
Pramugari ayu berbalut seragam biru dengan bunga di selipan telinga kanannya itu terlihat paling muda….Juga paling cantik. Senyumnya juga paling ceria. Berambut pendek kecoklatan sepanjang bahu tetapi sedikit lebih panjang di potongan sisi kirinya dan sudah barang tentu, paras oriental menjadi penyempurna keelokannya.
Namanya Maeda….
Entah, kalau dirunut, dia terletak di silsilah yang mana dengan Tadashi Maeda, seorang Laksamana Muda yang berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia.
Nama Maeda disejarahkan sebagai sebuah Klan Samurai di Jepang. Memiliki sifat jujur, berani, setia dan memegang teguh komitmen pada kebenaran.




Pagi itu, dia menjadi yang tersibuk di atas Laut China Timur. Seorang keluarga asal Tiongkok terlalu keras kepala mengakuisisi deret bangku demi berkumpulnya satu keluarga kecil dalam penerbangan Vanilla Air kali ini. “Si Ayu” Maeda terus membujuknya untuk duduk sesuai nomor yang tertera dalam boarding pass. Ternyata suara lembutnya tak pernah berhasil membujuk keluarga itu untuk berpisah hingga separuh waktu penerbangan. Bahkan Maeda merayunya hingga berjongkok di depan penumpang itu.
Entah kenapa sampai sekarang pun aku masih teringat dengan si Maeda ini,
Maeda menjadi sebuah bonus dari penetapan pilihan pada maskapai yang sebenarnya aku tak mengenal baik sebelumnya. Pencarianku pada situs penyaring penerbangan berdasarkan beberapa kategori, memilihkanku pada maskapai pengakuisisi Air Asia Jepang ini. Di kemudian hari, tiket seharga Rp. 800.000 itu menerbangkanku dari Kaohsiung di Taiwan menuju Tokyo.
Bahkan waktu-waktuku sebelum bertemu Maeda ini tak seindah yang kubayangkan. Aku memaksakan diri tidur semalaman di Kaohiung International Airport di sebuah selasar Departure Hall.
Bangun pagi….Bahkan masih terkantuk pun, karena terbawa obrolan dengan penumpang lain hingga lewat tengah malam, aku bersungut-sungut menuju meja check-in setelah menukarkan sisa New Taiwan Dollarku dengan Yen. Konter check-in bernomor D18 dengan LCD bercantum nama maskapai menyelesaikan proses itu dengan cepat.



Masalah lain muncul,
Di meja imigrasi, terjadi agenda klarifikasi segala yang membuatku dipisahkan dari antrian dan di dudukkan pada sebuah bangku di ujung deretan konter.
“Why do your visa look like this”, Visa Waiverku dicurigai.
“It’s a new waiver visa for Indonesian e-passport holder,Mam”
“Wait, let me check to my boss!”.
Wanita muda itu tergopoh meninggalkanku menuju sebuah ruangan. Aku masih tenang saja menantinya kembali, hingga 15 menit lamanya.
“Ahh…Aku pasti lolos”, batinku.
“Ok, sir, It’s valid”, celotehnya membuyarkan beku mukaku yang sedang mengamati sebuah pojok bangunan terminal.
Setelahnya, dia melepasku untuk memasuki sebuah koridor berplafon lengkung dangan pohon-pohon artifisial di sisi kiri menuju ke gate nomor tiga puluh.


Lalu bagaimana dengan keluarga Tiongkok yang sedari tadi dibujuk “Si Ayu” Maeda?
Bersyukur, pimpinan pramugari turun tangan membantunya dan berhasil memisahkan keluarga kecil itu sesuai prosedur penerbangan.
Mengesankan! Vanilla Air menjadi maskapai nomor empat belas dari dua puluh delapan jenis maskapai yang telah kunaiki. Bersyukur tentunya bisa menikmati jasa penerbangan milik anak perusahaan ANA (All Nippon Airways) ini.
Pagi itu pilot menjelaskan ada sedikit badai yang berasal dari Laut Filipina, tapi syukurlah, turbulensi itu tak berlangsung lama dalam perjalanan. Pernebangan menggunakan Airbus A320, sejauh 2.500 Km, berselang tiga jam dengan ketinggian 37.000 feet ini sungguh menyenangkan. Mungkin saja, karena ini adalah titik kulminasiku dalam menjelajah Asia. Siapa sih yang tak berhasrat mengunjungi Negeri Matahari Terbit itu.
Pukul sebelas lebih beberapa menit akhirnya aku tiba Narita International Airport.
Yuk berpetualang di Tokyo!
Alternatif untuk tiket pesawat dari Kaohsiung ke Tokyo bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832
:)Buen
Thank you, Carmen😊