Korzinka: Penyelamat Makan Malam

<—-Kisah Sebelumnya

Navoiy Shoh Ko’chasi menjelang pukul tujuh malam.

Memunggungi Stasiun Abdulla Qodiriy, aku berusaha menyembunyikan rasa pengecut yang muncul karena panik menghadapi suhu udara 1oC. Tanganku mulai kaku, nafas terasa berat, ditambah lapar yang mulai menyertai setiap ayunan langkah.

Aku terus menatap ke depan ketika melangkah di sepanjang sisi timur Amir Temur Shoh Ko’chasi demi mencari perempatan terdekat untuk merubah haluan ke barat.

Lalu lintas tampak ramai sore itu. Beberapa wakku kemudian, aku tiba di perempatan yang dimaksud. Berdiri di pangkal zebra cross, aku diperhatikan oleh dua polisi bertubuh tegap yang sedang mengatur lalu lintas. Aku yang merasa was-was karenanya bisa bernafas lega karena seusai lampu merah menyala, mereka dengan baik hati membantuku menyeberang dengan memastikan tak ada kendaraan yang melintas selama lampu merah menyala. Walau wajahhnya tampak garang dan galak, aku tak meragukan kebaikan hati kedua polisi itu.

Aku berhasil menyeberangi Amir Temur Shoh Ko’chasi yang memiliki lebar tak kurang dari dua puluh lima meter, untuk kemudian menyusuri trotoar sisi utara Navoiy Shoh Ko’chasi demi menuju Paradise Hostel tempatku menginap.

Namun satu hal yang masih mengganjal di setiap langkah semenjak keluar dari Abdulla Qodiriy Station. Itu karena aku tak kunjung menemukan satu pun kedai food street. Padahal aku membutuhkan seporsi makanan apapun untuk makan malam. Alhasil, aku hanya bisa pasrah jikalau aku memang tak bisa mendapatkan menu makan malam. Aku sudah menyiapkan rencana untuk menyantap saja dua buah “Non” yang sempat aku beli di Chorsu Bazaar pada pagi sebelumnya.

Mataku tetap awas di sepanjang Navoiy Shoh Ko’chasi untuk menemukan kedai food street, namun kurasa mustahil untuk menemukannya, karena aku baru paham bahwa trotoar yang kulalui berada di jalur protokol kota. Setiap jengkal sisi trotoal dijejali perkantoran kelas atas.

Apapun itu….

Ternyata pertolongan Tuhan itu muncul ketika langkahku semakin dekat dengan lokasi penginapan. Aku tetiba melihat dua wanita paruh baya menenteng dua tas berisi belanjaan. Aku mendekat menuju gedung tempat kedua wanita itu keluar.

“KORZINKA”, aku membacanya pelan-pelan.

Mataku awas mengawasi sisi dalam bangunan yang bisa dilihat jelas dari jendela kacanya yang bening dan lebar. Tampak dengan jelas deretan etalase produk seperti layaknya supermarket pada umumnya. Maka aku memutuskan untuk masuk ke dalamnya. Dan sungguh riang hati, ketika tahu bahwa aku benar-benar berada di sebuah supermarket.

Saatnya mencari menu makan malam dan sarapan untuk esok hari”, aku bergumam menang.

Etalase “Non” di Korzinka.
Cari kopi mini sachet di Korzinka.
Berbelanja di Korzinka bersama masyarakat lokal.
Sampai jumpa lagi Korzinka.

Nantinya aku tahu bahwa Korzinka adalah jaringan supermarket terkenal di Uzbekistan.

Setengah jam lamanya aku berbelanja di Korzinka, itu karena begitu senangnya hati menemukan supermarket yang berlokasi sangat dekat dengan penginapan, hanya berjarak kurang lebih seratus meter saja, sehingga tak membuatku khawatir untuk berlama-lama dalam berbelanja di Korzonka.

Inilah daftar belanjaanku sore itu:

  1. Roti “Non”                       :   2.800 Som
  2. Jus Apel Kemasan         :  10.490 Som
  3. Enting-Enting Kacang   :   6.490 Som
  4. Kopi sachet mini  4gram :  4.480 Som

Total  :     24.260 Som atau setara dengan Rp. 33.500

Aku pulang dengan menenteng belanjaan. Aku tak lagi khawatir akan menu sarapan esok hari. Bahkan aku berencan untuk menyeduh kopi yang kubeli saat bersarapan, karena penginapan menyediakan pantry yang memiliki pemanas air.

