Asam Padeh Dermaga Rambang

<—-Kisah Sebelumnya

Gelisah, menengokkan muka ke kanan dan kekiri, sesekali tetapan mata memeriksa aplikasi di telepon pintar.

Sementara waktu yang tak menganggap keberadaanku, terus bergulir. Surya sudah semakin meredup di ufuk barat.

Sebentar lagi gelap, adzan maghrib telah siap dikumandangkan.

Sementara di sisi lain jalanan kota, pengemudi ojek itu tampak kebingungan mencari jalan menjemputku. Berkali-kali merubah haluan walau jarak sebetulnya sudah sangat dekat. Beberapa kali menjauh kembali mencari ruas jalan lain.

Apalagi kalau bukan kemacetan kota yang memaksanya berbuat demikian. Beberapa titik jalanan stuck, dipenuhi warga kota yang bereuforia menyambut waktu berbuka puasa. Ramadhan sudah memasuki hari keempat belas ketika aku berkunjung ke Palangkaraya.

Dinn….Dinn….Dinn”, suara klakson sepeda motor terdengar dari sisi kiri, ketika tatapanku terus kuarahkan ke kanan karena memang seharusnya ojek online itu akan datang dari sisi kanan.

Aku lekat memperhatikan plat nomor kendaraannya. Benar itu adalah ojek online yang sedang kutunggu.

Aku menghampirinya.

Maaf, Kaka….Jadi lama nunggunya, macet dimana-mana, susah cari jalannya, Ka”, pengemudi berperawakan kecil dengan wajah khas suku Dayak itu sopan menyampaikan alasan.

Tak apa, Kaka…Ayo kita segera berangkat ke tujuan saja”, aku berfokus mencapai tujuan.

Dengan gesit, pengemudi itu menggeber sepeda motornya menuju ke timur, meninggalkan Taman Pasuk Kameloh dan keindahan sempandan Sungai Kahayannya.

Wah pas banget ini, Kakanya ke Dermaga Rambang. Jam segini sedang ramai-ramainya, Ka”, dia memberikan informasi yang semakin menguatkan semangatku.

Oh gitu ya, Ka. Saya ke sana selain mau hunting foto juga sekalian mau berbuka puasa”, aku menambahkan.

Wah kalau memang demikian berarti sudah pas, Kaka. Ada pasar kuliner di sana. Anak muda Palangkaraya sedang nongkrong di sana di jam-jam segini”, dia menutup percakapan.

Sepuluh menit perjalanan mengantarkanku untuk tiba di pintu gerbang demaga.

Aku turun dari motor, mengucapkan terimakasih kepada pengemudinya, menghela nafas sejenak dan segera memperhatikan situasi sekitar.

Indah sekali….Pelita warna-warni telah menghiasi setiap sudut dermaga.

Inilah Dermaga Rambang yang pernah berjaya sebagai pusat utama transportasi kota sebelum fungsinya digantikan oleh Jembatan Kahayan yang dibangun dua dekade silam. Dermaga Rambang pernah berjasa menghubungkan berbagai daerah di Palangkaraya yang terpisahkan oleh Sungai Kahayan.

Di sisi kanan gerbang, deretan stand kuliner pasar malam, menyala terang benderang. Meja-meja telah dipenuhi muda-mudi dengan menu makanan pilihan masing-masing.

Lurus menatap ke depan, sebuah perahu besar tampak bersandar di salah satu sisi berth. Mengangguk-angguk anggun diterpa aliran Sungai Kahayan dan memendarkan terpaan cahaya senja yang menghantam dari sisi barat.

Sementara di sisi kiri gerbang, hamparan dermaga apung berbahankan kayu telah diakuisisi oleh muda-mudi yang lebih memilih berlesehan demi menunggu adzan Maghrib tiba, juga lengkap dengan menu makanan yang telah dipesannya dari stand kuliner.

Tak mau kehilangan semburat senja terakhir di sore itu, aku melangkah cepat menuju berth area. Mengabadikan beberapa spot menarik Dermaga Rembang yang masih indah diterpa senja.

Akan tetapi, baru saja mendapatkan beberapa jepretan menarik. Adzan Maghrib benar-benar tiba. Namun. misiku mencari gambar-gambar terbaik belumlah usai, maka aku memutuskan untuk terus melanjutkan berburu foto-foto terbaik. Aktivitasku itu hanya terhenti sejenak karena harus berbuka dengan meminum air mineral yang telah kusiapkan sedari hotel.

Lebih dari lima belas menit lamanya dari waktu berbuka aku tetap berfokus pada bidikan lensa Canon EOS M10. Sedangkan di belakang punggungku, para pengunjung Dermaga Rembang telah larut dalam kenikmatan menu-menu makanan mereka.

Dermaga Rambang sebelum gelap.
Kapal restoran bersandar di Dermaga Rambang.
Dermaga kayu, tempat pavorit untuk lesehan.
Pasar Kuliner Dermaga Rambang.
Gagal menyantap Asam Padeh.

Usai mendapatkan foto yang cukup, aku berbalik badan dan memutuskan untuk mulai berburu menu berbuka puasa. Sayangnya, beberapa stand kuliner penjual makanan khas Palangkaraya tampak tutup, padahal jenis makanan itu yang sedang kucari.

Menurut para penjual, memang selama Ramadhan, pasar kuliner tersebut mengalami penurunan jumlah pengunjung dan biasanya akan normal kembali setelah Ramadhan usai. Oleh karenanya beberapa stand kuliner lebih memilih untuk menutup standnya dan akan membukanya kembali usai Ramadhan.

Ikan Padeh, Kaka….Ayo mampir !”, seorang ibu penjual makanan  laut menyapaku.

Oh, Ikan Peda, Bu?”, aku menanggapi antusias.

Padeh….Padeh”, dia mengulang lagi

Peda…?”, aku terus berasumsi sendiri.

Asam Padeh….”, dia menunjuk sepiring ikan kembung asam manis yang sedang disantap pelanggannya

Oh, Asam Manis…”, aku tertawa cekikikan.

Ya sudah, Ikan Kembung goreng saja, Bu”, aku yang sedang menghindari makanan pedas memutuskan untuk duduk di Warung Mama Putri untuk menghemat waktu.

Saatnya berbuka puasa.

Taman Pasuk Kameloh: Kabar Perdamaian Sang Enggang

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tak bisa berlama-lama di atas Jembatan Kahayan. Waktuku tak banyak, waktu berbuka puasa di Palangkaraya setengah jam lebih cepat dari waktu berbuka puasa di Ibu Kota. Oleh karenanya kuputuskan untuk segera menyudahi eksplorasi di Jembatan Kahayan.

