Tatapan Perpisahan di Pintu Keluar Dhzuma Mosque

<—-Kisah Sebelumnya

Pelataaran selatan Dhzuma Mosque.

Tuan Khadirjon mendahului langkah, memimpinku menuju ke pelataran lain yang membentang di sisi selatan bangunan besar masjid berkubah hijau rumput.

Memasuki gerbang masjid, dia berkali-kali disapa oleh anak-anak muda yang melintas. Aku yang berusaha terus menyejajari langkahnya, mulai menaruh rasa kagum yang sesungguhnya.

Pasti ini orang penting….Lebih dari perkiraanku sebelumnya”, aku sesekali mencuri momen untuk menatap wajahnya dari samping.

Menyusuri pelataran sisi selatan masjid, arus pengunjung sedikit tersendat karena keberadaan tumpukan pasir dan material bangunan di sepanjang pelataran. Beberapa bagian masjid memang sedang direnovasi.

Ada satu waktu Tuan Khadirjon berhenti, berjongkok dan menyingkirkan beberapa batu bata yang berserakan di tengah pelataran. Aku terkejut dan spontan membantunya merapikan batu bata itu.

These bricks can disturb congregation, Donny

Sure, Sir

You are good person, Donny”, dia menatapku sembari berjongkok

You are better than me, Sir Khadirjon”, aku melempar senyum atas tatapannya.

Come on, Donny!….Adzan had came” dia berdiri menuntunku menuju tempat berwudhlu.

Tempat wudhu diletakkan di bangunan terpisah di belakang pelataran. Tiba di depan bangunan tempat bersuci, aku diam sebentar, memperhatikan lalu lalang pengunjung masjid, melihat bagaimana mereka berwudhu.

Kuperhatikan dengan seksama,

Pertama mereka akan menaruh jaket tebal musim dingin di sebuah gantungan yang ada di atas setiap kran, kemudian duduk pada tempat duduk beton yang disediakan di depan kran, lalu melepas sepatu boots berukuran besar beserta kaos kaki tebalnya.

Tempat berwudhu Dhzuma Mosque.
Mari mengantri untuk berwudhu.

Seusai berwudhu, maka mereka akan mengambul kertas tisu tebal yang ada di atas kran untuk mengelap kaki yang basah. Seumur hidup baru kali ini aku melihat wudhu yang diakhiri dengan mengelap kaki menggunakan kertas tisu. Mungkin karena suhu yang dingin di Tashkent yang menyebabkannya demikian. Sebuah prosesi wudhu yang cukup lama untuk setiap orangnya. Membuatku lama mengantri demi mulai bersuci.

Usai mendapatkan gilirian, aku menduplikasi apa saja yang telah kulihat. Agak sedikit gugup dan gelagapan ketika mulai membuka winter jacket hingga mengelap kaki dengan kertas tisu gulung yang tebal. Itu karena seorang pemuda yang mengantri tepat di sebelah terus melihat prosesiku bersuci. Aku mengakhiri wudhu, bangkit dan menjabat tangan si pemuda yang mengantri itu.

Wa’alaikumsalam, Brother”, dia menjawab salam yang kulempar.

Come on, Donny”, Tuan Khadirjon melambaikan tangannya di mulut pintu. Tampaknya dia sudah selesai bersuci sedari tadi.

Aku mengangguk dan kembali melangkah menuju masjid bersamanya.

Memasuki bangunan masjid, Tuan Khadirjon mendorong daun pintu nan lebar dan tinggi, aku pun menguntit Tuan Khadirjon dari belakang, memasuki sebuah ruang antara. Ruangan yang kumasuki tempak kosong selebar tiga meter, untuk kemudian aku memasuki pintu kedua di dalam ruangan, setelahnya aku baru bisa melihat jama’ah shalat Dzuhur yang sudah memenuhi ruangan utama. Menjalankan shalat sunnah qabla Dzuhur aku terduduk khusyu’ bersama jama’ah lainnya. Menunggu iqamah dikumandangkan.

