Lion Air JT 715 dari Pontianak (PNK) ke Jakarta (CGK)

Usai Shalat Subuh aku kembali merebahkan badan di kasur empuk G-Hotel Pontianak. Hari itu akan menjadi hari terakhirku di Pontianak. Sore hari sekitar pukul tiga sore aku akan terbang kembali ke Jakarta.

Maka tepat jam dua belas, bersamaan dengan waktu check-out dari hotel, aku akan meluncur menuju Supadio International Airport.

Dan kali ini jejak Koh Hendra belum selesai, karena dia akan mengantarkanku menuju bandara. Padahal aku sudah menolak halus usai dinner semalam. Tetapi Koh Hendra merasa gak enak sama adiknya yang merupakan pimpinanku di tempat kerja jika tak mengantarkanku pulang menuju bandara. Walhasil, aku pun menerima tawaran itu dengan senang hati, kan aku ga perlu pesan transportasi online menuju bandara….Lebih hemat kan tentunya.

Usai berbasuh aku menyempatkan diri untuk bersarapan dengan Pengkang yang semalam terbeli di Pondok Pengkang. Dua potong Pengkang ternyata cukup menjadi pengganti menu sarapan yang sengaja tak kupesan sebagai komplemen kamar di hari terakhirku di Pontianak….Sedikit berhemat.

Menjelang tengah hari aku telah selesai berkemas dan bersiap menuju bandara. Aku duduk di salah satu sofa lobby milik G-Hotel usai check-out dan tak berapa lama Koh Hendra menampakkan batang hidungnya di pintu lobby. Waktu pulang telah tiba….

Dalam perjalanan, aku kembali menjadi pendengar yang baik atas cerita-cerita Koh Hendra. Dia bercerita mengenai asal nama Pengkang yang sebetulnya berasal dari kata “Panggang” yang kemudian warga keturunan tak begitu fasih mengucapkannya sehingga keluarlah nama “ Pengkang”.

Selain itu, Koh Hendra bercerita tentang suka dukanya menjadi ketua paguyuban ojek online di Pontianak. Perjalanan menuju bandara itu juga diwarnai dengan adanya insiden kecelakaan yaitu jatuhnya sepeda motor di depan mobil yang dikemudiakan Koh Hendra. Beruntung kedua pengendaranya selamat. Hanya saja sedikit membuat kemacetan sesaat.

Kurang dari jam satu siang aku tiba di bandara. Saatnya berpamitan dengan Koh Hendra. Memasuki departure hall, aku segera menuju konter check-in. Sempat menunggu beberapa saat hingga konter check-in dibuka, akhirnya aku mendapatkan boarding pass.  Setelahnya aku menyempatkan shalat jama’ sebelum menuju ke gate.

Menjadi imam bagi beberapa petugas Aviation Security akhirnya aku menyelesaikan kewajiban shalat dan segera beranjak menuju gate.

Aku akan dijadwalkan terbang dari Gate 3. Mengingat aku akan tiba di Jakarta sore hari maka kuputuskan untuk membeli beberapa makanan kemasan sebagai bekalku nanti pulang dari Soetta ke Kampung Rambutan.

Satu jam lamanya aku menunggu, akhirnya waktu boarding pun tiba….

Melalui aerobridge, aku menuju kabin dan mencari keberadaan bangku bernomor 33F sebagai tempatku duduk. Kali ini aku akan terbang Bersama Boeing 737-800 (twin jet). Pesawat akan menempuh perjalanan udara sejauh 732 Kilometer dan kecepatan rata-rata 650 km/jam. Perjalanan ini sendiri akan memakan waktu 1 jam 10 menit.

Tak perlu menunggu waktu lama bagi JT 715 untuk airborne dan memasuku cruise phase. Cuaca pada pernerbangan kali ini berlangsung dalam kondisi yang sangat cerah dibandingkan dengan keberangkatanku beberapa hari lalu.

Aku dan Koh Hendra.
Bersiap take-off.
Airborne di atas kota Pontianak.
Indah banget kan?….
Gugusan pulau di sepanjang penerbangan.
Di atas awan.
Bersiap landing di Soekarno Hatta International Airport.
Thanks Lion Air.