Aku tiba di Paradise Hostel sekitar pukul setengah tujuh malam.

Sangat kaget ketika tiba, ruangan kamar sangat ramai, itu karena para pejalan asal Turki sedang berkumpul dan bercakap. Aku yang tak mau diam saja, berusaha untuk bergabung dalam percakapan mereka sebelum mandi. Aku berusaha berkenalan dengan pejalan sekamar.

Bahkan malam itu sungguh istimewa, share lobby dipenuhi para tamu hostel. Kembali aku melibatkan diri untuk aktif dalam setiap percakapan hangat dengan mereka sembari menikmati “Non” dan menikmati jus apel segar yang kubeli beberapa jam sebelumnya di Korzinka.

Saatnya istirahat sejenak setelah seharian berpetualang.

Penutup malam keduaku di Tashkent meninggalkan kesan indah nan menyenangkan.

Memarkir Langkah di Abdulla Qodiriy Park

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melangkahkan kaki keluar dari kompleks Dhzuma Mosque, melewati deretan peminta-minta yang didominasi wanita dan anak-anak, kembali melintasi sisi timur pelataran Kukeldash Madrasah yang di penuhi lalu lalang para pelajar. Sama sepertiku, para pelajar itu baru saja usai menjalankan ibadah Shalat Dzuhur di Dhzuma Mosque.

Turun di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi*1), menyusuri sisi utara wilayah Shaykhontohur Tumani*2), tetiba aku teringat kalau satu-satunya pulpen yang kumiliki telah berpindah tangan ke Tuan Khadirjan, Beberapa waktu sebelumnya, aku memberikan pulpen itu kepadanya usai dia menulis nama, nomor telepon dan alamat tempat tinggalnya pada selembar kertas yang telah terlipat rapi di kantong celanaku.

Sembari melangkah, tatapku awas menyapu pertokoan di sepanjang trotoar, berusaha menemukan toko yang menjual Alat Tulis Kantor. Aku tersenyum kecil ketika melihat sebuah toko kecil yang pintu masuknya terpasang tirai plastik penahan suhu dingin. “ZEBINISO Kitob Do’koni”, begitu nama toko yang kubaca pada nameboardnya.

Berburu pulpen pengganti.

Aku dengan percaya diri memasuki toko, untuk kemudian berdiri sejenak di dalamnya, memperhatikan koleksi novelnya yang berbahasa Rusia. Aku tak berkeinginan membeli, hanya terkesan dengan aksara Kiril yang memenuhi setiap lembaran novel itu.

Ruchka*3)?”, tanganku memperagakan gerakan menulis di atas telapan tangan.

Da*4)”, tangannya merogoh etalase di sampingnya dan mengeluarkan sebuah pulpen. Jarinya pun lincah memencet beberapa tombol kalkulator lalu menunjukkan layarnya padaku.

Oh, Dua Ribu Som”, aku tersenyum membatin

Kurogoh kocek dan menyerahkan pecahan pas kepada perempuan cantik pemilik toko buku itu.

Spasibo*5)”, aku bercakap padanya untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkan toko dari pintu bertirai plastic tebal itu.

Kembali di trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi……

Tentu aku semakin antusias menyusuri trotoar oleh karena berkesempatan untuk berpapasan dengan muda-mudi Tashkent yang melintas….Mereka tampak modis dan berpenampilan menarik.

Hingga langkahku tiba di sebuah perempatan. Furqot Ko’chasilah yang memotong arus Navoiy Ko’chasi sehingga membentuk perempatan besar itu. Furqot atau Furkat pada nama jalan ini didedikasikan untuk seorang scientist terkenal asal Russia, F.N Russanov.

Perempatan itu tampak luas dengan arsitektur taman yang baik. Pohon-pohon tampak asri dengan seni topiary yang diaplikasikan di dalamnya.

Perempatan antara Navoiy Shoh Ko’chasi dan Furqot Ko’chasi.

Bella Cosa Beauty Salon”, aku membaca sebuah nameboard terbesar yang kutemui di deretan pertokoan sisi barat perempatan. Untuk sejenak aku berdiri lama di sisi itu, menikmati suasana sekitar yang udaranya mulai menghangat dengan bersinarnya matahari tanpa penghalang.

