Jembatan Ampera: Terik pun Tak Ku Hiraukan

<—-Kisah Sebelumnya

Lepas Shalat Jum’at aku kelaparan. Lantas apakah lapak para pedagang makanan yang digelar di pelataran masjid membuatku tertarik dan singgah?….Tidak….Aku ingin menikmati sesuatu yang berbeda di Bumi Sriwijaya.

Sampai jumpa lagi Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin, semoga aku bisa mengunjungimu lain waktu?”, aku melangkah pergi.

Pesan Whatsapp dari seorang kolega di Palembang mulai menginisiasi langkah kaki untuk menelusuri keramaian di kawasan 16 Ilir. Inilah kawasan ekonomi masyarakat, sebuah kawasan seluas hampir tiga puluh hektar yang secara mayoritas ditempati oleh pertokoan dan lapak-lapak perniagaan.

Faktanya, menjelajah di beberapa penjuru kompleks perniagaan itu tak membuatku menemukan tempat makan dengan mudah.

Hingga akhirnya langkahku merapat di tepian Sungai Musi.

Yeaaai….Akhirnya makan siang juga”, aku berhore ria ketika membaca tajuk sebuah gapura kecil, “Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi”. Begitulah bunyi tajuk yang kumaksud.

Wisata Kuliner Tepian Sungai Musi>
Pindang Patin khas Palembang.

Aku yang kelaparan akut, tanpa pikir panjang memasuki deretan kedai kuliner tersebut. Satu hal yang mampu membangkitkan antusiasku ada panorama Sungai Musi dari dekat. Sebuah konsep wisata kuliner yang cukup cerdik. Memanjakan para pengunjung untuk bersantap makanan sembari menikmati padatnya aktivitas Sungai Musi.

Maka terduduklah aku di sebuah kedai, untuk kemudian memesan seporsi Pindang Patin untuk mengusir rasa lapar yang kutahan sedari beberapa waktu sebelumnya.

Tak lama kemudian, pesanan itu benar-benar tiba, aku pun mulai menikmati makanan khas Palembang tersebut. Saking khusu’nya, aku bahkan tak mempedulikan beberapa musisi jalanan yang bernyanyi di sepanjang deretan kedai kuliner….Maafkan aku, mas-mas pengamen.

Menebus seporsi Pindang Patin dengan harga lima belas ribu rupiah, aku pun meninggalkan pusat kuliner tersebut. Langkahku jelas dan pasti.

Jembatan Ampera….Aku segera datang”, aku membatin.

Melangkah ke arah selatan, aku berusaha mendekat ke jembatan terkenal itu. Tiang jembatan sangat terlihat jelas dari kawasan 16 Ilir.

Beruntung aku menemukan tangga tepat di bawah jembatan. Tangga itulah yang bisa mengantarkan para pengunjung yang berada di Kawasan 16 Ilir menuju bagian deck (lantai jembatan).

Menaiki tangga dengan melingkari salah satu pier (pilar jembatan), aku akhirnya berhasil mencapai bagian deck.

Entah kenapa, begitu menapaki bagian deck dan memandangi dua tiang raksasa jembatan berwarna merah, aku bisa tersenyum sendiri. Sudah sekian lama, aku hanya mampu menikmatinya dari layar telivisi dan surat kabar saja….

Parah ah, kamu, Donny”, aku mengutuki diri sendiri yang bahkan tak pernah menyempatkan diri melongok keindahan Bumi Sriwijaya.

Ulala….Jembatan Ampera.
Tiang-tiang raksasanya membuatku terkagum.
Dermaga di bawah Jembatan Ampera.
Stasiun LRT Ampera
Pasar 16 Ilir.

Pukul setengah dua siang, terik matahari masih mampu membakar kulit. Aku yang tak berpelindung apapun tak menghiraukan sengatan matahari tersebut. Aku justru menyandarkan badan di pagar jembatan dan menikmati aktivitas pelayaran di sepanjang aliran Sungai Musi.

Pemandangan itu sesekali diperindah dengan melintasnya LRT Sumatera Selatan yang jalur rel layangnya sejajar dengan deck jembatan Ampera.

Aku yang tak puas-puasnya menikmati keanggunan Jembatan Ampera bahkan merelakan diri untuk berlama-lama duduk di bangku trotoar jembatan walau siang itu cuaca masih sangat terik.

Damn…I Love Palembang”……

Kisah Selanjutnya—->

One thought on “Jembatan Ampera: Terik pun Tak Ku Hiraukan

Leave a Reply