Bubbor Paddas: Mencicip Hidangan Para Raja

Ojek online yang kupesan tampak mendekat dari sisi timur Jalan Rahadi Usman. Kendaraan itu berhasil menyeberang dengan susah payah di tengah arus jalanan yang padat.

“Warong Pa’ Ngah ya, bang?”, pengemudi transportasi online itu mengonfirmasi tujuan.

“Ya, bang”, aku singkat membenarkan.

Destinasi berikutnya ini berada dua setengah kilometer di barat Taman Alun Kapuas. Hanya perlu waktu tak lebih dari sepuluh menit menyusuri Jalan Pak Kasih dan berakhir di sebuah sisi Jalan Komodor Yos Sudarso setelah melintasi aliran Sungai Jawi.

Aku tiba di sebuah rumah makan dua tingkat yang merupakan hasil penggabungan dari dua unit rumah toko (ruko). Tampak rumah makan itu sudah memiliki pengunjung yang menempati beberapa meja.

Aku mengambil tempat duduk bagian teras untuk mengurangi resiko penularan virus COVID-19. Tanpa pikir panjang karena terlalu lapar maka aku segera memesan menu andalan di rumah makan itu, yaitu Bubbor Paddas dan untuk minuman aku memilih Es Timun Serut untuk mendinginkan gerah tubuh sebagai dampak dari cuaca panas kota.

Beberapa saat setelah memesan maka hidangan itu pun disajikan. Kuperhatikan dengan seksama  bahwa secara kasat mata Bubbor Paddas ini berwarna cokelat.

Aku merasakan tekstur lembut dari tepung beras yang dipadukan dengan rempah dan potongan-potongan kecil sayuran seperti kangkung, tauge, daun pakis dan jagung. Semakin nikmat rasa bubur itu karena potongan-potongan daging sapi yang tersaji setengah tenggelam di dalam sajian bubur. Sementara aroma harum ditebarkan oleh bawang goreng yang berwarna cokelat muda. Sedangkan kacang goreng dan ikan teri disajikan terpisah untuk ditaburkan ketika hendak menyantap bubur ini.

Walaupun bernama Bubbor Paddas atau Bubur Pedas ternyata rasanya tak terlalu pedas. Rasa pedas itu kurasakan berasal dari tekstur lada yang telah tercampur semenjak dihidangkan.

Di tengah menikmati bubur, aku merasa bahwa satu porsi Bubbor Paddas tak akan mampu meredam rasa lapar yang teramat sangat. Akhirnya aku menambah pesanan dengan seporsi nasi putih untuk disantap bersama bubur. Dan strategiku cukup ampuh untuk membuat kenyang siang itu.

Dan untuk menutup makan siang maka aku meneguk perlahn Es Timun Serut yang menyegarkan.

Momen makan siang kala itu berhasil membuatku terkesan karena aku kembali mengoleksi satu dari sekian banyak jenis kuliner khas Kalimantan Barat. Bubbor Paddas merupakan makanan khas etnis Melayu Sambas.

Inilah makanan kaum bangsawan yang dihidangkan pada acara-acara kesultanan yang kini bisa dinikmati oleh khalayak umum.

Cukup murah untuk menebus menu makan siang itu, aku hanya membayar dengan harga Rp. 25.000 saja.

Oh,ya….Selain Bubbor Paddas, Rumah Makan Pa’Ngah juga menyediakan menu special seperti  Bakso Sapid an berbagai jenis sop, seperti Kaki Sapi, Tulang Rusok, Buntot Sapi, Daging, Bandong.

Terkantuk di Taman Alun Kapuas

Di bawah terik surya yang membakar, aku meninggalkan halaman depan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Berjalan dari sisi tanggul beton sungai sempit, aku menuju dermaga demi mencari keberadaan perahu bermesin untuk menyeberangi Kapuas.

Melompat dari area tanggul ke bagian jembatan kayu, aku berhasil menyeberangi sungai yang merupakan cabang kecil dari Sungai Kapuas dan mendekat ke lelaki tua yang berdiri di atas sebuah perahu.