Aku memasukkan Canon EOS M10 ke dalam folding back di punggung. Lalu untuk terakhir kali menatap sejenak pesona di bawah jembatan. Baru kemudian benar-benar beranjak pergi meninggalkan eksotisme itu.

Tetapi sebelum sepenuhnya pergi, aku melambaikan tangan kepada photographer professional di seberang trotoar. Dia tersenyum mengangguk sebagai respon atas lambaian tangan yang kuberikan. Mungkin kami berdua memiliki kemistri dan saling paham sebagai pemburu pesona alam.

Sesuai dengan niat yang tetiba hinggap dalam diri semenjak melihat hijau mempesonanya Masjid Darul Amin dari atas jembatan, maka aku pun bergegas menuju masjid itu. Masjid mungil itu berada di sudut timur sebuah taman kota. Oleh karenanya, secara otomatis aku akan menikmati sejenak taman kenamaan itu.

Berjalan memutar dengan titik balik di pangkal selatan jembatan, aku berhasil mencapai gerbang taman dengan cepat.

Gerbang taman itu terlihat khas, berupa gapura dengan ornamen dan motif Dayak lekat tersemat di setiap jengkalnya. Sementara signboard penunjuk arah ke berbagai kota ada di sebelahnya.

Tanpa ragu aku memasuki taman dan sejenak mengambil tempat duduk di area teater terbuka. Duduk ditangga paling atas, aku dengan leluasa bisa menikmati aktivitas warga di seluruh penjuru taman.

Rona Bahagia terpancar dari setiap wajah pengunjung taman. Kondisi itu turut membuat moodku kembali menanjak setelah sesiangan dihajar dehidrasi yang hampir melemahkan langkah.

Itulah keajaiban taman kota….

Jika kamu ingin menemukan kebahagiaan maka jangan ragu untuk pergi ke taman kota. Niscaya kamu akan mudah sekali mendapatkan atmosfer itu. Boleh dikata, setiap orang akan pergi ke taman kota dengan suasana riang dengan beragam tujuan. Bertemu teman, menyambut senja, merasakan sejuknya udara kota di bawah naungan pepohonan rindang serta menikmati kuliner lokal dari deretan kedai sekitar.

Kontan senyumku merekah ketika duduk di ketinggian, menikmati semua suasana itu dengan seksama.

Sekelompok muda-mudi telah bersiap diri menyambut waktu berbuka puasa dengan berbincang-bincang dengan sesamanya, sembari menghadap sajian takjil yang di gelar di tengahnya. Beberapa yang lain, tampak berkumpul di sebuah patung raksasa Burung Enggang dengan sibuk berfoto berlatarkannya. Selebihnya, mereka menikmati aliran deras Sungai Kahayan dari teras lantai dua Masjid Darul Amin.

Beberapa saat kemudian, aku bangkit dari duduk dan melewati seperangkat air mancur yang sedang tidak dioperasikan.

Alangkah indahnya taman ini jikalau air mancur ini memancar sesuai dengan pola yang dihasilkannya”, aku melihatnya sepintas.

Kemudian….

Aku bergegas menuju ke masjid demi menunaikan shalat tahiyatul masjid seperti yang telah kuniatkan.

Aku melewati sebuah nameboard besar berwarna kuning emas.

PASUK KAMELOH….Oh, itu nama taman ini”, aku termanggut-manggut.

Pasuk Kameloh merujuk pada sebuah makna dalam Bahasa Dayak. “Pasuk” merujuk pada “Bakul atau Barang”, sedangkan “Kameloh” merujuk pada “Gadis Dayak Ngaju”. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Pasuk Kameloh memiliki makna sebagai barang berharga yang dimiliki seorang gadis Dayak yang cantik.

Gerbang Taman Pasuk Kameloh.
Taman penuh motif Dayak.
Sempadan Sungai Kahayan dilihat dari teras Masjid Darul Amin.
Interior masjid.
Salah satu spot kongkow taman.
Patung Burung Enggang.

Kembali pada langkahku menuju ke masjid.

Melalui sebuah jembatan mini, aku tiba di teras atas masjid. Melepaskan alas kaki, aku memasuki area teras dan langsung menuju ke bagian teras yang berhadapan langsung dengan aliran Sungai Kahayan.

Tampak aliran deras air sungai berwarna kecoklatan yang dihiasi dengan lalu-lalang kapal penumpang berukuran kecil yang melintas di tengahnya. Sedangkan di sepanjang sempadan, tepat di bawah tempatku berdiri , berjajar deretan cafe-cafe panggung yang mulai dibanjiri muda-mudi demi menikmati hadirnya senja.

Selanjutnya, aku mulai meninggalkan pemandangan indah itu, mengambil air wudhu untuk kemudian menunaikan shalat tahiyatul masjid dua raka’at. Hatiku berasa damai ketika bersujud di atas sajadah. Mudah sekali bagiku untuk masuk ke dalam kekhusyu’an, karena hanya diriku seorang yang berada di dalam masjid mungil itu. Itulah kesempatanku untuk memanjatkan syukur kepada Sang Kuasa yang berkehendak mengantarkan langkahku hingga tiba di “Kota Cantik”.

Kota Cantik….Yups, begitulah julukan bagi Kota Palangkaraya.

Usai melaksanakan shalat, aku termangu terpesona dengan interior masjid yang dominan klasik oleh karena furniture berbahan kayu jati berusia tua. Menunjukkan bahwa taman kota dan seisinya itu didesain dengan sempurna demi menaikkan kebahagaian masyarakat Palangkaraya.

Lantas aku meninggalkan masjid itu ketika waktu sudah semakin merapat ke waktu berbuka puasa. Waktuku telah terhitung mundur sejauh sepuluh menit semenjak itu.

Tapi demi melengkapi eksplorasiku, sejenak aku melangkahkan kaki menuju patung raksasa Burung Enggang yang masih saja ramai dikerubuti oleh pengunjung.

Burung Enggang memang menjadi burung terkenal khas Kalimantan yang dianggap oleh mayarakat sebagai titisan dewa yang menyebarkan perdamaian di muka bumi. Sejenak aku termangu memperhatikan bentuk paruh burung itu yang memiliki keunikan tersendiri.

Namun, karena waktu yang tak lama lagi, aku segera beranjak menuju gerbang taman. Aku harus segera beranjak menuju Dermaga Rambang.

Aku akan berbuka puasa di tempat itu.

