KLIA Terminal 1: Berburu Spot Beristirahat

<—-Kisah Sebelumnya

Sudah lewat jam sebelas malam…..

Pusat perbelanjaan yang terintegrasi dengan bandar udara itu tampak sepi di banyak titik, tak sedikit toko yang telah menutup pintunya rapat-rapat. Hanya beberapa minimarket yang masih membuka diri bagi para pengunjung bandara.

Hmmhhh, senyap sekali….Lebih baik aku langsung saja menuju ke Terminal 1 dan mencari spot yang bisa kugunakan untuk beristirahat di sana”, aku mengambil satu keputusan dalam hati.

Maka melangkahlah aku menuju ujung utara Gateway@KLIA2. Aku tahu bahwa dari ujung pusat perbelanjaan itu terdapat escalator untuk menggapai “Transportation Hub” yang berada di Lantai 1. Ini lah area yang merupakan akses utama menuju ke beberapa kota penting di Malaysia, menuju ke pusat kota dan bahkan menuju ke beberapa titik penting di sekitaran bandara…Sepang International Circuit adalah salah satu contohnya.

Sesampainya di Transportation Hub Area, aku langsung menuju ke deretan platform untuk melihat situasi dan mencari petunjuk dimanakah lokasi KLIAFree Shuttle Bus akan mengambil penumpang, karena hanya bus itulah yang bisa mengantarkanku secara cuma-cuma menuju Terminal 1 di sisi timur KLIA2.

Tak kunjung menemukannya, maka aku memutuskan untuk berdiri menunggu saja di salah satu platform yang nampak sepi. Tapi aku tak khawatir karena keberadaanku bisa dilihat oleh segenap pengunjung bandara dari sisi dalam bangunan bandara.

Hampir tengah malam di Trasportation Hub Lantai 1, KLIA2
Platform berbagai bus menuju ke banyak destinasi di dalam dan luar kota.

Pucuk dicinta ulam tiba….

Bus berkelir biru itu tiba, meluncur gesit dari ujung bangunan bandara, menyorotkan lampu yang menyilaukan mata. Aku hanya berdiri terpaku mengamati kedatangannya, sembari menunggu dimanakah bus itu akan berhenti. Melewatiku dengan kecang, bus itu mulai menurunkan laju di ujung lain bangunan bandara.

Oh, di situ ternyata dia berhenti”, aku tersenyum tipis bak memenangkan sebuah pertarungan dengan mudah.

Maka melangkahlah aku menuju free shuttle bus itu dengan ayunan langkah cepat.

Aku melangkah masuk dari pintu tengah dan duduk di bangku yang terletak sedikit di belakang. Menaikkan beberapa penumpang, bus gratis itu pun mulai berangkat sesaat kemudian. Hanya sedikit penumpang yang terangkut malam itu, yaitu beberapa penumpang lokal dan satu-dua turis asing asal Tiongkok.

Aku kembali menikmati romansa masa lalu di sepanjang perpindahan terminal itu. Aktivitas kecil seperti itu selalu menjadi ritual yang sering kulakukan di masa lalu, saat dimana pandemi belum unjuk gigi menguasai dunia.

Perjalanan menuju Ke Terminal 1 itu hanya memakan waktu 25 menit. Melewati beberapa titik penting di sekitaran bandara seperti Long Term Car Park (LTCP) area dan Mitsui Outlet Park (MOP).

Aku diturunkan di Gate 4, International Departure Hall – Terminal 1 di Lantai 1.

Aku memasuki pintu bangunan bandara yang berbentuk lingkaran di Gate 4. Lalu menaiki escalator untuk menuju Lantai 2. Tetapi entah kenapa, ketika mencari keberadaan food court area, justru aku bisa tersasar. Alih-alih menemukannya, justru aku tersasar hingga ke parking area.

Dasar amatiran kamu, Donny”, kali ini aku menyangsikan kemampuanku sendiri.

Memutar arah kembali ke tempat awal tiba di Lantai 2, pada akhirnya aku menemukan selasar yang masih ramai dengan aktivitas. Beberapa coffee shop tampak masih berpengunjung walau tak penuh.

Free Shuttle Bus KLIA2 ke KLIA atau sebaliknya.
Lantai 1 KLIA
Suasana selasar di Lantai 2 KLIA.
Melanjutkan kebiasaan lama ketika bertraveling..…Tidur di bandara.

Pada saat yang bersamaan, aku merasakan pegal di punggung karena terlalu lama memanggul backpack. Tetapi sebelum benar-benar mencari bangku untuk beristirahat, aku memaksakan langkah kembali menaiki satu lantai untuk memastikan keberadaan check-in counter yang akan kutuju di keesokan hari. Menaiki sebuah escalator panjang, akhirnya aku menemukan deretan check-in counter tersebut. Terdapat 12 deret check-in counter yang masih sepi di Lantai 3 – Terminal 1 KLIA.

Merasa telah menguasai alur untuk keperluan di keesokan hari, akhirnya aku memutuskan untuk duduk di salah satu deret bangku, meletakkan backpack untuk beberapa saat, dan bersiap untuk tidur malam di deret bangku kosong yang kutemukan itu.

Kisah Selanjutnya—->

Imigrasi Malaysia: Memamerkan Kepercayaan Diri

<—-Kisah Sebelumnya

Hanya dalam sekejap, Air Asia QZ 206 genap menyelesaikan taxiing di sepanjang landas pacu demi menggapai di salah satu sisi apron.

Sambutan aerobridge menyusul dengan terjulur perlahan belalainya hingga menempel di pintu pesawat. Beberapa saat kemudian, pesawat mulai mengalirkan penumpangnya menuju bangunan terminal.

