Salah Tiket Menuju Jakabaring Sport City

<—-Kisah Sebelumnya

Suasana di Stasiun Demang.

Aku bergegas melompat ke salah satu gerbong LRT Sumatera Selatan. Di gerbong tengah tepatnya. Suasana di dalam gerbong tentu tak akan pernah penuh karena aturan PPKM Level 3 yang masih diterapkan pemerintah provinsi. Bangku LRT itu berselang-seling diduduki penumpang.

Aku?….Ya, aku lebih memilih berdiri saja di dekat pintu gerbong.

Sesaat kemudian, LRT berjalan lagi menyusuri jalur layangnya.

Di satu sisi, suara gesekan roda dan rel yang khas Ketika LRT berjalan membuatku rindu akan suasana serupa yang sering kutemukan di luar negeri. Maklum hamper dua tahun lamanya aku absen bepergian ke luar negeri.

Di sisi lain, aku sangat bangga karena salah satu provinsi di Indonesia telah berhasil membangun dan mengoperasikan LRT. MRT dan LRT selalu saja menjadi transportasi elit dalam pola pikirku.

Aku sungguh beruntung, dengan berdiri di dalam gerbong, aku bisa dengan leluasa mengamati pemandangan kota di bawah jalur layang LRT. Pemandangan terindahnya tentu ketika rangkaian gerbong LRT melintasi lebarnya sungai Musi.

Heiiii…..Aku tak berhenti di Stasiun Ampera walaupun tiket yang kubeli seharusnya hanya bisa mengantarkanku hingga stasiun itu. Aku memang salah memilih tujuan ketika membeli tiket di Stasiun Demang.

Aku cuek saja mengikuti arus LRT demi menuju Stasiun Jakabaring. Aku sudah bersiap diri apabila harus membayar denda ketika turun beberapa menit ke depan.

Dalam 25 menit akhirnya aku benar-benar tiba….

Melompat dari gerbong, aku langsung menuju ticket collection gate. Memindai tiket yang kumiliki dan ternyata gerbang keluar itu terbuka. Itu artinya aku tidak perlu membayar biaya tambahan atas kesalahanku dalam membeli tiket.

Mungkin saja rute Stasiun Demang menuju Stasiun Jakabaring dan Stasiun Demang menuju Stasiun Ampera memilki tarif yang sama. “Ah itu tak perlu dipermasalahkan….Yang terpenting aku sudah tiba di tujuan”, aku membatin.

Aku bergegas menuruni stasiun melalui sebuah escalator dan akhirnya berdiri tepat di sisi Jalan Gubernur H. Bastari. Sudah menjadi kebiasaan, aku mulai mengabadikan beberapa situasi di sekitar Tugu Parameswara.

Parameswara sendiri adalah nama seorang raja besar di Palembang. Dipercaya dalam berbagai jejak sejarah bahwa seluruh keturunan etnis Melayu berasal dari Kota Palembang. Hal ini tentu tak bisa dipisahkan dari perpindahan Raja Parameswara dari Kota Palembang menuju ke Temasek (sekarang Singapura). Di masa keemasannya, beliau terkenal dengan julukan Iskandar Syah setelah menjadi penguasa di Kesultanan Melaka di Malaysia.

Suasana Tugu Parameswara sangatlah ramai ketika aku mengambil beberapa foto ikonik. Hal ini dikarenakan letak tugu yang berada di sebuah bundaran. Selain itu, tugubtersebut juga menjadi tengara utama di pintu masuk kompleks Jakabaring Sport City.

Jakabaring?…Apa sebetulnya makna katanya?

Jakabaring adalah singkatan “Ja” yang berarti Jawa, “Ka” berarti Kaba (sebutan orang Semendo), “Ba” berarti Batak, dan “Ring” yang berarti Komering. Itulah keempat suku yang banyak meninggali Kota Palembang.

Tugu Parameswara yang menyiratkan sejarah Melayu.
Jalan Gelora Sriwijaya – Jalur masuk ke Stadion Gelora Sriwijaya.
Sungai artifisial yang dibuat mengelilingi stadion.
Tiba juga di Plaza Stadion.

Salah satu hal yang membuatku berkesan saat berada di Jakabaring Sport City adalah ketika beberapa pengemudi sepeda motor ikut berpose narsis Ketika aku mengabadikan beberapa spot di sekitar Tugu Parameswara tersebut. Keramahan warga Palembang tersebut mampu memunculkan tawa dan secara tak langsung membuatku merasa seakan sangat dekat dengan rumah.

Semakin lama berada di bawah tugu ikonik itu, membuatku kesabaranku habis…..Eits, kesabaran untuk bertemu destinasi inti di kompleks olahraga itu ya….Bukan limit kesabaran untuk baku hantam….Iissh iisshh iisshh.

Maka aku menyegerakan langkah demi menuju Kompleks Stadion Gelora Sriwijaya. Aku perlahan menelusuri jalur panjang menuju ke stadion utama, memanfaatkan trotoar sisi kiri Jalan Gelora Sriwijaya dengan terus mengikuti sekelompok warga yang sedang berjalan bersama menuju ke tempat yang sama.

Suasana dikiri kanan jalur masuk itu tampak hijau. Tak sedikit dahan pepohonan yang menjulur ke arah jalan dan menjadi atap alam trotoar.

Di spot lain, tepatnya di ujung timur jalan telah menanti sebuah plaza luas yang digunakan warga untuk sekedar duduk dan beraktivitas ringan menikmati pagi, juga menjadi tempat yang nyaman untuk anak-anak berlarian dan bermain, serta menjadi spot terbaik untuk berswa foto dengan latar belakang Stadion Gelora Sriwijaya.

Akhirnya aku mulai membaurkan diri dengan bergabung Bersama warga sekitar di plaza itu. Merasakan aura kekeluargaan di area plaza.

