Asam Padeh Dermaga Rambang

<—-Kisah Sebelumnya

Gelisah, menengokkan muka ke kanan dan kekiri, sesekali tetapan mata memeriksa aplikasi di telepon pintar.

Sementara waktu yang tak menganggap keberadaanku, terus bergulir. Surya sudah semakin meredup di ufuk barat.

Sebentar lagi gelap, adzan maghrib telah siap dikumandangkan.

Sementara di sisi lain jalanan kota, pengemudi ojek itu tampak kebingungan mencari jalan menjemputku. Berkali-kali merubah haluan walau jarak sebetulnya sudah sangat dekat. Beberapa kali menjauh kembali mencari ruas jalan lain.

Apalagi kalau bukan kemacetan kota yang memaksanya berbuat demikian. Beberapa titik jalanan stuck, dipenuhi warga kota yang bereuforia menyambut waktu berbuka puasa. Ramadhan sudah memasuki hari keempat belas ketika aku berkunjung ke Palangkaraya.

Dinn….Dinn….Dinn”, suara klakson sepeda motor terdengar dari sisi kiri, ketika tatapanku terus kuarahkan ke kanan karena memang seharusnya ojek online itu akan datang dari sisi kanan.

Aku lekat memperhatikan plat nomor kendaraannya. Benar itu adalah ojek online yang sedang kutunggu.

Aku menghampirinya.

Maaf, Kaka….Jadi lama nunggunya, macet dimana-mana, susah cari jalannya, Ka”, pengemudi berperawakan kecil dengan wajah khas suku Dayak itu sopan menyampaikan alasan.

Tak apa, Kaka…Ayo kita segera berangkat ke tujuan saja”, aku berfokus mencapai tujuan.

Dengan gesit, pengemudi itu menggeber sepeda motornya menuju ke timur, meninggalkan Taman Pasuk Kameloh dan keindahan sempandan Sungai Kahayannya.

Wah pas banget ini, Kakanya ke Dermaga Rambang. Jam segini sedang ramai-ramainya, Ka”, dia memberikan informasi yang semakin menguatkan semangatku.

Oh gitu ya, Ka. Saya ke sana selain mau hunting foto juga sekalian mau berbuka puasa”, aku menambahkan.

Wah kalau memang demikian berarti sudah pas, Kaka. Ada pasar kuliner di sana. Anak muda Palangkaraya sedang nongkrong di sana di jam-jam segini”, dia menutup percakapan.

Sepuluh menit perjalanan mengantarkanku untuk tiba di pintu gerbang demaga.

Aku turun dari motor, mengucapkan terimakasih kepada pengemudinya, menghela nafas sejenak dan segera memperhatikan situasi sekitar.

Indah sekali….Pelita warna-warni telah menghiasi setiap sudut dermaga.

Inilah Dermaga Rambang yang pernah berjaya sebagai pusat utama transportasi kota sebelum fungsinya digantikan oleh Jembatan Kahayan yang dibangun dua dekade silam. Dermaga Rambang pernah berjasa menghubungkan berbagai daerah di Palangkaraya yang terpisahkan oleh Sungai Kahayan.

Di sisi kanan gerbang, deretan stand kuliner pasar malam, menyala terang benderang. Meja-meja telah dipenuhi muda-mudi dengan menu makanan pilihan masing-masing.

Lurus menatap ke depan, sebuah perahu besar tampak bersandar di salah satu sisi berth. Mengangguk-angguk anggun diterpa aliran Sungai Kahayan dan memendarkan terpaan cahaya senja yang menghantam dari sisi barat.

Sementara di sisi kiri gerbang, hamparan dermaga apung berbahankan kayu telah diakuisisi oleh muda-mudi yang lebih memilih berlesehan demi menunggu adzan Maghrib tiba, juga lengkap dengan menu makanan yang telah dipesannya dari stand kuliner.

Tak mau kehilangan semburat senja terakhir di sore itu, aku melangkah cepat menuju berth area. Mengabadikan beberapa spot menarik Dermaga Rembang yang masih indah diterpa senja.

Akan tetapi, baru saja mendapatkan beberapa jepretan menarik. Adzan Maghrib benar-benar tiba. Namun. misiku mencari gambar-gambar terbaik belumlah usai, maka aku memutuskan untuk terus melanjutkan berburu foto-foto terbaik. Aktivitasku itu hanya terhenti sejenak karena harus berbuka dengan meminum air mineral yang telah kusiapkan sedari hotel.