Aku yang keluar dari pintu pesawat di antrian depan, langsung mengejar keberadaan ibu paruh baya yang kutemui di Soetta. Kemudian aku menyejajari langkahnya dan berinisiatif untuk membantu menarik trolley bagnya. Si ibu pun tersenyum mendapatkan pertolongan kecil yang kuberikan.

Gede banget ya, A bandaranya”, wajah si ibu tampak menengok kesana-kemari.

Masih gedean, Soekarno-Hatta, Bu”, aku sabar mengerem langkah demi terus sejajar dengan langkahnya.

Aku akhirnya mengantarkan ibu paruh baya itu hingga ke pintu transfer hall Kuala Lumpur International Airport Terminal 2 (KLIA 2).

Ibu, silahan masuk ke transfer hall melalui pintu yang dijaga para petugas itu. Besok pagi dua jam sebelum waktu penerbangan, ibu harus mencari informasi di layar lebar seperti itu (aku menunjuk ke salah satu FIDS/Flight Information Display System)”, aku menjelaskan sambil berjongkok menyetarai tinggi badan si Ibu.

Baik, A. Nuhun ya atas bantuannya. Ati-ati, A di jalan”, dia menjulurkan tangannya dan meminta bersalaman.

Aku menggapai tangannya dan melempar senyum untuk menenangkannya.

Selanjutnya aku pergi menuju sebuah escalator panjang ke arah atas demi menuju konter imigrasi. Tetapi sebelum benar-benar menaiki escalator itu, aku menghentikan sejenak langkahku di depan sebuah konter penjualan Traveller SIM. Aku memandangi konter Tune Talk yang dominan merah itu, melihat paket data yang ditawarkan. Paket data sebesar 15 GB dibanderol dengan harga 30 Ringgit. Sejenak aku bergumul dengan budget. Akhirnya aku memutuskan untuk mengindahkannya, aku memilih bertahan satu malam tanpa kuota data. Aku akan berfokus untuk beristirahat saja.

Konter Tune Talk SIM Card.
Konter Digi SIM Card yang tampak tutup pada jam 11 malam.
Escalator menuju konter imigrasi.

Aku melanjutkan langgkah menuju konter imigrasi dan berdiri di salah satu antrian yang menurutku terbilang sepi dari masa normal. Jantungku berdegup lebih kencang, mensinyalir rasa was-was yang mulai unjuk gigi.

Hanya transit, Pak Cik”, aku memulai percakapan dengan petugas imigrasi sembari menyerahkan passport dan e-ticket Uzbekistan Airways kepadanya.

Oooohhh…Transit, nak kemane?”, dia bertanya dengan wajah dingin.

Tashkent, Pak Cik”, jawabku mantap demi memamerkan kepercayaan diri

Oh, sendiri keh….Ada apa disane?”, dia mulai melunak

Peninggalan sejarah Islam, Pak Cik….Ada makam Imam Bukhori di sana, Pak Cik”, aku mulai memamaerkan pesona Uzbekistan yang aku sendiri belum pernah melihatnya.

Oh, ya….Perlu wang berape kesane?”, pertanyaannya mulai menggelitik

Aku berpikir sejenak untu merubah kurs Rupiah ke Ringgit

4.000 sampai 5.000 Ringgit, Pak Cik”, aku masih menatap langit-lagit bandara demi menghitung angka.

Oooooo….Banyaknyeeee”, petugas itu manggut-manggut.

Usai melakukan prosedur pengambilan sidik jari, petugas imigrasi itu mempersilahkan aku keluar dari konter imigrasi.

Aku merasakan bahagia tak terkira ketika bisa memasuki wilayah negara Malaysia tanpa hambatan yang berarti. Satu awalan baik yang mampu memberikan peneguhan hati bahwa dunia ini sudah baik-baik saja.

Melewati bagian akhir pemeriksaan barang, aku sempat menunjuk ke backpack yang kupanggul ketika menatap wajah petugas Aviation Security yang bertugas di screening gate yang terletak di satu area sebelum exit gate.

Dia mengangguk sebagai pertanda aku harus memasukkan backpack di screening gate.

Melaluinya dengan mudah, aku pun melewati exit gate dan memasuki area Gateway@KLIA2.

Oh, Welcome again Kuala Lumpur….

Kisah Selanjutnya—->

Air Asia QZ 206 Jakarta-Kuala Lumpur: Menolong Wanita Paruh Baya

<—-Kisah Sebelumnya

Usai menunaikan ibadah shalat dengan menjamak Maghrib dan Isya di sebuah mushola milik Terminal 3 Existing, aku menuju Gate 3 dan memutuskan untuk menunggu penerbangan di salah satu bangku sembari mengisi daya telepon pintarku.

A, ini tujuan Kuala Lumpur, ya?”, seorang perempuan paruh baya tetiba bertanya dan duduk di sebelahku.

Iya, Ibu….Boleh lihat tiket Ibu?”, aku menyidik ingin tahu. “QZ 206….Iya Ibu ini benar ke KL”.

Oh berarti saya ga nyasar ya, A?…Ini pertama kali saya akan bekerja di Brunei”, dia bercerita dengan sendirinya.

 “Loh, Ibu transit?”, aku terhenyak

Iya….Nanti di KL saya harus bagaimana ya, A?”, dia menunjukkan kecemasan.

Ga usah khawatir, Ibu, nanti ibu masuk ke tranfer hall saja di Kuala Lumpur, nanti saya tunjukkan, bu”, aku menenangkan.

Aa juga ke ruangan transit ya?”, dia kembali bertanya tentang rencanaku.

Saya memang transit Ibu, tapi saya mau keluar imigrasi dahulu karena penerbangan saya berikutnya berangkat dari Terminal 1, sedangkan kita akan turum di Terminal 2, Bu”, aku menjelaskan dengan cara yang mudah dipahami.

Oh begitu ya, A”, wajah ibu tersebut masih meyimpan kecemasan.