Sejenak aku menikmati keindahan di pagi yang cerah itu.

Semangkuk Bubur Ayam Bandung Menuju Stasiun Demang

<—-Kisah Sebelumnya

Kamar seharga Rp. 105.000/malam.

Dengan dihantarkan ojek online akhirnya aku tiba juga di RedDoorz near Griya Agung 2. Di penginapan itulah aku akan menginap selama 3 hari 2 malam selama berada di Palembang. Aku tiba menjelang kumandang adzan Maghrib.

Malam itu aku tak mencari sesuatu yang spesial, melainkan hanya menikmati seporsi Pecel Lele dari sebuah tenda makan yang berada tepat di seberang hotel tempatku menginap.

Selebihnya aku mengistirahatkan badan lebih awal demi membalas kurangnya waktu tidur di malam sehari sebelumnya.

—-****—-

Pukul setengah delapan pagi….

Aku betul-betul sudah siap melakukan eksplorasi hari keduaku di Palembang. Aku sudah berecana untuk mengunjungi markas besar Laskar Wong Kito yang pernah menjadi kampiun Liga Indonesia pada awal tahun 2000-an.

Karena lokasi Gelora Sriwijaya yang terletak berdekatan dengan Stasiun LRT Jakabaring maka aku memutuskan untuk menujunya dengan memanfaatkan jasa LRT Sumatera Selatan. Setelah kuperhatikan rutenya, stasiun LRT terdekat dari tempatku menginap adalah Stasiun Demang. Oleh karenanya aku akan memulai perjalanan pagi itu dari stasiun tersebut.

Untuk menghemat ongkos, maka aku memutuskan untuk berjalan kaki saja demi menggapai Stasiun Demang. Itu berarti aku haru menapaki jalur pejalan kaki sejauh hampir satu setengah kilometer.

Sembari mencari menu sarapan yang tepat”, aku menguatkan niat.

Perjalanan pun dimulai dari Jalan Sei Hitam.

Kamu tahu kan makna kata “Sei”?

Yups….”Sei” dalam Bahasa Melayu bermakna “Sungai”. Hal ini memberikan arti bahwa penginapan dimana aku tinggal sangat dekat dengan bantaran Sungai Hitam, walaupun aku tak pernah menjumpainya….Atau mungkin itu hanya persepsiku sendiri.

Sejauh menelusuri Jalan Sei Hitam, aku tak menemukan satupun kedai makanan yang bisa kusinggahi demi mendapatkan seporsi menu sarapan.

Maka kubuangkan langkah menuju Jalan Inspektur Marzuki. Melangkah menuju ke timur, mataku awas menyapu sekitar. Sesuai insting, aku menemukan sebauh kedai bubur ayam yang menebarkan aroma harum ke sekitar. Tanpa ragu, aku pun memasuki kedai itu.

Yuk sarapan!…..
Sumpah….Ini enak banget.
Ruas Jalan Inspektur Marzuki.

Ternyata baru ada satu pengunjung di dalamnya. Aku mengambil duduk di salah satu spot dan berlanjut dengan memesan seporsi bubur ayam kepada seorang ibu sang pemilik kedai.

Tak menunggu lama, pesananku tiba. Aku pun mulai menyendok bubur ayamku suap demi suap. Aku merasakan cita rasa yang familiar di lidah. Tentu ini tak lepas dari pemilik kedai yang berasal dari Bandung. Sesekali si ibu berbicara menggunakan Bahasa Sunda ketika bercakap dengan pria yang kuduga adalah suaminya. Juga tepampang jelas sebuah tulisan “Bubur Bandung” berukuran besar di dinding kedai.

Beberapa saat kemudian, pengunjung lain mulai berdatangan. Tampaknya “Cakwe” menjadi menu popular di kedai bubur tersebut. Banyak pengunjung yang memesannya dan membungkusnya pulang.

Usai menikmati semangkuk bubur ayam, aku pun melanjutkan perjalanan. Meneruskan langkah di Jalan Inspektur Marzuki yang berkontur menanjak dan menurun membuatku terkadang berada di ketinggian. Di titik itulah penampakan Stasiun Demang yang sedang kutuju terlihat dengan jelas.

Semakin bersemangat untuk mendekatinya, maka aku mempercepat langkah.

Aku akhirnya benar-benar tiba di salah satu stasiun di rute LRT Sumatera Selatan. Menaiki escalator dari salah satu sisi Jalan Demang Lebar Daun, mengantarkanku berada di dalam bangunan stasiun.

Rupanya nama stasiun ini sesuai dengan nama jalan raya yang berada tepat di bawahnya”, aku membatin.

Tiba di konter penjualan tiket, entah kenapa aku tetiba berucap “Stasiun Ampera, Kak”.

Jelas itu tujuan yang salah….

Tiba di Stasiun Demang.
Stasiun Demang bagian dalam.
Platfiorm Stasiun Demang.

Fine!….Aku sudah terlanjur membeli tiket yang salah dan harus segera menaiki LRT yang pintunya sudah terbuka dan menungguku untuk naik ke dalamnya…..

Kisah Selanjutnya—->

Alun-Alun Palembang: Aroma Kemakmuran Sungai Musi

<—-Kisah Sebelumnya

Sinar surya masih saja terik ketika aku meninggalkan halaman depan Benteng Kuto Besak.

Jarum jam merapat ke angka tiga, pertanda bahwa sebentar lagi surya akan tenggelam. Tapi aku masih enggan merapat ke penginapan walaupun sebenarnya waktu check-in sudah lewat.

Masih memanggul backpack berukuran besar, aku yang sedari beberapa waktu sebelumnya berdiri di samping Air Mancur Kuto Besak, untuk kemudian mengarahkan ke pandangan ke hamparan memanjang Sungai Musi nan elok. Dari kejauhan saja, sungai besar itu begitu mengundang rasa penasaran.

