Keanekaragaman Hayati: Mengukur Ketahanan Global terhadap Pandemi

Pada akhir Februari 2020 atau tepatnya dua bulan setelah pandemi COVID-19 di deklarasikan, Pemerintah Tiongkok bergerak cepat dengan menganulir kebijakannya yang sudah berusia 20 tahun. Kini pemerintah Tiongkok melarang masyarakatnya menangkarkan satwa liar untuk keperluan bisnis atau pemenuhan kebutuhan pangan.

Pada awalnya, kebijakan memperbolehkan penangkaran satwa liar dibuat dengan tujuan mengentaskan masyarakat Tiongkok dari jerat kemiskinan. Dengan disahkannya kebijakan itu, maka rakyat Tiongkok mulai gencar menangkarkan tikus bambu, babi hutan, ular, kelelawar, musang, kucing hutan, katak dan rusa sika. Mereka menangkarkannya hingga satwa-satwa liar tersebut siap untuk dikonsumsi. Dan pada akhirnya, satwa-satwa liar itu akan memasuki rantai distribusi pangan melalui pasar-pasar hewan di seantero Tiongkok.

Bagaimana bisa masyarakat Tiongkok memilki budaya mengonsumsi satwa liar seperti itu?

Menilik jauh ke belakang bahwa sejarah deforestasi di Tiongkok memang terjadi sangat cepat. Bahkan deforestasi telah dimulai sejak era dinasti dahulu kala. Lalu proses itu berlanjut hingga era modern, deforestasi dilakukan dengan dalih memenuhi kebutuhan lahan industri, lahan pertanian dan lahan pemukiman. Dalam kasus ini, deforestasi akhirnya mengebiri fungsi hutan sebagai sumber pangan. Dan pada akhirnya, gundulnya hutan berakibat pada berkurangnya ketersediaan pangan.

Di sisi lain, pembangunan yang tidak merata di Tiongkok juga berperan dalam menciptakan kesenjangan sosial. Di tengah melajunya ekonomi negeri itu, ternyata kemiskinan masih melanda di beberapa daerah seperti Xinjiang, Gansu, Guizhou, Tibet dan Yunnan. Kehilangan sumber pangan dan masih adanya kemiskinan inilah yang kemudian menyebabkan masyarakat Tiongkok membudidayakan satwa liar dan mengonsumsinya untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Padahal satwa liar memiliki hierarkinya masing-masing di dalam rantai makanan. Dengan mengonsumsi satwa-satwa liar tersebut berarti manusia telah mengintervensi hierarki pada rantai makanan. Intervensi tersebut adalah hal yang sangat berbahaya karena akan menciptakan ketidakseimbangan pada rantai makanan di alam. Ketidakseimbangan inilah yang kemudian mengakibatkan dampak negatif.

Salah satu bentuk intervensi pada siklus rantai makanan melalui penangkaran tikus bambu di daerah Qingyuan, Provinsi Guangdong, Tiongkok (sumber: theguardian.com).

Ekosistem yang diintervensi tentu akan memberikan reaksi dalam bentuk respon balik pada lingkungan. Salah satu respon balik tersebut adalah bencana alam seperti tanah longsor, kebakaran hutan dan banjir. Dan respon balik dalam rantai makanan yang terintervensi adalah terjadinya wabah penyakit yang bisa meluas dalam bentuk pandemi. Pandemi COVID-19 adalah salah satu contoh respon balik atas intervensi tersebut.

Sangat jelas bahwa Pandemi COVID-19 bukanlah rekayasa laboratorium. Setelah menajamkan alur logika dengan analisa sebab akibat seperti di atas, dengan mudah dapat difahami bahwa pandemi COVID-19 tidak bisa dilepaskan dari perilaku negatif manusia terhadap lingkungan.

Seperti diketahui bahwa virus SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2) sebagai penyebab COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) adalah virus yang secara genetis sangat identik dengan genetik pada kelelawar dan ular. Perpindahan SARS-CoV-2 ke dalam tubuh manusia bisa terjadi melalui mekanisme rantai makanan dimana manusia secara langsung mengonsumsi kedua jenis satwa liar pembawa SARS-CoV-2 tersebut.

Kembali kepada aturan dasar yang berlaku pada alur rantai makanan, maka seharusnya manusia harus kembali pada hierarki tertinggi untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Manusia harus mencari sumber pangan baru dengan cara lain tanpa harus mengintervensi rantai makanan. Semakin panjang sebuah rantai makanan yang ada dalam ekositem maka semakin besar pula ketersediaan pangan di dalam ekosistem tersebut.

