beruntung, mereka berdua memahami dan memberikan acungan jempol sebagai penanda bahwa mereka mengerti maksudku.
Kenapa bisa terjadi demikian,
Karena di sepanjang trotoar hanya aku seorang diri yang berjalan, dan itu terkesan aneh. Mungkin sebagian besar warga Manama selalu menggunakan mobil kemana mereka pergi.
Semenjak tawaran itu tiba, aku telah berdiri bersisian dengan Gudaibiya Palace, sebuah istana utama yang digunakan sebagai venue beberapa event politik dan ekonomi penting di negara Bahrain, bahkan istana ini digunakan untuk pengukuhan raja-raja baru Bahrain.
Hanya mampu melintas dan menikmati keindahan Gudaibiya Palace dari sisi trotoar, membuat langkahku tiba di Andalus Garden, taman kota yang pernah kusambangi pada malam pertamaku di Manama.
Dengan tiba di taman itu, berarti aku sudah sangat dekat dengan penginapan. Tak terasa aku telah melangkah sejauh hampir dua setengah kilometer. Aku mulai menurunkan deru napas seiring dengan mulai tenangnya hati.

Kuputuskan untuk transit sejenak di kedai makan khas India yang telah menjadi langgananku semenjak pertama kali tiba di Manama. Aku menikmati beberapa lembar paratha dan chicken fry sebagai menu makan malam di akhir petualangan hari keduaku.
Saatnya beristirahat sebagai persiapan petualangan di keesokan harinya.
One thought on “Melintas Gudaibiya Palace: Menyudahi Eksplorasi Hari Kedua”