Alun-Alun Palembang.
Tugu Ikan Belido.

Sementara di sisi barat, tampak keberadaan Tugu Ikan Belido. Ikan yang biasanya sering kutemukan di kemasan kerupuk khas Sumatera. Ikan inilah yang menjadi satwa endemik Sungai Musi.

Karena rasa penasaran yang tinggi akan bentuk ikan Belida yang sesungguhnya, maka aku mendekati tugu tersebut. Seakan menjadi magnet tersendiri, Tugu Ikan Belido tersebut menjadi titik favorit yang sering dikunjungi para warga lokal untuk sekedar berfoto atau duduk  disekitarnya demi menikmati suasana indah di sore hari. Tugu itu memang tampak klasik karena paduan motif songket khas Palembang yang tersemat di badan bangunan.

Aku hanya sebentar saja menikmati tugu itu, karena selanjutnya aku lebih tertarik untuk duduk dan menikmati aktivitas di sepanjang Sungai Musi.

Duduk di salah satu sisi, aku menikmati aktivitas bocah-bocah Sekolah Dasar yang sedang mandi di tepian sungai. Mereka berempat melompat berkali-kali ke bagian sungai yang tenang, bahkan tampak cuek tanpa busana sekalipun, mereka asyik dengan dunianya sendiri. Seolah mereka tak memperhatikan sekian pasang mata sedang memperhatikan polah mereka yang mengundang gelak tawa. Sesekali seorang bapak tua sang pemilik perahu angkutan umum memeperingatkan mereka untuk tidak melompat di beberapa bagian berbahaya karena keberadaan tonggak-tonggak kayu yang runcing.

Sementara itu di sisi lain, lalu lalang kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara membuat sepanjang aliran Sungai Musi tampak makmur. Kapal-kapal itu tampak menghantarkan hasil tambang batu bara ke beberapa smelter di bagian hilir sungai.

Perahu-perahu angkutan penumpang sederhana menjadi bumbu lain yang memenuhi aktivitas di tepian sungai musi. Perahu Ketek namanya, mungkin karena bunyinya yang bersuara “tektektektektek”. Sungai Musi tampak menjadi nadi kehidupan tersendiri bagi masyarakat Kota Palembang.

Aku begitu terhanyut dengan aura kesibukan di sepanjang Sungai Musi, sementara di belakangku aktivitas lain masyarakat mulai terlihat. Lapak-lapak kuliner mulai disusun, penjual mainan anak-anak mulai berdatangan dan persewaan wahana permainan anak-anak mulai bergeliat. Aku yang kemudia menengok dan menghadap ke belakang merasa terkagum dengan keramaian itu. Aku pun bertanya kepada seorang ibu yang sedang mendorong anaknya di sebuah stroller.

“Ramai banget ada acara apa ya, Bu?”, aku bertanya dengan polosnya

“Itu acara untuk menyambut perayaan tahun baru, Bang”, dia menjawab penuh senyum

“Oalah, saya lupa Bu kalau malam nanti itu malam tahun baru”, aku terkekeh. “Ada kembang api ya, Bu di Jembatan Ampera nanti malam?”, aku menambahkan pertanyaan.

“Oh engga, Bang. Pertunjukan kembang api masih dilarang karena kan masih PPKM level 3, takut mengundang keramaian”. Sang Ibu menjelaskan.

“Oh bener juga ya, Bu”, aku mengangguk paham.

Tongkang Pengangkut Batubara.
Jembatan Ampera terlihat dari Alun-Alun Palembang.
Geliat keramaian menyambut perayaan tahun baru.

Maka sebagai langkah penutup, sore itu aku menyempatkan waktu untuk berkeliling dan melihat-lihat dertan tenda dan lapak yang didirikan. Dan setelahnya aku memutuskan untuk menyegerakan diri menuju penginapan yang sudah aku pesan  secara daring. Penginapan itu berada di daerah Siring Agung.

Aku memesan ojek online dan menuju ke penginapan…..

Kisah Selanjutnya—->

Benteng Kuto Besak: Imajinasi Indah Masa Lalu

<—-Kisah Sebelumnya

Usai mengambil foto terakhir Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dari pelatarannya, aku memutuskan pergi. Tetapi aku mengambil jalan lain untuk keluar dari area museum, hal ini dikarenakan jalur utama untuk memasuki museum sedang ditutup karena aktivitas renovasi.

Dengan terpaksa aku harus melakukan perbuatan tak sopan, aku harus menginjak rumput untuk keluar dari sisi samping. Melompati saluran drainase maka tibalah aku di sisi selatan Jalan Dr. AK Gani. Nama jalan ini merujuk pada Dr. Adnan Kapau Gani, seorang tokoh Pahlawan Nasional Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1947.

Jalan itu menampilkan bentangan tembok setebal dua meter layaknya dinding pertahanan. Tertarik dengan nuansa klasiknya maka aku menyusuri sekeliling tembok tua tersebut ke arah selatan. Hingga tiba di ujung jalan, aku memindahkan langkah menuju barat, masih menyusuri jalur di sepanjang dinding. Jalur tersebut tak lain lagi adalah Jalan Sultan Mahmud Badaruddin, yang merupakan jalan utama selebar empat meter yang melintas di sisi depan Benteng Kuto Besak.

Benteng Kuto Besak sendiri adalah benteng berusia hampir dua setengah abad dengan luasan tak kurang dari lima hektar. Benteng ini pada masa keemasannya adalah bangunan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam. Hanya saja, saat ini Benteng Kuto Besak digunakan sebagai markas Komando Daerah Militer (KODAM) II Sriwijaya.