Kisah Selanjutnya—->

Siratan Eksotis Jembatan Kahayan

Sejenak aku terduduk di sebuah taman mungil di sisi selatan Jalan Kinibalu. Memang sengaja untuk sejenak aku mendinginkan tubuh setelah sengatan surya yang masih menjadi-jadi walau waktu sudah tak lagi di puncak hari. Duduk bersama beberapa warga lokal yang sama gerahnya atas cuaca kota.

Toh di sepanjang dudukku, aku tak diam. Jemariku lincah mencari destinasi yang memungkinkan untuk kukunjungi dalam jarak dekat.

Aku hanya punya waktu kurang dari tiga jam untuk mengeksplorasi kota di hari pertama eksplorasi. Itu semua karena aku turut dalam penerbangan siang Citilink bernomor QG 452 dari ibu kota.

Jembatan Kahayan….Ya itu!”, aku memutuskan.

Jembatan kota itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Berjarak tak lebih dari satu kilometer dari tempatku duduk.

Hanya perlu melangkah ke utara sekejap saja”, aku membatin yakin.

Dalam beberapa saat, aku mulai mengayunkan langkah. Energiku masih penuh, toh aku baru saja mendarat di Tjilik Riwut Airport beberapa jam lalu.

Aku mulai beranjak untuk mengikuti kontur melekuk jalanan yang mengelilingi area alun-alun kota yang tertutup rapat dengan lembaran-lembaran seng proyek renovasi.

Hingga kemudian aku berbelok ke barat di Jalan Tjilik Riwut.

Sudah dua kali aku menyebut nama Tjilik Riwut. Itu siapa ya sebenernya?

Tjilik Riwut adalah nama Pahlawan Nasional dari Palangkaraya. Sebelum menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, dahulu kala Tjilik Riwut adalah seorang perwira Angkatan Udara yang menyandang pangkat Marsekal Pertama dan mengabdi di Korps Pasukan Khas. Beliaulah yang menginisiasi bergabungnya Borneo ke pelukan NKRI.

Kembali ke kisah eksplorasiku,

Sesuai dengan nama jalan yang siang itu sedang kutapaki, maka berdirilah sculpture Tjilik Riwut di sisi utara jalan. Ketika melihat keberadaannya, sontak aku menyeberangi jalan demi bisa berdiri tepat di bawahnya hanya demi mencari informasi apa saha mengenai Tjilik Riwut. Aku duduk berhadapan dengan sculpture itu untuk beberapa saat, sembari mengindahkan tatapan aneh para pengemudi kendaraan roda empat yang melintas tepat di sisi kiriku.

Harusnya aku memberi hormat saja kali ya, supaya para pengemudi itu semakin yakin kalau aku sedang tidak waras”, aku senyam-senyum menahan tawa atas rencana gilaku sendiri.

Aku tak bisa berlama-lama di situ,

Aku melanjutkan langkah, kali ini menyisir tepian jalan yang tak bertrotoar, membuatku harus sesekali berhenti memperhatikan laju kendaraan dari belakang hingga kemudian aku merubah haluan di Jalan Kapten Pierre Tendean.

Di titik awal jalan itu, aku sempat-sempatnya mengintip aktivitas para pekerja renovasi alun-alun kota. Aku masih penasaran, sebetulnya bangunan menjulang apa yang akan dibangun di tengah-tengah alun-alun. Tetapi tetap saja aku tak bisa menebaknya.

Sudahlah, aku harus segera mencapai jembatan itu”, aku menyerah.

Melewat Jalan Piere Tendean, aku melambatkan langkah, menikmati teduhnya trotoar di sepanjang ruasnya. Tapi di sisi lain, sejenak aku terenyuh dengan keberadaan seorang anak kecil yang sibuk mengenakan kostum badut. Sepertinya dia akan mulai aksi mengamennya di ruas jalan itu.

Oh Tuhan, anak ini sungguh tak beruntung hidupnya”, aku menatapnya iba dan refleks merogoh saku dan memberikan selembar uang kepadanya. Anak itu tersenyum hingga terlihat sepasang gigi kelincinya. Tampak lucu dan riang saja.

Terimakasih Om”, serunya kepadaku. Aku membelalakkan mata dan tersenyum kepadanya.

Waduh….Om Donny….Aku dipanggilnya begitu….Hahaha”, aku terkekeh dalam batin usai mendengar kata-kata badut cilik itu.

Aku dengan cepat meninggalkan anak itu karena pangkal jembatan sudah terlihat dihadapan.

Tak ada yang istimewa” aku sudah terburu menilai penampilan tengara kota itu.

Sudah terlanjur sampai, aku harus menaiki jembatan itu hingga tepat di tengahnya. Mungkin ada sesuatu yang akan kudapatkan.

Dari rambu-rambu yang terpasang, setiap kendaraan yang melintas di jembatan hanya boleh menggeber gas dengan kecepatan maksimum 20 km/jam saja demi menjaga keselamatan pengguna yang lain.

Nyaliku ciut ketika menaiki jembatan itu langkah demi langkah. Dasar jembatan selalu bergoyang saat kendaraan angkutan melintas. Membuatku sering berhenti karenanya.

Perlahan aku mendekati titik tengah jembatan, sempadan sungai mulai terlihat jelas. Aku semakin bersemangat melangkah, tak memperdulikan sengatan surya yang masih menyengat kulit. Sewaktu kemudian aku benar-benar tiba di tengahnya. Aku berdiri mematung menatap ke arah timur, speechless.

Di sejauh mata memandang, lekukan panjang tak berujung Sungai Kahayan tampak memikat mata. Tak kalah indah dari bentangan Musi, Batanghari, Kapuas ataupun Martapura yang pernah kusambangi.

Membentang dengan lebar lebih dari setengah kilomater. Menyematkan aura perkasa sungai itu.

Ini dia aset besar Palangkaraya”, aku membatin, masih menyedekapkan kedua tangan sembari menatapnya lekat-lekat.

Kahayan Bridge terlihat dari Taman Pasuk Kameloh.
Masjid Darul Amin tampak dari atas jembatan.
Sungai Kahayan.
Senja mulai hadir.

Sempadan sungai di sekitar jembatan terlihat sangat hidup dengan aktivitas ekonomi. Resto dan cafe apung tampak mendominasi aktivitas itu.

Sementara itu, Taman Pasuk Kameloh di sempadan sungai sisi selatan tampak hidup dengan keramaian para pengunjung yang bersiap menyambut waktu berbuka puasa.

Matahari mulai mengejar ufuknya di sisi barat. Sengatannya mulai melemah, membuat seorang photographer professional datang dan sibuk menyiapkan peralatannya di trotoar jembatan sisi seberang tempatku berdiri.