Tak menunggu lama maka terjadilah tawar menawar antara kami berdua.

“Berapa pak berlayar ke seberang?”

“Enam puluh ribu, dek….Saya antar keliling”, dia menjelaskan sembari menarik sebuah tambang demi menepikan perahunya.

“Dua puluh lima ribu ya pak….Nyebrang saja ke tepi sebelah sana!”, aku menunjuk sebuah titik di sisi selatan.

“Oh ga keliling ya, dek? ….Ya sudah, tiga puluh ribu ya, dek”.

“Baik pak….Ayo kita menyeberang”.

Kesepakatan pun tercapai dan pelayaran pun dimulai.

Tentu ini bukan menjadi yang pertama kali menaiki perahu. Dulu aku pernah menjadi pengemudi perahu yang hebat ketika bekerja di sebuah perusahaan perikanan di Waduk Jatiluhur. Oleh karenanya, aku tak begitu terpesona ketika berada di atas perahu. Satu-satunya yang membuatku terkesan hanyalah hamparan luas Sungai Kapuas yang mengisi ruang pengalamanku saja.

Perahu mesin itu tiba di sisi selatan dengan cepat. Perahu merapat ke dermaga dan aku pun melompat meninggalkan pria tua tersebut.

Aku kembali berada di titik yang sore hari sebelumya kukunjungi, tepatnya di sepanjang badan Sungai Kapuas dan di sisi Taman Alun Kapuas.

Tanpa pikir panjang, aku segera memasuki area taman demi menghindari terik matahari. Memasuki taman seluas satu setengah hektar tersebut, aku merasakan kesejukan yang luar biasa. Pandanganku menyapu segenap sisi taman, mencari tempat duduk beton yang masih kosong untuk kutempati.

Tak sedikit warga lokal yang sengaja tidur di atas bangku-bangku itu. Mungkin mendinginkan badan di area taman menjadi rutinitas bagi mereka sehingga mereka bisa tertidur dengan lelapnya.

Aku menemukan bangku kosong di sisi barat dan memutuskan meluangkan waktu untuk menikmati suasana. Dua puluh menit lamanya aku terkantuk-kantuk di area taman. Sejenak rasa laparku menjadi sirna.

Sisi dermaga.
Menyeberang Sungai Kapuas.
Salah satu sisi Taman Alun Kapuas.
Meninggalkan Taman Alun Kapuas.

Tetapi beberapa saat aku tersadar bahwa terlalu lama berada di keteduhan taman akan membuatku kehilangan banyak waktu eksplorasi.

Di tengah perlawanan terhadap rasa kantuk itu, aku berhasil memaksa diri untuk keluar dari area taman dan dalam waktu beberapa menit kemudian aku sudah berada di tepian Jalan Rahadi Usman.

Perut yang lapar menimbulkan hasrat untuk melakukan wisata gastronomi, membalikkan niatan semula yang hendak menikmati makan siang seadanya.

Berada di tepian jalan maka aku berselancar cepat di mesin pencari dan menemukan sebuah kuliner kenamaan di Pontianak. Aku memutuskan untuk bersantap siang di sana.

Kondisi yang terik menyengat berhasil memaksaku untuk memesan transportasi online kembali. Aku pun mulai membuka aplikasi di telepon pintarku untuk mendapatkannya.

Maulidan di Istana Kadriah, Urung Dzuhur di Masjid Sultan Syarif Abdurrahman

<—-Kisah Sebelumnya

Aku berlari menuju area parkir karena pengemudi transportasi online itu telah menunggu lebih dari lima menit semenjak tiba.

“Huffttt….Maaf bang jadi menunggu”, aku melontarkan maaf

“Tidak apa-apa, Bang. Jadinya ke keraton ya, Bang, bukan ke pusat kota?”, dia meyakinkanku kembali

“Dari keraton menuju pusat kota, transportas online gampang kan, bang? “

“Oh nanti dari keraton lebih baik naik perahu aja, bang, menuju ke seberang selatan Kapuas. Murah kok paling cuma bayar dua puluh ribu”, dia memberikan alternatif menarik.