Tiba di titik utama, maka aku tertegun dengan sebuah gerbang besar berjuluk Lawang Koeta Besak yang merupakan pintu utama untuk memasuki area benteng. Hanya karena telah menjadi bangunan markas militer, maka di pintu gerbang utama itu terdapat pos penjagaan militer yang dijaga beberapa serdadu bersenjata.

Lawang Koeta Besak

Sepenuhnya aku paham bahwa tak sembarangan orang bisa memasuki area dalam Benteng Kuto Besak dengan mudah. Tetapi aku yang diselimuti rasa penasaran mendalam, berusaha untuk mendekati salah satu serdadu yang sedang berjaga.

Selamat siang, pak. Saya Donny, wisatawan dari Jakarta. Apakah saya bisa masuk ke dalam Benteng Kuto Besak untuk melihat-lihat?”, aku memberanikan diri untuk memulai bertanya.

“Oh, maaf pak. Ini kantor militer, setiap orang tidak boleh sembarangan masuk demi keamanan”, dia menjawab tegas sembari memegang senapan laras panjang di tangan kanannya.

Oh, baik pak jika demikian. Terimakasih ya, pak”, aku menjawab tegas dan singkat tanpa memunculkan opsi bertanya kembali.

Aku pun pergi meninggalkan gerbang utama Benteng Kuto Besak. Aku lebih memilih untuk menepi di salah satu titik Jalan Sultan Mahmud Badaruddin. Aku memutuskan untuk mengambil beberapa gambar menarik dari luar benteng.

Tembok Benteng Kuto Besak.

Aku yang termangu menikmati kegagahan Benteng Kuto Besak pun masuk ke dalam imajinasi masa lalu. Membayangkan bagaimana pada masa kemakmuran Kesultanan Palembang Darussalam. Memperkirakan bagaimana bentuk aktivitas anggota kerajaan di dalam Benteng Kuto Besak dan aktivitas perdagangan rakyatnya di sekitaran Sungai Musi yang membentang memanjang di depan benteng.

Aktivitas masa lalu yang klasik dan luar biasa tentunya…….

Kisah Selanjutnya—->

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II: Kisah untuk Generasi Muda Bangsa

<—-Kisah Sebelumnya

Usai satu jam menikmati panorama di atas Jembatan Ampera, maka aku memutuskan untuk turun. Melangkahlah kaki menuju pangkal jembatan sisi utara, aku kembali mengitari Bundaran Air Mancur Palembang. Dengan susah payah aku menyeberangi Jalan Mayjen. H. M. Ryacudu yang siang itu dialiri arus cepat kendaraan.

Berhasil menyeberangi jalan lebar itu dengan pengawasan seorang opsir polisi lalu lintas, lantas aku melintas di depan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) yang di setiap sisinya rapat tertutup lembaran-lembaran seng. Monumen kenamaan Palembang itu sedang mengalami renovasi besar-besaran.

Aku mengindahkan keberadaannya dengan terus melangkah menyusuri salah satu sisi Taman Ampera. Aku mantab melangkah menuju ke suatu tempat yang telah kuincar sedari beberapa waktu sebelumnya.

Ya….Aku ingin mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Maka beberapa menit kumudian, aku benar-benar tiba di pelataran museum besar itu. Berdiri di pelatarannya, sejenak aku termangu. Bangunan dua lantai berarsitektur khas Eropa itu lengang, tampak tak ada siapapun di sana.

Aku yang diselimuti rasa penasaran, memberanikan diri untuk menaiki tangga kembarnya yang dipisahkan oleh tiang gerbang lantai pertama. Begitu tiba di lantai atas, tetiba ada seorang lelaki setengah baya memanggilku.

TIketnya di lantai bawah, dek”, dia menunjukkan tangan ke pintu gerbang lantai pertama.

Oh, baik, pak”, aku enoleh dan sigap menjawab.

Aku pun bergegas turun dan dengan cepat menuju loket penjualan tiket di lantai pertama. Loket itu berada di ruangan sebelah dalam.

Pantas tak terlihat”, aku membatin.

Usai memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, aku diberikan selembar tiket masuk oleh seorang pria muda sang penjaga loket.

Aku juga diberikan sebuah tas jinjing berbahan kain. Cukup mudah untuk memahami bahwa tas itu berfungsi untuk menaruh sepatu. Hal itu memiliki arti bahwa setiap pengunjung harus bertelanjang kaki dalam mengeksplorasi museum.

Tak membuang waktu, aku kembali naik ke lantai atas untuk memulai petualangan.

Pada tahap awal, museum ini memamerkan beberapa prasasti kuno. Maka pada salah satu spot, aku tertegun di depan prasasti Kedukan Bukit. Dahulu, aku sering mendengar nama prasasti ini di dalam buku pelajaran sejarah. Di depan prasasti itu, aku khusyu’ mengamati aksara Pallawa yang tertera di permukaan batu hitam. Kedukan Bukit sendiri adalah nama desa dimana prasasti ini ditemukan oleh arkeolog C.J Batenberg.

Tulisan dalam Prasasti itu mengisahkan perjalanan seorang Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang bersama 20.000 pasukannya usai menaklukkan daerah Bernama Minanga.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kursi yang dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam.
Kayaknya itu singgasana raja deh.
Andai kamarku kek gitu…wkwkwkwk.
Gucinya keren kan?…

Peninggalan sejarah lain yang dipamerkan di museum itu adalah Prasasti Talang Tuo, Prasasti Boom Baru, patung Budha berukuran kecil, berbagai macam kendi masa lalu, pakaian kebesaran para petinggi Kerajaan Palembang, beberapa senjata tradisional khas Palembang seperti Roodoos, Tumbak Lado serta kerajinan kuningan.