Lama bercakap-cakap, akhirnya panggilan untuk boarding benar-benar tiba. Mengantrilah aku di depan Gate 3 sembari menjaga ibu tersebut yang kuminta mengantri di depanku.

Beberapa saat kemudian aku tiba juga di kabin pesawat. Aku merangsek ke dalam demi mencari bangku bernomor 3B. Aku duduk di bangku tengah dan diapit oleh dua penumpang pria berkewarganegaraan Malaysia.

Duduk di barisan depan membuatku bisa memperhatikan awak kabin mempersiapkan segala sesuatu di cabin kitchen. Aku sesekali mengarahkan pandangan ke beberapa wajah para pramugari yang memamerkan face painting, mereka tampak lebih cantik dan elegan.

Pemandangan apron Terminal 3 Soetta.
Memasuki pintu kabin Air Asia QZ 206.
Sistem acak pemilihan free seat membuatku duduk ke baris depan….Nikmati saja lah ya.

Di sisi lain, sesaat aku merasa terharu karena malam itulah pertama kalinya, aku menaiki pesawat menuju ke luar negeri setelah sekian lama dunia dihantam badai pandemi COVID-19. Sedangkan rasa lain yang tersimpan di hati adalah kekhawatiran tentang keberadaanku di Kuala Lumpur International Airport jika pesawat sudah mendarat beberapa waktu kemudian.

Pertanyaan-pertanyaan dalam hati mulai muncul….Apakah aku akan mendapatkan masalah terkait dengan pembatasan mobilitas di sana, apakah ada hambatan lain terkait prosedur kesehatan, atau kekhawatiran lain yang merupakan akumulasi dari overthinkingku sendiri.

Aku berusaha melawan semua rasa itu selama penerbangan….Perlahan aku harus mengumpulkan keberanian demi perjalanan panjangku yang sudah ada di depan mata.

Malam itu perjalanan menuju Kuala Lumpur berlangsung mulus tanpa turbulensi berarti. Airbus A320-200 menembus langit malam selama dua jam lebih tanpa hambatan berarti.

Mendekati titik akhir penerbangan….

Hatiku berdebar ketika sang pilot menyampaikan perintah kepada awak kabin untuk bersiap melakukan pendaratan.

Saatnya untuk memulai petualangan lagi di negeri orang”, aku menguatkan hati.

Sesaat kemudian….

Bunyi khas ketika roda raksasa dikeluarkan dari badan pesawat mulai terdengar, goyangan kecil kiri-kanan untuk menyeimbangkan badan pesawat mulai terasa dan akhirnya hentakan roda di landas pacu terdengar, pesawat sudah berada di runway Kuala Lumpur Internatioanal Airport Terminal 2 dan berlanjut melakukan taxiing demi menghantikan pesawat di salah satu sisi apron.

Sejenak aku mengintip ke jendela pesawat dan memperhatikan lekuk-lekuk indah bangunan bandara yang sudah lama sekali tidak kukunjungi.

Aku merindukan pemandangan ini setelah terjeda tiga tahun lamanya.
KLIA2….You are so beautiful.

Tetapi kemudian aku teringat sesuatu….aku reflek menoleh….menengok dua bangku ke belakang….Ya, Ibu paruh baya itu….Aku harus menolongnya…..

Kisah Selanjutnya—->

Berjibaku di Imigrasi Soetta: “From Kebumen Around the World”

<—-Kisah Sebelumnya

Tak berapa lama usai menyantap seporsi makanan cepat saji itu, aku bergegas menuju check-in zone. Maka aku mendapati check-in desk sudah mulai dibuka. Aku pun memutuskan untuk mengantri demi mendapatkan boarding pass.

Mataku awas mengamati para pengantri. Kuperhatikan banyak sekali warga Malaysia dalam baris antrian. Paspor merah hati itu begitu kukenal dengan baik. Kenyataan bahwa banyak warga asing telah bepergian ke Indonesia membantu menenangkan hatiku sendiri di awal perjalanan panjang yang akan kulalui.

Saatnya giliranku untuk menghadap petugas di check-in desk, aku melangkah tenang. Perkiraanku tepat, petugas tersebut menanyakan seluruh tiket yang sudah kubeli ketika dia tahu bahwa tujuanku di Kuala Lumpur hanya untuk sekedar transit.  Aku yang sudang menyiapkan folding file dengan mudah mencari lembar demi lembar pemesanan tiket pesawat yang dimaksud. Usai memeriksa segenap dokumen yang kuberikan, petugas tersebut memberikanku boarding pass dan aku diizinkan menuju konter imigrasi.

Boarding Pass Air Asia QZ 206 (Jakarta – Kuala Lumpur).

Melangkahlah aku mengikuti signboardInternational Departure”, hingga akhirnya tiba di Imigration Zone. Inilah bagian yang paling mendebarkan, kondisi itu diperparah dengan pasporku yang masih kosong dengan stempel imigrasi dari negara manapun, mengingat semenjak aku memperpanjang paspor tersebut pada tahun 2020, aku tak pernah melakukan perjalanan lagi karena pandemi masih merajalela.

Antrian yang tak terlalu panjang, membuatku dengan cepat dipanggil menuju konter imigrasi. Pertanyaan-pertanyaan yang kukhawatirkan benar-benar muncul. Entah bagaimana sistem imigrasi merekam jejak perjalananku, petugas pria itu menanyaiku dengan wajah serius.

Lanjut kemana nih?”, rupanya dia tahu aku hanya akan transit di Kuala Lumpur.

Ke Uzbekistan, Kazakhstan, Turki dan Serbia, Pak”, aku menjawab tegas.

Udah pernah pergi kemana saja, Mas?”, dia melanjutkan interogasi.

Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan dan Timur Tengah sudah semua, Pak. Bapak saya kasih paspor lama saya untuk diperiksa ya, Pak”, aku mengambil paspor lamaku yang covernya telah digunting di ujungnya.

