
Walau Rahadian baru tiba di Solo saat pagi buta dan sempat menumpang mandi serta sarapan, maka sesuai jadwal, aku tetap melakukan check-out dari Grand Amira Hotel by Azana. Waktu sudah menunjukkan pukul 8:30 WIB saat kami keluar ke pelataran hotel.
Aku segera memesan taksi online dan meluncur menuju daerah Sudiroprajan untuk melakukan survey kuliner pertama. Kuliner istimewa yang kusasar adalah Es Dawet Telasih, yaitu dawet berkomposisi ketan hitam, jenang sunsum, tape ketan, biji telasih, gula cair, santan dan es batu.
Aku diturunkan di pintu utara Pasar Gede Hardjonagoro tepat di sebelah Tugu Jam Pasar Gede. Bangunan tua dari pasar peninggalan Belanda ini memang mengagumkan. Perpaduan arsitektur Jawa-Kolonial tersirat jelas dari penampakan dinding bergaya Kolonial dan atap bergaya Jawa. Berdinding tebal, langit-langit ruangan yang tinggi dan jendela memanjang ke atas.
Saat aku tiba, area pelataran sudah terasa sibuk pagi itu. Arus pengunjung yang keluar masuk pasar untuk berbelanja, para pedagang yang berbondong untuk memasukkan barang dagangan ke dalam pasar, riuh rendah teriakan tukang becak yang mencari penumpang serta kesibukan para pedagang kuliner ringan di area luar pasar membuat suasana pasar terbesar di kota Solo itu menjadi sangat hidup.






Aku bergegas memasuki area dalam pasar untuk mencari keberadaan Kedai Es Dawet Telasih Bu Dermi yang konon sangat terkenal di seantero Solo. Bagaimana tidak, konon racikan resep Es Dawet Telasih Bu Dermi sudah berusia 90 tahun dan tidak berubah sama sekali sejak pertama dibuat. Bahkan Es Dawet Telasih ini telah menjadi langganan Bapak Joko Widodo (Presiden Republik Indonesia) saat pulang ke Solo.
Menyibak gang-gang sempit di tengah pasar membuatku hanyut dalam rasa perniagaan masyarakat Solo. Dan akhirnya keadaan kurang menguntungkan menimpaku. Ketika tiba di depan Kedai Es Dawet Telasih Bu Dermi, kedai itu masih tutup dan lengang. Aku mencoba bertanya kepada beberapa pedagang di dalam pasar perihal kapan kedai itu akan dibuka.
“Mengke jam sedoso, mas”, begitu mereka menjawab.
Oalah, aku terlalu pagi melakukan survey dawet ini.
“Dugi jam kalih biasanipun sampun telas, Mas”, mereka menambahkan informasi ketika aku terduduk di salah satu bangku kedai kosong itu.
Bagaimanapun caranya, aku harus menemukan dan merasakan Es Dawet Telasih untuk menguji rasanya, karena para peserta Marketing Conference nantinya akan diarahkan ke Pasar Gede Hardjonagoro untuk mencicipi kuliner itu.
Aku mencoba menelusuri gang-gang lain dalam pasar, hingga menemukan Kedai Es Dawet Telasih Ibu Hj. Sipon. Tanpa fikir panjang aku segera memesan seporsi dengan harga Rp. 8.000. Begitu pelan kunikmati, memang Es Dawet Telasih ini sangat spesial rasanya, perpaduan gurih, manis, tekstur lembut dan sejuk menjadi satu kesatuan yang menggugah selera. Akhirnya kuputuskan, Es Dawet Telasih menjadi destinasi kuliner pertama untuk Marketing Conference nanti.



Setelah menikmati Es Dawet Telasih, aku dan Rahadian bergegas menuju ke Dinas Perhubungan Kota Solo untuk mencarter Kereta Wisata Jaladara.
Di depan es dawet telasih Bu Dermi iki nek nggak salah banyak tukang jualan sambal ya, Oom? Aku pernah liputan juga di Bu Dermi plus aneka sambal iku.
Ada yang jualan es gempol juga di bagian lebih dalam pasar, iku juga enak.
Aah kangen menjelajah Solo dan Pasar Gede-nya maneh…
Lah…malah sudah pernah ke sana ya, mas…..iyo ada Es Gempol, trus di luar pasar ada tahok juga…wah pas deh wisata gastronomi Solo.😊
Sampun, Oom. Wis tak jelajahi sampai belakang, atas pasar hahaha…
Ada yang jual nasi sambal tumpang di bagian belakang, ueenak wis
Sambal cabuk rambak juga makanan lejen di Solo; wis agak susah carinya.
Wah mantab mas…Sudah dicobain semuanya ternyata…..Wkwkwk.
Nanti2 aku dibuatin list kulineran untuk beberapa kota yg belum aku sambangi ya ….yuhuu