Sewaktu kemiudian aku melangkah menuju utara melalui ruas jalan baru. Adalah Zarqaynar Ko’chasi yang mengantarku untuk kembali tiba di Stasiun Chorsu. Stasiun dimana aku menginjakkan kaki di pagi hari beberapa waktu sebelumnya, hanya siang itu aku berada di sisi timur stasiun, sedangkan pagi sebelumnya aku berada di sisi baratnya.

Aku dihadapkan pada lokasi parkir stasiun yang memanjang dari timur ke barat dengan deretan kios makanan di sisi selatannya.

Parkiran sisi timur Chorsu Station.

Lalu aku menatap ke arah seberang Zarqaynar Ko’chasi, ruas jalan yang didediasikan pemerintah Uzbekistan untuk menghormati Zarqaynar, seniman asal negeri itu.

Di seberang jalan, aku melihat keberadaan flyover yang memiliki terowongan di bawahnya dengan dinding bercat biru.

Itu adalah akses terbaik untuk pejalan kaki menuju Hazrati Imam Complex”, aku menatap jalurnya yang tampak sepi. Suasana lengang yang membuatku ragu untuk melintasinya.

Beruntung, beberapa saat kemudian muncul seorang lelaki yang menyeret travel bag yang berbelok dari arah berlawanan melalui terowongan itu. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju terowongan. Aku hanya berpikir sederhana, bahwa aku akan berpapasan dengan lelaki itu di tengah-tengah terowongan.

Setidaknya aku tidak sendirian di pertengahan lorong”, aku memutuskan cepat.

Benar saja, aku berpapasan dengannya dan merasa sedikit tenang. Aku berhasil melewati lorong itu dengan cepat, untuk kemudian tiba di sebuah jalan sempit dengan aspal yang tak rata, retak disana-sini, bahkan ada bagiannya yang masih berwujud permukaan tanah. Banyak kendaraan tua diparkirkan di salah satu sisi jalan itu. Sedangkan tepat di sisi kananku adalah sebuah taman kota yang berukuran luas, Abdulla Qodiriy Park namanya.

Davlat Tabiat Muzeyi.

Aku menyusuri tepian barat taman kota yang memiliki luas tak kurang dari 20 hektar tersebut. Semakin jauh melangkah, aku mulai menemukan keramaian. Beberapa muda-mudi tampak melintas di jalanan, tampak mereka sedang pulang dari perkuliahan, begitulah aku menebak dari dandanannya.

Aku sendiri akhirnya berusaha untuk menemukan pintu masuk Abdulla Qodiriy Park demi menikmati keindahan di dalamnya.

Pada akhirnya aku memang menemukan gerbang utama taman itu setelah memutarinya separuh lingkaran. Tapi tampak gerbang taman itu ditutup rapat-rapat. Aku mendekat untuk mencari tahu, mengintip dari gerbang dan mengetahuinya bahwa taman itu sedang menjalani proyek renovasi.

Mengintip bagian dalam Abdulla Qodiriy Park yang ditutup karena renovasi.

Aku pun memutuskan untuk melangkah menjauh dari gerbang dan mencari sebuah tempat duduk di jalur masuk taman. Jalur yang kebanyakan tempat duduknya telah diakuisisi muda-mudi Tashkent demi bersiap menikmati keindahan sore yang beberapa saat kemudian akan tiba.

Patung Abdulla Qodiriy.

Aku terduduk tepat di sisi patung Abdulla Qodiriy, seorang sastrawan terkemuka asal Uzbekistan. Untuk sementara aku memarkirkan langkah di gerbang masuk Abdulla Qodiriy Park sebelum melangkah menuju tujuan akhir yang hanya berjarak 1.5 kilometer lagi.

Keterangan Kata:

Ko’chasi*1) = Jalan

Tumani*2) = Distrik

Ruchka*3) = Pulpen

Da*4) = Ok

Spasibo*5) = Terimakasih

Kisah Selanjutnya—->

Kukeldash Madrasah: Do’a ke Tanah Suci

<—-Kisah Sebelumnya

Aku meninggalkan kedai pilav, menyusuri trotoar Saqichmon Ko’chasi sisi timur, menuju selatan, untuk kemudian terhenti pada dinamika di sebuah perempatan jalan.