Melajulah aku di sepanjang Jalan Khatulistiwa yang panas dan berdebu. Di beberapa titik tampak terdapat proyek perbaikan jalan.

Sepanjang perjalanan si pengemudi transportasi online bercerita banyak mengenai berbagai kisah di balik Keraton Kadriah.

Salah satu kejadian yang sedang hangat dibicarakan adalah pengangkatan istri kedua Sultan Pontianak menjadi Maha Ratu Suri Mahkota Agung Kesultanan Pontianak yang menimbulkan perdebatan, tentunya dengan istri pertama sang sultan. Hingga kemudian terjadi insiden pengeluaran paksa sang istri pertama dari istana saat penobatan.

Cerita lainnya adalah masalah narkoba yang kerap terjadi di Kampung Beting yang merupakan perkampungan dimana Istana Kadriah berada. Pernah suatu ketika, Kepolisian Pontianak melakukan operasi masif yang dilakukan dari darat, laut dan udara sekaligus untuk menggerebek para pengedar narkoba di kampung tersebut.

Mendengarkan cerita dengan penuh antusias  membuat perjalananku menjadi tak terasa. Tiga puluh menit berlalu dan aku sudah berada di gerbang istana. Aku turun dan perlahan memasuki halaman istana yang luas.

Melintasi gerbangnya, aku mulai menapaki jalur pedestrian sepanjang dua ratus meter hingga tiba tepat di halaman istana. Melintasi pagar setinggi  tiga meter, aku memasuki area depan istana. Seperti eksterior keraton-keraton Melayu pada umumnya, aku menemukan pucuk-pucuk meriam di pekarangannya. Kali ini deretan meriam buatan Portugis dan Prancis yang mendominasi.

Menghadap ke arah istana maka tampak bangunan dengan tiga tingkatan atap, berdindingkan kayu berwarna  dominan kuning dengan kelir hijau.

Menaiki tangga menuju ke ruang utama, aku sedikit ragu karena keberadaan beberapa tamu yang duduk bersila di beberapa titik. Nampak beberapa pria sangat sibuk mempersiapkan banyak hal.  Setelah aku bertanya kepada salah seorang tamu wanita yang duduk di serambi, aku baru tahu bahwa sebentar lagi akan berlangsung acara maulidan di keraton.

Tetapi dia justru meyakinkan bahwa aku masih boleh mengunjungi keraton, hanya saja dia menyarankanku untuk berkunjung dengan cepat sebelum istana ramai dengan tamu yang berangsur-angsur tiba.

Oleh karenanya, tanpa pikir panjang, aku segera melakukan eksplorasi . Memasuki ruang utama, aku dihadapkan pada ruangan paling lebar dengan gelaran karpet hijau menuju ke singgasana.

Di beberapa bagian dinding tampak beberapa pajangan foto-foto klasik milik Syarif Muhammad Alkadrie (Sultan ke-7) dan istrinya, yaitu Maha Ratu Suri Syecha Jamilah Syarwanie serta putranya yang bernama Pangeran Syarif Machmud Alkadrie serta foto dari Pangeran Adipati Sri Maharaja.

Di sisi lain terdapat dua foto istri lain dari Sultan Syarif Muhammad Alkadrie yang bernama Syarifah Maryam Asseggaf (bergelar Maha Ratu Seberang) dan Encik Haji Aminah yang bergelar Mas Ratu Haji.

Selain foto-foto beberapa sultan lainnya juga terdapat keterangan yang menyatakan bahwa Kerajaan Pontianak didirikan pada 23 Oktober 1771. Juga terdapat informasi mengenai Yayasan Sultan Hamid II di bagian dinding keraton yang lain.

Gerbang terdepan Istana Kadriah.
Mulai masuk pekarangan Istana Kadriah.
Yuk masuk istana.
Ruang utama istana.
Pintu masuk istana.
Serambi istana.

Waktu terus berjalan cepat….

Semakin berdatangannya tamu keraton, membuatku segera mengambil keputusan untuk undur diri dan kembali menapaki jalur semula untuk keluar dari gerbang terdepan keraton.

