Dua Warna dari Batu Pandang Ratapan Angin

Aku menginjak pedal kembali. Kali ini aku akan mengunjungi Museum Kailasa karena museum ini menyimpan berbagai hal terkait Dieng, seperti catatan kehidupan masyarakat, kebudayaan, sistem kepercayaan, flora dan fauna serta sejarah Dieng.

Museum itu hanya berjarak satu kilometer dari Hotel Gunung Mas, oleh karenanya tak perlu waktu lama bagiku untuk tiba. Hanya saja, begitu tiba, museum tampak senyap, tak satupun pintu yang nampak terbuka. Tempat parkir pun sengaja dihalangi oleh palang-palang bambu yang meyebabkanku tak bisa memarkirkan mobil.

Menghentikan mobil di salah satu sisi Jalan Arjuna Barat, aku turun dan berusaha bertanya kepada siapapun di sekitar museum itu.

“Oh, karena saat ini masih PPKM Level 3 jadi seluruh tempat wisata di Kabupaten Banjarnegara ditutup, Mas. Hanya tempat wisata yang terletak di Kabupaten Wonosobo saja yang buka”, begitu informasi yang kuterima dari seorang lelaki muda di area parkir museum.

Sore itu juga, aku baru faham bahwa sebagian tempat wisata Dieng masih ditutup, tentu aku masih bisa mendapatkan tempat wisata Dieng untuk dikunjungi, yaitu tempat wisata Dieng yang dimiliki oleh Kabupaten Banjarnegara.

Informasi itu membuatku terbengong sesaat, bertolak pinggang menatap ke arah ujung Jalan Arjuna Barat….Damn.

Aku kembali ke balik kemudi. Tanganku lincah di layar telepon pintar demi menyortir kembali destinasi wisata yang bisa kusambangi. Dan demi menghindari kehilangan banyak waktu maka aku segera mengarahkan kemudi menuju Batu Pandang Ratapan Angin.

Destinasi itu ada di tenggara, dua kilometer jauhnya.  Maka aku mempercepat laju mobil untuk segera sampai di sana.

Menjelang setengah empat sore aku pun tiba di area parkir destinasi itu. Tanpa pikir panjang, aku segera memasuki area wisata. Menebus tiket dengan uang sepuluh ribu rupiah, aku mulai menanjaki lereng bukit menuju ke puncaknya.

Aku terus menapaki tangga-tangga berbatu yang tampak disusun dengan rapi, melintasi lahan yang ditanami kentang di sepanjang jalur penanjakan. Menanjak ke atas tentu harus berbagi tangga dengan beberapa pengunjung yang turun.

Dalam dua puluh menit aku mencapai puncak pandang. Perlu waktu lama untuk tiba di puncak karena aku tak mau terburu-buru menikmati suasana dan pemandangan yang tertampil dengan sangat indah ketika menaiki bukit.

Tiba di bagian atas, titik pandang yang jalurnya dibuat dari panggung yang ditopang besi-besi kokoh diantara dua julangan bukit batu, aku begitu leluasa menikmati keindahan Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari ketinggian. Paduan warna alami yang sangat sempurna tertampil di depan pandangan. Telaga Warna memendarkan warna hijau lumut sedangkan Telaga Pengilon menampilkan kejernihannya kepada segenap pengunjung Batu Pandang Ratapan Angin.

Tanjakan pertama.
Hampir sampai….Hufth.
Titik pandang tertinggi.
Dua warna berbeda….
Canteekkknya….
Sekoteng penangkal hawa dingin.

Tak sedikit muda-mudi yang berlama-lama mengambil foto dengan latar belakang yang instagramable. Membuatku harus sabar menunggu dan mengantri untuk mendapatkan titik terbaik pengambilan gambar. Tentu aku pun harus berempati dengan pengunjung lain yang mengantri untuk mendapatkan sudut pandang terbaik itu. Hanya lima menit saja aku berusaha memaksimalkan diri ketika mengakuisisi posisi terbaik untuk mengambil gambar kedua telaga. Setelahnya aku memutuskan untuk turun.

Karena aku sudah tuntas menikmati pemandangan sekitar saat menaiki bukit, maka kali ini aku dengan cepat menuruni bukit.

Aku tiba di parkiran dan begitu tergoda dengan jajanan di kedai-kedai kuliner yang memanjang di depan area parkir. Maka untuk menghilangkan rasa penasaran itu, aku memutuskan untuk menikmati segelas Sekoteng panas. Aku membelinya dari sebuah kedai dan kemudian menikmatinya dari dalam mobil demi menghindari hawa dingin yang mulai menyelimuti kaki bukit.

Sudah pukul empat sore ketika aku usai menikmati Sekoteng. Kufikir, sudah tak ada lagi destinasi wisata yang buka. Lebih baik aku kembali ke hotel dan bersiap untuk berwisata kuliner nanti malam.

7 thoughts on “Dua Warna dari Batu Pandang Ratapan Angin

Leave a Reply