Kota Bandung: Impian Besar Menuju Zero Waste Cities

Halo travelers….

Kali ini saya akan mengajak Anda semua menuju Kota Bandung. Saya yakin bahwa segenap traveler baik yang pernah dan belum mendapat kesempatan berwisata ke sana pastinya telah mengenal Kota Bandung.

Dari segi pariwisata, Kota Bandung memang menawarkan banyak destinasi yang menarik untuk dikunjungi oleh traveler manapun.

Destinasi eklektik di sepanjang Jalan Braga, Gedung Sate yang tersohor, Gedung Asia Afrika yang melegenda atau wisata berkeliling kota menggunakan bus Bandros (Bandung Tour on Bus) adalah sedikit dari sekian banyak atraksi wisata yang bisa disambangi.

Tetapi kali ini, saya akan membahas satu hal penting dibalik indahnya pariwisata Kota Bandung. Travelers…Ketika berwisata di tengah Kota Bandung, tentu saja mata kita akan dimanjakan dengan panorama dan kebersihan kota yang akan menambah kenyamanan kita berwisata.

Padahal kita semua sebagai traveler belum tentu mengetahui bagaimana hakikatnya perjuangan kota dalam menampilkan sisi terbersih dan terindahnya bagi para wisatawan. Oleh karenanya, saya akan mengajak Anda untuk melihat lebih dalam dibalik kebersihan yang tertampil di kulit luar pariwisata Kota Bandung. Bahwa sesungguhnya ada perjuangan ekstra gigih dalam pengelolaan sampah untuk menjadikan Kota Bandung sebagai kota yang memiliki budaya yang baik terkait sampah.

Nah, beruntung sekali bagi saya karena telah diundang dalam sesi studi kasus “Menjajaki Transisi: Perjalanan Bandung Menuju Zero Waste Cities”. Acara ini berlangsung berkat Prakarsa dari YPBB (Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan), Forum BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) dan DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Kota Bandung.

Yuk, kita simak bersama hal-hal apa saja yang saya dapatkan dalam studi kasus tersebut.

Moderator dan ketiga narasumber.

Teman-teman traveler,

Pengelolaan sampah selalu saja menjadi momok bagi banyak perkotaan di negara ini bahkan di dunia. Tak sendikit kota yang babak belur menangani kesehatan masyarakat dan lingkungannya karena ketidakberhasilan menangani sampah yang dihasilkan oleh aktivitas kota itu sendiri.

Lalu bagaimana Kota Bandung bergerak dalam program pengelolaan sampah.

Kawasan Bebas Sampah (KBS)

Berdasarkan alur cerita yang disampaikan oleh Ratna Ayu Wulandari yang merupakan perwakilan dari YPBB, pada tahun 2015, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung menginisiasi program Kawasan Bebas Sampah (KBS) dimana pengelolaan sampah dilakukan di sumber yaitu di tingkat Rukun Warga (RW). Inisiasi ini kemudian diperkuat oleh aksi YPBB pada tahun 2017 melalui program pendampingan di level kelurahan, yaitu Kelurahan Sukaluyu dan Kelurahan Neglasari.

YPBB kemudian mengintensifkan perannya dengan membangun kelurahan model dalam pelaksanaan Rencana Teknis Pengelolaan Sampah (RTPS) yang minim intervensi pada tahun 2020, yaitu Kelurahan Cihargeulis dan Sukamiskin. Tidak berhenti disitu, YPBB pun melanjutkan aksinya dengan memberikan asistensi transisi TPS Terjadwal.

Bahkan proses advokasi YPBB dan BJBS menjadikan kolaborasi apik dalam memberikan input kepada pemerintah tentang Kawasan Bebas Sampah (KBS) di 30 kecamatan. Pada saat ini keseluruhan 30 kecamataan di Kota Bandung adalah cikal bakal Kawasan Bebas Sampah (KBS). Dari 151 kelurahan, 94 kelurahan diantaranya memiliki cikal bakal KBS. Kemudian dari 1.858 RW, sekitar 180 RW diantaranya melakukan upaya pengelolaan dengan konsep program KBS. Pencapaian ini tentu memerlukan dorongan dan peranan pemerintah secara kontinyu dan akan sempurna apabila terdapat kolaborasi dengan berbagai pihak non-pemerintah.