Sepertinya dia mengincar latar senja yang mulai terpendar indah”, aku memperhatikan sejenak kesibukannya memasang tripod.

Aku yang tak mau kalah keren walau memang sebetulnya telah kalah telak, mengeluarkan kamera andalan, Si “EOS M10”, demi berburu beberapa gambar terbaik dari keadaan sekitar.

Kisah Selanjutnya—->

Lion Air JT 715 dari Pontianak (PNK) ke Jakarta (CGK)

Usai Shalat Subuh aku kembali merebahkan badan di kasur empuk G-Hotel Pontianak. Hari itu akan menjadi hari terakhirku di Pontianak. Sore hari sekitar pukul tiga sore aku akan terbang kembali ke Jakarta.

Maka tepat jam dua belas, bersamaan dengan waktu check-out dari hotel, aku akan meluncur menuju Supadio International Airport.

Dan kali ini jejak Koh Hendra belum selesai, karena dia akan mengantarkanku menuju bandara. Padahal aku sudah menolak halus usai dinner semalam. Tetapi Koh Hendra merasa gak enak sama adiknya yang merupakan pimpinanku di tempat kerja jika tak mengantarkanku pulang menuju bandara. Walhasil, aku pun menerima tawaran itu dengan senang hati, kan aku ga perlu pesan transportasi online menuju bandara….Lebih hemat kan tentunya.

Usai berbasuh aku menyempatkan diri untuk bersarapan dengan Pengkang yang semalam terbeli di Pondok Pengkang. Dua potong Pengkang ternyata cukup menjadi pengganti menu sarapan yang sengaja tak kupesan sebagai komplemen kamar di hari terakhirku di Pontianak….Sedikit berhemat.

Menjelang tengah hari aku telah selesai berkemas dan bersiap menuju bandara. Aku duduk di salah satu sofa lobby milik G-Hotel usai check-out dan tak berapa lama Koh Hendra menampakkan batang hidungnya di pintu lobby. Waktu pulang telah tiba….

Dalam perjalanan, aku kembali menjadi pendengar yang baik atas cerita-cerita Koh Hendra. Dia bercerita mengenai asal nama Pengkang yang sebetulnya berasal dari kata “Panggang” yang kemudian warga keturunan tak begitu fasih mengucapkannya sehingga keluarlah nama “ Pengkang”.

Selain itu, Koh Hendra bercerita tentang suka dukanya menjadi ketua paguyuban ojek online di Pontianak. Perjalanan menuju bandara itu juga diwarnai dengan adanya insiden kecelakaan yaitu jatuhnya sepeda motor di depan mobil yang dikemudiakan Koh Hendra. Beruntung kedua pengendaranya selamat. Hanya saja sedikit membuat kemacetan sesaat.

Kurang dari jam satu siang aku tiba di bandara. Saatnya berpamitan dengan Koh Hendra. Memasuki departure hall, aku segera menuju konter check-in. Sempat menunggu beberapa saat hingga konter check-in dibuka, akhirnya aku mendapatkan boarding pass.  Setelahnya aku menyempatkan shalat jama’ sebelum menuju ke gate.

Menjadi imam bagi beberapa petugas Aviation Security akhirnya aku menyelesaikan kewajiban shalat dan segera beranjak menuju gate.

Aku akan dijadwalkan terbang dari Gate 3. Mengingat aku akan tiba di Jakarta sore hari maka kuputuskan untuk membeli beberapa makanan kemasan sebagai bekalku nanti pulang dari Soetta ke Kampung Rambutan.

Satu jam lamanya aku menunggu, akhirnya waktu boarding pun tiba….

Melalui aerobridge, aku menuju kabin dan mencari keberadaan bangku bernomor 33F sebagai tempatku duduk. Kali ini aku akan terbang Bersama Boeing 737-800 (twin jet). Pesawat akan menempuh perjalanan udara sejauh 732 Kilometer dan kecepatan rata-rata 650 km/jam. Perjalanan ini sendiri akan memakan waktu 1 jam 10 menit.

Tak perlu menunggu waktu lama bagi JT 715 untuk airborne dan memasuku cruise phase. Cuaca pada pernerbangan kali ini berlangsung dalam kondisi yang sangat cerah dibandingkan dengan keberangkatanku beberapa hari lalu.

Aku dan Koh Hendra.
Bersiap take-off.
Airborne di atas kota Pontianak.
Indah banget kan?….
Gugusan pulau di sepanjang penerbangan.
Di atas awan.
Bersiap landing di Soekarno Hatta International Airport.
Thanks Lion Air.

Dari udara aku bisa melihat dengan jelas gradasi menarik warna biru pantai Belitung. Juga bisa melihat dengan jelas Pulau Karimata dengan jernihnya.

Perjalanan yang sedetikpun aku tak mampu memejamkan mata saking indahnya pemandangan akhirnya mengantarkanku mendarat dengan mulus di landas pacu Soekarno Hatta International Airport.

Setibanya di bandara, aku segera berburu bus DAMRI demi menuju Terminal Kampung Rambutan.

Akhirnya aku pulang.

TAMAT

Menikmati Udang Gala di Pondok Pengkang

Usai menunaikan Shalat Ashar, aku menunggu kedatangan Koh Hendra di serambi Masjid Raya Mujahidin. Dia sudah menelponku sejak sebelum Ashar dan memintaku menunggu di masjid hingga dia datang.

Dalam menunggu, aku selalu celingukan ketika melihat mobil memasuki area parkir, selalu berfikir Koh Hendra telah tiba, padahal aku sendiri belum tahu jenis mobilnya….Ada-ada saja.

Hampir setengah jam menunggu. Akhirnya panggilan telepon dari Koh Hendra tiba.

Assalamu’alaikum, aku di parkiran masjid sebelah barat, Bang. Bisa jalan ke arah sini engga?”, Koh Hendra menegaskan posisinya.

Baik, saya ke sana, Koh”, tak berselang lama aku pun bersua dengannya.

Perkenalan singkat terjadi di belakang kemudi Avanza berkelir biru muda. Dari perkenalan itu aku baru tahu bahwa Koh Hendra berasal dari keluarga multi agama yang rukun.

Aku akan menempuh perjalanan menuju daerah Peniti di Kecamatan Siantan yang berjarak hampir empat puluh kilometer di utara Kota Pontianak.

Sebetulnya aku sudah pernah melewati daerah Peniti, yaitu saat pergi menuju Singkawang beberapa hari lalu ketika pertama kali tiba di Pontianak. Jadi aku tak terlalu asing dengan suasana jalan menuju ke sana.