Beruniy Shoh Ko’chasi lah yang membentuk perempatan besar itu karena memotong Saqichmon Ko’chasi dari barat ke timur.

Tampak, walaupun ramai di area zebra crossnya, tetap saja pemerintah setempat menyediakan fasilitas penyeberangan bawah tanah yang menyediakan alternatif menyeberang paling aman dan nyaman.

Di sisi lain, delapan jalur trotoar perempatan itu dihiasi barisan pepohonan besar yang meranggas dihajar musim dingin. Pokok-pokok besar itu berbaris dengan interval teratur di sepanjang sisi jalanan.

Sejenak aku berdiri cukup lama, mengarahkan pandangan ke arah timur jauh dimana satu dua gedung pencakar langit sedang dibangun di sepanjang Beruniy Shoh Ko’chasi.

Perempatan antara Saqichmon Ko’chasi dan Beruniy Shoh Ko’chasi.

Pada satu sisi, bentangan panjang trotoar mengarah ke timur telah menunggu. Setengah kilometer di depan, destinasi selanjutnya telah menunggu.

Apalagi semakin lama berdiam di sisi perempatan, udara dingin semakin menusuk dari sela-sela winter jacket yang kukenakan, perlahan tapi pasti menyurutkan hangat badan. Maka, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Bertolak meninggalkan halaman toko springbed “TAMAKI” di pojok perempatan, aku memasuki trotar sisi utara Beruniy Shoh Ko’chasi.

Trotoar selebar tiga meter itu beralaskan beton, tak berbatasan langsung dengan jalan raya, melainkan terjeda dengan bidangan rumput hijau di kiri kanannya. Jalur rumput yang berbatasan langsung dengan jalan tertanam pepohonan yang berjajar rapi. Pohon-pohon itu diberi cat warna putih di bagian pangkal batang hingga setinggi orang dewasa. Pemberian cat warna putih tentu bertujuan sama di jalanan manapun, yaitu mengurangi durasi batang pohon terpapar panas secara langsung untuk mencegah peretakan.

Setengah kilometer kemudian, sebuah halte bus menyambut. Pemberhentian bus itu ramai dipenuhi calon penumpang, bernama Chorsu Mall Bus Stop karena memang letaknya yang berada di tepian pusat perbelanjaan dengan nama yang sama.

Melewati keramaian halte, deretan lapak pedagang kaki lima menjadi pemandangan menarik berikutnya. Sahutan para pedagang buah-buahan, sayur-mayur, mie berbagai warna, dan Non*1) berhasil membuat bising sepanjang trotoar.

Untuk sementara aku larut dalam aktivitas perdagangan kecil itu. Menyaksikan aksi tawar-menawar dan tentu mengagumi modisnya muda-mudi Uzbekistan yang melalui kawasan pasar jalanan yang terletak persis di sebuah pertigaan besar yang terbentuk dari pertemuan tiga ruas jalan, yaitu Beruniy Shos Ko’chasi, Samarqand Darvoza Ko’chasi dan Navoiy Shoh Ko’chasi.

Perdagangan di depan Kukeldash Madrasah.

Dan tepat di sebelah timur pasar jalanan itu terdapat sebuah bangunan dengan arsitektur khas Timurid. Adalah Kukeldash Madrasah yang telah lama menjadi pusat pendidikan penting di Kota Tashkent.

Timurid merujuk pada nama Amir Temur, seorang pemimpin berkharisma ada Abad XIV yang pernah berkuasa di Asia Tengah, Iran, Afganistan, Pakistan, India, Irak dan Kaukasus.

Sedangkan kekhasan arsitektur Timurid terletak pada pintu gerbang yang berbentuk persegi menjulang dengan lengkungan khas di bukaan pintunya. Sedangkan model dekorasi muqarnas menjadi penghias dindingnya. Gerbang itu akan diapit oleh dua menara dengan dekorasi khas.

Sejenak aku terduduk di salah satu tempat duduk beton demi menikmati keindahan arsetektur pesantren itu.

Aku larut dalam keasyikan mengambil beberapa gambar di setiap sudut Kulkedash Madrasah, hingga akhirnya berdiri terpaku menatap keindahan jengkal demi jengkalnya.