Dari udara aku bisa melihat dengan jelas gradasi menarik warna biru pantai Belitung. Juga bisa melihat dengan jelas Pulau Karimata dengan jernihnya.

Perjalanan yang sedetikpun aku tak mampu memejamkan mata saking indahnya pemandangan akhirnya mengantarkanku mendarat dengan mulus di landas pacu Soekarno Hatta International Airport.

Setibanya di bandara, aku segera berburu bus DAMRI demi menuju Terminal Kampung Rambutan.

Akhirnya aku pulang.

TAMAT

Menikmati Udang Gala di Pondok Pengkang

Usai menunaikan Shalat Ashar, aku menunggu kedatangan Koh Hendra di serambi Masjid Raya Mujahidin. Dia sudah menelponku sejak sebelum Ashar dan memintaku menunggu di masjid hingga dia datang.

Dalam menunggu, aku selalu celingukan ketika melihat mobil memasuki area parkir, selalu berfikir Koh Hendra telah tiba, padahal aku sendiri belum tahu jenis mobilnya….Ada-ada saja.

Hampir setengah jam menunggu. Akhirnya panggilan telepon dari Koh Hendra tiba.

Assalamu’alaikum, aku di parkiran masjid sebelah barat, Bang. Bisa jalan ke arah sini engga?”, Koh Hendra menegaskan posisinya.

Baik, saya ke sana, Koh”, tak berselang lama aku pun bersua dengannya.

Perkenalan singkat terjadi di belakang kemudi Avanza berkelir biru muda. Dari perkenalan itu aku baru tahu bahwa Koh Hendra berasal dari keluarga multi agama yang rukun.

Aku akan menempuh perjalanan menuju daerah Peniti di Kecamatan Siantan yang berjarak hampir empat puluh kilometer di utara Kota Pontianak.

Sebetulnya aku sudah pernah melewati daerah Peniti, yaitu saat pergi menuju Singkawang beberapa hari lalu ketika pertama kali tiba di Pontianak. Jadi aku tak terlalu asing dengan suasana jalan menuju ke sana.

Perjalanan itu berlangsung dalam suasana yang sangat akrab walaupun aku baru mengenal Koh Hendra. Aku lebih banyak mendengarkan cerita serunya ketika di berda’ wah hingga ke dalam pelosok Kalimantan Barat.

Tak terasa perjalanan satu jam dua puluh menit yang kutempuh telah mengantarkanku di halaman depan Pondok Pengkang.

Masuk ke dalam restoran, rasa budaya yang kental tersirat dalam interior rumah makan yang menggunakan tiang-tiang besar dengan ukiran khas Kalimantan. Sedangkan deretan meja makan dengan enam kursi berwarna hijau di setiap mejanya juga memilik ukiran kayu yang otentik. Aku dan Koh Hendra kemudian memutuskan duduk di salah satu meja di pojok selatan ruangan.

Begitu tiba, tampak beberapa pekerja rumah makan mendatangi Koh Hendra dan interaksi pertama yang mereka lakukan adalah saling memeluk satu sama lain. Cukup kumaklumi karena area dimana Pondok Pengkang itu berdiri merupakan bagian dari kampung Koh Hendra semasa kecil. Jadi kebanyakan pekerja di restoran ini adalah teman semasa kecilnya, tak khayal pertemuan tak direncanakan itu menjadi reuni mini bagi mereka.

Menghiraukan daftar menu di meja makan, Koh Hendra langsung saja menyebut sajian yang hendak kami santap, yaitu sebakul nasi putih, seporsi kepiting asam manis, sambal kepah (kerang), udang gala asam manis, cah kangkung dan dua gelas jeruk hangat.

Aku faham, bahwa Koh Hendra tentu tahu menu andalan di restoran tersebut. Tentu aku hanya mengamini saja pesanan itu. Toh aku kan lagi ditraktir jadi aku menikmati saja sajian yang dipesan oleh Koh Hendra.

Sepintas dari papan nama restoran disebutkan beberapa menu di dalamnya yaitu Pengkang, Sambal. Kepah, Sate Kepah dan Burung Punai. Dan Koh Hendra sempat bercerita dalam perjalanan bahwa resep resotoran ini selalu diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi sudah dipastikan resep dan rasanya sangat otentik.

