Lewat jam dua siang….
Aku sedikit menyeret kaki ke arah selatan, tentu karena rasa capek yang mulai menggelayut. Tak terasa aku sudah mengitari kota setengah dengan arah putaran berlawanan arah jarum jam, berhasil menyisir sisi barat hingga utara.
“Saatnya bergerak ke sisi timur”, aku berujar dalam hati dengan sedikit rasa was-was jikalau matahari mendahului terbenam sebelum aku tiba di penginapan.
Aku kembali menyeberangi jalan bebas hambatan King Faisal Highway untuk menggapai Palace Avenue, sebuah jalan protokol yang membelah sisi timur ibukota Manama dari arah utara ke selatan.
Tiba di sebuah perempatan besar dengan tengara Ras Rumman Mosque, aku mengubah haluan menuju timur melalui Shaikh Hammad Causeway, sebuah jalan protokol selebar tak kurang dari 25 meter yang memiliki enam ruas dengan dua arah.
Shaikh Hamad Causeway telah kutetapkan sebagai akses berjalan kaki menuju museum modern penyimpan koleksi Al Qur’an langka, kaligrafi dan berbagai artefak Islam, Beit Al Qur’an adalah nama tempat tersebut.
Hampir dua kilometer menyeret langkah, akhirnya aku tiba.
Tapi……
Sepi……
Tak ada siapapun di terasnya. Aku yang tak mudah menyerah mencoba mengintip ke dalam ruangan gedung lewat pintu kaca. Aku melihat ada dua orang bercakap di dalam.
Lama tak mendapatkan perhatian, aku memutuskan menunggu hingga mereka keluar. Kuhabiskan beberapa saat waktuku di teras museum dengan membaca beberapa warta yang terhampar di papan informasi.
Tetapi dua orang di dalam tak kunjung keluar…..
Aku memutuskan untuk mendekati pintu kaca itu kembali. Mengetuknya, sesekali melambaikan kedua tangan lebar-lebar untuk mendapatkan perhatian kedua orang itu yang sedang asyik bercakap di dalam gedung.
Akhirnya…..
Satu di antara mereka menoleh ke arahku. Aku menjadi sumringah karena dia mulai melangkah menujuku. Aku pun bersiap menemuinya.



“Can I help you, Sir?”, dia bertanya penuh senyum
“Sir, can I go inside the museum to have a look around?”, aku mengajukan pertanyaan.
“Oh God, I’m sorry, the museum is closed today. We are closed on Friday”, dia tampak sedih melihat keberadaanku.
“Where are you come from?”, dia melanjutkan bertanya.
“Very very far country, Sir….Indonesia”, aku menjelaskan sembari berharap.
“You can come tomorrow”, dia membesarkan hatiku
“Tommorow I will visit a destination outside Manama City, Sir”, aku memastikan.
“Do you want to know about the history of Islam in Bahrain?”, dia sepertinya akan memberikan sebuah alternatif.
“Sure, Sir”, aku antusias.
“You can go to Al Fateh Grand Mosque, where an imam stands guard and explains about the Islamic history of our country. I think it’s a worthy substitute for this museum”, di menepuk-nepuk pundak kananku.
“It’s an interesting idea for sure. Alright, I’ll go there now. Thank you for your suggestion, Sir”, aku akhirnya berpamitan dan melangkah pergi.
2 thoughts on “Beit Al Qur’an: Sebuah Alternatif Datang….”