• <—-Kisah Sebelumnya

    Aku masih menyisir sisi barat Prapokkloa Road. Jalanan arteri semakin ramai saja seiring menit berjalan, mungkin karena matahari tak lagi garang.

    Lagi…..Tiga menit melangkah, aku melihat keberadaan sebuah kuil di sisi timur jalan. Kali ini berbeda, tak seperti Wat Jet Lin yang senyap. Kuil yang ada di hadapan tampak lebih dinamis, ada beberara biksu muda sedang beraktivitas di dalamnya, juga para wisatawan yang hilir mudik, keluar masuk kuil.

    Aktivitas itu berhasil menggagalkan niatku yang pada awalnya ingin melewatkan saja keberadaan kuil itu.

    Aku pun mulai menyeberangi Prapokkloa Road. Jalan dua arah selebar tak kurang dari enam meter itu belum begitu ramai dengan kendaraan yang melintas.

    Berhasil menyeberang, aku berhasil tiba tepat di depan gerbang kuil, menghadap sebuah papan nama beton.

    Wat Muentoom”, aku membacanya jelas.

    Bak memasuki gerbang istana Kerajaan Lan Na, aku mulai menginjakkan kaki di halaman kuil. Tampak dua biksu muda sedang sibuk mengurusi kuil. Satu biksu tampak sedang menyirami tanaman di sekitar kuil. Sedangkan seorang lagi tampak duduk di bawah tenda sedang menyiapkan perlengkapan peribadatan.

    Aku sepenuhnya paham bahwa mengambil foto biksu tanpa izin adalah tindakan yang tidak terpuji, maka kuputuskan untuk langsung saja menuju ke bangunan belakang kuil.

    Menyisir bangunan dari sisi selatan, aku terpesona dengan keberadaan bentuk ukir dari makhluk mitologi Buddha yang berwujud setengah manusia dan setengah burung, Kinnara nama makhluk itu. Dalam ajaran Buddha, Kinnara adalah makhluk surgawi yang pandai memainkan kecapi.

    Tiba di bagian belakang kuil, aku menemukan area lapang yang menjadi tempat parkir beberapa mobil milik pemerintah yang mungkin digunakan sebagai inventaris kuil dan sebagian lagi kuduga adalah milik pengunjung kuil.

    Aku berdiri lama di area parkir nan lapang demi menikmati keindahan arsitektur kuil, untuk kemudian berusah mencari informasi apapun mengenai kuil di hadapan.

    Gerbang Wat Muen Tum tampak depan
    Kuil utama Wat Muen Tum.
    Sisi selatan Wat Muen Tum.
    Bangunan bagian belakang Wat Muen Tum.
    Perwujudan Chinte.

    Mue Tum?……

    Menilik secara historis, kata “Muen Tum” pada kuil ini merujuk pada seorang bangsawan kerajaan. Sudah bisa ditebak bahwa dialah yang membangun kuil ini.

    Sedangkan secara fungsi, Wat Muen Tum akan digunakan sebagai tempat penjemputan raja baru Dinasti Mangrai yang akan naik tahta setelah dimandi sucikan di Wat Phakhao. Wat Phakhao juga dikenal sebagai White Cloth Temple (Kuil Kain Putih) karena raja yang akan dinobatkan akan dimandikan dalam pakaian serba putih di kuil ini. Wat Phakhao sendiri terletak setengah kilometer di timur Wat Muen Tum.

    Kembali ke pelataran belakang Wat Muen Tum. Di bagian ini aku juga menemukan bangunan dengan arsitektur khas Kerajaan Lan Na, yaitu memiliki atap bertingkat dengan kemiringan tinggi. Listplank di sepanjang tingkatan atap mengadopsi bentuk tubuh naga dengan kepalanya di setiap ujung atapnya.

    Sedangkan di setiap sisi pintu kuil dijaga oleh sepasang Chinte, yaitu perwujudan singa yan menjadi ikon religi di Thailand.

    Sejenak untuk terakhir kali, aku kembali berdiri di pelataran belakang, menikmati keindahan Wat Muen Tum yang dalam waktu beberapa menit ke depan, akan kutinggalkan.

    Lima menit menjadi waktu yang sangat cepat untuk menikmati keindahan Wat Muen Tum. Tetapi memang aku harus terpaksa pergi karena waktu hampir menginjak pukul setengah lima sore.

    Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku menuju ke bagian depan kuil melalui sisi utaranya. Dan begitu tiba di Prappokkloa Road, aku kembali melanjutkan langkah menuju utara.

    Kisah Selanjutnya—->

  • Introduction:

    Conversating on a Leh Ladakh bike trip is a dream for many adventure enthusiasts and travel affectionists. Situated in the Himalayan region of India, Ladakh offbreath landscapes, challenging heights, and an experience that’s nothing short of excitement. However, a successful bike trip requires meticulous planning, especially when it comes to budgeting and costs. In this guide, we’ll delve into the various aspects of planning a Leh Ladakh bike trip, including costs, tips, and a sample itinerary.

    Budgeting and Costs:

    Before revving up your bike and hitting the road, it’s crucial to have a clear understanding of the costs involved. While the actual expenses can vary based on factors like the duration of your trip, type of accommodation, and personal preferences, here’s a breakdown of the major expenses to consider:

    Travel and Accommodation: The travel costs primarily include fuel for your bike. The distance from your starting point to Leh can impact this significantly. Accommodation options range from budget guesthouses to luxury hotels. Camping is also a popular and budget-friendly option.

    Permits and Fees: Ladakh is a protected region, and tourists are required to obtain Inner Line Permits to visit certain areas. These permits come with a nominal fee.

    Food and Drinks: Food expenses can vary depending on whether you choose to dine at local eateries or prefer restaurants. Local cuisine is generally more affordable.

    Rentals and Repairs: If you’re renting a bike, factor in the rental charges and also keep a buffer for any potential repairs your bike might need during the journey.

    Miscellaneous: This includes expenses for activities like sightseeing, shopping, and any unexpected costs that may arise during the trip.