Begitu menu pesanan itu tersaji maka aku yang kelaparan, menyantap segenap menu dengan sangat lahap. Ternyata menu pilihan Koh Hendra memang memiliki cita rasa yang luar biasa.

Halaman depan Pondok Pengkang.
Yuk cari tempat duduk yang nyaman….!
Udang Gala Asam Manis.
Sambal Kepah (kerang).
Membakar dua ribu jepit pengkang dalam sehari dengan arang batok kelapa
Udang Gala yang merupakan hasil tangkapan nelayan di sekitar restoran.

Tak perlu menunggu lama, sajian di atas meja itu pun ludes tak bersisa. Berhubung masih berada di pertengahan waktu Shalat Maghrib maka Koh Hendra berinisiatif mengajakku shalat berjama’ah dengan karyawan restoran di musholla yang terletak di sisi utara restoran.

Sekembali dari musholla, aku tertarik dengan aktivitas di dapur Pondok Pengkang. Maka aku memohon izin untuk memotret beberapa gambar di dalam dapur untuk kusajikan dalam tulisan ini.

Kembali duduk di meja maka,. Ternyata Koh Hendra sudah memesankanku beberapa jepit Pengkang yang ditaruhnya dalam plastik dan dia telah membayar semua hidangan yang kita santap tadi. Jika memperhatikan daftar menu di meja makan aku memperkirakan bahwa semua sajian yang dipesan berharga tak kurang dari Rp. 400.000….Wah menu mewah tentunya buat seorang backpacker sepertiku.

Rezeqi di Masjid Raya Mujahidin

Sudah hampir tengah hari ketika aku selesai mengeksplorasi Kompleks Perkampungan Budaya di Jalan Sultan Syahrir. Aku pun memutuskan untuk undur diri demi menuju ke destinasi berikutnya.

Aku kembali berjalan kaki menelusuri Jalan Sultan Syahrir dan berlanjut ke Jalan Sultan Abdurrahman.

Karena terpapar lapar maka di sepanjang jalan aku mencari keberadaan rumah makan. Hingga akhirnya aku menemukan rumah makan Padang di sisi jalan Sultan Abdurrahman, “Rumah Makan Mandala” namanya.

“Cumi, Da. Makan sini ! ”, aku memesan sebuah menu ke pemilik rumah makan yang tampak asli berperawakan Minang. Seporsi nasi cumi itu kutebus dengan harga Rp. 27.000 bersamaan dengan tambahan segelas es jeruk.

Aku memang tak berlama-lama bersantap siang, mengantisipasi langit yang semakin gelap. Melangkah sebetar daru rumah makan, aku mulai keluar dari jalan utama dan memasuki Jalan Mohammad Sohor yang kedua ruasnya dipisahkan oleh parit.

Berjalan keluar dari jalan utama sejauh lebih dari setengah kilometer aku berganti arah di Jalan H. Siradj. Aku mulai memasuki jalur perkampungan dan menyasar Masjid Raya Mujahidn dari sisi belakang.

Taman Akcaya di Jalan Sultan Syahrir.
Ujung Jalan H. Siradj.

Genap berjalan kaki selama setengah jam dan menempuh jarak hampir 2,5 kilometer untuk kemudian aku tiba di Masjid Raya Mujahidin sisi selatan.

Usai mengambil beberapa foto masjid dari beberapa sudut pandang di halamannya, aku memutuskan untuk menunaikan Shalat Dzuhur yang sudah terlambat.

Selesai bersuci di bangunan yang terpisah dari bangunan utama masjid, aku segera memasuki ruangan utama masjid di lantai dua. Masu untuk pertama kalinya, aku terkesima dengan desain interior masjid yang super megah.

Nama “Mujahidin” tak lain untuk menghargai perjuangan rakyat Pontianak dalam perjuangan kemerdekaan serta perjuangan syiar agama Islam di kota itu. Masjid berusia hampir setengah abad itu tentu menjadi kebanggan masyarakat Pontianak karena kemegahan dan kemakmurannya.

Menempati lahan seluas 4 hektar, masjid ini mampu menampung hingga 9.000 jama’ah di dalamnya. Dipergagah dengan keberadaan 4 menara kembar di setiap sisinya dan disetiap ornament masjid mengandalkan mozaik khas Kalimantan.