Sedangkan hiasan dinding meseum menampilkan beberapa informasi bersejarah seperti selembar peta yang dibuat oleh anak buah Laksamana Cheng Ho bernama Ma Huan, peta perdagangan pada zaman keemasan Sriwijaya, silsilah raja Palembang, peta Keraton Kuto Gawang, lukisan tentang Perang Palembang antara Kesultanan Palembang melawan Kolonial Belanda yang meletus pada tahun 1821 hingga masa pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Jalur kunjungan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin  II ini dimulai dari lantai kedua dan diakhiri di lantai pertama.

Selama tak kurang dari satu jam aku menikmati perjalanan sejarah Palembang di museum tersebut.

Kisah sejarah yang perlu dipahami oleh generasi muda bangsa…………….  

Kisah Selanjutnya—->

Jembatan Ampera: Terik pun Tak Ku Hiraukan

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas Shalat Jum’at aku kelaparan. Lantas apakah lapak para pedagang makanan yang digelar di pelataran masjid membuatku tertarik dan singgah?….Tidak….Aku ingin menikmati sesuatu yang berbeda di Bumi Sriwijaya.

Sampai jumpa lagi Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin, semoga aku bisa mengunjungimu lain waktu?”, aku melangkah pergi.

Pesan Whatsapp dari seorang kolega di Palembang mulai menginisiasi langkah kaki untuk menelusuri keramaian di kawasan 16 Ilir. Inilah kawasan ekonomi masyarakat, sebuah kawasan seluas hampir tiga puluh hektar yang secara mayoritas ditempati oleh pertokoan dan lapak-lapak perniagaan.

Faktanya, menjelajah di beberapa penjuru kompleks perniagaan itu tak membuatku menemukan tempat makan dengan mudah.

Hingga akhirnya langkahku merapat di tepian Sungai Musi.

Yeaaai….Akhirnya makan siang juga”, aku berhore ria ketika membaca tajuk sebuah gapura kecil, “Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi”. Begitulah bunyi tajuk yang kumaksud.

Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi>
Pindang Patin khas Palembang.

Aku yang kelaparan akut, tanpa pikir panjang memasuki deretan kedai kuliner tersebut. Satu hal yang mampu membangkitkan antusiasku ada panorama Sungai Musi dari dekat. Sebuah konsep wisata kuliner yang cukup cerdik. Memanjakan para pengunjung untuk bersantap makanan sembari menikmati padatnya aktivitas Sungai Musi.

Maka terduduklah aku di sebuah kedai, untuk kemudian memesan seporsi Pindang Patin untuk mengusir rasa lapar yang kutahan sedari beberapa waktu sebelumnya.

Tak lama kemudian, pesanan itu benar-benar tiba, aku pun mulai menikmati makanan khas Palembang tersebut. Saking khusu’nya, aku bahkan tak mempedulikan beberapa musisi jalanan yang bernyanyi di sepanjang deretan kedai kuliner….Maafkan aku, mas-mas pengamen.

Menebus seporsi Pindang Patin dengan harga lima belas ribu rupiah, aku pun meninggalkan pusat kuliner tersebut. Langkahku jelas dan pasti.

Jembatan Ampera….Aku segera datang”, aku membatin.

Melangkah ke arah selatan, aku berusaha mendekat ke jembatan terkenal itu. Tiang jembatan sangat terlihat jelas dari kawasan 16 Ilir.

Beruntung aku menemukan tangga tepat di bawah jembatan. Tangga itulah yang bisa mengantarkan para pengunjung yang berada di Kawasan 16 Ilir menuju bagian deck (lantai jembatan).

Menaiki tangga dengan melingkari salah satu pier (pilar jembatan), aku akhirnya berhasil mencapai bagian deck.

Entah kenapa, begitu menapaki bagian deck dan memandangi dua tiang raksasa jembatan berwarna merah, aku bisa tersenyum sendiri. Sudah sekian lama, aku hanya mampu menikmatinya dari layar telivisi dan surat kabar saja….

Parah ah, kamu, Donny”, aku mengutuki diri sendiri yang bahkan tak pernah menyempatkan diri melongok keindahan Bumi Sriwijaya.

Ulala….Jembatan Ampera.
Tiang-tiang raksasanya membuatku terkagum.
Dermaga di bawah Jembatan Ampera.
Stasiun LRT Ampera
Pasar 16 Ilir.

Pukul setengah dua siang, terik matahari masih mampu membakar kulit. Aku yang tak berpelindung apapun tak menghiraukan sengatan matahari tersebut. Aku justru menyandarkan badan di pagar jembatan dan menikmati aktivitas pelayaran di sepanjang aliran Sungai Musi.

Pemandangan itu sesekali diperindah dengan melintasnya LRT Sumatera Selatan yang jalur rel layangnya sejajar dengan deck jembatan Ampera.

Aku yang tak puas-puasnya menikmati keanggunan Jembatan Ampera bahkan merelakan diri untuk berlama-lama duduk di bangku trotoar jembatan walau siang itu cuaca masih sangat terik.

Damn…I Love Palembang”……

Kisah Selanjutnya—->

Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Joyo Wikramo: Khawatir COVID-19

<—-Kisah Sebelumnya

Voice announcement menggema di langit-langit gerbong. Aku yang tersadar pun segera bangkit demi bersiap turun. Dalam beberapa menit ke depan LTR akan berhenti di Stasiun Ampera.

Hatiku sungguh berdebar, mirip ketika hendak bertemu kekasih hati…. 😊 😊 😊

Tak kusangka aku akan melihat secara langsung Jembatan Ampera yang tersohor di seluruh negeri tersebut.

Lewat dari pukul setengah dua belas siang, kereta benar-benar merapat di Stasiun Ampera.

Aku akhirnya turun…..

Menapaki peron stasiun, aku menyempatkan diri untuk mengambil beberapa gambar menarik dari sebuah sisi. Lalu aku pun bergegas menuruni anak tangga untuk tiba di lantai dasar stasiun.