Lebih dari lima belas menit lamanya dari waktu berbuka aku tetap berfokus pada bidikan lensa Canon EOS M10. Sedangkan di belakang punggungku, para pengunjung Dermaga Rembang telah larut dalam kenikmatan menu-menu makanan mereka.

Dermaga Rambang sebelum gelap.
Kapal restoran bersandar di Dermaga Rambang.
Dermaga kayu, tempat pavorit untuk lesehan.
Pasar Kuliner Dermaga Rambang.
Gagal menyantap Asam Padeh.

Usai mendapatkan foto yang cukup, aku berbalik badan dan memutuskan untuk mulai berburu menu berbuka puasa. Sayangnya, beberapa stand kuliner penjual makanan khas Palangkaraya tampak tutup, padahal jenis makanan itu yang sedang kucari.

Menurut para penjual, memang selama Ramadhan, pasar kuliner tersebut mengalami penurunan jumlah pengunjung dan biasanya akan normal kembali setelah Ramadhan usai. Oleh karenanya beberapa stand kuliner lebih memilih untuk menutup standnya dan akan membukanya kembali usai Ramadhan.

Ikan Padeh, Kaka….Ayo mampir !”, seorang ibu penjual makanan  laut menyapaku.

Oh, Ikan Peda, Bu?”, aku menanggapi antusias.

Padeh….Padeh”, dia mengulang lagi

Peda…?”, aku terus berasumsi sendiri.

Asam Padeh….”, dia menunjuk sepiring ikan kembung asam manis yang sedang disantap pelanggannya

Oh, Asam Manis…”, aku tertawa cekikikan.

Ya sudah, Ikan Kembung goreng saja, Bu”, aku yang sedang menghindari makanan pedas memutuskan untuk duduk di Warung Mama Putri untuk menghemat waktu.

Saatnya berbuka puasa.

Taman Pasuk Kameloh: Kabar Perdamaian Sang Enggang

<—-Kisah Sebelumnya

Aku tak bisa berlama-lama di atas Jembatan Kahayan. Waktuku tak banyak, waktu berbuka puasa di Palangkaraya setengah jam lebih cepat dari waktu berbuka puasa di Ibu Kota. Oleh karenanya kuputuskan untuk segera menyudahi eksplorasi di Jembatan Kahayan.

Aku memasukkan Canon EOS M10 ke dalam folding back di punggung. Lalu untuk terakhir kali menatap sejenak pesona di bawah jembatan. Baru kemudian benar-benar beranjak pergi meninggalkan eksotisme itu.

Tetapi sebelum sepenuhnya pergi, aku melambaikan tangan kepada photographer professional di seberang trotoar. Dia tersenyum mengangguk sebagai respon atas lambaian tangan yang kuberikan. Mungkin kami berdua memiliki kemistri dan saling paham sebagai pemburu pesona alam.

Sesuai dengan niat yang tetiba hinggap dalam diri semenjak melihat hijau mempesonanya Masjid Darul Amin dari atas jembatan, maka aku pun bergegas menuju masjid itu. Masjid mungil itu berada di sudut timur sebuah taman kota. Oleh karenanya, secara otomatis aku akan menikmati sejenak taman kenamaan itu.

Berjalan memutar dengan titik balik di pangkal selatan jembatan, aku berhasil mencapai gerbang taman dengan cepat.

Gerbang taman itu terlihat khas, berupa gapura dengan ornamen dan motif Dayak lekat tersemat di setiap jengkalnya. Sementara signboard penunjuk arah ke berbagai kota ada di sebelahnya.

Tanpa ragu aku memasuki taman dan sejenak mengambil tempat duduk di area teater terbuka. Duduk ditangga paling atas, aku dengan leluasa bisa menikmati aktivitas warga di seluruh penjuru taman.

Rona Bahagia terpancar dari setiap wajah pengunjung taman. Kondisi itu turut membuat moodku kembali menanjak setelah sesiangan dihajar dehidrasi yang hampir melemahkan langkah.

Itulah keajaiban taman kota….

Jika kamu ingin menemukan kebahagiaan maka jangan ragu untuk pergi ke taman kota. Niscaya kamu akan mudah sekali mendapatkan atmosfer itu. Boleh dikata, setiap orang akan pergi ke taman kota dengan suasana riang dengan beragam tujuan. Bertemu teman, menyambut senja, merasakan sejuknya udara kota di bawah naungan pepohonan rindang serta menikmati kuliner lokal dari deretan kedai sekitar.