Langkah kaki selanjutnya tertuju pada keberadaan Masjid Keraton Kadriah. Masjid itu berdiri di seberang jembatan. Masjid itu bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Kumandang adzan Dzuhur mengiringi langkahku menuju masjid itu. Tetapi karena masih khawatir dengan kerumunan, aku memutuskan untuk tidak melakukan shalat Dzuhur di dalamnya. Aku akan menjama’ shalatku nanti saja di hotel.

Menikmati sejenak bentuk arsitektur masjid dibawah teriknya siraman sinar matahari, aku segera memutuskan menuju dermaga. Sesuai anjuran pengemudi transportasi online yang mengantarkanku ke Istana Kadriah beberapa menit lalu, maka aku memutuskan menggunakan transportasi air saja demi menuju ke seberang selatan Sungai Kapuas.

Masjid Sultan Syarif Abdurrahman.

Titik tujuanku berikutnya adalah Taman Alun Kapuas yang hanya kulewati sore kemarin.

Menikmati Malam di Sungai Kapuas

<—-Kisah Sebelumnya

Menikmati Malam di Kapuas

Usai menaruh backpack dan mencuci muka, aku memutuskan untuk turun ke lantai 1 demi memulai eksplorasi pertamaku di Pontianak.

Keluar dari G-Hotel, aku turun di Jalan Jendral Urip menuju ke timur. Sembari melangkah, aku terus memperhatikan sepanjang sisi jalan. Aku berusaha menandai beberapa rumah makan yang bisa menjadi alternatif bagiku untuk memenuhi kebutuhan konsumsi selama tinggal di Pontianak.

Terdapat dua rumah makan yang kutandai, yaitu UP2U dan Richeese Factory, sedangkan untuk kebutuhan ngopi aku menandai kedai Kopi S’Kampoeng dan Kopi Asenk.

Tiba di ujung Jalan Jendral Urip, aku dihadapkan pada Matahari Department Store yang menjadi markah utama jalan tersebut.

Aku terus melanjutkan langkah dengan menembus Jalan Jenderal Sudirman yang di ujung timur, arusnya akan dipotong oleh Jalan Rahadi Usman. Di jalan yang terakhir kusebut itulah terletak Taman Alun Kapuas yang menjadi sudut pandang terbaik untuk menikmati senja di Sungai Kapuas.

Jalan Rahadi Usman tergolong lebar, memiliki empat jalur dan dua arah, bertengara tugu Adipura di tengahnya. Menyeberang dengan sangat hati-hati di tengah laju kendaraan yang cukup kencang aku berhasil mencapai sisi timur jalan itu. Kini aku sudah berada di gerbang depan Taman Alun Kapuas yang sore itu tampak bergeliat. Para pengunjung perlahan tapi pasti mulai berdatangan memenuhi taman itu. Mungkin cuaca yang sedari siang tadi cukup cerah yang membuatnya demikian. Langit di atas Sungai Kapuas sangat bersih dari awan.

Waktu yang sebentar lagi membawa gelap, membuatku memutuskan untuk langsung menuju ke tepian Sungai Kapuas, dengan berat hati aku mengindahkan deretan bangku taman yang menggoda siapa saja untuk mendudukinya.

Tepian Sungai Kapuas, berbatasan langsung dengan Taman Alun Kapuas.
Sungai Kapuas yang mulasi sibuk di malam hari dengan aktivitas wisata.

Aku menghela nafas panjang berlanjut dengan merentangkan tangan lebar-lebar ketika tiba di tepian sungai.

“Subhanallah….Inikah Sungai Kapuas yang sedari kecil hanya bisa kubayangkan dari buku pelajaran sekolah?….Hmmhhh, salahmu sendiri, Donny. Kenapa terlalu lama menjelajah ke luar negeri, padahal keindahan Nusantara tak ada satupun yang meragukan”, aku bergumam dalam hati dan menyalahkan diri sendiri.