    Tips for Cost-Effective Travel:

    While a Leh Ladakh bike trip can be a memorable experience, it’s important to keep your expenses in check. Here are some tips to help you make the most of your adventure while being budget-conscious:

    Travel with a Group: Traveling in a group can help in cost-sharing for accommodation, fuel, and other expenses. Plus, it’s safer and more enjoyable to share the experience with others.

    Pack Light: Carrying excess baggage can impact your bike’s fuel efficiency. Pack only the essentials to save on fuel costs.

    Choose Accommodation Wisely: Consider budget options like guesthouses, hostels, and camping sites. This not only saves money but also offers a more immersive experience.

    Eat Local: Indulge in the local cuisine as it’s often more affordable than eating at fancy restaurants. Plus, it’s a great way to experience the culture.

    DIY vs. Guided Tours: While guided tours provide convenience, planning your own trip gives you more control over your expenses. Research and plan the route beforehand.

    Maintenance Check: Ensure your bike is in top condition before starting the trip. Regular maintenance can prevent costly breakdowns during the journey.

    Sample Itinerary:

    Here’s a sample 10-day itinerary for a Leh Ladakh bike trip, focusing on key destinations and approximate costs:

    Day 1-2: Start your journey from Manali, covering around 330 km. Stay in budget guesthouses (approximately $15-25 per night).

    Day 3-4: Ride to Jispa (138 km) and then to Sarchu (80 km). Camp in Sarchu or opt for budget accommodations.

    Day 5: Head to Leh (250 km). This leg might have slightly higher fuel costs due to longer distance.

    Day 6-7: Explore Leh and nearby attractions. Visit monasteries and enjoy local cuisine.

    Day 8: Ride to Nubra Valley (150 km). Experience the famous sand dunes and stay in a guesthouse.

    Day 9: Proceed to Pangong Lake (160 km). Camp by the stunning lake under the stars.

    Day 10: Return to Leh. Relax and prepare for your journey back home.

    Conclusion:

    A Leh Ladakh bike trip is an adventure of a lifetime, offering unmatched natural beauty and an adrenaline rush like no other. While costs are a significant aspect of planning, careful budgeting and smart choices can make the journey affordable without compromising on experiences. Whether you’re a solo traveler or part of a group, the memories and stories you’ll gather from this journey will undoubtedly be worth every penny spent. So, plan wisely, ride safely, and get ready to create unforgettable memories amidst the majestic Himalayas.

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Jarum jam merangkak pasti menuju angka empat ketika aku terperanjat dan terbangun.

    Usai makan siang, untuk beberapa saat aku tertidur pulas di bunk bed tingkat atas milik Le Light House & Hostel. Mungkin tidur yang tak nyenyak di Changi International Airport pada malam sebelum kedatanganku di Chiang Mai yang membuatnya demikian.

    Aku merengkuh folding bag di sisi ranjang dan menuruni bunk bed dengan pelan. Tentu aku tak mau mengganggu pelancong lain yang sedang tidur siang. Beruntung sesaat sebelum terlelap, aku telah menyiapkan semua perlengkapan eksplorasi dalam folding bag kecil dan sudah menyimpan travel bag pada sebuah loker yang disediakan hostel.

    Dengan langkah sedikit berjinjit, aku menyapa dua staff hostel wanita yang duduk di samping salah satu bunk bed yang telah selesai dibersihkannya. Satu diantaranya tampak sedang meratakan sprei yang baru saja dipasangnya.

    Sawadikap”, aku menyapanya sangat pelan.

    Keduanya pun menjawab dengan kata yang sama sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di dada.

    Keluar dari pintu kaca geser, aku menuruni tangga dan mulai mengenakan sepatu, demikian adanya, sepatu memang yang harus dilepas di lantai bawah sesuai aturan hostel.

    Akhirnya aku meninggalkan hostel dengan menyusuri Bumrung Buri Alley 4, sebuah jalanan kampung yang bisa menembuskanku menuju Prapokkloa Road dimana destinasi yang akan kutuju berada.

    Sepinya jalan kampung itu berhasil menyiutkan nyali sore itu. Aku hanya terus melangkah secepat mungkin demi segera menemukan jalan arteri. Aku berfokus untuk segera menemukan keramaian. Beruntung dalam enam menit aku tiba di jalan utama.

    Aku pun menurunkan tempo, melangkah lebih pelan dan menikmati pemandangan di sisi kiri dan kanan Prapokkloa Road.

    Prapokkloa Road Soi 4

    Tampak beberapa pedagang kaki lama, mulai menyiapkan lapak demi menyambut keramaian malam yang dalam beberapa menit kemudian akan hadir. Penggorengan dan panggangan mulai dipanasi, bahan-bahan makanan mulai dikeluarkan dari freezer box, dan lampu penerangan pun mulai dinyalakan.

    Aku terus melangkah di bawah siraman mentari sore yang masih sedikit menyengat. Beberapa turis asing pun sama, berseliweran di setiap titik di ruas Prapokkloa Road demi menggapai destinasinya masing-masing.

    Aku cukup menyadari bahwa Chiang Mai dikenal sebagai kota terbesar kedua di Thailand yang memiliki tujuh puluh kuil di dalamnya. Jadi sudah pasti, aku akan mudah menemukan kuil di sepanjang jalan-jalan arteri di Chiang Mai.

    Benar saja, delapan menit sejak pertama kali melangkah meninggalkan hostel, aku menjumpai sebuah kuil. Adalah Wat Jet Lin yang menjadi kuil pertama yang kutemui di Chiang Mai.

    Wat Jet Lin atau orang lokal menyebutnya Wat Chedlin berdiri artistik dengan warna dominan putih dan berpagar batu bata merah di sekelilingnya. Ketika aku tiba, Wat Jet Lin tampak sepi dan tiada satu orang pun di dalamnya. Oleh karenanya aku memutuskan untuk tidak menyinggahinya. Itu juga karena tujuan utama sore itu bukanlah Wat Jet Lin.