Dan akhirnya menjadi sebuah tantangan global, karena ekosistem hanya akan sanggup menyediakan pangan secara alami apabila keanekaragaman hayati kembali dimurnikan seperti sediakala. Oleh karenanya, ketika manusia menghancurkan keanekaragaman hayati dengan menebang hutan dan membangun lebih banyak infrastruktur, maka saat itulah risiko terjadinya wabah penyakit akan selalu mengancam kehidupan manusia.

Zoonosis dan Kerusakan Alam

Semua kalangan tentu faham bahwa deforestasi selain merusak keanekaragaman hayati, juga akan menaikkan suhu bumi. Kemudian peningkatan suhu tersebut akan berimbas pada terbentuknya iklim yang lebih kering bahkan ekstrim.

Contoh nyatanya, fakta menunjukkan bahwa pembukaan hutan di Asia Tenggara yang kemudian digantikan dengan perkebunan kelapa sawit telah menghasilkan 0,8%  dari total emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Dampak alamiah dari konversi lahan seperti itu adalah kematian pohon dan mudah terbakarnya hutan karena kondisi iklim menjadi lebih panas. Fenomena inilah yang kemudian kita sebut dengan istilah pengurangan berkelanjutan.

Pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan (sumber: saveourborneo.org).

Apakah cukup sampai disitu kita akan merasakan dampaknya?

Kabar kurang baiknya bahwa dengan kenaikan suhu bumi dan tergerusnya kualitas alam secara berkesinambungan membuat manusia akan terus terancam oleh bencana alam yang kedatangannya bersifat sporadis dan tidak dapat diprediksi. Ancaman berikutnya adalah munculnya potensi penyakit zoonosis yang berpeluang menciptakan pandemi dalam skala global.

Penyakit zoonosis adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman yang menyebar antara hewan dan manusia dan kuman ini dapat disebarkan melalui rantai makanan. Penyakit zoonosis bisa muncul dalam bentuk serangan bakteri, virus, jamur, parasit, dan patogen nonkonvensional lain. Ada lebih dari 250 organisme zoonosis. Secara distribusi, 40 jenis organisme zoonosis ini ditularkan oleh anjing dan kucing,  sedangkan organisme zoonosis lainnya ditularkan oleh burung, reptil, hewan ternak dan satwa liar.

Pada akhirnya, untuk menjaga supaya keanekaragaman hayati tetap lestari, tentu saja diperlukan edukasi yang setara dan merata kepada seluruh masyarakat dunia. Karena menjaga bumi harus menjadi norma bersama demi terhindarnya manusia dari berbagi dampak negatif yang merugikan.

Resistensi Global terhadap Pandemi

Menurut laporan yang diterbitkan oleh Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) pada akhir Oktober 2020, bisa diketahui bahwa dua pertiga penyakit pandemi adalah penyakit zoonosis. Dan menurut studi ilmiah, mencegah penyebaran penyakit dari satwa liar biayanya 100 kali lebih murah daripada mencoba meresponnya setelah kejadian.

Beberapa penyakit zoonosis yang muncul pada interaksi hewan dan manusia. Jalur penularannya melalui kontak langsung dalam perdagangan satwa liar dan hewan peliharaan serta mengonsumsi daging hewan tersebut (sumber: frontiersin.org).

Secara internasional, rencana dan aksi untuk mencegah serta memerangi pandemi telah menjadi perhatian bersama. Pencegahan pandemi memang harus serempak dikerjakan oleh semua negara. Pencegahan pandemi tidak bisa dilakukan oleh negara maju saja karena sekali saja sebuah negara mengalami pandemi maka pandemi tersebut akan cepat menyebar secara cepat karena mobilitas dunia yang sangat tinggi sebagai dampak positif dari perkembangan ekonomi dan teknologi.

Sayangnya terdapat sebuah kesenjangan dalam penanganan pandemi. Negara maju bisa saja membuat berbagai macam pencegahan pandemi karena mereka memiliki kecukupan dana. Negara maju seakan mempunyai banyak pilhan.

Lalu bagaimana dengan negara dunia ketiga yang kekurangan dana?.

Sebetulnya negara miskin atau negara berkembang masih bisa turut berpartisipasi dalam pencegahan pandemi dengan cara yang sangat sederhana, yaitu melalui penjagaan kelestarian alam di negaranya. Alam selalu terkait dengan bioma, apabila bioma di dalam alam terjaga maka keseimbangan lingkungan akan tercipta. Dengan lingkungan yang seimbang maka peluang terjadinya bencana alam dan pandemi akan semakin kecil.

Jadi, sebetulnya apa kata kuncinya?