Masjid Raya Mujahidin.
Ruangan utama di lantai 2.
Ruangan utama di lantai 2.

Adalah empat bangunan terkenal yang mengilmahi arsitektur masjid ini, yaitu Masjid Cordoba dan Istana Alhambra di Spanyol serta Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Arab Saudi.

Purna menunaikan shalat tetiba gawai pintarku mengantarkan sebuah pesan. Ternyata pesan singkat itu berasal dari salah satu pimpinanku di kantor yang asli Pontianak. Dengan kebaikannya, dia menawarkan aku berwisata kuliner ke Pondok Pengkang di daerah Peniti, Kecamatan Siantan.

Sebetulnya aku menolak dengan halus permintaan itu, tetapi memang dia memberikan saran “ Belum ke Pontianak kalau kamu belum berwisata kulier ke Pondok Pengkang, Donny. Jangan khawatir, kamu tunggu saja di masjid, nanti abangku akan menjemput dan mengantarkanmu ke sana, Namanya Koh Hendra, begitu ucapnya.

Apa boleh buat, tentu ini menjadi sebuah rezeqi yang tak boleh ditolak. Maka aku segera menghentikan eksplorasiku di Masjid Raya Mujahidin dan mengambil duduk di salah satu sisi terasnya demi menunggu kehadiran Koh Hendra yang akan datang menjemputku

Lambang Persatuan di Sepanjang Rumah Radakng

Usai mengunjungi Rumah Adat Melayu, aku bergegas menuju pelataran sebelah barat. Di pelataran itu terdapat satu lagi rumah adat yang nampaknya lebih ramai dikunjungi oleh wisatawan dan masyarakat lokal terutama para pelajar.

Adalah Rumah Radakng yang merupakan rumah adat terpanjang di Indonesia. Panjangnya mencapai hampir 140 meter. Rumah Radakng ini dibangun untuk mengembangkan sekaligus melestarikan adat istiadat Suku Dayak di Kalimantan Barat.

Boleh dikatakan Rumah Radakng adalah landmark kedua Kota Pontianak setelah Tugu Khatulistiwa yang terletak di daerah Batu Layang.

Pemandangan di Rumah Radakng siang itu tampak didominasi oleh kehadiran para pelajar Sekolah Menengah Atas yang entah sedang mengerjakan tugas apa dari sekolahnya karena banyak diantara mereka duduk berkelompok dan sedang berdiskusi.

Di sisi lan tampak para wisatawan begitu ceria ketika mengenakan baju adat Dayak dan berpose di beberapa titik untuk diambil foto oleh sesama temannya.

Ketika aku menjadi begitu penasaran untuk mengetaui bagian dalam Rumah Radakng, maka aku mendapatkan kesempatan melongok ketika bercakap dengan tiga pria yang sedang mengeluarkan beberapa pot bunga dan meja dari dalam rumah. Tampaknya mereka sedang membereskan peralatan yang digunakan pasca event tertentu yang berlangsung di dalam Rumah Radakng.

Tak ada apa-apa, Bang di dalam, hanya ruangan kosong saja mirip hall, begitu dia menjelaskan dengan singkat kepadaku. Aku pun menyempatkan diri melongok sebentar untuk menghapus rasa penasaran. Ketiga pria itu pun tertawa memperhatikan tingkahku yang tak percaya dengan apa yang mereka katakan.

Ruangan itu memang hanya berebentuk ruangan kosong memanjang. Adapun filosofi asli dari bentuk Rumah Radakng adalah apabila ada seorang anak yang sudah berumah tangga maka dia akan tinggal di ruangan berbeda dari orang tuanya dan dia akan dibuatkan ruangan yang bersambung dari rumah orang tuanya, begitu seterusnya hingga menyebabkan Rumah Radakng akan semakin panjang dengan kehadiran keluarga-keluarga baru karena ikatan pernikahan. Konon rumah sepanjang 138 meter ini bisa digunakan oleh 30 keluarga….Wah banyak juga ya.

Aku begitu gugup ketika harus menaiki tangga utama yang terbuat dari segelondong kayu utuh hanya dengan pegangan besi tunggal memanjang dari bawah ke atas di sepanjang tangga. Harus ekstra hati-hati menitinya karena kemungkinan jatuh bisa saja terjadi apabila aku lengah.