Menikmati keperkasaan Kapuas dari sudut yang lebih tinggi tentu akan menakjubkan. Dan aku melihat keberadaan Jembatan Alun Kapuas di sisi kanan. Tanpa fikir panjang aku mulai menaiki anak-anak tangga demi mencapai titik teratas.

Tak berapa lama aku tiba di titik yang kumaksud….

Yang membuat pandanganku terkesima selain lebarnya Sungai Kapuas adalah tingginya aktivitas yang terjadi di bawah jembatan. Hiruk pikuk Pelabuhan Bardan yang sedang mengalirkan penumpang dan kendaraan menuju lambung kapal “Jembatan Kapuas” benar-benar mencuri segenap perhatianku. Dari ukuran kapal yang tak begitu besar maka cukup meyakinkanku bahwa ferry itu hanya melayani penyeberangan lokal di Sungai Kapuas. Tetapi walaupun begitu, aku juga baru tahu bahwa Pelabuhan Bardan juga melayani pelayaran menuju Tanjung Priok, Surabaya dan Semarang. Bisa dibayangkan seberapa lebar dan dalam Sungai Kapuas ini sehingga bisa dilewati oleh kapal-kapal besar.

Cahaya senja telah usai ketika beberapa saat lamanya aku beraktivitas di atas jembatan. Kini langit Kapuas berubah gelap. Oleh karenanya aku memutuskan untuk turun. Saatnya untuk menikmati wisata jenis lain di Kapuas.

Kembali berada di sisi sungai, aku melangkah menuju sebuah kapal wisata yang bersandar di tepian sungai di dekat replika tugu khatulistiwa. Karyawan kapal tampak antusias menyapa segenap pengunjung yang datang mendekat untuk mau menaiki kapal dan berlayar bersamanya beberapa saat lagi.

Tanpa ragu aku memasuki geladak kapal. Karena geladak atas sangat penuh maka mau tak mau aku harus duduk di meja makan geladak bawah. Kupesan secangkir coklat panas demi melawan terpaan angin Kapuas yang semakin mendingin.

Waktu terus berjalan dan tampak hampir seluruh meja makan terisi penumpang. Mesin kapal mulai dinyalakan, tali pengikat mulai dilepaskan dari bolder-bolder darmaga dan kapal pun mulai berlayar menuju ke timur.

Dengan kecepatan konstan, dua nahkoda tampak fokus dibalik kemudi untuk mengarahkan kapal tetap pada jalurnya. Kapal sempat keteteran  ketika berusaha mendahului kapal sejenis yang mengalami mati lampu. Beruntung kapal tersebut bisa segera membenahi diri dan berhasil menyalakan lampu geladaknya sehingga kapal yang kunaiki bisa mendahului dengan aman.

Sementara jauh di depan tampak Jembatan Landak yang mempesona, memanjang dengan cahaya lampu di jalurnya. Melewati bagian bawah jembatan memperlihatkan pemandangan yang sangat indah dan menawan

Naik kapal keliling Kapuas….Yuhuuu…..
Geladak atas kapal.
Pesona Masjid Jami’ Sulthan Syarif Abdurrahman
Jembatan Landak.

Berlayar hingga Pulau Jajagi yang berjarak lima kilometer dari Pangkalan Bardan maka kapal merubah haluan untuk kembali ke titik awal. Pelayaran selama setengah jam itu memberikan kesan yang mendalam atas keindahan Sungai Kapuas di saat malam. Tak mahal untuk bisa mengikuti pelayaran ini, hanya perlu merogoh kocek sebesar Rp. 15.000. Seorang petugas kapal akan menarik ongkos itu ketika kapal sudah berlayar di tengah Sungai Kapuas.

“Bang, kedalaman sungainya berapa meter ya?”, tanyaku singkat kepada sang nahkoda.

“Dua puluh meter, Bang”, jawab sang nahkoda singkat.

“Hmmhhhh….Sungai yang sangat mengagumkan”, aku membatin sembari pergi meninggalkan kapal itu.

Kisah Selanjutnya—->

Tiga Malam di G- Hotel Pontianak

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tiba dari Singkawang tepat pukul lima sore.
Lobby G-Hotel Pontianak.

