Satu perandaian yang tak pernah terwujud adalah memasuki Rumah Singgah Tuan Kadi. Ingin rasanya duduk menghampar di dalamnya dan menikmati untaian sejarah dalam bilik-bilik mungilnya. Secara bersamaan, keringat yang terus meleleh di pelipis mata, pelan tapi pasti meluruhkan setiap perandaian di kepalaku. Pintu-pintu rumah itu tertutup rapat seakan berkata kepadaku “Sudahlah pergi saja, cukup bagimu melihat keindahan kulit ariku saja”.
Aku pergi…..
Langkah kaki yang tak kusadari mulai sedikit terseret mengindikasikan bahwa aku perlu banyak beristirahat setelah empat hari sebelumnya menyisir Medan, Pulau Samosir dan Pematang Siantar. Tapi apa daya, keinginanku mengenal Pekanbaru mengalahkan keletihan kaki yang sesungguhnya sudah berteriak minta berhenti.
Aku mulai memasuki Jalan Kota Baru. Baut-baut raksasa, gulungan kabel-kabel tebal, selongsong pipa bekas berukuran besar tampak berserakan di deretan rumah toko yang disulap menjadi bengkel-bengkel mekanik. Setiap ayunan langkah seakan mengisi ulang semangatku untuk segera tiba di area Kampung Bukit dimana Kota Pekanbaru dirintis pada mulanya.
Di area inilah, sebidang tanah bekas pasar baru (Pekan Baharu) yang dirintis oleh Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah berdiri sebuah peninggalan istimewa yaitu masjid tertua di Provinsi Riau.

Masjid yang lahir sebagai sebuah konsekuensi yang dipikulkan di pundak Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah, Sultan ke-4 yang memindahkan pusat Kesultanan Siak Sri Indrapura dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan pada pertengahan abad XVIII.
Adalah adat Tali Berpilin Tiga yang menjadikan Istana Raja, Balai Kerapatan Adat, dan Masjid sebagai satu kesatuan syarat yang harus dipenuhi Sang Sultan jika berniat memindahkan kesultanan. Istana Raja melambangkan pemerintahan, Balai Kerapatan Adat melambangkan adat istiadat leluhur dan Masjid sebagai perlambang agama.

Oleh Sang Sultan, Bangunan Istana diberi nama Istana Bukit, Balai Kerapatan Adat dinamai Balai Payung Sekaki dan Masjid diberi nama Masjid Alam yang diambil dari nama kecil Sang Sultan yaitu Raja Alam.

Aku tiba di Masjid dalam keadaan Masbuq (terlambat shalat), tak mau tertinggal seluruh raka’at, aku bergegas menuju ke tempat wudhu dan segera mengikuti dua raka’at terakhir berjama’ah. Selepas menggenapkan 2 raka’at terakhir sendirian, aku mulai tertegun dengan enam tiang besar berwarna putih yang ujungnya dilapisi kubah warna emas dan tak sampai menyangga atap, bak mercusuar.
Sinar matahari yang menembus jendela-jendela kaca permanen di dinding teratas semakin menampilkan lengkung-lengkung lancip khas Persia. Sedangkan kaligrafi emas berlatar dasar hijau khas Timur Tengah tampak melingkar mengelilingi bagian dalam masjid.

Keluar dari masjid aku menuju ke sisi timur menuju sebuah gerbang pemakaman. Bernama Kompleks Makam Marhum Pekan yang merupakan komplek makam para pendiri kota Pekanbaru seperti Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (Sultan ke-4), Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (Sultan ke-5) beserta para panglima perang setianya.

Masjid Nur Alam adalah penutup napak tilasku tentang Kesultanaan Siak Sri Indrapura. Puas dan bahagia bisa mengenal lebih dekat tentang kesultanan tersohor di tanah Sumatera ini.
Yuk….Balik ke hotel, check-in dan makan siang!
Suka dengan gaya arsitektur masjid ini, terlihat megah walau tak terlalu luas kompleks-nya; berbeda sekali dengan masjid agung Jawa Tengah yang bergaya arsitektur modern
Kadang masjid masjid kecil memang punya arsitektur klasik. Mungkin ukuran segitu sudah sangat luas di zamannya, mas.
Btw, thanks lho waktu itu rekomenin Masjid Agung Jawa Tengah….Ada lagi yg lain?🤭
Masjid Menara Kudus & Masjid Agung Demak… Arsitekturnya unik, mas
Walah…PR maneh iki…..Kudu mengagendakan.
Cuss lah kuy… Mangkat barengan 😉
Nah iki……collab-trip yg lama dinanti para pemirsah…..