Di tahap selanjutnya, atas input YPBB dan Non-Govermental Organization lainnya maka implementasi Kawasan Bebas Sampah (KBS) berkembang dari sekedar pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah menjadi program penguatan pengelolaan sampah itu sendiri, contohnya adalah pengelolaan sampah dari sampah tercampur menjadi sampah terpilah.

Dari pemilahan sampah ini maka produk olahan sampah bisa dimanfaatkan masyarakat dan pihak yang membutuhkan. Sampah terpilah tentu bisa dimasukkan ke sarana pengolahan, bank sampah dan pengembang biodigester. Dengan pengurangan jumlah sampah ini maka bisa diterapkan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Terjadwal. Sehingga sampah yang mengalir ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah benar-benar sampah residu.

Tentu hal ini akan mengurangi tipping fee yang lebih besar ketika Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kota Bandung akan berpindah dari TPS Regional Sarimukti ke TPA Legok Nangka. Oleh karenanya Kawasan Bebas Sampah yang sukses menjalankan program pengelolaan sampah harus terus direplikasi di Kawasan Bebas Sampah yang baru.

Untuk kesuksesan pengembangan Kawasan Bebas Sampah maka penggunakan icon campaign KBS, yaitu Kang Pisman harus terus diinternalisasikan dalam budaya pengelolaan sampah di masyarakat Kota Bandung”, tegas Ria Ismaria sebagai perwakilan dari Forum BJBS di acara tersebut.

Eh….Teman-teman traveler tahu kan “Kang Pisman”?…. Kang Pisman adalah singkatan dari “Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan”. Nah, Kang Pisman ini adalah program kampanye pengentasan masalah sampah yang dimiliki pemerintah Kota Bandung.

Lalu bagaimana peran YPBB dalam mendukung keberhasilan Kawasan Bebas Sampah ini?…..Nah, YPBB selama ini berperan dalam mengembangkan konsep Kawasan Bebas Sampah melalui program Zero Waste Citiesnya.

Pelaksanaan Kawasan Bebas Sampah

YPBB selalu konsisten dengan konsep pengelolaan sampah dimana metode kumpul, angkut, buang yang sudah lama membudaya di masyarakat harus dirubah ke arah pelaksanaan metode pengurangan sampah di sumbernya dengan memilah, mengurangi dan mendaur ulang. Bekerjasama dengan pemerintah Kota Bandung maka YPBB konsiten dalam menerapkan konsep metabolisme sirkuler. Dalam konsep ini sampah selalu dianggap sebagai materi yang bisa didaur ulang dan diusahakan memiliki life time yang panjang.

Perlu diketahui bahwa beban sampah Kota Bandung adalah sebesar 1.324 ton per hari. Oleh karena itulah diperlukan strategi efektif untuk mengurangi jumlah tersebut. Beban tersebut tentu hanya bisa dikurangi dengan cara penanganan sampah lebih banyak di sumber sehingga akan mengurangi beban di bagian hilir.

YPBB pun fokus dalam pengembangan model sampah terpilah. Konsisten dalam melakukan edukasi masyarakat dari rumah ke rumah, edukasi petugas sampah dan edukasi keluarga. Edukasi ini kemudian didukung dengan penguatan infrastuktur dan master plan di tingkat kelurahan. Kemudian usaha yang dilakukan YPBB ini telah membantu pemerintah dalam menciptakan 181 Kawasan Bebas Sampah di Kota Bandung hingga saat ini.

Ini semua dilakukan oleh YPBB demi membantu visi pemerintah dari dilaksanakannya Rencana Induk Pengelolaan Sampah yaitu terciptanya banyak Kawasan Bebas Sampah (KBS) di seluruh penjuru Kota Bandung.