    Wat Jet Lin tampak depan.
    Wat Jet Lin tampak samping.

    Aku harus segera mencapai tujuan sebelum gelap mengakuisisi hari”, gumamku dalam hati.

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Aku meninggalkan Le Light House & Hostel sejenak menuju ke timur. Menurut aplikasi berbasis peta di telepon pintarku, tempat makan itu hanya berjarak tak lebih dari seratus meter saja.

    Menyusuri Bumrungburi Road untuk berburu makan siang.

    Beberapa menit melangkah pun akhirnya aku tiba di tempat makan itu. Aku yang kelaparan bergegas memasuki kedai dan disambut oleh tiga pelayan wanita berusia sangat muda. Mereka mempersilahkan kepadaku untuk mengambil beberapa menu yang tersaji di etalase.

    Tanpa pikir panjang, aku pun mengambil beberapa pokcoy, sawi, satu keping mie warna ungu, wortel, beberapa potong cumi, jamur, bakso, dua potongan kecil tuna dan udang. Aku menyerahkan menu itu kepada salah satu dari mereka.

    Dengan gesit dia memencet-mencet tombol di mesin kasir.

    One mineral water. Ms”, aku memintanya memasukkanya dalam tagihan.

    128 Baht, Sir”, kasir wanita itu menyebut angka tagihan.

    Aku pun membayarnya dan setelahnya dia memintaku untuk menunggu di salah satu bangku.

    Dala lima menit, hidangan tiba. Karena terlanda kelaparan akut, aku menyantap dengan lahap semua menu dalam kuah sup hangat dan gurih itu.

    Selama tiga puluh menit lamanya aku menikmati menu pertamaku di Chiang Mai itu itu untuk kemudian selepas menghabisinya, aku mengambil sebotol mineral water dari sebuah freezer.

    Ini dia Malatang Soup.

    Menenggaknya separuh, maka aku memutuskan untuk menyudahi waktuku bermakan siang.

    Rasa penasaran yang tinggi membuatku melangkah ke salah satu pelayan.

    What’s the name of this dish, Ms?”, aku yang penasaran memberanikan bertanya

    Malatang Soup, Sir”,

    Oh, thank you for the information

    With pleasure, Sir”, dia menjawab singkat

    Melangkah keluar kedai, aku mengambil telepon pintar di saku kanan. Mengetikkan nama “Malatang Soup” ke mesin pencari.

    Dengan cepat aku menemukannya. Lepas membaca satu paragraf tentangnya, langkahku pun terhenti. Aku menggeleng-gelengkan kepala di sisi jalan.

    Mesin pintar mengatakan bahwa walau beberapa versi Malatang adalah halal namun pada dasarnya kuah pedas itu ada kemungkinan besar direbus menggunakan tulang babi.

    Aku terkekeh membacanya tetapi kemudian berusaha tenang dan memohon ampun kepada Tuhan jika kuah Malatang yang kusantap beberapa menit sebelumnya benar-benar direbus menggunakan tulang babi.

    Aku melanjutkan langkah menuju hotel karena waktu menunjukkan hampir pukul dua siang…Waktu check-in hampir tiba.

    Aku tiba di Le light House & Hostel untuk kemudian duduk kembali di salah satu bangku cafenya. Namun baru beberapa menut duduk, seorang pria yang menggantikan resepsionis wanita sebelumnya tetiba memanggilku.

    Le Light House & Hostel tampak depan.

    Hello….Are you Mr. Donny?”, dia memanggilku dari arah belakang

    Yes, sir…That’s right”, aku menoleh lalu menjawab pertannyaannya

    Sir, you can check-in now….Come here!”, dia memanggilku

    Aku memberikan paspor dilanjutkan dengan dia mengcopynya, untuk kemudian dia menyerahkan pasporku kembai padaku bersamaan dengan kunci kamar.

    Setelah mendengarkan penjelasan singkat tentang prosedur hotel dari resepsionis pria itu, aku berjalan menuju pintu belakang bangunan, menaiki tangga di sisi kirinya untuk kemudian melepas sepatu dan pergi menuju kamar melalui tangga tersebut.

    Sesampai kamar. Aku membongkar travel bag, mengambil folding bag lalu mengambil perlengkapan penting seperti dompet, lembar itinerary, power bank, air mineral, obat-obatan, dan kamera mirrorless Canon EOS M10, lalu menaruh beberapa pakaian ganti di salah satu loker.

    Aku yang mengantuk berat, memutuskan untuk naik ke kasur di ranjang tingkat atas, dan tanpa sadar untuk beberapa waktu kemudian tertidur pulas di atas kasur……

    Lalu bagaimana eksplorasiku siang menjelang sore itu.

    Kisah Selanjutnya—->

  • Introduction 

    Nestled in the picturesque Indian state of Uttarakhand, the Nag Tibba trek is a hidden gem among the multitude of trekking destinations in the Himalayas. It offers an enthralling adventure, taking you through dense forests, serene meadows, and to the summit of Nag Tibba, often referred to as the “Serpent’s Peak.” This trek provides a perfect blend of natural beauty, cultural experiences, and a moderate level of challenge.

    The Mystique of Nag Tibba:

    Nag Tibba, which translates to “Serpent’s Peak,” derives its name from its unique, serpentine appearance. It stands at an elevation of around 9,915 feet (3,022 meters) above sea level, making it an ideal destination for both novice and seasoned trekkers. The trek offers captivating views of the surrounding valleys, providing an experience that’s both visually and spiritually rewarding.

    The Journey Begins:

    The base camp for the Nag Tibba trek is Pantwari, a small village located at a distance of around 85 kilometers from the hill station of Mussoorie. Pantwari is not only the starting point for the trek but also a window into the local culture and lifestyle of the Garhwal region.

