TPI Pelabuhan Ratu: Balada Layur

Keempat roda mobil terus kupaksakan membelah aliran air hujan yang mengalir menuju pantai. Aku meninggalkan Pantai Ujung Genteng lebih awal dibanding pengunjung lain yang masih berteduh menunggu usainya hujan. Tentu aku mendahului kemungkinan terbentuknya genangan-genangan air yang bisa menghambat laju kendaraan.

Dalam siraman lebat air hujan, aku mulus menerobos jalanan berair hingga ujung desa. Memasuki bagian jalanan yang sudah beraspal membuatku lebih tenang dan dalam sekejap membangkitkan ulang hasrat eksplorasi yang sebetulnya masih tak terima untuk usai lebih cepat. Keinginanku untuk pulang lindap lagi.

Mengubah haluan ke kiri, aku menuju tepian pantai lain di ujung desa. Hujan masih saja deras ketika aku menginjak pedal rem di tepi pantai. Memaksaku untuk menerima kenyataan bahwa aku harus menikmati pantai dengan cara terduduk di belakang kemudi.

Menerima saja kenyataan, maka mataku terus fokus menatap deburan ombak yang mengantri luruh di bibir pantai. Berulang-ulang, terus-menerus hingga aku mengalami kebosanan. Kebosanan yang membujukku untuk segera pulang.

Walhasil, usai menjalankan ibadah shalat  Dzuhur di sebuah masjid dekat gerbang desa, aku kembali memacu kendaraan di jalanan menjauhi pantai. Niatku telah bulat untuk pulang.

Tentu jalanan yang kulewati sudah tidak asing lagi karena aku hanya melewati jalan berangkat semula dengan cara membalik rutenya. Etape demi etape aku lewati dengan lancar. Sesekali keindahan yang tertampil di beberapa titik menginterupsi perjalanan. Pemandangan itu berhasil menarik minatku untuk mengabadikannya. Pemandangan-pemandangan eksotik itu seakan menjadi bonus perjalanan.

Beranjak keluar dari pantai.
Menikmati pantai dari balik kemudi.
Tanah longsor di salah satu ruas jalan.
Berhenti sejenak untuk menikmati PLTU Pelabuhan Ratu.
Jembatan Cimandiri.

Memasuki Desa Citarik, tetiba otakku memantikkan sebuah ide cemerlang. Sore itu adalah sore akhir tahun. Itu berarti di malam harinya, penduduk seluruh dunia akan menyambut kedatangan tahun baru Masehi.

“Ahaaa…..”, aku menjentikkan jari sembari menambah porsi injakan pada pedal gas. Melaju lebih kencang  maka aku merubah haluan menuju selatan.

Mobil kini melaju di ruas Jalan Jayanti menuju ke arah Pantai Pelabuhan Ratu. Bukan…..Aku bukan menuju ke pantainya, melainkan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Aku akan berburu ikan laut. Kupikir membakar ikan di malam tahun baru akan menjadi kegiatan menarik. Begitu semangatnya aku untuk mendapatkan jenis ikan terbaik di TPI.

Aku dengan cepat dan mudah melahap ruas jalan itu karena aku telah menghafal setiap jengkal jalanan menuju ke TPI. Bagaimana tidak, itu adalah rute field tripku ketika mengenyam pendidikan di  sebuah kampus di Kota Hujan.

Sangkala menunjukkan pukul tiga sore ketika aku memarkirkan mobil di kompleks perniagaan yang terletak berseberangan dengan Tempat Pelelangan Ikan.

Aku bergegas turun dari mobil dan melangkah menuju TPI. Akan tetapi, baru saja mulai menyeberang jalan, tetiba langkahku dihadang oleh penjual ikan layur. Ikan layur itu ditaruh pada keranjang panggulnya.

“Seratus ribu saja, Aa”, begitu  pintanya.

“Maaf, Pak. Saya sedang mencari ikan buat di bakar, ikan ini kurang cocok sepertinya, Pak”, aku menolaknya baik-baik.

Aku pun menyeberang jalan dan meninggalkannya. Memasuki pintu masuk TPI, lapak-lapak tak beratap berjajar menawarkan ikan-ikan berukuran besar. Membuatku bimbang menentukan pilihan. Hingga di tengah pelataran TPI, aku tertarik pada tampilan Ikan Kuwe yang tampak mengkilat dan berisi.  Akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada jenis ikan itu dan membayar Rp. 150.000 untuk dua kilogram Ikan Kuwe. Usai mendapatkan buruan, aku pun tak mau terlalu lama berada di TPI yang semakin sore semakin menarik para pengunjung untuk datang.

Berburu ikan di TPI.

Aku meninggalkan TPI dan menuju mobil.

Tapi dalam setiap langkahku, aku merasa diikuti oleh seseorang. Aku mencoba untuk tak menoleh ke belakang dan bergegas menuju ke mobil. Hingga aku membuka pintu mobil, seseorang memanggilku.

“A’, tunggu a’!”, teriakan yang berasal dari belakang.

Orang yang raut mukanya sudah familiar itu pun mendekat, “ A’, udahlah bayar semau Aa aja ikannya, saya lagi perlu banget”, katanya dengan nada rendah

Dia adalah pedagang ikan layur yang sebelumnya menghadang langkahku ketika hendak menyeberang jalan menuju TPI.

Aku sejenak menatap lekat mukanya. “Sepertinya orang ini jujur”, aku membatin.

“Memang dijual berapa, Pak”, aku bertanya.

“Seratus ribu, a’ ”, dia menegaskan

“Ya sudah saya ambil ya”, aku menjawab sembari mengambil dompet dari saku belakang. Kuserahkan uang Rp. 100.000 dan kemudian ikan itu berpindah ke tanganku.

Aku mengepak rapat segenap ikan yang kubeli dan selanjutnya pergi meninggalkan TPI.

Aku harus segera menggapai Jakarta sebelum malam tiba.

Mau tahu nasib ikan layur itu?

Ikan layur itu kubagikan ke tetangga….Wkwkwk.

Leave a Reply