Gelisah, menengokkan muka ke kanan dan kekiri, sesekali tetapan mata memeriksa aplikasi di telepon pintar.
Sementara waktu yang tak menganggap keberadaanku, terus bergulir. Surya sudah semakin meredup di ufuk barat.
Sebentar lagi gelap, adzan maghrib telah siap dikumandangkan.
Sementara di sisi lain jalanan kota, pengemudi ojek itu tampak kebingungan mencari jalan menjemputku. Berkali-kali merubah haluan walau jarak sebetulnya sudah sangat dekat. Beberapa kali menjauh kembali mencari ruas jalan lain.
Apalagi kalau bukan kemacetan kota yang memaksanya berbuat demikian. Beberapa titik jalanan stuck, dipenuhi warga kota yang bereuforia menyambut waktu berbuka puasa. Ramadhan sudah memasuki hari keempat belas ketika aku berkunjung ke Palangkaraya.
“Dinn….Dinn….Dinn”, suara klakson sepeda motor terdengar dari sisi kiri, ketika tatapanku terus kuarahkan ke kanan karena memang seharusnya ojek online itu akan datang dari sisi kanan.
Aku lekat memperhatikan plat nomor kendaraannya. Benar itu adalah ojek online yang sedang kutunggu.
Aku menghampirinya.
“Maaf, Kaka….Jadi lama nunggunya, macet dimana-mana, susah cari jalannya, Ka”, pengemudi berperawakan kecil dengan wajah khas suku Dayak itu sopan menyampaikan alasan.
“Tak apa, Kaka…Ayo kita segera berangkat ke tujuan saja”, aku berfokus mencapai tujuan.
Dengan gesit, pengemudi itu menggeber sepeda motornya menuju ke timur, meninggalkan Taman Pasuk Kameloh dan keindahan sempandan Sungai Kahayannya.
“Wah pas banget ini, Kakanya ke Dermaga Rambang. Jam segini sedang ramai-ramainya, Ka”, dia memberikan informasi yang semakin menguatkan semangatku.
“Oh gitu ya, Ka. Saya ke sana selain mau hunting foto juga sekalian mau berbuka puasa”, aku menambahkan.
“Wah kalau memang demikian berarti sudah pas, Kaka. Ada pasar kuliner di sana. Anak muda Palangkaraya sedang nongkrong di sana di jam-jam segini”, dia menutup percakapan.
Sepuluh menit perjalanan mengantarkanku untuk tiba di pintu gerbang demaga.
Aku turun dari motor, mengucapkan terimakasih kepada pengemudinya, menghela nafas sejenak dan segera memperhatikan situasi sekitar.
Indah sekali….Pelita warna-warni telah menghiasi setiap sudut dermaga.
Inilah Dermaga Rambang yang pernah berjaya sebagai pusat utama transportasi kota sebelum fungsinya digantikan oleh Jembatan Kahayan yang dibangun dua dekade silam. Dermaga Rambang pernah berjasa menghubungkan berbagai daerah di Palangkaraya yang terpisahkan oleh Sungai Kahayan.
Di sisi kanan gerbang, deretan stand kuliner pasar malam, menyala terang benderang. Meja-meja telah dipenuhi muda-mudi dengan menu makanan pilihan masing-masing.
Lurus menatap ke depan, sebuah perahu besar tampak bersandar di salah satu sisi berth. Mengangguk-angguk anggun diterpa aliran Sungai Kahayan dan memendarkan terpaan cahaya senja yang menghantam dari sisi barat.
Sementara di sisi kiri gerbang, hamparan dermaga apung berbahankan kayu telah diakuisisi oleh muda-mudi yang lebih memilih berlesehan demi menunggu adzan Maghrib tiba, juga lengkap dengan menu makanan yang telah dipesannya dari stand kuliner.
Tak mau kehilangan semburat senja terakhir di sore itu, aku melangkah cepat menuju berth area. Mengabadikan beberapa spot menarik Dermaga Rembang yang masih indah diterpa senja.
Akan tetapi, baru saja mendapatkan beberapa jepretan menarik. Adzan Maghrib benar-benar tiba. Namun. misiku mencari gambar-gambar terbaik belumlah usai, maka aku memutuskan untuk terus melanjutkan berburu foto-foto terbaik. Aktivitasku itu hanya terhenti sejenak karena harus berbuka dengan meminum air mineral yang telah kusiapkan sedari hotel.
Lebih dari lima belas menit lamanya dari waktu berbuka aku tetap berfokus pada bidikan lensa Canon EOS M10. Sedangkan di belakang punggungku, para pengunjung Dermaga Rembang telah larut dalam kenikmatan menu-menu makanan mereka.





Usai mendapatkan foto yang cukup, aku berbalik badan dan memutuskan untuk mulai berburu menu berbuka puasa. Sayangnya, beberapa stand kuliner penjual makanan khas Palangkaraya tampak tutup, padahal jenis makanan itu yang sedang kucari.
Menurut para penjual, memang selama Ramadhan, pasar kuliner tersebut mengalami penurunan jumlah pengunjung dan biasanya akan normal kembali setelah Ramadhan usai. Oleh karenanya beberapa stand kuliner lebih memilih untuk menutup standnya dan akan membukanya kembali usai Ramadhan.
“Ikan Padeh, Kaka….Ayo mampir !”, seorang ibu penjual makanan laut menyapaku.
“Oh, Ikan Peda, Bu?”, aku menanggapi antusias.
“Padeh….Padeh”, dia mengulang lagi
“Peda…?”, aku terus berasumsi sendiri.
“Asam Padeh….”, dia menunjuk sepiring ikan kembung asam manis yang sedang disantap pelanggannya
“Oh, Asam Manis…”, aku tertawa cekikikan.
“Ya sudah, Ikan Kembung goreng saja, Bu”, aku yang sedang menghindari makanan pedas memutuskan untuk duduk di Warung Mama Putri untuk menghemat waktu.
Saatnya berbuka puasa.
One thought on “Asam Padeh Dermaga Rambang”