    Trek Itinerary:

    The Nag Tibba trek typically spans over 2-3 days, allowing trekkers to soak in the scenic beauty of the area and acclimatize to the altitude. Here’s a rough itinerary for the trek:

    Day 1: Pantwari to Nag Mandir (Nag Temple)

    • The first leg of the trek begins from Pantwari and takes you to Nag Mandir (Nag Temple), a distance of approximately 5 kilometers.
    • This segment is a gradual ascent, surrounded by dense oak and rhododendron forests.
    • The temple is dedicated to the serpent god and is an essential pilgrimage spot for the locals.

    Day 2: Nag Mandir to Nag Summit

    • This is the most challenging part of the trek, covering around 4 kilometers to reach the Nag Tibba summit.
    • Trekkers encounter steep inclines and rocky terrain.
    • As you climb higher, the views of the Himalayan peaks, including Bandarpoonch and Swargarohini, become increasingly captivating.
    • Upon reaching the summit, the sense of accomplishment is overwhelming, and the 360-degree panoramic views are a sight to behold.

    Day 3: Descending to Pantwari and Departure

    • The final day involves descending back to Pantwari, retracing the same route.
    • This downhill trek is generally easier and faster than the ascent.
    • After reaching Pantwari, you can rest and then prepare to depart for your next destination.

    The Wonders of Nag Tibba:

    The Nag Tibba trek is a journey filled with natural wonders and cultural experiences:

    1. Flora and Fauna: Nag Tibba is part of the Nag Tibba Wildlife Sanctuary, known for its diverse flora and fauna. You can spot various bird species, including the Himalayan monal, as well as wild animals like leopards and musk deer.
    2. Camping in the Wilderness: Along the trail, there are numerous camping spots, allowing trekkers to immerse themselves in the natural beauty of the region. 
    3. Garhwali Culture: Interact with the warm and hospitable locals in Pantwari. Explore their culture, sample traditional cuisine, and even participate in local festivities if your timing aligns.
    4. Stunning Sunsets: The Nag Tibba summit is renowned for its breathtaking sunsets. Watching the sun dip below the horizon with the Himalayan peaks as a backdrop is a sight to cherish.
    5. Photographer’s Paradise: Every step of the trek offers stunning photography opportunities. From the lush forests to the snow-capped peaks, there’s something for every photography enthusiast.

    Trek Essentials:

    To ensure a safe and enjoyable Nag Tibba trek, make sure to carry the following essentials:

    • Appropriate Clothing: Layering is key. Good quality trekking boots are a must.
    • Backpack: A sturdy and comfortable backpack for carrying essentials is essential.
    • Water and Food: Carry sufficient water, and pack some energy-rich snacks.
    • Trekking Poles: These provide stability and support during the trek.
    • First Aid Kit: A basic medical kit for minor injuries is a must.

    Best Time to Trek:

    The Nag Tibba trek is accessible throughout the year, making it a versatile destination. 

    • Spring (March to April): The landscape is adorned with vibrant rhododendron blooms, and the weather is pleasant.
    • Summer (May to June): Ideal for escaping the scorching plains. The weather is mild, and the meadows are lush.
    • Monsoon (July to September): While the trek is possible, monsoon months bring heavy rainfall, which can make trails slippery.
    • Autumn (October to November): This is a fantastic time with clear skies and beautiful autumn foliage.
    • Winter (December to February): For those seeking a snowy adventure, this is the time. However, it’s essential to be prepared for sub-zero temperatures.

    Conclusion:

    The Nag Tibba trek is an expedition that combines the joys of trekking with the magic of the Himalayan wilderness. It’s a journey that not only tests your physical endurance but also rewards you with awe-inspiring natural beauty and cultural insights. The feeling of standing atop the “Serpent’s Peak” is truly something that stays with you long after you’ve descended.

    So, pack your bags, put on your trekking boots, and embark on this journey to the heart of the Garhwal Himalayas. The Nag Tibba trek is an adventure waiting to be explored, offering a taste of the Himalayan mystique that is second to none.

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Logo AOT tersebar di sekian banyak property bandara ketika tatapan mataku awas mencari keberadaan konter penyedia jasa taksi. AOT sendiri merujuk pada Airports of Thailand PCL, pengelola resmi Chiang Mai International Airport.

    Beruntung aku dengan cepat menemukan konter taksi resmi “Chiang Mai Airport Taxi” yang berlokasi di dekat Door 11. Konter itu dijaga oleh staff wanita berusia paruh baya.

    Hello Mam, How much is the taxi fare to Mueang Chiang Mai District?” aku bertanya lugas

    150 Baht, Sir”, dia menjawab penuh senyum

    OK, I take the taxi”, aku mengajukan permohonan sembari menyerahkan ongkos yang dimaksud.

    Just wait here for about ten minutes, and show this receipt to the taxi driver when he picks you up from Gate 11!”, dia menunjuk pintu keluar.

    Konter penyedia jasa taksi di Chiang Mai International Airport.

    Mengikuti instruksinya, aku pun duduk di salah satu deret bangku bandara demi menunggu kedatangan pengemudi taksi yang dimaksud. Hingga pada akhirnya, beberapa menit kemudian,  seorang pria muda mendatangiku.

    Taxi is ready, Sir”, dia menyapa dari sisi kiri tempatku duduk

    Aku menoleh, memandang sebentar, lalu bangkit, “Oh, okay….I’m ready, Sir….Come On!

    Aku mengikuti langkahnya menuju drop off zone di depan bangunan terminal. Tampak dari kejauhan, sebuah mobil listrik berwarna putih besutan Morris Garage (MG) telah menunggu dengan mesin menyala langsam.

    Lepas memasukkan semua barang bawaan ke bagasi, aku menaiki mobil listrik itu dari pintu depan sisi kiri. Aku menghempaskan badan di kursi empuknya hingga akhirnya taksi merayap menuruni drop off zone menuju jalan utama kota.

    Drop -off Zone Chiang Mai International Airport.

    Chiang Mai is very hot, Sir”, aku menyela ketika dia berkonsentrasi di kemudi.

    Yes, Sir….It’s been scorching these past few days”, dia menyeka dahinya yang berkeringat.