Perjalanan itu berlangsung dalam suasana yang sangat akrab walaupun aku baru mengenal Koh Hendra. Aku lebih banyak mendengarkan cerita serunya ketika di berda’ wah hingga ke dalam pelosok Kalimantan Barat.

Tak terasa perjalanan satu jam dua puluh menit yang kutempuh telah mengantarkanku di halaman depan Pondok Pengkang.

Masuk ke dalam restoran, rasa budaya yang kental tersirat dalam interior rumah makan yang menggunakan tiang-tiang besar dengan ukiran khas Kalimantan. Sedangkan deretan meja makan dengan enam kursi berwarna hijau di setiap mejanya juga memilik ukiran kayu yang otentik. Aku dan Koh Hendra kemudian memutuskan duduk di salah satu meja di pojok selatan ruangan.

Begitu tiba, tampak beberapa pekerja rumah makan mendatangi Koh Hendra dan interaksi pertama yang mereka lakukan adalah saling memeluk satu sama lain. Cukup kumaklumi karena area dimana Pondok Pengkang itu berdiri merupakan bagian dari kampung Koh Hendra semasa kecil. Jadi kebanyakan pekerja di restoran ini adalah teman semasa kecilnya, tak khayal pertemuan tak direncanakan itu menjadi reuni mini bagi mereka.

Menghiraukan daftar menu di meja makan, Koh Hendra langsung saja menyebut sajian yang hendak kami santap, yaitu sebakul nasi putih, seporsi kepiting asam manis, sambal kepah (kerang), udang gala asam manis, cah kangkung dan dua gelas jeruk hangat.

Aku faham, bahwa Koh Hendra tentu tahu menu andalan di restoran tersebut. Tentu aku hanya mengamini saja pesanan itu. Toh aku kan lagi ditraktir jadi aku menikmati saja sajian yang dipesan oleh Koh Hendra.

Sepintas dari papan nama restoran disebutkan beberapa menu di dalamnya yaitu Pengkang, Sambal. Kepah, Sate Kepah dan Burung Punai. Dan Koh Hendra sempat bercerita dalam perjalanan bahwa resep resotoran ini selalu diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi sudah dipastikan resep dan rasanya sangat otentik.

Begitu menu pesanan itu tersaji maka aku yang kelaparan, menyantap segenap menu dengan sangat lahap. Ternyata menu pilihan Koh Hendra memang memiliki cita rasa yang luar biasa.

Halaman depan Pondok Pengkang.
Yuk cari tempat duduk yang nyaman….!
Udang Gala Asam Manis.
Sambal Kepah (kerang).
Membakar dua ribu jepit pengkang dalam sehari dengan arang batok kelapa
Udang Gala yang merupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar restoran.

Tak perlu menunggu lama, sajian di atas meja itu pun ludes tak bersisa. Berhubung masih berada di pertengahan waktu Shalat Maghrib maka Koh Hendra berinisiatif mengajakku shalat berjama’ah dengan karyawan restoran di musholla yang terletak di sisi utara restoran.

Sekembali dari musholla, aku tertarik dengan aktivitas di dapur Pondok Pengkang. Maka aku memohon izin untuk memotret beberapa gambar di dalam dapur untuk kusajikan dalam tulisan ini.

Kembali duduk di meja maka,. Ternyata Koh Hendra sudah memesankanku beberapa jepit Pengkang yang ditaruhnya dalam plastik dan dia telah membayar semua hidangan yang kita santap tadi. Jika memperhatikan daftar menu di meja makan aku memperkirakan bahwa semua sajian yang dipesan berharga tak kurang dari Rp. 400.000….Wah menu mewah tentunya buat seorang backpacker sepertiku.

Rezeqi di Masjid Raya Mujahidin

Sudah hampir tengah hari ketika aku selesai mengeksplorasi Kompleks Perkampungan Budaya di Jalan Sultan Syahrir. Aku pun memutuskan untuk undur diri demi menuju ke destinasi berikutnya.

Aku kembali berjalan kaki menelusuri Jalan Sultan Syahrir dan berlanjut ke Jalan Sultan Abdurrahman.

Karena terpapar lapar maka di sepanjang jalan aku mencari keberadaan rumah makan. Hingga akhirnya aku menemukan rumah makan Padang di sisi jalan Sultan Abdurrahman, “Rumah Makan Mandala” namanya.

“Cumi, Da. Makan sini ! ”, aku memesan sebuah menu ke pemilik rumah makan yang tampak asli berperawakan Minang. Seporsi nasi cumi itu kutebus dengan harga Rp. 27.000 bersamaan dengan tambahan segelas es jeruk.

Aku memang tak berlama-lama bersantap siang, mengantisipasi langit yang semakin gelap. Melangkah sebetar daru rumah makan, aku mulai keluar dari jalan utama dan memasuki Jalan Mohammad Sohor yang kedua ruasnya dipisahkan oleh parit.

Berjalan keluar dari jalan utama sejauh lebih dari setengah kilometer aku berganti arah di Jalan H. Siradj. Aku mulai memasuki jalur perkampungan dan menyasar Masjid Raya Mujahidn dari sisi belakang.

Taman Akcaya di Jalan Sultan Syahrir.
Ujung Jalan H. Siradj.

Genap berjalan kaki selama setengah jam dan menempuh jarak hampir 2,5 kilometer untuk kemudian aku tiba di Masjid Raya Mujahidin sisi selatan.

Usai mengambil beberapa foto masjid dari beberapa sudut pandang di halamannya, aku memutuskan untuk menunaikan Shalat Dzuhur yang sudah terlambat.

Selesai bersuci di bangunan yang terpisah dari bangunan utama masjid, aku segera memasuki ruangan utama masjid di lantai dua. Masu untuk pertama kalinya, aku terkesima dengan desain interior masjid yang super megah.

Nama “Mujahidin” tak lain untuk menghargai perjuangan rakyat Pontianak dalam perjuangan kemerdekaan serta perjuangan syiar agama Islam di kota itu. Masjid berusia hampir setengah abad itu tentu menjadi kebanggan masyarakat Pontianak karena kemegahan dan kemakmurannya.

Menempati lahan seluas 4 hektar, masjid ini mampu menampung hingga 9.000 jama’ah di dalamnya. Dipergagah dengan keberadaan 4 menara kembar di setiap sisinya dan disetiap ornament masjid mengandalkan mozaik khas Kalimantan.

Masjid Raya Mujahidin.
Ruangan utama di lantai 2.
Ruangan utama di lantai 2.

Adalah empat bangunan terkenal yang mengilmahi arsitektur masjid ini, yaitu Masjid Cordoba dan Istana Alhambra di Spanyol serta Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Arab Saudi.