Gerbang depan Kukeldash Madrasah.

Tibalah pada suatu waktu, dari belakang, sentuhan lembut dari tangan seseorang mendarat di pundakku.

Hello, where are you come from?

Aku menoleh ke belakang. Menemukan wajah tua bersahaja dengan senyuman super ramahnya.

“Indonesia, Sir”, aku tergagap, gugup menatap senyum cerah lelaki tua itu.

“I’m a teacher in this school….my name Khadirjon….Are you moslem?”,

“Yes, Sir…I’m moslem”

“Subhanallah….Assalamu’alaikum”

“Wa’alaikumsalam”.

“Do you live in Tashkent?….What is your name?”

“No Sir, I’m jus a solo traveler…My name is Donny”.

“Masyaallah….You’re a musafir. Your do’a is maqbul….Please, pray for me”

“What do’a do you want, Sir”

“I want go to Makkah Al Mukarrom for Hajj or Umra….Also, I want my daughter to get married this year…Please, say do’a for me !”

Me & Mr. Khadirjon.

Aku pun mulau berdo’a sembari berdiri di depannya. Dia mengamini setiap do’a yang kupanjatkan. Aku merasakan kebahagiaan dalam setiap do’a yang kupanjatkan untuknya. Tak menyangka keramahan orang ini membuatku serasa berada di rumah sendiri.

“Donny….Do you have something that I can keep it as a keepsake?”

Aku yang bingung mencoba berpikir, menentukan barang khas Indonesia apa yang bisa kuberikan. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah ide.

“Do you want Indonesian money”?

“Oh..good idea….Just give me a small banknotes”

Aku merogoh kantong mengambil dompet , menarik selembar uang kertas Rp. 10.000, menandatanganinya dan menyerahkan kepadanya

“10.000 rupiah is equal with 8.000 Som, Sir”

“Oh, nice Donny….Thank you”

Tak lama kemudian, seorang perempuan cantik berkerudung putih melintas dan mendekat ke kami berdua. Entah perempuan itu bicara apa, yang jelas dia sedang memberi salam kepada Mr. Khadirjon. Menunduk-nunduk ketika berbicara dengannya sebagai bentuk rasa hormat.

“Shara…Introduce my guest, he is traveler from Indonesia. His name is Donny”

“Hallo, Mr Donny….Nice to meet you…My name is Shara from Samarkand”

“Hi, Sara….Nice to meet you”

Perempuan itu menunduk sopan dan meminta izin kepada Mr Khadirjon untuk memasuki pensantren.

“Donny, can you shalat with me in that mosque ?”

“Oh sure, time to Dzuhur pray…Let’s go to the mosque and pray together”.

Kukeldash Madrasah dari sisi timur.

Aku tersenyum lebar dan berinisiatif mengikuti langkahnya menuju masjid.

Sejenak aku akan menjalani ibadah shalat dzuhur. Itulah shalat berjama’ahku untuk pertama kali di kota Tashkent.

Catatan Kaki:

Non*1) = Roti khas Uzbekistan, biasanya berbentuk bulat dan lebar dengan satu sisinya lebih mengkilat dan bertabur wijen.

Kisah Selanjutnya—->

Paradise Hostel: Menolak Tertangkap Petugas Keamanan

<—-Kisah Sebelumnya

Aku menyusuri jalan setapak nan sempit berbahan beton, untuk kemudian memasuki area hostel dari sisi belakang. Akhirnya aku pun tiba di pekarangan hostel.

Terimakasih, Tuhan”, aku bersyukur dalam hati, “Ternyata memang tempat ini yang kucari

Aku memang beruntung, karena secara tak sengaja telah memasuki pekarangan hostel yang sedang kucari, Paradise Hostel. Aku mengucek mata, meyakinkan sekali lagi, membaca papan nama di lokasi minim cahaya. Memastikan untuk yang terakhir kali.

Berhasil meyakinkan diri maka tanpa pikir panjang aku membuka sebuah pintu yang tak terkunci. Aku terhenyak kaget karena aku membuka sebuah pintu ruangan bersama para tamu. Tak kurang dari lima penginap tampak menikmati kopi hangat, sajian makanan, menonton TV dan bercanda bersama.

Hellooo, where is the reception desk, Sir?”, aku melemparkan tanya kepada salah satu dari mereka.