Gerbang masuk Rumah Radakng.
Tampak belakang.
Sculpture burung Enggang di halaman depan.
Bagian atas Rumah Radakng.
Rumah Adat Melayu terlihat dari atas Rumah Radakng.

Sedangkan sculpture enam Burung Enggang menjadi ikon utama di halaman depan Rumah Radakng. Burung Enggang sendiri adalah burung yang dikeramatkan oleh Suku Dayak. Burung yang memiliki sebutan lain Burung Rangkong ini adalah lambang perdamaian dan persatuan bagi Suku Dayak. Suku Dayak menganggapnya sebagai panglima dari segala macam burung sehingga tak pelak burung ini bisa ditemukan di setiap sendi kehidupan masyarakat Dayak seperti pada patung, ukiran, pakaian, lukisan, interior rumah, monumen dan makam-makam suku Dayak.

Tentu mengunjungi Kompleks Perkampungan Budaya yang luasnya lebih dari empat hektar dengan cuaca kota yang panas bisa membuat kita kehausan. Tetapi tentu tak perlu khawatir karena tersedia  kedai minuman yang terletak di kolong Rumah Radakng ini.

Jadi sehabis berkeliling kamu bisa menikmati minuman dingin di kedai tersebut.

Tukang Foto Keluarga di Rumah Adat Melayu

UP2U Food Court.

Aku baru saja usai menunaikan Shalat Maghrib di dalam kamar bernomor 319 milik G-Hotel Pontianak untuk kemudian waktu biologis makan malamku pun tiba tepat waktu….Aku kelaparan.

Aku memutuskan untuk segera turun ke lobby dan mencari tempat makan terdekat dari hotel. Berjalan menuju timur akhirnya aku menemukan sebuah food court yang menyediakan banyak pilihan. Adalah UP2U Food Court yang menyediakan beberapa outlet kuliner di dalamnya, seperti MEAET, ToriFuru, Sumo Squid, Ayam Gepuk Djogja, Tarohouse dan lainnya.

Tanpa pikir panjang, aku segera memasukinya dan segera berburu menu yang cocok dengan seleraku malam itu. Puas berkeliling, akhirnya aku memesan sate cumi dengan sambal terasi untuk kemudian kusantap di sebuah meja di pojok food court yang cenderung jauh dari kerumunan pengunjung.

Dan di akhir cerita, makan malam itu aku tutup dengan membeli segelas jus mangga di sebuah kedai “Aroma Jus” yang berlokasi di samping timur hotel.

—-****—-

Pagi kembali tiba……

Dari semalam aku sudah menetapkan rencana untuk mengunjungi Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng di daerah Sungai Bangkong yang berjarak hampir empat kilometer di sebelah barat G-Hotel Pontianak.

Tak ada pilihan yang lebih baik tentunya selain memesan transportasi online menuju ke sana. Oleh karenanya sehabis sarapan di restoran hotel aku segera mengambil duduk di lobby untuk berburu trasnportasi online melalui aplikasi.

Tak lama kemudian….transportasi online itu datang. Usai mengonfimasi tujuan aku segera naik dan meluncur ke tujuan.

Tetapi memang dasar kebiasaanku yang lebih suka berjalan kaki, maka dalam perjalanan kali ini aku hanya memesan transportasi online ini hingga di Kantor Pertanahan Kota Pontianak. Dari kantor itu aku memutuskan untuk berjalan kaki ke tujuan akhir.

Ternyata ideku tak berjalan mulus. Begitu aku turun, hujan gerimis datang. Beruntung aku menyimpan sebuah payung lipat di dalam folding bag sehingga perjalananku menuju tujuan akhir tak tertunda.

Aku terus melangkah di sepanjang Jalan Sultan Abdurrahman dan berlanjut ke Jalan Sultan Syahrir. Ketika sebagian besar pengendara motor menghindari gerimis dan memilih berteduh justru aku berasyik ria berjalan kaki menggunakan payung yang kubawa dari rumah. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memperhatikan tingkah lakuku di sepanjang jalan yang sering berfoto selfi dan mengambil beberapa foto di spot kota yang menarik.

