Pada tahun 2050 dibutuhkan 60% pasokan pangan lebih banyak akibat meningkatnya jumlah populasi global yang diikuti oleh perubahan pola konsumsi masyarakat dunia (Climate Change, Agriculture and Food Security).
Akan tetapi terdapat fakta kontradiktif lainnya dimana sepertiga dari jumlah pangan yang dikonsumsi dunia terbuang setiap tahunnya. Persentase ini setara dengan 1,3 miliar ton makanan. Jika dikonversi maka angka ini setara dengan 3,3 miliar ton karbon (FAO). Angka sebesar itu menunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan sisa pangan dunia hampir mendekati emisi yang dihasilkan negara Amerika dan Tiongkok.
Seandainya dunia berhemat makanan dan tidak membuangnya maka kebutuhan dunia akan pangan di tahun 2050 bisa ditekan di angka 1,3 miliar ton saja atau naik 30% dari kebutuhan saat ini.
Lalu bagaimana dengan kondisi food waste di Indonesia?

Dari data di atas terlihat bahwa persentase makanan yang dibuang di beberapa kota melebihi rerata 50%. Dua diantara banyak penyebabnya adalah budaya dan gaya hidup. Budaya ningrat Jawa misalnya yang tabu menghabiskan makanan di piring ketika makan. Selain itu, gaya konsumsi berlebihan akibat meningkatnya ekonomi masyarakat juga menguatkan fakta di atas.
Ide-ide besar harus diterapkan untuk mengurangi laju terbentuknya sampah makanan. Berikut ini adalah sembilan dari sekian banyak strategi yang bisa diterapkan untuk mengurangi sampah makanan pada sebuah kota:

- Quality Control di Level Produsen
Letak lahan pertanian yang berada di luar kota menjadi tantangan sendiri dalam menentukan standar kualitas bahan pangan yang akan dikirim ke kota saat masa panen tiba. Padahal kualitas bahan pangan yang memasuki pasar tradisional dan industri makanan sangat menentukan dalam pengurangan sampah makanan.
Bahan pangan dengan kualitas di bawah standar akan menempatkannya pada prioritas terakhir dalam penyerapan bahan pangan oleh konsumen. Jika jumlah bahan pangan kategori ini terlalu banyak, tentu akan berpeluang menjadi limbah pangan yang merugikan kota.
Oleh karena itu diperlukan quality control di level produsen. Salah satu caranya dengan membentuk petani mitra kota yang di edukasi untuk memproduksi dan mengirimkan bahan pangan dengan kualitas terbaik sehingga dapat diserap pasar secara maksimal.
2. Digitalisasi Pasar Tradisional
Sistem perbelanjaan di pasar tradisional mendorong konsumen untuk berbelanja sesuai dengan kebutuhan. Boleh dikatakan, pasar tradisional tidak pernah memberikan promo yang dapat menjebak konsumen pada pembelian bahan pangan yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Sistem perbelanjaan seperti itu, selain bisa mengatur jumlah pasokan pada rantai distibusi pangan, juga mencerminkan kondisi sesungguhnya atas permintaan bahan pangan untuk menghindari pasokan berlebih dan akhirnya pembentukan sampah makanan bisa ditekan. Manfaat akhir dari konsep ini adalah terdistribusi meratanya kebutuhan bahan pangan di seluruh daerah sehingga akan tercipta efisiensi pemanfaataan bahan pangan.
Oleh karena itu, untuk membuat konsumen lebih memilih berbelanja di pasar tradisional dibandingkan di pasar modern maka ada dua pekerjaan rumah bagi pasar tradisional yang harus diselesaikan, yaitu:
Pertama, menjaga kemampuan bersaing secara harga dengan pasar modern. Satu hal yang perlu dicatat bahwa gencarnya promosi di pasar modern akan menciptakan resiko lebih besar dalam penciptaan sampah makanan.
Kedua, mendigitalisasi pasar tradisional sehingga setiap konsumen bisa menghubungkan kebutuhan dapurnya secara online dengan persediaan bahan pangan di pasar tradisional. Hal ini akan mendorong konsumen berbelanja sesuai kebutuhan.