Saya travel blogger, Pak. Perjalanan saya bersponsor”, aku menambahkan.

Oh, ya. Ada alamat websitenya, Mas?”, dia berubah menjadi antusias

travelingpersecond.com. Silahkan diintip, Pak”, aku menuntunnya menuju blog yang sudah kurintis sedari lima tahun lalu.

Lo hiya, loh…..Ini gambar dimana, Mas?”, dia menunjukkan gambar dari kamera pintarnya.

Oh, itu di Bahrain, Pak”, aku pun tertawa memberikan informasi kepadanya.

Hahahaha, from Kebumen around the world ya kamu, Mas”, petugas pria itu terkekeh. “Silahkan lanjut Mas Donny”, akhirnya dia memberikan akses bagiku untuk masuk ke ruang tunggu. Yang perlu kamu tahu bahwa Kebumen adalah tempatku menumpang lahir.

Alangkah leganya hatiku malam itu, secara yuridis aku sudah keluar dari wilayah Republik Indonesia dan bersiap untuk mengarungi petualangan nan jauh di sana.

Menuruni escalator, aku turun satu lantai ke bawah untuk menuju ke Gate 3. Dengan tegap aku mengayunkan langkah demi langkah, ada sebersit rasa berani yang mulai muncul di dada. Aku tersenyum penuh percaya diri.

Ruang tunggu Gate 3 di Terminal 3-Existing Soetta.

Tapi sebentar dulu kawan……Untuk mendapatkan perlindungan Tuhan

Maka setiba di tikungan koridir menuju Terminal 3 Existing, aku memutuskan menuju mushola demi menunaikan ibadah Shalat Isya, aku menjamaknya dengan ibadah Shalat Maghrib dalam satu waktu.

Kisah Selanjutnya—->

Kembali ke Terminal 3 Soetta: Sepotong Ayam yang Berharga

Merunut kembali sejarah diri, akhirnya aku tersadar bahwa terakhir kali melakukan perjalanan ke luar negeri dengan cara bertolak dari kantor tempatku bekerja adalah ketika melanglang buana ke Yangoon, ibu kota Myanmar pada medio 2015.

Maka aku akan mengulangi cara tersebut pada kisah perjalanan ini.

Perjalanan kali ini dimulai dari kesibukan diriku menjalani aktivitas kantor. Karenanya aku terlihat bak pribadi penuh keanehan ketika memanggul backpack berukuran 45 Liter, menaiki honda beat pop warna hitam untuk membelah jalanan ibu kota demi menuju kantor yang berjarak 35 kilometer dari kediaman.

Dilanjutkan tiba di kantor dengan berpakaian kantoran lengkap, yaitu kemeja lengan panjang, berdasi rapi, bercelana panjang bahan warna hitam serta mengenakan sepatu pantofel hitam,

Sontak….Teman-teman sekantor serentak tertawa terpingkal ketika aku memasuki ruangan kerja.

Jika menggambarkan kondisiku pada hari itu, aku bisa menceritakan bahwa semenjak pagi aku tak sabar lagi untuk segera melakukan penerbangan ke Kuala Lumpur. Suasana tak sabaran semakin menjadi dan rasa itu terbawa hingga saat empat jam lamanya pada saat aku harus mengisi sesi training untuk karyawan baru di kantor tempatku bekerja. Sesekali satu angkatan karyawan baru itu menggoda, “Pak, trainingnya dipercepat aja, daripada bapak ketinggalan pesawat”.

Gerrrrr….”, suasana training menjadi hangat seketika.

Akhirnya waktu itu tiba juga….

Usai training aku bergegas segera turun ke lantai dua, kembali melakukan bongkar muat untuk mengakali berat backpack yang setelah kutimbang masih melebihi delapan kilogram. Itu artinya aku harus menurunkan lebih dari satu kilo beban bawaanku.

Menyingkirkan beberapa perlengkapan yang kemungkinan akan jarang kugunakan, maka aku mendapatkan bobot backpack 6,8 kilogram.

Beres dengan barang bawaan, aku pun meninggalkan satu stel pakaian kerja karena sepulang dari perjalananku ke Asia Tengah dan Eropa kali ini, aku akan langsung menuju kantor untuk bekerja….Rencana yang Uedan sodara-sodara (yang ini, nanti saja ya ceritaya).

Aku memutuskan memesan transportasi daring demi menuju Sokarno Hatta International Airport Terminal 3. Dengan mudah aku mendapatkannya dan tepat tiga jam sebelum waktu terbang, transportasi daring yang kupesan memulai putaran rodanya menuju bandara.

Di dalam perjalanan, aku sedikit menyimpan rasa khawatir karena saat itu adalah perjalanan pertamaku ke luar negeri usai dunia dihantam badai Corona Virus tiga tahun lamanya. Aku seakan kehilangan intuisi.

Satu jawaban dari pengemudi taksi daring pada saat aku bercakap dengannya pun semakin membuat mukaku memucat, “Beberapa minggu terakhir jarang banget saya mengantar orang untuk pergi ke luar negeri, kebanyakan dari mereka hanya melakukan perjalanan dalam negeri, Pak”. Membuatku menelan ludah seketika.

Aku tiba di bandara dan pengemudi itu meninggalkanku usai aku menyerahkan ongkos senilai Rp. 90.000.

Aku pun bergegas menuju screening gate pertama untuk memasuki bangunan Terminal 3. Melewatinya dengan mudah, aku mencari keberadaan check-in desk melalui FIDS (Flight Information Display System) raksasa yang berada di bagian tengah bangunan terminal.

D-12”, aku akhirnya menemukan check-in desk itu.

Buru-buru menuju FIDS di depanku.
Aku akan check-in di row D.
Mendadak makan malam.