Aku akan memulai eksplorasi kali ini dari Rumah Adat Melayu.

Setelah berjalan sejauh satu setengah kilometer, aku tiba di Kompleks Perkampungan Budaya. Terdapat dua rumah adat di kompleks ini, yaitu Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng khas Suku Dayak.

Dimulai dari bagian luar, tepatnya di sepanjang trotoar di depan rumah adat ini dihiasi dengan tiang-tiang lampu berbahan kayu penuh ukiran yang membuat suasana semakin kental dengan budaya Melayu. Pintu gerbangnya pun dibuat anggun dengan ukiran khas Melayu

Bentuk rumah balai dalam adat Melayu melambangkan falsafah gotong royong dan kesetiakawanan sosial. Rumah Adat Melayu ini selain berfungsi sebagai tempat tujuan wisata, juga berfungsi sebagai pusat acara adat dan sebagai tempat musyawarah bagi Majelis Adat Budaya Melayu.

Rumah adat berusia 17 tahun ini memiliki bentuk yang anggun dengan model rumah panggung dan memiliki atap Lipat Kajang dengan kemiringan yang curam. Berwarna dasar kuning khas Melayu yang melambangkan kejayaan.

Sedangkan di halaman Rumah Adat Melayu tampak beberapa patung lelaki Melayu yang sedang mengeluarkan jurus dalam pencak silat yang merupakan kesenian bela diri khas Melayu. Tepat di depan rumah terdapat Meriam tunggal berukuran besar. Sedangkan tanaman-tanaman hias tampak membuat suasana semakin asri di halamannya.

Aku menyempatkan diri mengelilingi rumah adat ini walaupun tidak bisa memasukinya karena tidak dibukanya akses masuk.

Melintas di depan Pontianak Convention Centre.
Bagian terluar dari Rumah Adat Melayu
Tampak depan.
Halaman berhiaskan meriam besar.
Salah satu sculpture di Rumah Adat Melayu.

Sebelum meninggalkan area Rumah Adat Melayu, aku bertemu dengan satu rombongan keluarga asal Bandung yang sedang kesusahan mengambil foto dengan tripod. Oleh karenanya , aku berinisiatif untuk membantu mengabadikan foto mereka di halaman utama Rumah Adat Melayu ini.

Kiranya kunjungan ke Rumah Adat Melayu telah usai, saatnya bergeser ke sebelah barat. Terdapat satu lagi rumah adat di Kompleks Perkampungan Budaya ini.

Tertegun di Gereja Katedral Santo Yosef, Terpikat di Pusat Souvenir Pontianak

Parit buatan Kolonial Belanda di sepanjang Jalan Diponegoro dan Jalan H Agus Salim.

Bebarengan dengan mulai beranjaknya beberapa pengunjung meninggalkan Warung Kopi Asiang, aku pun menyeruput kopi tersisa di cangkir untuk kemudian bangkit berdiri dan menuju meja kasir. Setengah jam lagi warung kopi itu memang akan segera ditutup.

Lebih sedikit dari jam setengah lima sore aku beranjak pulang menuju hotel. Terpaan surya yang tak lagi menyengat mendorongku untuk kembali berjalan kaki menjelajah jalanan kota. Tanpa ragu aku bergerak menuju utara, kali ini aku akan berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer.

Aku mulai melangkah menyeberangi parit yang memisahkan ruas Jalan H. Agus Salim di selatan dan Jalan Diponegoro di utara. Parit selebar 20 meter itu tampak bersih walaupun airnya menghitam, sedangkan beberapa titik di badan parit dipergunakan oleh pedagang utuk mendirikan tenda kuliner.

Meninggalkan area parit, aku memasuki Jalan Antasari yang di kiri-kanannya dijejali oleh ruko komersil. Ketinggian deretan ruko itu kumanfaatkan untuk berlindung dari terpaan surya yang sudah tergelincir di ufuk barat.

Belum juga tiba di ujung jalan, pada sebuah perempatan yang dipotong oleh Jalan Ir. H. Juanda, aku terhenti karena melihat sebuah bangunan ikonik di ujung timur. “Seperti bangunan gereja”, gumamku dalam hati.

