Pengemudi wanita paruh baya itu menjemputku di Rumah Makan “Gulai Itiak Lado Mudo Ngarai”.
Aku: “Ibu, tadi sudah saya cancel karena terlalu lama, tapi saya juga belum berhasil memesan ojek yang lain sih, bu”
Ibu Ojek: “Di aplikasi saya belum ter-cancel, uda. Saya terjebak kemacetan karena ada mobil mogok di tanjakan atas. Ayo, naik aja, Uda. Disini susah signal, nanti malah ga dapat ojek lagi, lho”.
Tanpa fikir panjang, aku bergegas duduk di jok belakang dan menolak menggunakan jas hujan yang disodorkan si ibu karena kuyakin gerimis lembut itu tak akan membuatku kuyup.
Melawan arah datang dan berbelok ke kanan ketika berada di puncak Jalan Binuang yang terpotong oleh sebuah perempatan, kemudian aku menelusuri nama jalan yang sama dengan nama taman kota yang sedang kutuju.
Si ibu tepat menurunkanku di depan pintu masuk taman yang sangat ramai pengunjung. Kuselipkan selembar lima ribuan di dashboard motornya sebagai uang tip walau dia menolak dengan gigihnya. Salut dengan ibu ini.
Waktu yang tak sebanyak pengunjung lain, membuatku berjalan terburu menuju konter penjualan tiket masuk yang terlindungi oleh atap dengan tiga pucuk gonjong, lalu menukarkan uang Rp. 15.000 untuk mendapatkan akses masuk.
Lobang Jepang adalah situs pertama yang kucari begitu memasuki area taman. Aku begitu penasaran dengan bentuk lubang pertahanan terpanjang di Asia itu. Tak susah menemukannya, patung dua serdadu Jepang yang berdiri berlawanan arah menjadi penanda keberadaannya.

Tampak sebuah rombongan wisata menutup mulut Lobang Jepang karena khusyu’ mendengar pengarahan dari seorang pria pemandu wisata. Tampak pula sebuah denah yang menggambarkan jalur di dalam lobang pertahanan itu.

Sementara di sebelah kanan pintu masuk tampak area utama taman yang didominasi oleh lantai keramik yang membentuk sebuah podium pertunjukan dengan salah satu sisi berupa titik pandang Ngarai Sianok dan Gunung Singgalang.

Di beberapa spot tampak disediakan kanopi taman dengan empat pucuk gonjong. Kontur topografi Bukittinggi yang berbukit lembah tampak digambarkan oleh bentuk taman ini. Satu sisi taman tampak berada lebih tinggi dari sisi yang lain, tak hayal banyak disediakan tangga untuk mempermudah pengunjung untuk mengakses setiap sisi taman



Sementara di sisi kiri, tersedia ruang datar yang difungsikan untuk taman bermain anak dengan pusat sebuah pilar tunggal. Tampak pula sebuah musholla mungil berdinding kaca berada tepat di sisi area bermain anak.


Inilah Taman Panorama yang menjadi penutup kunjunganku di Bukittinggi. Sekiranya aku akan datang kembali ke kota ini jika ada kesempatan. Aku akan kembali untuk menikmati nikmatnya Nasi Kapau kota ini.
Saatnya berkemas dan menuju ke Kota Padang.
Ada apa saja di Padang?….Yuk ikut aku.