Menuju ke tempat yang dimaskud, ternyata check-in desk tersebut sedang digunakan untuk penerbangan Air Asia tujuan Singapura. Aku yang belum mendapatkan giliran, akhirnya memutuskan untuk mencari makan malam.

Niat itu mengantarkanku masuk ke gerai A&W di sisi timur bangunan terminal. Tanpa basa-basi aku menanyakan menu terhemat malam itu. Pelayan wanita yang bertugas akhirnya menyarankanku untuk mengambil paket nasi dan ayam seharga Rp. 78.000.

Aku mendapatkan menu yang dimaksud dan mulai menyantapnya perlahan. Entah apa yang terbesit, naluri backpackerku mulai muncul kembali. Aku secara spontan meminta seorang pelayan untuk membungkus sepotong dari dua potong ayam yang tersaji di depanku. “Lumayan buat sarapan esok hari di Kuala Lumpur”, batinku terkekeh.

Mendapatkan bungkusan yang kumau, aku tersenyum simpul meninggalkan gerai itu menuju ke check-in desk untuk mendapatkan boarding pass.

Kisah Selanjutnya—->

Semangkuk Bubur Ayam Bandung Menuju Stasiun Demang

<—-Kisah Sebelumnya

Kamar seharga Rp. 105.000/malam.

Dengan dihantarkan ojek online akhirnya aku tiba juga di RedDoorz near Griya Agung 2. Di penginapan itulah aku akan menginap selama 3 hari 2 malam selama berada di Palembang. Aku tiba menjelang kumandang adzan Maghrib.

Malam itu aku tak mencari sesuatu yang spesial, melainkan hanya menikmati seporsi Pecel Lele dari sebuah tenda makan yang berada tepat di seberang hotel tempatku menginap.

Selebihnya aku mengistirahatkan badan lebih awal demi membalas kurangnya waktu tidur di malam sehari sebelumnya.

—-****—-

Pukul setengah delapan pagi….

Aku betul-betul sudah siap melakukan eksplorasi hari keduaku di Palembang. Aku sudah berecana untuk mengunjungi markas besar Laskar Wong Kito yang pernah menjadi kampiun Liga Indonesia pada awal tahun 2000-an.

Karena lokasi Gelora Sriwijaya yang terletak berdekatan dengan Stasiun LRT Jakabaring maka aku memutuskan untuk menujunya dengan memanfaatkan jasa LRT Sumatera Selatan. Setelah kuperhatikan rutenya, stasiun LRT terdekat dari tempatku menginap adalah Stasiun Demang. Oleh karenanya aku akan memulai perjalanan pagi itu dari stasiun tersebut.

Untuk menghemat ongkos, maka aku memutuskan untuk berjalan kaki saja demi menggapai Stasiun Demang. Itu berarti aku haru menapaki jalur pejalan kaki sejauh hampir satu setengah kilometer.

Sembari mencari menu sarapan yang tepat”, aku menguatkan niat.

Perjalanan pun dimulai dari Jalan Sei Hitam.

Kamu tahu kan makna kata “Sei”?

Yups….”Sei” dalam Bahasa Melayu bermakna “Sungai”. Hal ini memberikan arti bahwa penginapan dimana aku tinggal sangat dekat dengan bantaran Sungai Hitam, walaupun aku tak pernah menjumpainya….Atau mungkin itu hanya persepsiku sendiri.

Sejauh menelusuri Jalan Sei Hitam, aku tak menemukan satupun kedai makanan yang bisa kusinggahi demi mendapatkan seporsi menu sarapan.

Maka kubuangkan langkah menuju Jalan Inspektur Marzuki. Melangkah menuju ke timur, mataku awas menyapu sekitar. Sesuai insting, aku menemukan sebauh kedai bubur ayam yang menebarkan aroma harum ke sekitar. Tanpa ragu, aku pun memasuki kedai itu.

Yuk sarapan!…..
Sumpah….Ini enak banget.
Ruas Jalan Inspektur Marzuki.

Ternyata baru ada satu pengunjung di dalamnya. Aku mengambil duduk di salah satu spot dan berlanjut dengan memesan seporsi bubur ayam kepada seorang ibu sang pemilik kedai.

Tak menunggu lama, pesananku tiba. Aku pun mulai menyendok bubur ayamku suap demi suap. Aku merasakan cita rasa yang familiar di lidah. Tentu ini tak lepas dari pemilik kedai yang berasal dari Bandung. Sesekali si ibu berbicara menggunakan Bahasa Sunda ketika bercakap dengan pria yang kuduga adalah suaminya. Juga tepampang jelas sebuah tulisan “Bubur Bandung” berukuran besar di dinding kedai.

Beberapa saat kemudian, pengunjung lain mulai berdatangan. Tampaknya “Cakwe” menjadi menu popular di kedai bubur tersebut. Banyak pengunjung yang memesannya dan membungkusnya pulang.

Usai menikmati semangkuk bubur ayam, aku pun melanjutkan perjalanan. Meneruskan langkah di Jalan Inspektur Marzuki yang berkontur menanjak dan menurun membuatku terkadang berada di ketinggian. Di titik itulah penampakan Stasiun Demang yang sedang kutuju terlihat dengan jelas.

Semakin bersemangat untuk mendekatinya, maka aku mempercepat langkah.

Aku akhirnya benar-benar tiba di salah satu stasiun di rute LRT Sumatera Selatan. Menaiki escalator dari salah satu sisi Jalan Demang Lebar Daun, mengantarkanku berada di dalam bangunan stasiun.

Rupanya nama stasiun ini sesuai dengan nama jalan raya yang berada tepat di bawahnya”, aku membatin.

Tiba di konter penjualan tiket, entah kenapa aku tetiba berucap “Stasiun Ampera, Kak”.

Jelas itu tujuan yang salah….

Tiba di Stasiun Demang.
Stasiun Demang bagian dalam.
Platfiorm Stasiun Demang.