Adapun prinsip Program Kawasan Bebas Sampah (KBS) diantaranya adalah desentralisasi dengan mendekatkan pengelolaan sampah ke sumber, perubahan sistem tercampur menjadi terpilah, mengurangi penimbulan sampah, kebiasaan memilah-mengolah-memanfaatkan hasil, penegakan aturan, dan mendasarkan partisipasi dari bawah.

Kefektifan Program Kawasan Bebas Sampah

Dalam sesi ini disampaikan bahwa pengembangan model Kawasan Bebas Sampah memang sudah maksimal dilakukan oleh pemerintah tetapi dampak yang diberikan ternyata masih belum signifikan

Pemerintah sedang giat-giatnya dalam inovasi sarana prasarana, biaya operasional, sumber daya manusia untuk melakukan edukasi dan pengangkutan serta pengolahan sampah. Akan tetapi, walaupun dukungan pemerintah dilakukan secara kontinyu, ternyata dukungan tersebut masih berfokus  pada aspek operasional dan berdurasi pendek.

Intervensi akan membawa dampak kurang bagus. Selalu terdapat ketergantungan pada insentif, penokohan, dan tenaga pendamping yg diterjunkan DLH Kota Bandung di lapangan. Hal ini akan menimbulkan pemborosan sumber daya.

Maka pertanyaan baru akan muncul,”Seberapa lama warga terus tergantung pada edukasi dan pendampingan?”, Hal inilah yang harus segera dibenahi, ungkap Ratna Ayu Wulandari sebagai perwakilan dari YPBB.

Sesi itu mencontohkan Kelurahan Cihargeulis yang dalam menjalankan pengelolaan sampah masih terdapat intervensi pada prosesnya. Tetapi diantara sekian banyak Kawasan Bebas Sampah di Kota Bandung, tetap saja ada yang berhasil berjalan secara mandiri. Sukamiskin menjadi model Kawasan Bebas yang telah melakukan pengelolaan sampah secara mandiri baik dalam operasioanal dan inisiatif.

Perjalanan Bandung Menuju Zero Waste Cities

Menurut Deti Yulianti sebagai perwakilan dari DLH Kota Bandung bahwa pada tahun 2017 hingga sekarang, jumlah sampah yang dikirim ke TPA masih berkisar 80% dari total timbulan sampah. Hal inilah yang mendasari YPBB untuk memberikan reminder kepada pemerintah untuk melakukan shifting segera ketika program Kawasan Bebas Sampah, inisiatif relawan dan Dinas Lingkungan Hidup masih  bergerak secara sporadis dalam pengelolaan sampah. Upaya-upaya tersebut masih belum maksimal dan masih mengandalkan participatory base.

Kemudian muncul faktor pengaruh luar yaitu Perpres JAKSTRADA (Kebijakan Strategi Daerah)  yang memberikan pekerjaan rumah bagi Kota Bandung untuk mendorong pengurangan sampah hingga 30% dan menurunkan penanganan sampah hingga 70%. Secara kalkulasi, Kota Bandung harus bisa mendorong pengurangan sampah lebih dari 34% karena TPA akan segera berpindah.

Pada tahun 2020 dilakukan ujicoba pengelolaan sampah non-participatory base, pada waktu itu disiapkan tenaga sampah terpilah, tenaga pendamping dan sarana prasarana. Pendampingan dilakukan selama satu tahun di dua kelurahan. Ternyata kinerja ketaatan mencapai 60%, sampah menurun hingga 40%. Jika hal ini bisa diterapkan di 51 kelurahan di Kota Bandung maka target 30% pengelolaan sampah akan terlampaui.

Pada tahun 2021, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung memiliki peran ganda sebagai regulator dan operator. Beban DLH juga semakin besar untuk operasional penyelenggaraan pengelolaan sampah. Dan pada tahun 2012, dorongan peningkatan pengelolaan sampah semakin besar. Terdapat gap target ketercapaian pengelolaan sampah hingga 12% dari capaian existing. Sehingga kekurangan itu harus dikejar.