Rasa penasaran itu menuntunku untuk merubah haluan demi menujunya. Tak lebih dari 150 meter dari tempatku berbelok, aku akhirnya sampai di depan bangunan. “Gereja Katedral Santo Yosef”, begitu aku membaca nama bangunan yang terpampang di halamannya.

Gereja Katedral Santo Yosef.

Bangunan gereja yang modern menunjukkan bahwa gereja ini belum lama mendapat sentuhan renovasi. Satu tengara penting yang masih kuingat sampai sekarang adalah keberadaan patung Santo Yosef berukuran besar di atas gereja. Di bawah patung itu terdapat empat jam besar yang mengarah ke empat arah berbeda.

Menyandang status sebagai gereja katedral dalam masa lebih dari satu abad menjadikan gereja ini menjadi landmark penting Kota Pontianak.

Puas menikmati keindahan gereja, aku pun melanjutkan langkah menuju hotel. Aku bergegas dan melangkahkan kaki dengan cepat dengan harapan segera tiba di hotel. Tetapi alih-alih menyingkat waktu, langkahku malah terhenti kembali karena keberadaan pusat penjualan souvenir dan buah tangan di sisi timur Jalan Patimura.

Kompleks PSP (Pusat Souvenir Pontianak) itu menghampar sepanjang 200 meter. Aku memang tak berniat membeli oleh-oleh apapun, tapi sempat berfikir bahwa tak ada salahnya untuk mampir dan melihat-lihat.

Kusempatkan selama lima belas menit untuk mengeksplorasi kompleks perbelanjaan souvenir yang menampung tak kurang dari 30 gerai souvenir yang menjual beraneka ragam makanan kemasan, aksesoris dan cendera mata khas Pontianak.

Mencoba masuk ke salah satu gerai yang penjualnya sedang sibuk melayani pembeli, aku berhasil melihat dengan leluasa berbagai jenis cendera mata yang umumnya dijual di kompleks ini.

Cendera mata yang dijual di Pusat Souvenir Pontianak.
Souvenir khas Pontianak.
Talawang, tameng khas Suku Dayak.
Senja di depan G-Hotel.

Mengambil beberapa gambar di Kompleks PSP, rasanya cukup bagiku untuk menyudahi eksplorasi singkat itu. Aku kembali melanjutkan langkah hingga ujung Jalan Patimura, kemudian berbelok ke barat di Jalan Jendral Urip, jalan dimana G-Hotel tempatku menginap berada.

Lewat sedikit dari pukul lima sore aku tiba di hotel. Masih ada waktu untuk menunaikan shalat jama’ sebelum masuk waktu maghrib.

Menyeruput Kopi Robusta di Warung Kopi Asiang

Tetap saja, aku menyantap Es Krim Angi dengan penuh rasa khawatir akan kemuingkinan mengalami penularan COVID-19 saking penuhnya pengunjung di warung es krim. Tapi apapun itu, aku masih saja bisa menikmati kelembutan es krim ternama tersebut.

Usai membayar es krim yang kupesan di kasir, aku segera keluar dari keramaian warung dan mengambil posisi berdiri di pinggir jalan.

Aku memutuskan kembali untuk memesan transportasi online menuju barat sejauh dua kilometer. Kali ini aku dihantarkan oleh seorang pengemudi berdarah Madura. Tetapi toh tetap saja, karena semenjak kecil sudah lahir di Pontianak maka dia susah berbahasa Madura.

Memahami bahwa aku akan menuju ke sebuah destinasi kuliner yang melegenda di kotanya maka dia pun mulai membuka sebuah cerita. Diceritakan dahulu bahwa sepanjang jalan yang kulewati adalah berasal dari sebuah kanal yang diurug untuk dijadikan jalanan.

Aku sendiri dibawanya menyusuri tiga ruas jalan berbeda yaitu Jalan Sultan Abdurrahman, berlanjut ke Jalan Teuku Umar dan Jalan Diponegoro. Dan aku melihat memang di sepanjang ketiga jalan itu terdapat kanal memanjang yang menyejajarinya. Mungkin kanal yang diurug menurut cerita si pengemudi online itu adalah kanal yang kulihat dengan cukup jelas di sepanjang Jalan Diponegoro.