“There”, seorang pria di antara mereka menunjuk sebuah arah.

Oh, Okay, Thanks, Sir”, aku pun bergegas menutup pintu itu.

Aku mencari pintu lain yang dimaksud dan menemukan di sisi barat bangunan. Benar saja, aku menemukan meja resepsionis ketika masuk dari pintu itu.

Seorang lelaki muda tampak tenggelam dalam kesibukannya di meja resepsionis. Bukan berwajah Uzbekistan dalam pandanganku, tetapi lebih mirip berwajah Asia Selatan.

Hello, Sir. Can you check a reservation by Donny via Booking.com!”,

Hello, brother. Ok, please wait!”, dia mulai menatap layar monitor.

Yesss, I find you. For 3 nights, isn’t?

Yes, I had guaranteed my booking with a credit card. Can you check it?

Wait”, tatapannya kembali ke layar monitor. “I didn’t find any payment in your booking. I think you must pay your room in the hostel”.

Let me check my credit card account”, aku sibuk memeriksa aplikasi kartu kredit salah satu bank nasional di layar telepon pintarku.

Okay, no billing on my credit card. How much must I pay?”

280.000 Som

Aku menyelesaikan pembayaran dengan cepat, untuk kemudian pria muda itu memberikanku kunci kamar dan menunjukkanku lokasi kamar, dapur bersama, ruang tamu bersama, ruang makan bersama dan kamar mandi bersama khusus pria…..Begitulah, semua serba “bersama” jika kamu menginap di sebuah dormitory. Tapi itu asyik loh, gaes…..Wkwkwkwk.

Aku telah mendapatkan kamar, memasukinya, dan kemudian duduk di salah satu bunk bed. Untuk sejenak aku menghangatkan badan yang beku setelah setengah jam lamanya berjibaku di jalanan Tashkent tanpa persiapan.

Tempat tidurku bersama sekelompok turis Turki.
Tempatku makan dan berkenalan dengan turis dari berbagai negara.

Perlahan aku membuka backpack, mengaduk-aduk isinya, mencari dua kerat roti yang kudapat dari penerbangan Uzbekitan Airways HY 554. Aku juga masih menyimpan beberapa snack pemberian Dasha, penumpang wanita yang duduk di sebelahku selama penerbangan.

Aku yang kelaparan, menyantap sisa makanan yang kupunya di ruang tamu bersama. Aku tak mempedulikan tatapan aneh para tamu-tamu Turki yang sedang berkumpul di ruang yang sama.

Tak lupa aku menyisakan sebungkus kecil biskuit untuk sarapan esok hari. Tak mungkin bagiku keluar mencari makanan malam itu.

Untuk sementara aku merasa tenang, kenyang dan relaks.

Membuatku cepat terlelap di atas bunk bed usai membasuh badan di bawah shower hangat Paradise Hostel.

—-****—-

Pagi sekali…..Masih gelap di Tashkent.

Jam 6 pagi tepatnya……

Paradise Hostel masih senyap, lampu di semua ruangan masih padam. Aku berjinjit ke kamar mandi hanya untuk menggosok gigi, membasahi rambut dan mencuci muka. Aku tak akan mandi pagi itu. Begitulah kebiasaan diri saat ber solo-traveling, aku hanya akan mandi ketika hendak beranjak tidur malam saja….Jangan ditiru ya….Kebiasaan jorok itu….Hahaha.

Aku masih memiliki sebungkus kecil biskuit dan sebungkus salted peanuts yang bisa kunikmati sebagai menu ringan sarapan. Air minum hangat?….Ya, aku menemukannya dengan mudah di pantry bersama hostel.

Menjelang pukul tujuh pagi, dua staff Paradise Hostel mulai bangun dan membersihkan ruangan. Sepertinya mereka tinggal di dormitory itu. Seorang staff tampak masih muda, berparas cantik dan berambut panjang kepirangan khas gadis Uzbekistan. Seorang lagi adalah perempuan setengah baya yang aku tebak adalah ibu gadis itu. Wajahnya tampak mirip.

Nantinya, selama tiga malam menginap di dormitory itu, dua perempuan super baik itu akan menjadi teman mengobrol yang menyenangkan bagiku.