Aku disapa dengan ramah oleh security yang berjaga di depan lobby. Membuatku bersiap diri untuk merasakan hotel kelas wisatawan. Maklum selama ini aku lebih sering menginap di hotel kelas backpacker.

Sehari sebelum berangkat menuju Pontianak, aku memesan hotel ini melalui sebuah e-commerce penginapan ternama seharga Rp. 212.000 per malam. Kali ini aku kan menikmati perjalanan jauh pertamaku semasa pandemi.

“Reservasi online atas nama  Donny Suryanto, kak”, aku bertanya kepada resepsionis wanita yang berjaga.

“Sebentar ya, pak…Saya cek dahulu”, dia mulau menjelajahi desktopnya, “Menginap untuk tiga malam ya, Bapak Donny Suryanto”.

“Yupzz, benar kak”, aku mengangguk

Usai menyelesaikan administrasi, aku diantarkan oleh seorang staff pria menuju kamar. Aku sempatkan berbincang dengannya di lift. Informasi yang kutangkap adalah staff muda itu berasal dari Solo dan terdampar di Pontianak karena mengikuti ayahnya yang bertugas sebagai tentara. Aku pun memberikan informasi kepadanya bahwa aku adalah pengembara yang manjalani hobby menulis.

Keluar dari lift, aku sudah berada di lantai 3 dan dihantarkan oleh staff hotel tersebut hingga di depan pintu kamar bernomor 319.

Usai staff tersebut undur diri, aku mulai memasuki kamar, menaruh backpack, mencuci muka dan bersiap kembali melakukan eksplorasi menjelang gelap. Aku bermaksud untuk menghabiskan malam di tepian Sungai Kapuas.

Koridor kamar di Lantai 3.
Tempatku beristirahat.
Teman di malam hari.

Perjalanan itu akan kuceritakan nanti saja ya.

Kembali ke G-Hotel….

Saat pagi tiba, aku biasa turun ke lantai 1 untuk berburu sarapan di restoran hotel. Kondisi yang masih berstatus pandemi, membuatku selalu turun ke lantai 1 sepagi mungkin demi menghindari padatnya pengunjung restoran yang tentunya itu akan menimbulkan resiko.

Walaupun aku senantiasa memantau di dalam aplikasi PeduliLindungi bahwa kasus aktif COVID-19 di daerah aku menginap adalah nihil, tetapi aku tetap berusaha menjaga protokol kesehatan. Tentu akan menjadi lebih repot apabila aku terpapar dan harus menjalani isolasi di Pontianak….Bisa lebih boros lagi kan?

G-Hotel merupakan hotel berbintang tiga yang berlokasi tepat di pusat kota, di sisi Jalan Jendral Urip tepatnya, di daerah Tengah, Pontianak Kota. Hotel ini juga kunilai strategis apabila diukur jaraknya dari destinasi wisata unggulan karena hanya berjarak satu kilometer di barat Taman Alun Kapuas yang merupakan viewpoint terbaik menikmati pesona Sungai Kapuas. Jarak sejauh itu bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama seperempat jam saja.

Apa hal menarik lainnya?

Nah, apabila aku bosan dengan makanan hotel maka di sekitar Jalan Jendral Urip juga terdapat “UP2U”food court serta kedai kopi “Kopi S’Kampoeng” .  Aku sendiri berkesempatan bersantap di dua kedai itu.

Restoran G-Hotel Pontianak.
Kedai kopi di sekitaran G-Hotel.

Tentu menginap di G-Hotel Pontianak telah menjadi sebuah pengalaman tersendiri selama berpetualang di masa pandemi. Mungkin di masa-masa mendatang, kondisi yang selalu tak menentu seperti ini akan mempengaruhi bahkan merubah gaya travelling yang selama ini aku jalani dengan cara layaknya cowboy.

Kita lihat saja nanti, apakah memang benar demikian?….

Mari kita lanjutkan perjalanan menelusuri keindahan Pontianak….

Kisah Selanjutnya—->