Purna menunaikan shalat tetiba gawai pintarku mengantarkan sebuah pesan. Ternyata pesan singkat itu berasal dari salah satu pimpinanku di kantor yang asli Pontianak. Dengan kebaikannya, dia menawarkan aku berwisata kuliner ke Pondok Pengkang di daerah Peniti, Kecamatan Siantan.

Sebetulnya aku menolak dengan halus permintaan itu, tetapi memang dia memberikan saran “ Belum ke Pontianak kalau kamu belum berwisata kulier ke Pondok Pengkang, Donny. Jangan khawatir, kamu tunggu saja di masjid, nanti abangku akan menjemput dan mengantarkanmu ke sana, Namanya Koh Hendra, begitu ucapnya.

Apa boleh buat, tentu ini menjadi sebuah rezeqi yang tak boleh ditolak. Maka aku segera menghentikan eksplorasiku di Masjid Raya Mujahidin dan mengambil duduk di salah satu sisi terasnya demi menunggu kehadiran Koh Hendra yang akan datang menjemputku

Lambang Persatuan di Sepanjang Rumah Radakng

Usai mengunjungi Rumah Adat Melayu, aku bergegas menuju pelataran sebelah barat. Di pelataran itu terdapat satu lagi rumah adat yang nampaknya lebih ramai dikunjungi oleh wisatawan dan masyarakat lokal terutama para pelajar.

Adalah Rumah Radakng yang merupakan rumah adat terpanjang di Indonesia. Panjangnya mencapai hampir 140 meter. Rumah Radakng ini dibangun untuk mengembangkan sekaligus melestarikan adat istiadat Suku Dayak di Kalimantan Barat.

Boleh dikatakan Rumah Radakng adalah landmark kedua Kota Pontianak setelah Tugu Khatulistiwa yang terletak di daerah Batu Layang.

Pemandangan di Rumah Radakng siang itu tampak didominasi oleh kehadiran para pelajar Sekolah Menengah Atas yang entah sedang mengerjakan tugas apa dari sekolahnya karena banyak diantara mereka duduk berkelompok dan sedang berdiskusi.

Di sisi lan tampak para wisatawan begitu ceria ketika mengenakan baju adat Dayak dan berpose di beberapa titik untuk diambil foto oleh sesama temannya.

Ketika aku menjadi begitu penasaran untuk mengetaui bagian dalam Rumah Radakng, maka aku mendapatkan kesempatan melongok ketika bercakap dengan tiga pria yang sedang mengeluarkan beberapa pot bunga dan meja dari dalam rumah. Tampaknya mereka sedang membereskan peralatan yang digunakan pasca event tertentu yang berlangsung di dalam Rumah Radakng.

Tak ada apa-apa, Bang di dalam, hanya ruangan kosong saja mirip hall, begitu dia menjelaskan dengan singkat kepadaku. Aku pun menyempatkan diri melongok sebentar untuk menghapus rasa penasaran. Ketiga pria itu pun tertawa memperhatikan tingkahku yang tak percaya dengan apa yang mereka katakan.

Ruangan itu memang hanya berebentuk ruangan kosong memanjang. Adapun filosofi asli dari bentuk Rumah Radakng adalah apabila ada seorang anak yang sudah berumah tangga maka dia akan tinggal di ruangan berbeda dari orang tuanya dan dia akan dibuatkan ruangan yang bersambung dari rumah orang tuanya, begitu seterusnya hingga menyebabkan Rumah Radakng akan semakin panjang dengan kehadiran keluarga-keluarga baru karena ikatan pernikahan. Konon rumah sepanjang 138 meter ini bisa digunakan oleh 30 keluarga….Wah banyak juga ya.

Aku begitu gugup ketika harus menaiki tangga utama yang terbuat dari segelondong kayu utuh hanya dengan pegangan besi tunggal memanjang dari bawah ke atas di sepanjang tangga. Harus ekstra hati-hati menitinya karena kemungkinan jatuh bisa saja terjadi apabila aku lengah.

Gerbang masuk Rumah Radakng.
Tampak belakang.
Sculpture burung Enggang di halaman depan.
Bagian atas Rumah Radakng.
Rumah Adat Melayu terlihat dari atas Rumah Radakng.

Sedangkan sculpture enam Burung Enggang menjadi ikon utama di halaman depan Rumah Radakng. Burung Enggang sendiri adalah burung yang dikeramatkan oleh Suku Dayak. Burung yang memiliki sebutan lain Burung Rangkong ini adalah lambang perdamaian dan persatuan bagi Suku Dayak. Suku Dayak menganggapnya sebagai panglima dari segala macam burung sehingga tak pelak burung ini bisa ditemukan di setiap sendi kehidupan masyarakat Dayak seperti pada patung, ukiran, pakaian, lukisan, interior rumah, monumen dan makam-makam suku Dayak.

Tentu mengunjungi Kompleks Perkampungan Budaya yang luasnya lebih dari empat hektar dengan cuaca kota yang panas bisa membuat kita kehausan. Tetapi tentu tak perlu khawatir karena tersedia  kedai minuman yang terletak di kolong Rumah Radakng ini.

Jadi sehabis berkeliling kamu bisa menikmati minuman dingin di kedai tersebut.

Tukang Foto Keluarga di Rumah Adat Melayu

UP2U Food Court.

Aku baru saja usai menunaikan Shalat Maghrib di dalam kamar bernomor 319 milik G-Hotel Pontianak untuk kemudian waktu biologis makan malamku pun tiba tepat waktu….Aku kelaparan.

Aku memutuskan untuk segera turun ke lobby dan mencari tempat makan terdekat dari hotel. Berjalan menuju timur akhirnya aku menemukan sebuah food court yang menyediakan banyak pilihan. Adalah UP2U Food Court yang menyediakan beberapa outlet kuliner di dalamnya, seperti MEAET, ToriFuru, Sumo Squid, Ayam Gepuk Djogja, Tarohouse dan lainnya.

Tanpa pikir panjang, aku segera memasukinya dan segera berburu menu yang cocok dengan seleraku malam itu. Puas berkeliling, akhirnya aku memesan sate cumi dengan sambal terasi untuk kemudian kusantap di sebuah meja di pojok food court yang cenderung jauh dari kerumunan pengunjung.

Dan di akhir cerita, makan malam itu aku tutup dengan membeli segelas jus mangga di sebuah kedai “Aroma Jus” yang berlokasi di samping timur hotel.