Berbaur dengan para jama’ah lokal.

Akhirnya beberapa saat kemudian, waktu itu tiba. Kami dalam satu ruangan menjalankan ibadah Shalat Dzuhur berjama’ah dengan khusyu’. Ini menjadi shalat berjama’ah pertamaku di Tashkent. Shalat empat raka’at berjalan lambat dan aku menikmati lantunan demi lantunan ayat suci yang dilantunkan hingga shalat usai.

Melantunkan dzikir dan melantunkan do’a juga telah usai. Tuan Khadirjon tampak bangkit dan melangkah mendekatiku. Aku menyusulnya bangkit, beliau merentangkan kedua tangannya dan memelukku sambil berdiri.

I know you will continue your journey, Donny”, dia tersenyum menatapku

Yes, Sir. Khadirjon. I must go now. Thank you for your kindness”, aku memegang pundak kanannya.

Sampai jumpa lagi Dhzuma Mosque.

Mengucapkan salam, aku pun pergi. Memunggungi Tuan Khadirjon, aku bergegas menuju pintu keluar. Dalam beberapa detik aku sudah berada di halaman, diam sejenak, menatap ke timur dan menetapkan langkah berikutnya

Hazrati Imom Majmuasi” aku berujar pelan.

Kisah Selanjutnya—->

Teka-Teki Bus No. 67 Tashkent

<—-Kisah Sebelumnya

Akhinya Ku Menemukanmu….#naff.

Samar aku melihat pemberhentian bus kota itu, tapi aku belum yakin benar apakah itu halte bus yang sedang kucari. Aku terus melangkah mendekatinya.

Aku tiba beberapa menit kemudian….

Halte bus itu berukuran tak telalu besar untuk standar ukuran halte bus bandara. Tak semegah halte bus DAMRI Soetta tentunya.

Setiba di halte, aku berhenti sejenak, mengamati segenap petunjuk yang bisa memberikanku informasi penting. Tapi tak kunjung menemukannya. “Aku harus mencari cara lain berburu informasi”, aku memutuskan cepat.

Hingga akhirnya aku melihat kehadiran sosok pemuda yang sedang menunggu bus di salah satu sisi halte, pemuda itu sedang sibuk dengan tab di tangannya.

Ini bisa menjadi opsi terbaikku”, aku pun melangkah mendekati pemuda itu.

Hello, brother. Will bus No. 67 pass this shelter?”, aku mengajukan pertanyaan kepadanya.

Oh, that’s right”, dia membuang tatapnya dari tab di tangannya.

Oh, thank you for your information. Do I need a card or not to get on the bus?”, aku mengimbuhkan.

There are two options. You can use a card like this (dia menunjukkan kartu berlangganan busnya) or you can pay on the bus”. Bahasa Inggris pemuda itu sangat fasih

Oh Okay…I understand. How much for the fare?”, aku terus menyelidik.

It’s really cheap, only 1,400 Som….By the way, where are you from?”, untuk pertama kalinya dia menyerobot sebuah pertanyaan.

I’m Donny from Indonesia…. Did you just come home from work?

Call me Umid. I’m from Samarkand….Oh no, I’m a student at Tashkent University of Information Technologies.”, dia akhirnya memperkenalkan diri.

Pertemuan singkatku dengan Umid menjadi momen yang cukup berkesan karena aku beruntung menemukan seseorang yang bisa berbahasa Inggris dengan baik dan banyak memberikan informasi yang berguna bagi eksplorasiku di Tashkent beberapa hari ke depan.

Umid memberikan informasi bahwa aku harus mencicipi “Palov” makanan khas mereka. Dia juga menjelaskan bahwa 97% penduduk Uzbekitan beragama muslim, jadi budaya Islam sangat kuat tercermin di setiap sendi kehidupan “Negeri Jalan Sutera” tersebut. Dia juga memberikan pernyataan yang menenangkan hati bahwa jalanan di Tashkent sangatlah aman ditelusuri walau malam telah tiba. Satu lagi, dia menyarankanku untuk menggunakan bus kota dan MRT saja untuk melakukan eksplorasi karena tarif kedua jenis transportasi itu sangatlah murah. Apalagi, seluruh penjuru kota Tashkent terhubung oleh dua moda transportasi tersebut.