Namun aku hanya melihat bagian pangkal jembatan yang sejajar dengan tangga stasiun yang saat itu sedang kuturuni. Aku belum bisa melihat dengan jelas tiang Jembatan Ampera. Membuatku semakin merasa penasaran.

Akhirnya aku tiba di lantai dasar…..

Tapi aku bimbang ketika mendengar adzan.

Dijamak atau engga ya?”, perdebatan dalam batin muncul. Itu karena aku berkehendak kuat untuk segera menuju penginapan.

Sepuluh menit aku terduduk berpikir di lantai dasar stasiun. Selama itu pula, seorang security stasiun memperhatikan apa yang aku lakukan.

Mengetahui aku diawasi, maka aku pun beranjak pergi dan memutuskan untuk menuju ke Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin. Aku telah memutuskan untuk menjalankan Shalat Jum’at.

Ini akan menjadi shalat jum’at pertamu di Palembang, Donny”, aku menguatkan niat.

Maka melangkahlah aku ke utara, menuju Bundaran Air Mancur Palembang. Karena letak masjid agung ada di sisi barat air mancur tersebut.

Melangkah hampir 300 meter aku tiba di bundaran tersebut, hal itu menandakan aku telah berdiri di Titik Nol Kota Palembang. Aku berdiri kagum di salah satu sisinya, merasakan lembut dan sejuknya buih-buih halus yang tercipta dari air mancur hingga tak kusadari Canon EOS M10 yang terkalung di leher menjadi basah. Konon transformasi dari air mancur dan kemudian berubah menjadi buih-buih lembut adalah hasil dari teknologi bawaan yang disematkan dalam sistem kerja air mancur.

Pangkal Jembatan Ampera.
Bundaran Air Mancur Palembang
Bersiap mendengar khutbah jumat.
Bentuk kubah utama masjid agung dari dalam.
Serambi utama masjid agung.
Menara masjid agung berarsitektur Tiongkok.
Bagian muka masjid agung.

Aku pun bergegas pergi untuk menghindari rusaknya kamera. Aku segera memasuki pelataran masjid agung dan bersiap diri untuk menunaikan ibadah Shalat Jum’ at. Aku melipir ke salah satu sisi untuk masuk ke ruangan bersuci.

Usai berwudhu, aku pun memasuki masjid terbesar di Palembang yang merupakan peninggalan dari Kesultanan Palembang Darussalam. Suasana masjid yang sangat dipenuhi jama’ah sangat membuat nyaliku ciut.

Mereka tidak masalah jika terkena COVID-19…..Tidak denganku, jika terpapar maka aku tidak bisa pulang dan harus mengisolasi diri di Palembang selama 10 hari”, aku bergumam.

Walau waktu itu, para jama’ah masih mengambil jarak ketika shalat, aku tetap mengambil tempat paling belakang, posisi paling dekat dengan ruang terbuka sebagai bentuk antisipasi.

Walau tak khusyu’ sepenuhnya, aku cukup bahagia bisa merasakan shalat berjama’ah di masjid berusia lebih dari dua setengah abad tersebut.

Hari pertama penuh makna di Bumi Sriwijaya….

Kisah Selanjutnya—->

LRT Sumatera Selatan: Serasa di Luar Negeri

<—-Kisah Sebelumnya

Aku telah usai mengabadikan beberapa sudut cantik Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport.

Bibirku tersinyum simpul karena leluasanya diriku menikmati suasana di pelataran bandara kebanggan Kota Palembang tersebut.

Bagaimana tidak, pagi itu tak ada yang mengganggu aktivitasku dalam mengambil gambar di area parkir bandara. Para sopir taksi enggan mendekat, tentu akan lebih baik jika mereka menyasar beberapa penumpang yang telah mendarat dari beberapa penerbangan lain.

Usai puas, aku memutuskan pergi….

Menghindari beberapa genangan kecil air pasca hujan yang mengguyur area bandar udara, aku melangkah pasti ke sebuah koridor panjang.

Memang sedari beberapa waktu sebelumnya aku memperhatikan koridor itu, banyak pengunjung terminal yang menggeret travel bag di sepanjang koridor itu.

Itu pasti koridor menuju stasiun LRT”, aku menduga-duga.

Koridor itu berada di sisi timur bangunan terminal bandara, tepat berada di Zona E area parkir.

Aku memotong jalur koridor melalui sebuah tangga di ujung utara koridor. Mengindahkan keberadaan lift menuju lantai atas. Aku memilih menggunakan jalur tangga manual, sabar menapaki setiap anak tangganya.

Benar adanya, tiba di lantai atas, sebuah signboard meyakinkan langkah yang telah kumulai.

Koridor menuju Stasiun Bandara.
Nah, ini dia wujud koridornya.
Konter penjualan tiket LRT Sumatera Selatan.
Tak sabar menunggu kedatangan LRT Sumatera Selatan.

Stasiun LRT”, aku melafalnya, “Yeaa, saatnya mencoba”, kerianganku tak terbendung.

Aku melanjutkan langkah….

Oh, di sini toh test PCR dilakukan”, aku berguman sembari lekat mengamati beberapa calon penumpang pesawat yang duduk mengantri untuk melakukan test PCR. Memang pada saat kedatanganku, kondisi penyebaran COVID-19 masih cukup dipantau oleh pemerintah melalui program PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) Tingkat 2.

Lalu jika ditanya, kenapa aku memberanikan diri untuk mulai berpetualang di saat pandemi masih pada level waspada?

Sudahlah, aku sudah tidak tahan berada di rumah…..”, begitulah kira-kira aku akan menjawab…. 😊😊

Langkahku akhirnya tiba di pintu masuk peron. Seorang petugas keamanan menyapaku ramah dan langsung mengarahkanku untuk melakukan check-in melalui aplikasi Peduli Lindungi.