Bahkan dari semua pemaparan diatas, seharusnya kita sudah bisa menarik benang merah antara deforestasi, rantai makanan, bencana alam dan pandemi. Satu kesimpulan yang bisa menghubungkan keempatnya adalah keanekaragaman hayati atau biodiversitas.

Keanekaragaman hayati adalah tameng pertama dan utama bagi kita untuk mengendalikan bencana dan pandemi.

Keanekaragaman Hayati dan Generasi Penerus

Dalam Earth Summit Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1992, ditetapkan bahwa keanekaragaman hayati memiliki makna sebagai variabilitas makhluk hidup, baik yang hidup darat maupun laut, serta variabilitas makhluk hidup di dalam spesies, antar spesies, dan ekosistem.

Keanekaragam hayati di Indonesia (sumber: antaranews.com).

Secara umum, keanekaragaman hayati memiliki manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dibutuhkan oleh kita semua. Secara lingkungan maka keanekaragaman hayati bermanfaat untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi polusi. Secara sosial, keanekaragaman hayati akan bermanfaat dalam membantu dunia penelitian dan menyajikan nilai budaya. Sedangkan secara ekonomi, keanekaragaman hayati bermanfaat untuk menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan. Dengan alasan tersebut, sudah sepantasnya jika kita harus segera menyusun rencana-rencana besar dalam pelestarian lingkungan.

Jika kita memberikan intervensi positif bagi keanekaragaman hayati maka ekosistem yang merupakan wujud dari keanekaragaman hayati juga akan memberikan respon balik yang positif. Ekosistem yang baik akan memberikan kesejahteraan serta keberlangsungan mata pencaharian serta ekonomi yang kita jalankan.

Bisnis juga memiliki hubungan erat dengan kestabilan ekosistem. Seperti kita ketahui, hutan menyediakan kayu melalui cara pemanenan yang benar, tanah beserta mikroorganisme di dalamnya membantu menyimpan dan memurnikan air, hutan dan lautan adalah penyerap gas rumah kaca yang membantu mengurangi perubahan iklim secara drastis. Jika kestabilan ekosistem tersebut terkondisikan dengan baik, pada akhirnya akan berimbas pada kelangsungan semua bisnis yang ada di bumi. Manusia dengan bisnisnya sangat membutuhkan kestabilan ekonomi yang bisa dihadirkan dengan penciptaan keanekaragaman hayati yang baik.

Dimanapun kita hidup, baik di negara berkembang ataupun negara maju, di kota ataupun di desa, sangat bergantung pada alam dengan keunikan keanekaragaman hayatinya. Dengan menjaga dan merawat keanekaragaman hayati berarti kita akan membuat perbaikan untuk masa depan. Karena bumi ini akan diwariskan untuk generasi mendatang dalam keadaan yang lebih baik supaya mereka memiliki kualitas hidup yang lebih baik dan sejahtera.  Dengan berfikir begitu maka kita akan tersadar untuk melakukan gerakan serentak demi masa depan yang berkelanjutan.

Melindungi Diri Sebaik Melindungi Alam.

Kembali pada ketidakpastian, bahwa kejadian luar biasa seperti pandemi COVID-19 yang saat ini terjadi, akan bisa terulang dengan pandemi jenis lain yang tentunya selalu menjadi ancaman tersendiri bagi kita di masa depan. Belum lagi bencana yang susah diprediksi datangnya juga sering mengakibatkan kerugian fisik dalam masyarakat.

Jika berbagai bangsa gencar melakukan pencegahan pandemi dan bencana secara baik dan terencana, maka kita sebagai satuan terkecil atas semua perencanaan itu, juga memerlukan penjagaan diri yang maksmal. Karena sesungguhnya, kitalah yang akan menjalankan semua rencana tersebut.

Untuk melindungi  diri maka salah satu caranya adalah dengan melengkapai diri menggunakan asuransi. Bagaimana kita akan menjaga bangsa jika diri kita sendiri tidak dijaga.

Pertanyaan pentingnya adalah penyedia asuransi umum (Asuransi Umum adalah Asuransi yang memberikan ganti rugi kepada Tertanggung atas kerusakan atau kerugian harta benda) manakah yang paling cocok  setelah kita membahas semua konsep di atas?

Adalah Asuransi Umum MSIG (Mitsui Sumitomo Insurance Group) yang sudah berpengalaman dalam menjaga masa depan masyarakat atas segala ketidakpastian yang selalu ada dalam kehidupan. MSIG telah menjadi entitas asuransi terkemuka yang mapan dengan perspektif jangka panjang serta telah menyediakan solusi asuransi selama lebih dari 100 tahun. MSIG bertujuan untuk menawarkan solusi asuransi yang efektif , efisien dan mudah dipahami serta disampaikan dengan layanan tulus dan aktif.