Fine!….Aku sudah terlanjur membeli tiket yang salah dan harus segera menaiki LRT yang pintunya sudah terbuka dan menungguku untuk naik ke dalamnya…..

Alun-Alun Palembang: Aroma Kemakmuran Sungai Musi

<—-Kisah Sebelumnya

Sinar surya masih saja terik ketika aku meninggalkan halaman depan Benteng Kuto Besak.

Jarum jam merapat ke angka tiga, pertanda bahwa sebentar lagi surya akan tenggelam. Tapi aku masih enggan merapat ke penginapan walaupun sebenarnya waktu check-in sudah lewat.

Masih memanggul backpack berukuran besar, aku yang sedari beberapa waktu sebelumnya berdiri di samping Air Mancur Kuto Besak, untuk kemudian mengarahkan ke pandangan ke hamparan memanjang Sungai Musi nan elok. Dari kejauhan saja, sungai besar itu begitu mengundang rasa penasaran.

Alun-Alun Palembang.
Tugu Ikan Belido.

Sementara di sisi barat, tampak keberadaan Tugu Ikan Belido. Ikan yang biasanya sering kutemukan di kemasan kerupuk khas Sumatera. Ikan inilah yang menjadi satwa endemik Sungai Musi.

Karena rasa penasaran yang tinggi akan bentuk ikan Belida yang sesungguhnya, maka aku mendekati tugu tersebut. Seakan menjadi magnet tersendiri, Tugu Ikan Belido tersebut menjadi titik favorit yang sering dikunjungi para warga lokal untuk sekedar berfoto atau duduk  disekitarnya demi menikmati suasana indah di sore hari. Tugu itu memang tampak klasik karena paduan motif songket khas Palembang yang tersemat di badan bangunan.

Aku hanya sebentar saja menikmati tugu itu, karena selanjutnya aku lebih tertarik untuk duduk dan menikmati aktivitas di sepanjang Sungai Musi.

Duduk di salah satu sisi, aku menikmati aktivitas bocah-bocah Sekolah Dasar yang sedang mandi di tepian sungai. Mereka berempat melompat berkali-kali ke bagian sungai yang tenang, bahkan tampak cuek tanpa busana sekalipun, mereka asyik dengan dunianya sendiri. Seolah mereka tak memperhatikan sekian pasang mata sedang memperhatikan polah mereka yang mengundang gelak tawa. Sesekali seorang bapak tua sang pemilik perahu angkutan umum memeperingatkan mereka untuk tidak melompat di beberapa bagian berbahaya karena keberadaan tonggak-tonggak kayu yang runcing.

Sementara itu di sisi lain, lalu lalang kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara membuat sepanjang aliran Sungai Musi tampak makmur. Kapal-kapal itu tampak menghantarkan hasil tambang batu bara ke beberapa smelter di bagian hilir sungai.

Perahu-perahu angkutan penumpang sederhana menjadi bumbu lain yang memenuhi aktivitas di tepian sungai musi. Perahu Ketek namanya, mungkin karena bunyinya yang bersuara “tektektektektek”. Sungai Musi tampak menjadi nadi kehidupan tersendiri bagi masyarakat Kota Palembang.

Aku begitu terhanyut dengan aura kesibukan di sepanjang Sungai Musi, sementara di belakangku aktivitas lain masyarakat mulai terlihat. Lapak-lapak kuliner mulai disusun, penjual mainan anak-anak mulai berdatangan dan persewaan wahana permainan anak-anak mulai bergeliat. Aku yang kemudia menengok dan menghadap ke belakang merasa terkagum dengan keramaian itu. Aku pun bertanya kepada seorang ibu yang sedang mendorong anaknya di sebuah stroller.

“Ramai banget ada acara apa ya, Bu?”, aku bertanya dengan polosnya

“Itu acara untuk menyambut perayaan tahun baru, Bang”, dia menjawab penuh senyum

“Oalah, saya lupa Bu kalau malam nanti itu malam tahun baru”, aku terkekeh. “Ada kembang api ya, Bu di Jembatan Ampera nanti malam?”, aku menambahkan pertanyaan.

“Oh engga, Bang. Pertunjukan kembang api masih dilarang karena kan masih PPKM level 3, takut mengundang keramaian”. Sang Ibu menjelaskan.

“Oh bener juga ya, Bu”, aku mengangguk paham.

Tongkang Pengangkut Batubara.
Jembatan Ampera terlihat dari Alun-Alun Palembang.
Geliat keramaian menyambut perayaan tahun baru.

Maka sebagai langkah penutup, sore itu aku menyempatkan waktu untuk berkeliling dan melihat-lihat dertan tenda dan lapak yang didirikan. Dan setelahnya aku memutuskan untuk menyegerakan diri menuju penginapan yang sudah aku pesan  secara daring. Penginapan itu berada di daerah Siring Agung.

Aku memesan ojek online dan menuju ke penginapan…..

Kisah Selanjutnya—->

Benteng Kuto Besak: Imajinasi Indah Masa Lalu

<—-Kisah Sebelumnya

Usai mengambil foto terakhir Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dari pelatarannya, aku memutuskan pergi. Tetapi aku mengambil jalan lain untuk keluar dari area museum, hal ini dikarenakan jalur utama untuk memasuki museum sedang ditutup karena aktivitas renovasi.

Dengan terpaksa aku harus melakukan perbuatan tak sopan, aku harus menginjak rumput untuk keluar dari sisi samping. Melompati saluran drainase maka tibalah aku di sisi selatan Jalan Dr. AK Gani. Nama jalan ini merujuk pada Dr. Adnan Kapau Gani, seorang tokoh Pahlawan Nasional Indonesia yang pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun 1947.