Lantas, seorang petugas customer service wanita dengan menggunakan pakaian batik khas Palembang menghampiriku, menyapa dengan sopan dan menanyakan tujuan akhirku.

Jembatan Ampera, Kak”, aku melontar jawab.

Oh baik, itu berjarak 10 stasiun dari stasiun ini. Kakak bisa menggunakan kartu uang elektronik atau membeli tiket di konter sebelah sana”, dia menunjuk salah satu sisi peron.

Terimakasih, Kak”, aku melempar senyum walau ada rasa sebal pada diri sendiri kenapa harus meninggalkan kartu uang elektronik di rumah.

Membayar dengan Rp. 10.000, akhirnya aku mendapatkan selembar tiket dan mengambil duduk di salah satu sisi peron untuk menunggu kedatangan LRT.

Akhirnya datang juga.
Yuk, naik !
Menunggu penumpang lain masuk.
Kerennya gerbong buatan anak negeri.
Perjalanan menuju Stasiun Ampera.

Bersyukur….Tak perlu lama menunggu, lima menit kemudian deretan gerbong LRT merapat pelan di jalurnya.

Aku melompat melalui gerbong pertama dan mengambil tempat duduk di gerbong tersebut. Tampak security dengan tegas mengarahkan setiap penumpang untuk tidak menduduki bangku yang diberi tanda silang demi menjaga jarak antar penumpang.

Tak berapa lama kemudian, aku terhanyut dalam laju kereta yang melaju dengan cepat demi menuju pusat kota.

Di dalam gerbong, secara tak sadar, aku bisa ikut serta merasakan kebanggaan atas keberadaan LRT Sumatera Selatan di Bumi Sriwijaya tersebut. Aku seakan seperti berada di kota-kota besar di luar negeri yang memiliki transportasi massal model LRT dan MRT.

Sementara itu, di luar gerbong, langit masih saja menumpahkan jutaan tetes gerimis ke bumi. Menciptakan nuansa dingin di sepanjang jalur layang MRT menuju Stasiun Ampera.

Di stasiun itulah nantinya aku akan turun.

Kisah Selanjutnya—->

Mimpi Serbia dari Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport

<—-Kisah Sebelumnya

Hampir jam sepuluh pagi, Super Air Jet IU 872 sempurna merapat di salah satu apron milik Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport yang tampak basah usai di guyur hujan beberapa saat sebelum ketibaanku.

Titik-titik air hujan rapat menempel di jendela pesawat tempatku duduk. Untuk sesaat segenap penumpang menunggu aktivitas ground staff mempersiapkan aerobridge sebagai penghubung penumpang untuk berpindah dari kabin pesawat menuju bangunan terminal bandara.

Aku sendiri cukup kagum dengan fasilitas milik Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport yang tampak lengkap layaknya bandara professional. Beberapa saat kemudian, akhirnya aku memasuki bangunan terminal bandara dengan menyusuri arrival  corridor.

Tidak seperti ketika aku berkunjung ke banyak pelabuhan udara, biasanya aku akan lurus melangkah menuju ke arrival hall tanpa memperhatikan sekitar. Tetapi kali ini berbeda, aku seakan terpesona dengan keotentikan sepanjang koridor. Di depan pandangan terhampar pola-pola batik khas Palembang yang memenuhi segenap dinding. Motif batik songket dan motif batik kembang teh ada diantaranya.

Di beberapa spot arrival corridor juga terdapat beberapa almari yang di dalamnya tersimpan tanjak khas Palembang. Bersama asesoris busana khas Palembang lainnya menjadikan area sepanjang arrival corridor sebagai etalase budaya khas Propinsi Sumatera Selatan.

Tiba di ujung arrival corridor, maka aku menuruni sebuah escalator menuju ke Lantai 1. Sudah pasti, karena ini adalah Kedatangan Domestik maka pemandangan pertama yang terlihat adalah jajaran baggage conveyor belt yang sudah dikerumuni penumpang Super Air Jet IU 872. Mereka sedari beberapa waktu sebelumnya telah bergegas mengambil bagasi dibandingkan diriku yang terlarut dengan waktu karena menikmati suasana bandara.

Tak ada satupun bagasi yang kutunggu, maka aku memilih untuk memandangi beberapa spot photo yang berada di lantai 1. Beberapa penumpang tampak mengantri di spot tersebut untuk mengabadikan dirinya.

Usai sesaat menikmati suasana di lantai 1 maka aku memutuskan menuju pintu keluar dan tibalah aku di beranda Kedatangan Domestik.

Seperti bandar udara pada umumnya, maka begitu tiba di luar bangunan terminal, aku diserbu oleh beberapa sopir taksi yang menawarkan jasa antar ke pusat kota. Sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk menghindari penggunaan taksi dan memilih menggunakan transportasi umum yang memiliki tarif lebih terjangkau.

Sultan Mahmud Badaruddin II adalah Pahlawan Nasional yang memimpin Kesultanan Palembang Darussalam dalam melawan VOC pada Abad ke-19.
Bandar udara yang berlokasi di Kecamatan Sukarame.
Motif batik khas Palembang.
Tanjak khas Palembang.
Asesoris busana adat Palembang.
Jejak penyambutan Natal 2021.
Baggage conveyor belt.
Serambi Kedatangan Domestik.
Bandar Udara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Jalur menuju lintasan LRT Sumatera Selatan.

Maka aku berjibaku untuk terus menghindari para sopir taksi dengan cara menjauh dari bangunan terminal. Aku hanya terus menyampaikan kepada mereka bahwa aku akan menuju pusat kota menggunakan LRT (Lintas Rel Terpadu) Sumatera Selatan.

Aku hanya berdiri di salah satu titik untuk mengambil photo Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport dengan sudut pandang terbaik.