Tentunya, inovasi harus cepat dilakukan karena TPA Legok Nangka hanya memberikan kuota sampah 800-1.025 ton per hari untuk Kota Bandung. Padahal Kota Bandung apabila perilaku masyarakatnya tidak berubah maka akan menghasilkan sampah sekitar 1.750 ton per hari. Itu artinya Kota Bandung harus bisa mengurangi sampah sebesar 750 ton per harinya.

Sedangkan pada saat ini pengurangan sampah Kota Bandung hanya berkisar 150 ton per hari. Tentu angka itu akan berfluktuatif tergantung dari partisipasi sektor informal dan masyarakat. Kota Bandung harus meningkatkan akses rumah tangga terhadap sitem pemilahan sampah yang terintegtasi dari sumber sampai TPA

YPBB selalu mendukung pemerintah Kota Bandung untuk mengembangkan model Kawasan Bebas Sampah dengan perbaikan tata kelola pengelolaan sampah secara menyeluruh yang meliputi aspek regulasi dan masyarakat. Titik berat pemerintahan harus diletakkan pada distribusi wewenang sampai tingkat kelurahan untuk memilah sampah hingga penegakan aturan dan sanksi. Tentu YPBB siap untuk memberikan saran dan rekomendasi terbaik sehingga pengelolaan sampah bisa dilakukan lebih optimal di masa depan.

Semoga impian Kota Bandung untuk menjadi Zero Waste Cities di masa depan bisa terwujud dan memberikan teladan bagi kota-kota lain di Indonesia dan dunia tentang bagaimana seharusnya sinergi berbagai pihak dalam sebuah kota bisa menangani sampah yang ditimbulkannya.

#zerowastecities

#konferensipersZeroWaste

@ypbbbandung

4 thoughts on “Kota Bandung: Impian Besar Menuju Zero Waste Cities

  • Tapi bbrp kali kesana pas jalan pagi di kawasan sepanjang Alun2 ke Asia afrika banyak sampah. Kayaknya yg pada nongkrong malem deh pelakunya. Trus sedikit sekali tong sampahnya. Palagi pas ke Braga, susah dapet tong sampah. mau buang bungkus cakwe aja harus disimpen dulu sampe ke ujung jalan. Dan beberapa titik sudut kotanya juga ada tumpukan sampah. Meski di protokolnya kelihatan bersih. Masih jadi tugas nih sepertinya…

    • Memang benar teh, masih ada inkonsistensi dalam pembangunan tata kelola sampah di Kota Bandung. Jadi inkonsotensi ini terkadang menampilkan suasana terbaik di muka kota, tetapi terkadang sebaliknya.
      Nah itulah PR bagi pemerintah dan Non-governmental Organisation (NGO) untuk membuat tata kelola sampah dengan mandiri, konsisten dan tidak tergantung dari pihak manapun.
      Ini seperti anomali jadinya…..
      Wah, kayaknya kemarin asyik tuh jalan-jalannya teh Uchi…,😁🤭

      • Meski banyak yang sadar tp kenyataannya banyak jg yg blm punya kesadaran nyimpen sampahnya sampe dpt tong sampah. Ya itu buktinya pagi2 sampah berserakan. smntara petugas belum bekerja mungkin. Jadi mesti ngga boleh lelah edukasi ke masyarakat pentingnya buang sampah pada tempatnya. Oya satu lagi, gelandangan banyak banget. sedih aku tuh… lansia2 harus tidur di emperan toko. Malem gelar “kasur”nya trus pagi2 udah ngga ada. Mungkin cari nafkah. Ya Allah aku miris…
        Jadi kalo bisa jangan soal sampah aja. tp juga soal mereka2. Palagi ada NGO…

        Kalo jalan pagi aku konsisten, mas hahaa jadi disaat org masih leha2 aku udh patroli wkwkwk

      • Keadaan itu yang bisa membuat kita bersyukur atas kondisi kita saat ini.
        Bener memang teh, edukasi perihal budaya terhadap sampah butuh waktu yang lama….seperti Jepang yang butuh waktu hingga dua generasi hingga anak bangsanya punya budaya yang hebat perihal sampah.
        Nah kalau suka patroli, cocok sama profesi Polisi harusnya😁😁

Leave a Reply