Pukul setengah tujuh pagi aku sudah menginjakkan kaki di daerah Ruwi setelah dihantarkan oleh Mwasalat Bus bernomor 1B dari Muscat International Airport.
Menuruni bus, aku tetiba terperangah….
Bagaimana tidak, terminal bus berukuran kecil itu tampak indah karena dikelilingi oleh bukit berbatu yang membentang dengan warna coklat kemerahan di segenap pandangan. “Ini sungguh pesona yang luar biasa”, batinku berujar sesaat.
Usai mengabadikan beberapa sudut terminal dalam jepretan Canon EOS M10 kesayangan, maka tatapanku berpindah ke arah selatan.
Jalanan masih sepi, sementara OYO 117 Majestic Hotel yang kupesan tersembunyi di sebuah sisi jalan yang berjarak dua setengah kilometer jauhnya. Aku memesan salah satu kamarnya seharga 11 Rial per malam tepat sebulan sebelum keberangkatan.
Untuk beberapa saat aku menatap bentangan lurus panjang Al Fursan Street yang sangat lengang. Jalan itu lurus bersisian dengan Alkbir Wadi yang kering kerontang, menampakkan tanah permukaannya yang pecah merekah dimana-mana karena konsitensi terpaan panas surya dalam beberapa bulan musim kering.
Wadi sendiri adalah sebutan untuk hamparan sungai yang kering karena pada umumnya sungai tersebut hanya mengalirkan air saat musim penghujan tiba.
“Tak ada waktu lagi…..”, aku meyakinkan diri untuk mantab saja melangkah memasuki Al Fursan Street.
Aku melangkah cepat sembari terus memperhatikan posisiku terhadap hotel di aplikasi peta pada gawai pintar yang terus kugenggam selama melangkah. Semaikin jauh menelusuri Al Fursan Street, bukan perasaan gentar yang kudapatkan, justru rasa tenang nan damai yang menyelimuti setiap langkah demi langkah. Aku merasa berada di jalanan paling aman yang membuatku berani melambatkan langkah demi menikmati suasana pagi yang sejuk hingga kemudian langkahku terhenti di sebuah perempatan.
Aku berdiam di sisi barat persimpangan dua jalan itu. Aku mencoba mencari papan petunjuk untuk memahami nama jalan pemotong Al Fursan Street yang sedari sebelumnya aku lewati.
“Al Baladiya Street….Oh itu nama jalannya”, aku mendapatkan papan nama jalan dengan cepat.
Aku memutuskan untuk menyeberangi perempatan itu, karena letak hotel yang sedang kucari berada di sisi timur Alkbir Wadi. Aku pun menyeberangi jembatan yang gagah mengangkangi wadi yang memiliki lebar tak kurang dari lima puluh meter.





Kini langkahku berpindah di jalan yang menyejajari Alkbir Wadi di sisi timurnya. Sepanjang jalan itu, tampak ruko-ruko lima lantai yang masih tertutup rapat di sisi kiriku melangkah. Sedangkan di sisi kanan lebih didominasi oleh keberadaan truk-truk besar yang bagian depannya ditundukkan sebagai pertanda bahwa mesin-mesin pengangkut itu sedang mendapatkan reparasi.
Tampak wajah-wajah khas Asia Selatan mendominasi kegiatan reparasi itu, nantinya aku akan mengetahui bahwa mayoritas mereka berasal dari Bangladesh.
Semakin mendekati hotel, suasana jalanan mulai ramai. Nadi kehidupan ekonomi Kota Muscat tampak sedang menggeliat dari bangun malamya.
Sebelum benar-benar tiba di hotel, aku mulai memfokuskan pandangan untuk mencari keberadaan kedai makan di sekitar aku melangkah. Naluriku mengatakan bahwa di daerah tersebut pasti ada kedai makan murah khas Bangladesh yang memfasilitasi kebutuhan perut para pekerja Bangladesh yang sibuk bekerja di sekitarnya.
Benar saja, di sebuah gang dan sedikit tersembunyi aku melihat sebuah kedai makan mungil.
“Baiklah….Di situlah aku akan menikmati sarapan pertamaku di Oman”, bibirku tersenyum tipis ketika mengambil keputusan.
Demi segera bersarapan, maka aku mempercepat langkah menuju hotel yang jaraknya tinggal beberapa meter lagi di depan.
2 thoughts on “Menuju OYO 117 Majestic Hotel: Jalan Tenang nan Menentramkan”