Ah, satu lagi yang masih kuingat. Dia menyebutku sebagai lelaki pemberani dan suatu saat setelah dia mendapatkan pekerjaan pasca kuliah, dia akan mulai menjelajah dunia sepertiku…..Wah, tersanjung banget aku tuh….Wkwkwkwk.

Meluncur ke pusat kota.

Beinnxxx…..Beinnxxx”, sebuah bus berukuran besar merapat di platform. Seorang kondekur laki-laki paruh baya melompat ke platform dan otomatis tersenyum lebar di depanku. Dia berbicara Bahasa Uzbek kepada Umid yang aku tak paham akan maknanya.

Maka aku yang penasaran, memulai melempar tanya kepada Umid.

What he say about me?

He asked where you came from, I answered Indonesia. Then he said your national football team plays well in last Asian Cup Qualifiers”, pungkas Umid.

Pernyataan Umid itu langsung mengingatkan memoriku tentang kemenangan heroik Timnas Indonesia atas Kuwait dengan skor 2-1.

Ahahaha, Umid….Tell him, My national team usually loses if against the Uzbekistan national team

Akhirnya kami bertiga tertawa terbahak ketika Umid dengar cerdas dan cepat menjadi penerjemah percakapanku dengan seoramg kondektur bus yang baru datang.

Akhirnya, bus kota bernomor 47 yang ditunggu-tnuggu Umid tiba. Setelah berpamitan denganku akhirnya dia menaiki bus sarat penumpang itu.

Sementara aku masih penuh kesan menunggu kedatangan bus bernomor 67.

Berselang lima menit…..bus itu datang.

Bu avtobus…*1).” Kondektur itu rupanya diberi tahu Umid mengenai nomor bus kota yang sedang aku tunggu sehingga kodektur itu mengetahui nomornya.

Thank you, Sir”, aku membungkukkan badan dan beringsut meninggalkannya.

Aku melompat masuk dari pintu tengah ke dalam bus bernomor 67 yang langsam berhenti. Lalu duduk di salah satu bangku sisi tengah. Bus masih tampak kosong. Lima menit menaikkan penumpang seadanya untuk kemudian bus itu meluncur pergi meninggalkan Terminal 2, Islam Karimov Tashkent International Airport.

Bus menyusuri Jalan Bobur Ko’chasi menuju pusat kota.

Sambil menunggu penumpang lain naik. Aku bertanya kepada seorang penumpang pria tentang bagaimana cara membayar tarif bus kepada kondektur.

Maka terjadilah pecakapan terunik di dunia.

How to pay the bus fare?”, aku menunjukkan selembar 5.000 Som.

Ty*2)” Menujuk mukaku,

Den’g*3)”, menunuk selembar uang 5.000 Som yang kupegang.

Ona zhenshchina*4)”. Dia menunjuk ke kondektur wanita yang berdiri  di bagian depan.

Podoyti blizhe*5)‘” dia menggerakkan telapak tangannya dari depan ke belakang.

 “Den’g”, menunjuk lagi uangku lalu berganti menunjuk ke kondektur itu.

Aku hanya terus tersenyum demi memahami setengah bahasa isyarat itu.

Okay….Sepertinya petualanganku sudah terselip sebuah permainan teka-teki. Aku menunduk, mengangguk-anggukkan kepala.

Setidaknya 50 menit ke depan, aku akan aman di dalam bus kota yang kunaiki ini”, aku membatin dan senyumku tak terbendung.

Note:

Bu avtobus*1)                     = Itu bus

Ty*2)                                = Anda

Den’g*3)                         = Uang

Ona zhenshchina*4)   = Perempuan itu

Podoyti blizhe*5)         = Datang Mendekat

Kisah Selanjutnya—->