    Tanpa suara, taksi itu meluncur cepat hingga akhirnya menjangkau jalur arteri menuju Le Light House & Hostel. Taksi terus meluncur cepat menuju timur, membelah kesibukan Mahidol Road.

    Selanjutnya, aku tak banyak bercakap dengan pengemudi taksi, melainkan lebih memilih untuk menikmati suasana kota saja di sepanjang perjalanan menuju penginapan.

    Perjalanan itu sendiri berlangsung sangat cepat, pengemudi muda itu melahap jarak lima kilometer hanya dalam waktu dua belas menit saja.

    Tibalah aku di penginapan…..

    Can I take a photo of the receipt?”, aku menunjuk nota pembayaran taksi di pintu sisi pengemudi.

    Just take it. This is for you”, pengemudi itu sungguh baik, dia malahan memberikan nota pembayaran itu. Aku memang harus melakukan hal itu supaya nota pembayaran bisa aku reimburs ke kantor.

    Ini dia penampakan taksi bandara yang kutunggangi.

    Lepas turun dari taksi, aku langsung menuju ke lobby penginapan yang sebagian besar ruangannya didominasi oleh keberadaan Le Light Cafe. Pagi itu cafe sedang dikunjungi beberapa pengunjung yang kesemuanya tampak santai sembari menikmati hidangannya masing-masing.

    Aku menggeret travel bag menuju resepsionis demi mengkonfirmasi kamar yang telah kupesan melalui sebuah aplikasi e-commerce perjalanan ternama.

    Hi Ms….I’m Donny from Indonesia…I’ve booked a bed in your hostel….Can I check in now?”, aku menanyakan sesuatu yang sebetulnya sudah sadar bahwa permintaan check-in itu tak akan dikabulkan oleh si empunya penginapan.

    Sir, you are on our list but check-in will only open at 2 pm”, wanita muda itu ramah menjawab.

    Meja resepsionis Le Light House & Hostel.

    Sadar diri belum bisa memasuki kamar, maka aku mundur dari meja resepsionis dan memilih untuk duduk di salah satu pojok cafe. Aku hanya duduk tanpa membeli apapun, hanya perlu menunggu hingga waktu hingga check-in tiba.

    Tapi aku kalah, satu jam lamanya menunggu, akhirnya kelaparan melanda. Aku bangkit dan melangkah ke meja kasir untuk melihat menu makanan yang tersedia. Namun sayang, aku hanya menemukan berbagai jenis kue dan hidangan ringan saja di setiap lembaran menu yang kubaca.

    Aku yang sangat menginginkan makanan hangat berkuah memutuskan untuk mencari tempat makan di luar penginapan.

    Can I put my backpack in your locker?”, aku memohon pertolongan kepada resepsionis wanita itu.

    Surely, Sir”, dia tersenyum ramah…..”Put there!”, dia menunjuk ke pojok lobby.

    Thank you, Ms… I’ll just have a quick lunch”, aku menjelaskan.

    Sejenak aku berburu tempat makan pada aplikasi berbasis peta dan kemudian menemukannya dalam waktu singkat.

    Membuka pintu depan cafe, aku turun ke Bumrung Buri Road menuju tempat makan yang tertera di peta digital.

    Aku melangkah cepat berkejaran dengan lapar…..Alamak

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Hampir pukul sebelas pagi….

    Aku merangsek di sepanjang cabin aisle demi menuruni Scoot Air TR 676. Ucapan “Thank You” saut menyaut terdengar di pintu keluar kabin. Begitulah standar pelayanan pesawat yang dilakukan para air crew maskapai manapun.

    Melaui aerobridge, aku melangkah pelan, demikianlah kebiasaanku setiap tiba di airport yang baru pertama kukunjungi. Aku berdiri di salah satu sisi aerobridge demi memperhatikan kesibukan yang terpampang di apron. Aktivitas membongkar bagasi, mengisi ulang bahan bakar dan pengecekan performa mesin pesawat dilakukan dengan gesit oleh para ground staff yang berdedikasi terhadap profesinya.

    Lepas menikmati suasana itu, aku melanjutkan langkah dengan berbelok ke kanan di ujung aerobridge. Aku menelusuri koridor kedatangan demi menemukan immigration zone. Bandara yang tak terlalu besar dengan ruangan-ruangan yang tak begitu banyak, membuat langkahku cepat tiba di deretan konter imigrasi.

    Antrian lumayan panjang terlihat pagi itu. Beruntung banyak konter yang dibuka sehingga antrian bisa tertangani dengan baik. Aku juga memperhatikan bahwa para petugas imigrasi begitu cepat meloloskan semua pelancong untuk memasuki wiayah yuridis Thailand.

    Begitupun diriku yang diproses oleh seorang petugas imigrasi pria paruh baya dengan rambut penuh uban. Tanpa bertanya apapun, dia memintaku untuk mencetak sidik jari dan berfoto di depan sebuah kamera kecil, setelahnya dia dengan cepat membubuhi stempel kedatangan di passport.

    Aku yang memegang nomor bagasi, segera mencari keberadaan conveyor belt demi mengambil kardus yang isinya akan digunakan untuk acara konferensi yang akan berlangsung tiga hari setelah kedatanganku di Chiang Mai. Acara konferensi itu sendiri akan dilaksanakan di Provinsi Phuket dan aku sengaja memanfaatkan waktu untuk berkunjung terlebih dahulu ke Chiang Mai sebelum mengikuti konferensi.

    Aku yang lama menunggu di sebuah conveyor belt mulai kebingungan karena deretan bagasi belum juga memasuki ruangan baggage claim. Hingga sepuluh menit kemudian, seorang ground staff menghampiri dan mengatakan bahwa area pengambilan bagasi untuk penerbangan Scoot Air TR 676 berubah ke conveyor belt paling ujung.

    Begitu dia menunjukkan conveyor belt yang dimaksud, aku segera menujunya. Untuk beberapa saat menunggu akhirnya aku mendapatkan bagasi yang kucari.

    Aku melangkah pergi dengan menyaut sebuah gelas kertas dan mengisinya dengan air minum di free water station demi menghilangkan rasa haus yang telah kurasakan sejak beberapa menit sebelum mendarat.