—-****—-

Pagi kembali tiba……

Dari semalam aku sudah menetapkan rencana untuk mengunjungi Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng di daerah Sungai Bangkong yang berjarak hampir empat kilometer di sebelah barat G-Hotel Pontianak.

Tak ada pilihan yang lebih baik tentunya selain memesan transportasi online menuju ke sana. Oleh karenanya sehabis sarapan di restoran hotel aku segera mengambil duduk di lobby untuk berburu trasnportasi online melalui aplikasi.

Tak lama kemudian….transportasi online itu datang. Usai mengonfimasi tujuan aku segera naik dan meluncur ke tujuan.

Tetapi memang dasar kebiasaanku yang lebih suka berjalan kaki, maka dalam perjalanan kali ini aku hanya memesan transportasi online ini hingga di Kantor Pertanahan Kota Pontianak. Dari kantor itu aku memutuskan untuk berjalan kaki ke tujuan akhir.

Ternyata ideku tak berjalan mulus. Begitu aku turun, hujan gerimis datang. Beruntung aku menyimpan sebuah payung lipat di dalam folding bag sehingga perjalananku menuju tujuan akhir tak tertunda.

Aku terus melangkah di sepanjang Jalan Sultan Abdurrahman dan berlanjut ke Jalan Sultan Syahrir. Ketika sebagian besar pengendara motor menghindari gerimis dan memilih berteduh justru aku berasyik ria berjalan kaki menggunakan payung yang kubawa dari rumah. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memperhatikan tingkah lakuku di sepanjang jalan yang sering berfoto selfi dan mengambil beberapa foto di spot kota yang menarik.

Aku akan memulai eksplorasi kali ini dari Rumah Adat Melayu.

Setelah berjalan sejauh satu setengah kilometer, aku tiba di Kompleks Perkampungan Budaya. Terdapat dua rumah adat di kompleks ini, yaitu Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng khas Suku Dayak.

Dimulai dari bagian luar, tepatnya di sepanjang trotoar di depan rumah adat ini dihiasi dengan tiang-tiang lampu berbahan kayu penuh ukiran yang membuat suasana semakin kental dengan budaya Melayu. Pintu gerbangnya pun dibuat anggun dengan ukiran khas Melayu

Bentuk rumah balai dalam adat Melayu melambangkan falsafah gotong royong dan kesetiakawanan sosial. Rumah Adat Melayu ini selain berfungsi sebagai tempat tujuan wisata, juga berfungsi sebagai pusat acara adat dan sebagai tempat musyawarah bagi Majelis Adat Budaya Melayu.

Rumah adat berusia 17 tahun ini memiliki bentuk yang anggun dengan model rumah panggung dan memiliki atap Lipat Kajang dengan kemiringan yang curam. Berwarna dasar kuning khas Melayu yang melambangkan kejayaan.

Sedangkan di halaman Rumah Adat Melayu tampak beberapa patung lelaki Melayu yang sedang mengeluarkan jurus dalam pencak silat yang merupakan kesenian bela diri khas Melayu. Tepat di depan rumah terdapat Meriam tunggal berukuran besar. Sedangkan tanaman-tanaman hias tampak membuat suasana semakin asri di halamannya.

Aku menyempatkan diri mengelilingi rumah adat ini walaupun tidak bisa memasukinya karena tidak dibukanya akses masuk.

Melintas di depan Pontianak Convention Centre.
Bagian terluar dari Rumah Adat Melayu
Tampak depan.
Halaman berhiaskan meriam besar.
Salah satu sculpture di Rumah Adat Melayu.

Sebelum meninggalkan area Rumah Adat Melayu, aku bertemu dengan satu rombongan keluarga asal Bandung yang sedang kesusahan mengambil foto dengan tripod. Oleh karenanya , aku berinisiatif untuk membantu mengabadikan foto mereka di halaman utama Rumah Adat Melayu ini.

Kiranya kunjungan ke Rumah Adat Melayu telah usai, saatnya bergeser ke sebelah barat. Terdapat satu lagi rumah adat di Kompleks Perkampungan Budaya ini.

Tertegun di Gereja Katedral Santo Yosef, Terpikat di Pusat Souvenir Pontianak

Parit buatan Kolonial Belanda di sepanjang Jalan Diponegoro dan Jalan H Agus Salim.

Bebarengan dengan mulai beranjaknya beberapa pengunjung meninggalkan Warung Kopi Asiang, aku pun menyeruput kopi tersisa di cangkir untuk kemudian bangkit berdiri dan menuju meja kasir. Setengah jam lagi warung kopi itu memang akan segera ditutup.

Lebih sedikit dari jam setengah lima sore aku beranjak pulang menuju hotel. Terpaan surya yang tak lagi menyengat mendorongku untuk kembali berjalan kaki menjelajah jalanan kota. Tanpa ragu aku bergerak menuju utara, kali ini aku akan berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer.

Aku mulai melangkah menyeberangi parit yang memisahkan ruas Jalan H. Agus Salim di selatan dan Jalan Diponegoro di utara. Parit selebar 20 meter itu tampak bersih walaupun airnya menghitam, sedangkan beberapa titik di badan parit dipergunakan oleh pedagang utuk mendirikan tenda kuliner.

Meninggalkan area parit, aku memasuki Jalan Antasari yang di kiri-kanannya dijejali oleh ruko komersil. Ketinggian deretan ruko itu kumanfaatkan untuk berlindung dari terpaan surya yang sudah tergelincir di ufuk barat.

Belum juga tiba di ujung jalan, pada sebuah perempatan yang dipotong oleh Jalan Ir. H. Juanda, aku terhenti karena melihat sebuah bangunan ikonik di ujung timur. “Seperti bangunan gereja”, gumamku dalam hati.

Rasa penasaran itu menuntunku untuk merubah haluan demi menujunya. Tak lebih dari 150 meter dari tempatku berbelok, aku akhirnya sampai di depan bangunan. “Gereja Katedral Santo Yosef”, begitu aku membaca nama bangunan yang terpampang di halamannya.

Gereja Katedral Santo Yosef.

Bangunan gereja yang modern menunjukkan bahwa gereja ini belum lama mendapat sentuhan renovasi. Satu tengara penting yang masih kuingat sampai sekarang adalah keberadaan patung Santo Yosef berukuran besar di atas gereja. Di bawah patung itu terdapat empat jam besar yang mengarah ke empat arah berbeda.

Menyandang status sebagai gereja katedral dalam masa lebih dari satu abad menjadikan gereja ini menjadi landmark penting Kota Pontianak.