Jalan itu menampilkan bentangan tembok setebal dua meter layaknya dinding pertahanan. Tertarik dengan nuansa klasiknya maka aku menyusuri sekeliling tembok tua tersebut ke arah selatan. Hingga tiba di ujung jalan, aku memindahkan langkah menuju barat, masih menyusuri jalur di sepanjang dinding. Jalur tersebut tak lain lagi adalah Jalan Sultan Mahmud Badaruddin, yang merupakan jalan utama selebar empat meter yang melintas di sisi depan Benteng Kuto Besak.

Benteng Kuto Besak sendiri adalah benteng berusia hampir dua setengah abad dengan luasan tak kurang dari lima hektar. Benteng ini pada masa keemasannya adalah bangunan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam. Hanya saja, saat ini Benteng Kuto Besak digunakan sebagai markas Komando Daerah Militer (KODAM) II Sriwijaya.

Tiba di titik utama, maka aku tertegun dengan sebuah gerbang besar berjuluk Lawang Koeta Besak yang merupakan pintu utama untuk memasuki area benteng. Hanya karena telah menjadi bangunan markas militer, maka di pintu gerbang utama itu terdapat pos penjagaan militer yang dijaga beberapa serdadu bersenjata.

Lawang Koeta Besak

Sepenuhnya aku paham bahwa tak sembarangan orang bisa memasuki area dalam Benteng Kuto Besak dengan mudah. Tetapi aku yang diselimuti rasa penasaran mendalam, berusaha untuk mendekati salah satu serdadu yang sedang berjaga.

Selamat siang, pak. Saya Donny, wisatawan dari Jakarta. Apakah saya bisa masuk ke dalam Benteng Kuto Besak untuk melihat-lihat?”, aku memberanikan diri untuk memulai bertanya.

“Oh, maaf pak. Ini kantor militer, setiap orang tidak boleh sembarangan masuk demi keamanan”, dia menjawab tegas sembari memegang senapan laras panjang di tangan kanannya.

Oh, baik pak jika demikian. Terimakasih ya, pak”, aku menjawab tegas dan singkat tanpa memunculkan opsi bertanya kembali.

Aku pun pergi meninggalkan gerbang utama Benteng Kuto Besak. Aku lebih memilih untuk menepi di salah satu titik Jalan Sultan Mahmud Badaruddin. Aku memutuskan untuk mengambil beberapa gambar menarik dari luar benteng.

Tembok Benteng Kuto Besak.

Aku yang termangu menikmati kegagahan Benteng Kuto Besak pun masuk ke dalam imajinasi masa lalu. Membayangkan bagaimana pada masa kemakmuran Kesultanan Palembang Darussalam. Memperkirakan bagaimana bentuk aktivitas anggota kerajaan di dalam Benteng Kuto Besak dan aktivitas perdagangan rakyatnya di sekitaran Sungai Musi yang membentang memanjang di depan benteng.

Aktivitas masa lalu yang klasik dan luar biasa tentunya…….

Kisah Selanjutnya—->

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II: Kisah untuk Generasi Muda Bangsa

<—-Kisah Sebelumnya

Usai satu jam menikmati panorama di atas Jembatan Ampera, maka aku memutuskan untuk turun. Melangkahlah kaki menuju pangkal jembatan sisi utara, aku kembali mengitari Bundaran Air Mancur Palembang. Dengan susah payah aku menyeberangi Jalan Mayjen. H. M. Ryacudu yang siang itu dialiri arus cepat kendaraan.

Berhasil menyeberangi jalan lebar itu dengan pengawasan seorang opsir polisi lalu lintas, lantas aku melintas di depan Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera) yang di setiap sisinya rapat tertutup lembaran-lembaran seng. Monumen kenamaan Palembang itu sedang mengalami renovasi besar-besaran.

Aku mengindahkan keberadaannya dengan terus melangkah menyusuri salah satu sisi Taman Ampera. Aku mantab melangkah menuju ke suatu tempat yang telah kuincar sedari beberapa waktu sebelumnya.

Ya….Aku ingin mengunjungi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Maka beberapa menit kumudian, aku benar-benar tiba di pelataran museum besar itu. Berdiri di pelatarannya, sejenak aku termangu. Bangunan dua lantai berarsitektur khas Eropa itu lengang, tampak tak ada siapapun di sana.

Aku yang diselimuti rasa penasaran, memberanikan diri untuk menaiki tangga kembarnya yang dipisahkan oleh tiang gerbang lantai pertama. Begitu tiba di lantai atas, tetiba ada seorang lelaki setengah baya memanggilku.

TIketnya di lantai bawah, dek”, dia menunjukkan tangan ke pintu gerbang lantai pertama.

Oh, baik, pak”, aku enoleh dan sigap menjawab.

Aku pun bergegas turun dan dengan cepat menuju loket penjualan tiket di lantai pertama. Loket itu berada di ruangan sebelah dalam.

Pantas tak terlihat”, aku membatin.

Usai memberikan uang sebesar lima ribu rupiah, aku diberikan selembar tiket masuk oleh seorang pria muda sang penjaga loket.

Aku juga diberikan sebuah tas jinjing berbahan kain. Cukup mudah untuk memahami bahwa tas itu berfungsi untuk menaruh sepatu. Hal itu memiliki arti bahwa setiap pengunjung harus bertelanjang kaki dalam mengeksplorasi museum.

Tak membuang waktu, aku kembali naik ke lantai atas untuk memulai petualangan.

Pada tahap awal, museum ini memamerkan beberapa prasasti kuno. Maka pada salah satu spot, aku tertegun di depan prasasti Kedukan Bukit. Dahulu, aku sering mendengar nama prasasti ini di dalam buku pelajaran sejarah. Di depan prasasti itu, aku khusyu’ mengamati aksara Pallawa yang tertera di permukaan batu hitam. Kedukan Bukit sendiri adalah nama desa dimana prasasti ini ditemukan oleh arkeolog C.J Batenberg.