    Segar lepas meneguk sedikit air minum, aku pun segera menuju exit gate untuk menggapai Arrival Hall.

    Arrival Hall sangat ramai ketika aku tiba. Penuh insting, aku tak terlalu larut dalam keramaian itu, melainkan segera mencari konter penjualan SIM card. Dengan mudah aku menemukan konter telekomunikasi dominan merah, bertajuk “true 5G” dengan taglineNo. 1 Network in Asia Pacific”. Konter itu dijaga dua staff wanita muda. Aku sejenak membaca brosur berisikan harga paket data ketika mereka sedang melayani turis lain yang sedang membeli SIM card.

    Konter true 5G.
    Yuk, keliling di Arrival Hall.
    Lucu kan ada meja begituan di airport.
    Check-in Zone di Lantai 1.
    Boarding Pass Machine.

    Walau ada konter lain, demi menghemat waktu, aku memutuskan untuk membeli SIM card di konter itu saja. Membayar dengan 690 Baht, kemudian aku mendapatkan paket data unlimited untuk jangka waktu tiga puluh hari.

    Tenang usai mendapatkan SIM card, aku segera mengeksplorasi seisi bandara dengan mengabadikan beberapa situasi dengan kamera. Aku menelusuri Arrival Hall dari ujung ke ujung bangunan terminal bandara.

    Membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk mengeksplorasi bangunan bandara lantai 1. Sesudah merasa cukup mendapatkan foto-foto terbaik, aku memutuskan untuk mencari konter yang melayani jasa taksi menuju pusat kota.

    Ya….Aku memang membeli SIM card terbaik dan menggunakan taksi. Itu karena semua biaya akan diganti oleh kantor tempatku bekerja.

    Nah, enak kan jalan-jalan dibayari…..

    Kisah Selanjutnya—->

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Jangan salah fokus, gaes….Bahaya.

    Pukul delapan pagi….

    Kesibukan super cepat berlangsung di dalam kabin Scoot Air TR 676 tujuan Chiang Mai. Bunyi gesekan travel bag dengan kompartemen bagasi saut menyaut di sepanjang kabin, dipadu dengan rentetan nada “klik” yang dikeluarkan oleh karena pemasangan keledar keselamatan di pinggang masing-masing penumpang, membuat aku menikmati suasana khas penerbangan.

    Aku telah duduk di aisle seat bernomor 18D, tepat di kabin sisi tengah, sembari sabar menunggu semua penumpang untuk bersiap.

    Hampir setengah jam lamanya kesibukan itu berlangsung, hingga akhirnya semua penumpang telah duduk tenang di kursinya masing-masing.

    Para awak kabin serentak bergerak ke sepanjang kabin untuk memperagakan prosedur keselamatan penerbangan yang pada akhirnya menyirap segenap penumpang hingga tanpa sadar pesawat sudah berdiri di ujung runway.

    Pilot sesekali terdengar bercakap dengan pihak ATC (Air Traffic Controller). Hingga beberapa saat kemudian, kedua mesin jet kembarnya berdesing, lalu menghentakkan kabin panjang TR 676 ke depan, meluncur cepat di atas landas pacu menuju ujung lain runway Changi International Airport.

    Pada kecepatan 140 Knot, akhirnya moncong pesawat menaik dan airborne terjadi dengan sangat cepat. Pemandangan apik kota Singapura terbentang dari atas ketika pesawat melakukan banking (bergulir) kea rah kanan. Tentu Marina Bay Sands menjadi aktor utama dalam pertunjukan singkat di atas Kota Singapura.

    Pesawat terbang menuju utara. Pagi itu pesawat akan menempuh jarak sejauh lebih dari 2.000 km dengan waktu tempuh 2 jam 40 menit. Scoot Air TR 676  sendiri terbang dalam ketinggian jelajah  tiga puluh delapan ribu kaki.

    Kembali ke dalam kabin. Aku duduk antusias di samping seorang wanita muda asal Singapura. Hal itu kuketahui dari passport merah yang dia selipkan di bagasi kursi. Wajahnya begitu berseri, mungkin karena dia hendak berwisata ke Chiang Mai. Sedangkan di window seat, duduk seorang perempuan paruh baya, dari raut muka dan perawakannya, wanita itu berasal dari Negeri Gajah Putih. Dia memilih untuk tidur selama penerbangan.

    Perjalanan pagi itu berlangsung sangat mulus dan minim sekali turbulensi. Aku selalu saja mendapatkan kesan baik ketika terbang bersama Scoot Air. Sedangkan penerbangan terakhirku bersama Scoot Air adalah ketika pulang dari Maldives pada 6 Januari 2019.

    Aku yang tak bisa memejamkan mata karena rasa excited untuk pertama kalinya hendak menginjakkan kaki di Chiang Mai, hanya terus membaca lembar demi lembar inflight magazine selama penerbangan.

    Sok mau jajan aja kamu, Donny….

    Hingga akhirnya rasa penasaran itu terkikis, ketika pilot menyampaikan informasi bahwa pesawat akan segera mendarat di Chiang Mai International Airport.

    Terasa jelas, Scoot Air TR 676 mulai menurunkan ketinggian, sesekali aku mengintip ke jendela dari aisle seat. Daratan Chiang Mai mulai tampak jelas dari ketinggian. Hanya perlu menunggu beberapa saat hingga akhirnya pesawat menyentuh landas pacu dengan mulus.

    Apron di Chiang Mai International Airport.

    Rasa penasaranku semakin tak terbendung selama pesawat melakukan taxiing. Aku sudah tak sabar lagi untuk mengeksplorasi Chiang Mai, kota keempat yang pernah aku kunjungi di Thailand setelah Bangkok, Pattaya dan Phuket.

    Kisah Selanjutnya—->

  • Bangun, Donny….!!!

    Pukul enam pagi….