MSIG beserta program asuransinya.

Selain menjaga kesehatan dengan disiplin tinggi, kita juga harus membekali proteksi terhadap tempat tinggal kita dengan baik. Jangan sampai tempat tinggal kita yang menjadi titik awal untuk berkarya dan berkontribusi dalam masyarakat dan lingkungan lenyap dalam sekejap karena bencana yang tak pernah terduga kedatangannya.

Oleh karena itu, kita perlu melengkapi tempat tinggal kita dengan perlindungan asuransi untuk mengantisipasi kerugian fisik yang bisa terjadi kapan saja. Dengan begitu kita tidak perlu mengulangi perjuangan hidup dari titik nol kembali saat ancaman kerugian itu datang.

Nah, untuk memperoleh perlindungan tempat tinggal dari kemungkinan bencana. MSIG telah meluncurkan sebuah program perlindungan unggulan yang bisa menjadi solusi terbaik. Adalah MSIG Home Shield Insurance (MSHS) yang memberikan perlindungan menyeluruh untuk rumah dan anggota keluarga.

Jaminan perlindungan dari MSIG Home Shield Insurance (MSHS)

Mengapa Kita Harus Memilih Asuransi MSIG?

Inilah kabar yang sangat membahagiakan buat kita,

Dengan menggunakan asuransi MSIG berarti kita akan membantu menyelamatkan keanekaragaman hayati. MSIG mengajak kita melihat arti lebih dalam segala hal karena MSIG Indonesia bekerjasama dengan Conversation International Asia-Pacific (CIAP) untuk memperbaiki keanekaragaman hayati di beberapa negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Hong Kong.

Dengan mempercayakan asuransi kepada MSIG berarti kita ikut berkontribusi pada program konservasi keanekaragaman hayati pada 9.500 hektar hutan dan 72.000 hektar lautan yang dapat mengurangi emisi karbon hingga 4,7 juta ton.

Rehabilitasi Hutan Suaka Margasatwa Paliyan, Yogyakarta oleh MSIG

MSIG bersama kita akan berkontribusi pada restorasi hutan melalui Green Wall Project di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang akan memastikan ketersediaan air tawar bagi 30 juta orang yang tinggal di kota-kota sekitarnya, termasuk Jakarta. Serta perlindungan The Bird’s Head Seascape (BHS) sebagai episentrum global keanekaragaman hayati laut dan berperan penting bagi lebih dari 350.000 orang di Papua.

Dana dari kita ketika menggunakan asuransi MSIG juga akan digunakan untuk mendukung program perlindungan berang-berang liar dan ekosistem bakau di Malaysia, konservasi lingkungan pesisir laut di Singapura, restorasi hutan dan penelitian botani untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati di Hong Kong, membantu mengurangi perburuan ilegal dengan memantau kawasan lindung dan satwa liar di Thailand serta penyelamatan, penangkaran, rehabilitasi, pelepasan spesies terancam dan memerangi ancaman terhadap populasi satwa liar yang disebabkan oleh hilangnya habitat, perburuan yang tidak berkelanjutan, dan perdagangan satwa liar ilegal di Vietnam.

Dari penjelasan itu semua, menjaga diri menggunakan asuransi MSIG ternyata secara tidak langsung akan membuat kita turut berkontribusi dalam gerakan aktif menjaga keanekaragaman hayati di seantero Asia Pasifik. Ayo utamakan perlindungan keluargamu dengan asuransi MSIG. Mari kita bersama-sama menjaga diri, keluarga, lingkungan dan dunia.

Keanekaragaman hayati adalah asuransi alam untuk keselamatan bumi dan segala aktivitas yang berjalan di dalamnya.

Kalau bukan kita yang peduli akan nasib lingkungan, lalu siapa lagi?

Sumber penulisan:

  1. https://www.msig.co.id/
  2. http://www.dialektika.net
  3. https://insanpelajar.com/
  4. https://www.kompas.id/
  5. https://www.merdeka.com/
  6. https://www.theguardian.com/
  7. https://theconversation.com/
  8. https://iopscience.iop.org/
  9. https://www.frontiersin.org/
  10. https://www.antaranews.com/
  11. https://id.wikipedia.org/
  12. https://www.foodsafetynews.com/
  13. https://www.petmd.com/
  14. https://chinaenv.colgate.edu/
  15. https://jagad.id/
  16. https://unicef.cn/
  17. https://saveourborneo.org/

2 thoughts on “Keanekaragaman Hayati: Mengukur Ketahanan Global terhadap Pandemi

Leave a Reply