Pukul delapan….Beberapa penginap sudah mulai bangun dan duduk di ruang bersama. Bahkan,  satu rombongan pejalan dalam waktu singkat memenuhi ruangan, hampir seluruh bangku di meja makan berukuran panjang diakuisisi oleh mereka.

Tiga gadis muda dalam rombongan sibuk menuangkan berbagai macam makanan. Berkerat-kerat roti, potongan keju yang melimpah dan berbungkus-bungkus biskuit mereka hidangkan di meja panjang. Sesaat kemudian, sekitar enam belas anggota rombongan bersarapan bersama dengan duduk berhadap-hadapan. Mereka sepertinya rombongan mahasiswa yang sedang melakukan perjalanan bersama.

Aku yang sendirian dan tak berteman memilih untuk menepi dan duduk di sebuah sofa depan TV dan menikmati menu sarapan super sederhanaku.

Pukul sembilan pagi,…..

Aku melongok keluar jendela. Tampak jalanan kecil di depan hostel sesekali dilintasi oleh warga lokal yang sudah memulai aktivitas rutinnya. Satu dua mobil mulai dinyalakan untuk memanasi mesin.

Saatnya memulai eksplorasi”, aku merengkuh winter jacket yang kusampirkan di sebuah kursi.

Bagian depan Paradise Hostel.

Sewaktu kemudian aku sudah berada di tepian Navoiy Shoh Ko’chasi. Menuju ke timur, aku berusaha mengalahkan dinginnya suhu -4oC.

Aku bermaksud menuju ke Abdulla Qodiry Station dan akan mengunjungi Distrik Chorsu.

Di sebuah trotoar, aku yang terpesona dengan bentuk-bentuk bangunan khas Uzbekistan di sepanjang jalan memutuskan untuk sesekali berhenti demi mengabadikan pemandangan kota.

Pada satu titik, aku diteriaki oleh seorang security dari sebuah kantor pemerintah. Aku tahu bahwa teriakan itu tertuju padaku, sepertinya dia hendak melarangku untuk mengambil foto. Aku meliriknya yang sedang berlari kecil dari halaman gedung menuju ke trotoar tempatku berdiri.

Aku yang paham kondisi itu memutuskan untuk segera pergi meninggalkan tempat itu secepat kilat. Berpura-pura tidak mengetahui keberadaan secutiry itu, aku melangkah cepat meninggalkan lokasi.

Beberapa detik kemudian, tanpa menengok ke belakang pun aku tahu bahwa security bertubuh tegap itu berhenti lalu memandangiku dari kejauhan. Dia enggan mengejarku karena aku sudah terlalu jauh untuk dikejar olehnya.

Aku sepenuhnya paham bahwa pada masa lalu tidak sembarangan orang boleh mengambil foto di jalanan Uzbekistan. Mungkin pemerintah Uni Soviet merasa perlu menjaga diri di masa perang dingin dari tindak spionase.

Memang aturan mengambil foto itu telah dihapuskan tetapi toh kenyataannya beberapa warga mereka masih merasa aneh ketika seorang asing mengambil foto di tempat-tempat umum.

Suasan trotoar Navoiy Shoh Ko’chasi.
Gedung National Library of Uzbekistan.
Ruangan bawah tanah Abdulla Qodiry Station.

Usai menyeberangi lebarnya Amir Temur Ko’chasi dan menempuh jarak hampir 1 Km, aku tiba di stasiun.

Aku menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah. Sejenak aku menikmati udara hangat di ruangan bawah tanah itu. Aku berhenti sejenak mengamati situasi, berusaha memahami bagaimana warga lokal membeli tiket MRT.

Sebuah loket tampak dijejali warga lokal yang mengantri untuk mendapatkan tiket. Ada selembar kertas bertuliskan 1,400 Som di atas lubang loket. Aku yakin bahwa nominal itu adalah harga tiket MRT.

Aku mempersiapkan uang koin sisa menaiki bus kota semalam dan mulai mengantri di loket. Usai mendapatkan tiket, aku pun mencari pintu masuk menuju platform.

METROGA KIRISH”. Aku melihat signboard berwarna kuning tergantung di langit-langit koridor.

Aku yakin itu adalah pintu masuk menuju platform. “KIRISH” bermakna akses dalam Bahasa Indonesia.

Tanpa ragu sedikitpun….Aku pun melangkah memasukinya.

Kisah Selanjutnya—->