    Koridor Transit Hall Terminal 1D (T1D) mulai dipenuhi para pelancong yang berlalu lalang dengan hajatnya masing-masing. Beberapa diantara mereka berkejaran dengan waktu menuju gate demi menangkap penerbangan masing-masing. Sebagian diantaranya sibuk berlalu lalang demi mencari sarapan, barang-barang duty free, souvenir atau bahkan mengantri di beberapa money changer demi berburu Dollar Singapura.

    Aku yang memiliki jam terbang pukul 08:15, memaksakan diri untuk bangun dari tidur dengan posisi duduk di salah satu deret bangku Transit Hall.

    Badanku yang sedikit remuk, mulai menggeret travel bag menuju toilet di pusat koridor. Toilet belumlah terlalu ramai ketika aku menyeka beberapa bagian badan dengan tisu basah berpewangi dan juga menggosok gigi di sebuah wastafel besar dengan cermin lebar di depannya.

    Aku selesai dalam dua puluh menit untuk kemudian mengantri di depan free water station untuk mendapatkan air minum cuma-cuma. Ketika mendapatkan giliran, aku segera membungkuk dan menenggak pelan pancuran air minum yang dingin nan segar itu.

    Lepas menyirnakan haus dari tenggorokan, aku melangkah pergi meninggalkan free water station demi menuju Dining At Level 3, spot kuliner di Terminal 1D-Changi International Airport. Menaiki lift aku menggapai spot kuliner itu dengan mudah. Ada satu outlet yang cukup ramai di spot itu, yaitu 4FINGeRS Crispy Chicken. Aku yang tak berselera dengan menu ayam, akhirnya memutuskan untuk pergi dan turun ke Lantai 2 lagi. Itu juga setelah aku mengacuhkan keberadaan food vending machine yang hanya menerima pembayaran dengan kartu kredit.

    Tiba di Lantai 2, aku menuju More Dining Options, spot kuliner lain yang menyediakan beberapa outlet penting seperti Crave (The Original Adam Road Nasi Lemak by Selera Rasa), Ippudo Express, Ya Ku Kaya Toast dan Starbucks.

    Berdiri di salah satu titik, aku memperhatikan sekitar dengan seksama. Tampak outlet Crave dan Ipudo Express memiliki antrian yang panjang. Aku yang tak mau ketinggalan untuk boarding, akhirnya memilih untuk membeli dua potong Almond Croissant seharga 9 Dollar Singapura dan secangkir Chai Latte seharga 6,6 Dollar Singapura di outlet Starbucks Coffee.

    Beberapa lama mengantri di belakang tiga pelancong wanita asal Phillippines, aku mendapatkan pesananku dengan cepat dan mudah.

    Secangkir Chai Latte yang menambah mood.

    Maka berjalanlah aku menuju gate sembari menyantap Almond Croissant yang kupesan, aku sengaja menyisakannya satu potong untuk makan siang hari itu.

    Tiba di Gate D43, aku hanya perlu menunggu sepuluh menit hingga akhirnya antrian mulai terbentuk ketika boarding dibuka. Lepas menunjukkan passport dan boarding pass, aku pun memasuki tahap screening.

    Proses boarding akhirnya dimulai.

    Melewatinya screening gate dengan mudah, aku ditanya oleh seorang petugas aviation security yang sudah berumur,

    Chiang Mai or Kuala Lumpur?”, dia menunjuk boarding pass yang kuselipkan pada passport.

    Chiang Mai, Sir”, aku menjawab tegas

    Okay, Go down that stairs”, dia menunjuk ke salah satu tangga menuju lantai bawah.

    Sunrise di Changi International Airport.
    Singapore Airlines yang terpergok parkir….
    Ini dia tungganganku.

    Aku pun bergegas menuruni anak tangga itu untuk menggapai waiting room. Ternyata begitu sampai, aku dan penumpang lain harus diangkut lagi menggunakan apron shuttle bus menuju pesawat Scoot Air TR 676 yang terparkir entah di apron sebelah mana.

    Aku menurut saja pada putaran roda apron shuttle bus, mengelilingi bangunan bandara selama enam menit lamanya, hingga akhirmya aku diturunkan tepat di bawah roda-roda raksasa Airbus A320-twin jet.

    Tapi bukan pada pesawat itu aku tertegun, melainkan pada Airbus A350-900 yang berdiri gagah di balik punggungku. “Astaga, itu pesawat milik Singapore Airlines yang akan kunaiki Desember nanti”, aku tersenyum menatapnya hingga akhirnya seorang ground staff memintaku untuk segera menaiki tangga pesawat.

    Aku bergegas naik melalui tangga dan akhirnya berhasil memasuki kabin pesawat.

  • <—-Kisah Sebelumnya

    Geretan travel bag para pengunjung bandara akhirnya membuatku terbangun…..

    Aku bangkit dan terduduk di area sempit nan pendek tepat di bawah pangkal escalator. Kulihat layar telepon pintar, waktu menunjukkan pukul setengah lima pagi. Mataku yang masing mengantuk dan badan yang belum benar-benar segar harus kupaksakan untuk mulai beraktivitas.

    Aku membuka travel bag, mengaduk-aduk isinya, mencari keberadaan kemaja putih beserta jas dan dasi. Aku harus segera pergi ke toilet untuk menyikat gigi, mencuci muka dan berganti baju formal sebagai persiapan menghadapi rapat ketika aku tiba di Jakarta beberapa jam ke depan.

    Selesai urusan toilet, aku berinisiatif untuk segera mencari sarapan di koridor menuju deret gerbang Q, itu karena aku akan dilepas landas dari Gate Q13.

    Mataku awas menyapu sekitar koridor hingga akhirnya menemukan sebuah tenant kuliner yang cukup ramai dikunjungi para pelancong.

    NOOODLES”, aku membaca nama tenant itu.

    Tanpa ragu, aku melangkah menujunya. Seorang pria India menungguku di meja kasir.

    Penang Curry Noodle Soup.

    Hello, Sir. Welcome. Please see our menu!”, dia menujukkan padaku deretan menu di meja kasir

    Penang Curry Noodle Soup….Can you make it less spicy”, aku meminta menu khusus kepadanya karena memang tak suka pedas.