Kontan senyumku merekah ketika duduk di ketinggian, menikmati semua suasana itu dengan seksama.

Sekelompok muda-mudi telah bersiap diri menyambut waktu berbuka puasa dengan berbincang-bincang dengan sesamanya, sembari menghadap sajian takjil yang di gelar di tengahnya. Beberapa yang lain, tampak berkumpul di sebuah patung raksasa Burung Enggang dengan sibuk berfoto berlatarkannya. Selebihnya, mereka menikmati aliran deras Sungai Kahayan dari teras lantai dua Masjid Darul Amin.

Beberapa saat kemudian, aku bangkit dari duduk dan melewati seperangkat air mancur yang sedang tidak dioperasikan.

Alangkah indahnya taman ini jikalau air mancur ini memancar sesuai dengan pola yang dihasilkannya”, aku melihatnya sepintas.

Kemudian….

Aku bergegas menuju ke masjid demi menunaikan shalat tahiyatul masjid seperti yang telah kuniatkan.

Aku melewati sebuah nameboard besar berwarna kuning emas.

PASUK KAMELOH….Oh, itu nama taman ini”, aku termanggut-manggut.

Pasuk Kameloh merujuk pada sebuah makna dalam Bahasa Dayak. “Pasuk” merujuk pada “Bakul atau Barang”, sedangkan “Kameloh” merujuk pada “Gadis Dayak Ngaju”. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Pasuk Kameloh memiliki makna sebagai barang berharga yang dimiliki seorang gadis Dayak yang cantik.

Gerbang Taman Pasuk Kameloh.
Taman penuh motif Dayak.
Sempadan Sungai Kahayan dilihat dari teras Masjid Darul Amin.
Interior masjid.
Salah satu spot kongkow taman.
Patung Burung Enggang.

Kembali pada langkahku menuju ke masjid.

Melalui sebuah jembatan mini, aku tiba di teras atas masjid. Melepaskan alas kaki, aku memasuki area teras dan langsung menuju ke bagian teras yang berhadapan langsung dengan aliran Sungai Kahayan.

Tampak aliran deras air sungai berwarna kecoklatan yang dihiasi dengan lalu-lalang kapal penumpang berukuran kecil yang melintas di tengahnya. Sedangkan di sepanjang sempadan, tepat di bawah tempatku berdiri , berjajar deretan cafe-cafe panggung yang mulai dibanjiri muda-mudi demi menikmati hadirnya senja.

Selanjutnya, aku mulai meninggalkan pemandangan indah itu, mengambil air wudhu untuk kemudian menunaikan shalat tahiyatul masjid dua raka’at. Hatiku berasa damai ketika bersujud di atas sajadah. Mudah sekali bagiku untuk masuk ke dalam kekhusyu’an, karena hanya diriku seorang yang berada di dalam masjid mungil itu. Itulah kesempatanku untuk memanjatkan syukur kepada Sang Kuasa yang berkehendak mengantarkan langkahku hingga tiba di “Kota Cantik”.

Kota Cantik….Yups, begitulah julukan bagi Kota Palangkaraya.

Usai melaksanakan shalat, aku termangu terpesona dengan interior masjid yang dominan klasik oleh karena furniture berbahan kayu jati berusia tua. Menunjukkan bahwa taman kota dan seisinya itu didesain dengan sempurna demi menaikkan kebahagaian masyarakat Palangkaraya.

Lantas aku meninggalkan masjid itu ketika waktu sudah semakin merapat ke waktu berbuka puasa. Waktuku telah terhitung mundur sejauh sepuluh menit semenjak itu.

Tapi demi melengkapi eksplorasiku, sejenak aku melangkahkan kaki menuju patung raksasa Burung Enggang yang masih saja ramai dikerubuti oleh pengunjung.

Burung Enggang memang menjadi burung terkenal khas Kalimantan yang dianggap oleh mayarakat sebagai titisan dewa yang menyebarkan perdamaian di muka bumi. Sejenak aku termangu memperhatikan bentuk paruh burung itu yang memiliki keunikan tersendiri.

Namun, karena waktu yang tak lama lagi, aku segera beranjak menuju gerbang taman. Aku harus segera beranjak menuju Dermaga Rambang.

Aku akan berbuka puasa di tempat itu.

Kisah Selanjutnya—->