3. Mengintegrasikan Teknologi dalam Produksi, Distribusi dan Konsumsi Bahan Pangan
Di era indusri 4.0, pengintegrasian teknologi menjadi hal penting dalam produksi, distribusi dan konsumsi produk pangan. Teknologi dapat mengoptimalkan efisiensi penggunaan bahan pangan yang pada akhirnya akan mengurangi terbentuknya limbah pangan.
Pada tahapan produksi, untuk mengurangi beredarnya produk cacat produksi, industri makanan bisa menggunakan artificial inteliigence untuk melacak produk yang secara kemasan terlihat bagus tetapi sesungguhnya kandungannya berada di bawah standar kualitas konsumsi.
Pada tahapan distribusi, artificial intelligence juga bisa membantu outlet makanan untuk menganalisa pola konsumsi konsumen sehingga outlet tersebut bisa mengetahui kapan permintaan suatu produk akan tinggi dan kapan permintaan akan turun sehingga manajeman persediaan bisa diatur dengan baik. Artificial Intelligence juga bisa membantu outlet pemasaran untuk menentukan penurunan harga pada produk makanan yang hampir kadaluarsa.
Pada tahapan konsumsi, konsumen sebagai pengguna akhir bisa dibantu dengan penerapan teknologi untuk memperbaiki pola konsumsi. Konsumen perlu dibantu dengan sebuah aplikasi yang bisa melakukan analisa konsumsi sepanjang tahun sehingga teknologi tersebut bisa membantu konsumen dalam memanajemen persediaan bahan pangan. Sehingga diharapkan konsumen tidak akan membeli bahan pangan yang tidak diperlukan.
4. Mendorong Fungsi Bank Makanan dan Bisnis Daur Ulang Makanan
Mayoritas sampah makanan berasal dari oulet makanan. Banyak outlet makanan yang kurang sadar terhadap lingkungan dengan membuang makanan kadaluarsanya ke tong sampah. Padahal outlet tersebut dapat menyalurkan makanan tersebut ke bank makanan sehingga bisa dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih membutuhkan.
Sebetulnya pemerintah bisa membuat peraturan resmi yang memungkinkan setiap makanan hampir kedalauarsa diserahkan ke bank makanan. Dan operasional bank makanan selain dijalankan oleh penggiat lingkungan ataupun pihak swasta, juga bisa juga dioperasikan oleh pemerintah.
5. Menggalakkan Urban Farming dan Pengomposan
Budidaya tanaman bumbu dapur (cabai, jahe, bawang merah, pandan, daun salam dan lain-lain) dan sayuran bisa membantu mengurangi terbentuknya sampah bahan pangan. Dengan menanam berarti kita bisa memetik hasilnya sesuai dengan kebutuhan tanpa adanya resiko membusuknya bahan pangan di dapur.
Pertanian dalam pengertian luas juga mencakup kegiatan beternak. Sebetulnya lahan seluas apapun di sekitar rumah bisa digunakan untuk kegiatan beternak. Beternak selain menyediakan pasokan protein hewani dalam jumlah yang terkontrol, juga bisa menjadi saluran untuk memanfaatkan bahan makanan yang tidak bisa digunakan sebagai pakan ternak.
Sedangkan pengomposan adalah langkah terakhir dalam membuang sampah makanan di level rumah tangga atau bisnis lainnya. Pada tahap ini, sampah makanan yang dibuang adalah makanan yang sudah tidak bisa dimanfaatkan sama sekali. Kemudian kompos yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk urban farming sehingga masyarakat tidak perlu membeli pupuk anorganik yang dampak jangka panjangnya kurang baik bagi lingkungan.
6. Membentuk Generasi Muda yang Peduli terhadap Sampah Makanan
Untuk membentuk generasi yang peduli tentang sampah makanan diperlukan pendidikan mengenai hal tersebut sejak usia dini. Melatih untuk memilah sampah contohnya, seseorang yang sedari kecil terbiasa memilah sampah maka di saat dewasa akan selalu berusaha menghindari terbentuknya sampah organik secara berlebih.
Selain itu, untuk mencegah terbentuknya sampah makanan yang diakibatkan oleh gaya hidup milenial yang lebih suka makan di luar rumah maka sangat dianjurkan untuk membawa tempat makan sendiri. Sehingga apabila terdapat kelebihan makanan, mereka tidak akan malu memasukkannya ke dalam tempat makanannya untuk dibawa pulang.