    Yes, of course….28.9 Ringgit, Sir”, dia menambahkan.

    And Chai….One”, aku mengacungkan jari telunjuk.

    What….”, dia agak terheran mendengar kata itu

    Chai, Sir…”, aku mengulangnya kembali. Aku justru heran kenapa dia yang berketurunan India tidak tahu istilah Chai

    I don’t know what do you say, Sir”, dia menengadahkan kedua tangannya

    Teh Tarek, Sir….” Aku menjelaskan dengan cara yang lebih mudah

    Oh, I See….6,9 Ringit, Sir”, dia menambahkan tagihan dalam bill ku

    Usai membayar 35,8 Ringgit aku pun mulai mencari tempat duduk

    Aku mengambil tempat duduk di sofa restoran yang memanjang untuk mendapatkan rasa nyaman. Sedangkan hanya beberapa meter di sisi kananku, seorang karyawan restoran wanita keturunan India tampak tertidur pulas di bangku yang sama. Aku menebaknya sebagai karyawan “Nooodles” karena t-shirt yang dikenakannya.

    Makanan yang kupesan tersaji tak lama kemudian. Aku menyantapnya dengan lahap karena memang aku selalu saja suka dengan segenap resep makanan Negeri Jiran, selalu sesuai dengan selera lidahku. Dan Teh Tarik khas Malaysia akhirnya menjadi penutup sarapan pagi itu.

    Sekiranya pukul enam pagi, aku meninggalkan restoran “Nooodle” dan mulai bergerak menuju gate. Aku melangkah cepat menujunya walaupun aku tahu bahwa gate masih akan tutup dan aku akan menunggu di surau hingga gate dibuka.

    Lima menit melangkah, begitu sumringahnya aku setelah melihat kenyataan bahwa gate room sudah dibuka. Maka aku menyegerakan untuk menjalankan Shalat Subuh untuk kemudian memutuskan untuk mengambil sebuah tempat duduk di pojok ruang tunggu dan memejamkan mata dengan cepat karena sejatinya aku masih digelayuti rasa kantuk akut.

    ZZZZZZZZ…….

    Entah berapa lama aku tertidur, hingga tiba-tiba….

    Hello Sir….Can you wait outside the room?”, seorang airport staff menegur.

    Aku yang gelagapan terbangun, mengucek mata dan lamat memperhatikan staff wanita itu.

    Yes, Ms….What happen?”, aku yang bingung pun akhirnya bertanya

    Can you wait outside, sir. We will start the boarding procedure”, dia menunjuk ke boarding gate.

    Tampak empat staff Air Asia sedang menyiapkan diri dan bangku ruangan yang tadinya dipenuhi calon penumpang telah kosong kembali. Itu artinya, aku dibiarkan tidur sendirian di dalam ruangan hingga ditegur oleh staff bandara.

    Tanpa pikir panjang, aku keluar dari ruangan dan akhirnya harus berdiri di ujung antrian. Aku terus diperhatikan semua penumpang yang telah mengantri sedari beberapa menit sebelumya dan aku terpaksa harus menyembunyikan rasa malu dalam-dalam.

    Tak lama mengantri, antrian itu mulai merangsek masuk kembali ke gate room. Sabar mengantri dari ujung, aku akhirnya tiba di depan pintu, kemudian harus menyerahkan boarding pass dan passport untuk kemudian dipersilahkan masuk ke dalam gate room.

    Menuju Gate Q13.
    Air Asia AK 380 (Airbus 320 twin-jet).
    Cariin bangkuku,gaes!….Nomor 16A.
    Sunrise di Kuala Lumpur International Airport Terminal 2.
    Tiba di Soekarno Hatta International Airport.

    Tak perlu lama duduk, proses boarding akhirnya dimulai.

    Melalui aerobridge, aku perlahan mendekati pintu kabin. Dan ketika benar-benar memasuki kabin, aku merangsek ke dalam untuk mencari bangku bernomor 16A.

    Di window seat, aku duduk bersebelahan dengan dua orang ustadz asal Malaysia. Tepat di sebelahku adalah sekarang ustadz bergamis dan bertubuh kurus, sedangkan di aisle seat terduduk seorang ustadz berperawakan tambun yang tampak sangat kerepotan untuk duduk di dalam pesawat berjenis Low Cost Carrier (LCC).

    Penerbangan menggunakan Airbus A320 twin-jet itu berlangsung selama 1 jam 55 menit dengan jarak tempuh lebih dari 1.100 km.  Pernerbangan pagi itu sangat menyenangkan karena pesawat sama sekali tidak mengalami turbulensi.

    Satu momen yang menyita perhatian adalah ketika pesawat Air Asia yang kutumpangi, terbang bersebelahan dengan pesawat Garuda Indonesia yang sama-sama hendak mendarat di Soekarno Hatta International Airport.

    Salip menyalip di udara itu akhirya terhenti ketika Air Asia dan Garuda Indonesia menyentuh landasannya masing-masing dan lindap di balik bangunan bandara ketika melakukan taxiing demi mengantarkan masing-masing penumpangnya di terminal akhir yang dituju.

    Aku sendiri tiba di Soekarno Hatta International Airport pada pukul 08:30. Itu artinya aku akan terlambat menghadiri rapat di kantor yang rencananya akan dimulai pada pukul 09:00.

    Semenjak memasuki bangunan terminal, aku terus berlari menuju konter imigrasi. Aku sengaja memanfaatkan e-passport gate untuk menghindari antrian, mengisi formular bea cukai secara daring dan mencari taksi INKOPAU seharga 300 ribu demi menuju kantor.

    Benar adanya, aku harus terlambat 30 menit dalam mengikuti rapat. Hanya saja tak semua orang tahu bahwa aku langsung menghadiri rapat di kantor sepulang dari Phuket dan mendarat di Soekarno Hatta International Airport.

    Dasar travel maniac kamu, Donny….

    —-TAMAT—-