Tulisan dalam Prasasti itu mengisahkan perjalanan seorang Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang bersama 20.000 pasukannya usai menaklukkan daerah Bernama Minanga.

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Kursi yang dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam.
Kayaknya itu singgasana raja deh.
Andai kamarku kek gitu…wkwkwkwk.
Gucinya keren kan?…

Peninggalan sejarah lain yang dipamerkan di museum itu adalah Prasasti Talang Tuo, Prasasti Boom Baru, patung Budha berukuran kecil, berbagai macam kendi masa lalu, pakaian kebesaran para petinggi Kerajaan Palembang, beberapa senjata tradisional khas Palembang seperti Roodoos, Tumbak Lado serta kerajinan kuningan.

Sedangkan hiasan dinding meseum menampilkan beberapa informasi bersejarah seperti selembar peta yang dibuat oleh anak buah Laksamana Cheng Ho bernama Ma Huan, peta perdagangan pada zaman keemasan Sriwijaya, silsilah raja Palembang, peta Keraton Kuto Gawang, lukisan tentang Perang Palembang antara Kesultanan Palembang melawan Kolonial Belanda yang meletus pada tahun 1821 hingga masa pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II.

Jalur kunjungan di Museum Sultan Mahmud Badaruddin  II ini dimulai dari lantai kedua dan diakhiri di lantai pertama.

Selama tak kurang dari satu jam aku menikmati perjalanan sejarah Palembang di museum tersebut.

Kisah sejarah yang perlu dipahami oleh generasi muda bangsa…………….  

Kisah Selanjutnya—->

Jembatan Ampera: Terik pun Tak Ku Hiraukan

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas Shalat Jum’at aku kelaparan. Lantas apakah lapak para pedagang makanan yang digelar di pelataran masjid membuatku tertarik dan singgah?….Tidak….Aku ingin menikmati sesuatu yang berbeda di Bumi Sriwijaya.

Sampai jumpa lagi Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin, semoga aku bisa mengunjungimu lain waktu?”, aku melangkah pergi.

Pesan Whatsapp dari seorang kolega di Palembang mulai menginisiasi langkah kaki untuk menelusuri keramaian di kawasan 16 Ilir. Inilah kawasan ekonomi masyarakat, sebuah kawasan seluas hampir tiga puluh hektar yang secara mayoritas ditempati oleh pertokoan dan lapak-lapak perniagaan.

Faktanya, menjelajah di beberapa penjuru kompleks perniagaan itu tak membuatku menemukan tempat makan dengan mudah.

Hingga akhirnya langkahku merapat di tepian Sungai Musi.

Yeaaai….Akhirnya makan siang juga”, aku berhore ria ketika membaca tajuk sebuah gapura kecil, “Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi”. Begitulah bunyi tajuk yang kumaksud.

Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi>
Pindang Patin khas Palembang.

Aku yang kelaparan akut, tanpa pikir panjang memasuki deretan kedai kuliner tersebut. Satu hal yang mampu membangkitkan antusiasku ada panorama Sungai Musi dari dekat. Sebuah konsep wisata kuliner yang cukup cerdik. Memanjakan para pengunjung untuk bersantap makanan sembari menikmati padatnya aktivitas Sungai Musi.

Maka terduduklah aku di sebuah kedai, untuk kemudian memesan seporsi Pindang Patin untuk mengusir rasa lapar yang kutahan sedari beberapa waktu sebelumnya.

Tak lama kemudian, pesanan itu benar-benar tiba, aku pun mulai menikmati makanan khas Palembang tersebut. Saking khusu’nya, aku bahkan tak mempedulikan beberapa musisi jalanan yang bernyanyi di sepanjang deretan kedai kuliner….Maafkan aku, mas-mas pengamen.

Menebus seporsi Pindang Patin dengan harga lima belas ribu rupiah, aku pun meninggalkan pusat kuliner tersebut. Langkahku jelas dan pasti.

Jembatan Ampera….Aku segera datang”, aku membatin.

Melangkah ke arah selatan, aku berusaha mendekat ke jembatan terkenal itu. Tiang jembatan sangat terlihat jelas dari kawasan 16 Ilir.

Beruntung aku menemukan tangga tepat di bawah jembatan. Tangga itulah yang bisa mengantarkan para pengunjung yang berada di Kawasan 16 Ilir menuju bagian deck (lantai jembatan).

Menaiki tangga dengan melingkari salah satu pier (pilar jembatan), aku akhirnya berhasil mencapai bagian deck.

Entah kenapa, begitu menapaki bagian deck dan memandangi dua tiang raksasa jembatan berwarna merah, aku bisa tersenyum sendiri. Sudah sekian lama, aku hanya mampu menikmatinya dari layar telivisi dan surat kabar saja….

Parah ah, kamu, Donny”, aku mengutuki diri sendiri yang bahkan tak pernah menyempatkan diri melongok keindahan Bumi Sriwijaya.

Ulala….Jembatan Ampera.
Tiang-tiang raksasanya membuatku terkagum.
Dermaga di bawah Jembatan Ampera.
Stasiun LRT Ampera
Pasar 16 Ilir.

Pukul setengah dua siang, terik matahari masih mampu membakar kulit. Aku yang tak berpelindung apapun tak menghiraukan sengatan matahari tersebut. Aku justru menyandarkan badan di pagar jembatan dan menikmati aktivitas pelayaran di sepanjang aliran Sungai Musi.

Pemandangan itu sesekali diperindah dengan melintasnya LRT Sumatera Selatan yang jalur rel layangnya sejajar dengan deck jembatan Ampera.

Aku yang tak puas-puasnya menikmati keanggunan Jembatan Ampera bahkan merelakan diri untuk berlama-lama duduk di bangku trotoar jembatan walau siang itu cuaca masih sangat terik.

Damn…I Love Palembang”……

Kisah Selanjutnya—->