7. Menerapkan Peraturan Resmi pada Rantai Distibusi Makanan
Semakin bertumbuhnya ekonomi sebuah kota maka laju urbanisasi akan semakin cepat. Pertumbuhan jumlah penduduk tentu harus diimbangi dengan ketersediaan pangan yang baik. Kondisi tersebut akan mendorong bertumbuhnya outlet makanan. Jika masyarakat kota memiliki pola konsumsi yang kurang baik tentu akan berpotensi menghasilkan sampah makanan berlebih. Ditambah lagi dengan sampah makanan yang ditimbulkan oleh aktivitas adat, banyak sekali hajatan dan pesta dalam masyarakat yang berpotensi membentuk sampah makanan.
Demi ketersediaan pangan di masa depan, diperlukan sebuah peraturan resmi untuk menyelamatkan sampah makanan tersebut supaya tidak terbuang percuma di tempat sampah. Peraturan ini bisa mengatur setiap outlet makanan dan event-event besar untuk memiliki rekanan yang bergerak di bidang pengelolaan sisa bahan pangan.
Melalui rekanan tersebut maka sisa bahan pangan bisa disortir. Sisa bahan pangan yang layak dikonsumsi bisa dijual kembali dengan harga murah kepada masyarakat kurang mampu, sedangkan sisa bahan pangan yang tidak layak konsumsi bisa disalurkan ke peternakan atau pembangkit listrik tenaga biogas untuk dikonversi menjadi bentuk yang lebih bermanfaat.
8. Mendorong Pertumbuhan Bisnis Pengelolaan Limbah Makanan
Untuk menjalankan strategi diatas tentunya pemerintah kota harus mendorong iklim bisnis yang baik bagi tumbuhnya usaha pengelolaan limbah makanan. Keberadaan bisnis daur ulang ini sangat krusial untuk merubah sisa makanan menjadi produk lain yang bisa dimasukkan kembali pada rantai distribusi makanan.
Pertumbuhan bisnis tersebut, selain mengurangi terbentuknya sampah makanan juga akan menyediakan bahan pangan murah yang akan membantu pemerataan konsumsi masyarakat.
Pemerintah bisa memberikan keringanan pajak usaha di awal perintisan sehingga akan membantu pengembangan bisnis tersebut. Apabila bisnis sektor ini berjalan dengan baik tentu pemerintah akan memetik hasil manisnya di masa depan melalui perpajakan dan minimnya sampah makanan dalam kota.
9. Membangun Pusat Listrik Tenaga Biogas
Dalam zero waste concept sebuah kota tidak boleh menyisakan sedikitpun sisa makanan menjadi sampah yang sia-sia. Setelah melalui proses sortasi dan daur ulang, selanjutnya sisa makanan yang tidak termanfaatkan bisa dikonversi menjadi bentuk lain yang berguna bagi kehidupan kota.
Salah satu cara terbaik adalah dengan membangun instalasi Pusat Listrik Tenaga Biogas (PLTBg). Sebagaimana kita ketahui bahwa sampah organik adalah sumber utama terbentuknya gas metana yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu limbah makanan yang tidak bisa dimanfaatkan bisa dibawa ke instalasi PLTBg sehingga gas metana yang dihasilkan bisa dikonversi menjadi listrik yang kemudian bisa disalurkan kembali untuk kepentingan produksi ataupun aktiviftas lain warga kota.
Mencontoh Apa yang Dilakukan Bandung Food Smart City

Bandung Food Smart City merupakan program kolaborasi antara Rikolto Veco, Fisip UNPAR, dan Pemerintah Kota Bandung yang bertujuan untuk mewujudkan Kota Bandung sebagai kota cerdas pangan untuk mengurangi terjadinya food waste. Sedangkan misi Bandung Food Smart City adalah menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi semua orang dengan mengurangi limbah makanan.
Untuk mewujudkan misi tersebut maka Bandung Food Smart City selalu mengampanyekan tiga hal dalam konsumsi makanan, yaitu:
AMBIL
Biasakan untuk mengambil makanan yang secukupnya dan tidak berlebih
MAKAN
Makanan yang sudah diambil segeralah dimakan
HABISKAN
Biasakan untuk selalu menghabiskan makanan yang sudah diambil
#foodwaste
#bandungfoodsmartcity
#ambilmakanhabiskan
Sumber Penulisan:
πππΉ
Hi,…thank you very muchππ