Tetiba muncul notifikasi di DM Instagramku , lantas aku membaca pesan masuk itu:

Mbak Ra     :     “Naik pesawat baru?”

Aku              :     “Iya mbak Ra…Penasaran…Wkwkwk?”

Mbak Ra     :     “Beneran ga terlalu berisik kah?….Udah terbang lagi aja”.

Aku              :     “Ndak kok….Pesawatnya Ok banget….Halus mengudara pagi ini, mbak…Walau banyak awan”

Mbak Ra     :     “Hahaha…Selamat menikmati perjalanannya mas. Semoga tahun depan bisa melakukan perjalanan seperti sebelum pandemi”

Aku              :     “Amin…Terimakasih, Mbak Ra”.

Dialah Mbak Ra yang beberapa tahun terakhir menjadi teman bloggerku, tentu aku banyak belajar dari caranya menulis.

Percakapan singkat lewat dunia maya itu menjadi penutup eksplorasi Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport pagi itu.

Kenapa aku mengutip percakapan dengan Mbak Ra ini?

Sungguh epik,

Hari itu tertanggal 31 Desember 2021,

Do’a dari Mbak Ra yang kuamini benar-benar kejadian. Tepat setahun semenjak perjalanan ke Palembang itu aku diizinkan Tuhan untuk melakukan perjalanan layaknya perjalanan sebelum masa pandemi.

Aku berhasil menginjakkan kaki di tanah Uzbekistan, Kazakhstan, Turki dan Serbia. Perjalanan yang sungguh indah dan berhasil membuatku meneteskan air mata.

Kisah Selanjutnya—->

Super Air Jet IU 872 dari Jakarta (CGK) ke Palembang (PLM)

<—-Kisah Sebelumnya

Jalur penerbangan Super Air Jet IU 872 (Sumber: flightware)

Tepat pukul setengah delapan aku tiba di depan X ray screening gate pertama Soekarno Hatta International Airport di Terminal 2D.

“Sudah lengkap semua syaratnya, Pak?”, seorang Aviation Security menanyaiku sebelum aku memasukkan backpack ke X-ray Scanner.

“Oh….Sudah Pak….Ini, Pak”, aku menunjukkan foto validasi kelayakan terbang kepadanya

Dia pun mengangguk dan mempersilahkan aku untuk melanjukan pemeriksaan.

Dengan mudah aku melalui X-ray screening gate tersebut dan segera melanjutkan langkah ke check-in desk. Sebetulnya aku sudah melakukan online check-in pada 24 jam sebelum keberangkatan. Seharusnya aku tidak perlu menuju check-in desk untuk meminta boarding pass. Aku hanya perlu menunjukkan e-boarding pass kepada petugas aviation security di X-ray screening gate kedua.

Tetapi karena kebiasaanku yang tidak puas kalau tak mendapakan printed boarding pass, aku pun bersikukuh untuk tetap menuju check-in desk walaupun harus melewati beberapa antrian.

Aku akhirnya memilih mengantri di Desk No. 31. Bersyukur hanya perlu untuk mengantri selama lima belas menit, aku mendapatkan printed boarding pass.

Maka dalam jarak satu jam dari boarding time, aku bergegas menuju Gate D7. Aku pun tiba di ruang tunggu Gate D7 lima belas kemudian. Berada setengah jam sebelum boarding time membuatku hatiku merasa lebih tenang.

—-****—-

Boarding time tiba tepat waktu….

Pukul setengah sembilan, pengumuman memenuhi langit-langit bandara. Gate D7 untuk penerbangan Super Air Jet IU 872 telah dibuka. Aku bergegas menuju aerobridge untuk masuk ke kabin pesawat.

Pesawat yang kunaiki berjenis Airbus A320. Pagi itu menjadi waktu yang sangat berkesan bagiku oleh karena IU 872 menjadi penerbangan pertamaku bersama Super Air Jet, sebuah maskapai penerbangan baru yang sejatinya masih menjadi bagian dari Lion Group yang merupakan perusahaan induk maskapai penerbangan berbiaya murah di Indonesia.

Aku memang sudah sejak lama memendam rasa untuk mencicipi maskapai yang didirikan untuk kaum milenial tersebut. Maskapai yang mengandalkan warna khaki sebagai warna utama maskapai. Warna itu menjadikan penampilan pesawat begitu elegan. Tentu warna dasar itu juga tersemat sebagai warna seragam air crew yang lebih memilih menggunakan jenis seragam taktikal casual.

Penerbangan ketigaku selama pandemi.
Air crewnya keren seragamnya.
Meninggalkan Cengkareng.
Cantiknya langit selama penerbangan.
Mendekati Palembang.

Memasuki kabin pesawat, aku bergegas mencari bangku bernomor 29F, posisi window seat yang memungkinkan bagiku untuk leluasa mengambil gambar selama penerbangan. Begitulah keuntungan utama ketika kita memesan tiket penerbangan di seluruh maskapai yang tergabung dengan Lion Group, dimana para calon penumpang bisa memilih kursi ketika melakukan online check-in tanpa biaya tambahan.

Penerbangan Super Air Jet IU 872 sendiri adalah penerbangan dari Jakarta menuju Palembang dengan waktu tempuh sekitar 44 menit dan rentang jelajah 420 kilometer. Adapun ketinggian terbangnya adalah 28.000 feet dan kecepatan maksmial 820 km/jam.

Penerbanganku ke Palembang kali berjalan dengan mulus dan minim turbulensi sehingga memberikan kesan yang cukup baik terhadap penerbangan pertamaku bersama Super Air Jet.

Aku sudah tak sabar untuk segera mendarat di Sultan Mahmud Badaruddin II International Airport demi mengeksplorasi Kota Palembang….

Sebagai alternatif, tiket pesawat dari Jakarta ke Palembang bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->