Puas menikmati keindahan gereja, aku pun melanjutkan langkah menuju hotel. Aku bergegas dan melangkahkan kaki dengan cepat dengan harapan segera tiba di hotel. Tetapi alih-alih menyingkat waktu, langkahku malah terhenti kembali karena keberadaan pusat penjualan souvenir dan buah tangan di sisi timur Jalan Patimura.

Kompleks PSP (Pusat Souvenir Pontianak) itu menghampar sepanjang 200 meter. Aku memang tak berniat membeli oleh-oleh apapun, tapi sempat berfikir bahwa tak ada salahnya untuk mampir dan melihat-lihat.

Kusempatkan selama lima belas menit untuk mengeksplorasi kompleks perbelanjaan souvenir yang menampung tak kurang dari 30 gerai souvenir yang menjual beraneka ragam makanan kemasan, aksesoris dan cendera mata khas Pontianak.

Mencoba masuk ke salah satu gerai yang penjualnya sedang sibuk melayani pembeli, aku berhasil melihat dengan leluasa berbagai jenis cendera mata yang umumnya dijual di kompleks ini.

Cendera mata yang dijual di Pusat Souvenir Pontianak.
Souvenir khas Pontianak.
Talawang, tameng khas Suku Dayak.
Senja di depan G-Hotel.

Mengambil beberapa gambar di Kompleks PSP, rasanya cukup bagiku untuk menyudahi eksplorasi singkat itu. Aku kembali melanjutkan langkah hingga ujung Jalan Patimura, kemudian berbelok ke barat di Jalan Jendral Urip, jalan dimana G-Hotel tempatku menginap berada.

Lewat sedikit dari pukul lima sore aku tiba di hotel. Masih ada waktu untuk menunaikan shalat jama’ sebelum masuk waktu maghrib.

Menyeruput Kopi Robusta di Warung Kopi Asiang

Tetap saja, aku menyantap Es Krim Angi dengan penuh rasa khawatir akan kemuingkinan mengalami penularan COVID-19 saking penuhnya pengunjung di warung es krim. Tapi apapun itu, aku masih saja bisa menikmati kelembutan es krim ternama tersebut.

Usai membayar es krim yang kupesan di kasir, aku segera keluar dari keramaian warung dan mengambil posisi berdiri di pinggir jalan.

Aku memutuskan kembali untuk memesan transportasi online menuju barat sejauh dua kilometer. Kali ini aku dihantarkan oleh seorang pengemudi berdarah Madura. Tetapi toh tetap saja, karena semenjak kecil sudah lahir di Pontianak maka dia susah berbahasa Madura.

Memahami bahwa aku akan menuju ke sebuah destinasi kuliner yang melegenda di kotanya maka dia pun mulai membuka sebuah cerita. Diceritakan dahulu bahwa sepanjang jalan yang kulewati adalah berasal dari sebuah kanal yang diurug untuk dijadikan jalanan.

Aku sendiri dibawanya menyusuri tiga ruas jalan berbeda yaitu Jalan Sultan Abdurrahman, berlanjut ke Jalan Teuku Umar dan Jalan Diponegoro. Dan aku melihat memang di sepanjang ketiga jalan itu terdapat kanal memanjang yang menyejajarinya. Mungkin kanal yang diurug menurut cerita si pengemudi online itu adalah kanal yang kulihat dengan cukup jelas di sepanjang Jalan Diponegoro.

Sedangkan Warung Kopi Asiang terletak di seberang kanal, tepatnya di Jalan Merapi yang merupakan jalan cabangan dari Jalan H. Agus Salim.

Warung Kopi Asiang diceritakannya sebagai sebuah warung kopi yang asalnya dibuka hanya untuk melayani para tenaga dan pengunjung pasar. Kala itu Asiang sang pemilik masihlah sangat muda.

Lambat laun warung kopi itu semakin ramai dan makmurlah Warung Kopi Asiang mulai saat itu. Untuk mempertahankan orisinalitasnya maka Asiang tak pernah mau membuka warung kopi cabang dimanapun. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa Warung Kopi Asiang hanya ada satu di seluruh penjuru Pontianak.

Harusnya Bang Donny berkunjung ke Warung Kopi Asiang saat pagi bersamaan dengan riuhnya para pedagang yang berjualan di pasar. Karena saat pagi hari, Koh Asiang akan datang ke warung dan melakukan demo pembuatan kopi khasnya. Dia akan menyeduh kopi dengan bertelanjang dada di hadapan para pengunjung warung”, pengemudi itu memberi saran.

Aku mengiyakan saja karena toh aku hanya punya waktu di saat siang itu untuk melakukan eksplorasi. Mungkin suatu saat nanti kalau ada waktu lagi berkunjung ke Pontianak, aku akan menyambangi warung kopi itu pagi-pagi sesuai anjurannya.

Dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit aku sampai.

Begitu terpesonanya aku ketika pertama kali tiba. Bagaimana tidak, seluruh bangku di warung kopi itu telah penuh. Tak hanya para pengunjung berumur, tetapi para penikmat kopi dari kalangan muda usia juga hadir di sana. Ini bukti bahwa Kopi Asiang bisa diterima oleh semua kalangan.

Melihatku berdiri cukup lama sembari berharap segera ada pengunjung yang selesai menyeruput kopinya lalu meninggalkan bangku maka seorang pelayan warung datang menghampiriku. Setelah tahu bahwa kedatanganku untuk menikmati kopi di warungnya maka dia berinisiatif mengambil kursi beserta meja plastik dan ditempatkannya di halaman ruko kecil di sebelah Warung Kopi Asiang. Ruko itu tampaknya memang sedang tutup. Maka di halaman ruko itulah aku akan menikmati secangkir Kopi Asiang.

Lagi dibuatin kopi sama si kakak…
Penuh kan?…..Ckckckck.
Kopi Robusta penutup eksplorasi hari itu.

Walaupun kopi susu tampak menjadi pilihan favorit para pengunjung, toh aku lebih memilih meyeruput kopi robusta yang konon sangat terkenal cita rasanya di warung kopi berusia 64 tahun ini. Beruntung aku tiba dua jam sebelum warung tutup sehingga aku merasa tak terburu waktu untuk menyeruput kopi.

Saking menikmatinya, waktu satu setengah jam pun menjadi tak terasa ketika duduk di warung itu. Perlahan pengunjung satu per satu menyudahi kunjungannya. Kebetulan kopi di cangkirku hanya tinggal satu atau dua seruputan saja. Aku pun berniat sama untuk menyudahi wisata gastronomi tersebut.

Membayar secangkir kopi robusta dengan Rp. 6.000 akhirnya aku menyudahi petualangan sore itu dan berniat untuk segera kembali ke hotel.