Sedangkan Warung Kopi Asiang terletak di seberang kanal, tepatnya di Jalan Merapi yang merupakan jalan cabangan dari Jalan H. Agus Salim.

Warung Kopi Asiang diceritakannya sebagai sebuah warung kopi yang asalnya dibuka hanya untuk melayani para tenaga dan pengunjung pasar. Kala itu Asiang sang pemilik masihlah sangat muda.

Lambat laun warung kopi itu semakin ramai dan makmurlah Warung Kopi Asiang mulai saat itu. Untuk mempertahankan orisinalitasnya maka Asiang tak pernah mau membuka warung kopi cabang dimanapun. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa Warung Kopi Asiang hanya ada satu di seluruh penjuru Pontianak.

Harusnya Bang Donny berkunjung ke Warung Kopi Asiang saat pagi bersamaan dengan riuhnya para pedagang yang berjualan di pasar. Karena saat pagi hari, Koh Asiang akan datang ke warung dan melakukan demo pembuatan kopi khasnya. Dia akan menyeduh kopi dengan bertelanjang dada di hadapan para pengunjung warung”, pengemudi itu memberi saran.

Aku mengiyakan saja karena toh aku hanya punya waktu di saat siang itu untuk melakukan eksplorasi. Mungkin suatu saat nanti kalau ada waktu lagi berkunjung ke Pontianak, aku akan menyambangi warung kopi itu pagi-pagi sesuai anjurannya.

Dalam waktu tak lebih dari sepuluh menit aku sampai.

Begitu terpesonanya aku ketika pertama kali tiba. Bagaimana tidak, seluruh bangku di warung kopi itu telah penuh. Tak hanya para pengunjung berumur, tetapi para penikmat kopi dari kalangan muda usia juga hadir di sana. Ini bukti bahwa Kopi Asiang bisa diterima oleh semua kalangan.

Melihatku berdiri cukup lama sembari berharap segera ada pengunjung yang selesai menyeruput kopinya lalu meninggalkan bangku maka seorang pelayan warung datang menghampiriku. Setelah tahu bahwa kedatanganku untuk menikmati kopi di warungnya maka dia berinisiatif mengambil kursi beserta meja plastik dan ditempatkannya di halaman ruko kecil di sebelah Warung Kopi Asiang. Ruko itu tampaknya memang sedang tutup. Maka di halaman ruko itulah aku akan menikmati secangkir Kopi Asiang.

Lagi dibuatin kopi sama si kakak…
Penuh kan?…..Ckckckck.
Kopi Robusta penutup eksplorasi hari itu.

Walaupun kopi susu tampak menjadi pilihan favorit para pengunjung, toh aku lebih memilih meyeruput kopi robusta yang konon sangat terkenal cita rasanya di warung kopi berusia 64 tahun ini. Beruntung aku tiba dua jam sebelum warung tutup sehingga aku merasa tak terburu waktu untuk menyeruput kopi.

Saking menikmatinya, waktu satu setengah jam pun menjadi tak terasa ketika duduk di warung itu. Perlahan pengunjung satu per satu menyudahi kunjungannya. Kebetulan kopi di cangkirku hanya tinggal satu atau dua seruputan saja. Aku pun berniat sama untuk menyudahi wisata gastronomi tersebut.

Membayar secangkir kopi robusta dengan Rp. 6.000 akhirnya aku menyudahi petualangan sore itu dan berniat untuk segera kembali ke hotel.

Mencicip Lembutnya Es Krim Angi

Aku baru saja usai menyantap Bubbor Paddas di sebuah bangku milik Warong Pa’ Ngah. Sembari duduk untuk menurunkan makanan ke lambung, jemariku mulai lincah berselancar di sebuah aplikasi berbasis denah untuk mencari keberadaan sebuah sajian kuliner lain yang terkenal di Pontianak.

—-****—-

Kembali ke malam sebelumnya….

Keberadaanku di Pontianak akhirnya diketahui oleh salah satu pimpinan perusahaan tempatku bekerja. Karena beliau berasal dari Pontianak, maka sudah barang tentu beliau memahami seluk beluk, budaya dan kuliner Kota Khatulistiwa tersebut.

Salah satu kuliner terkenal yang direkomendasikan oleh beliau untuk kucicipi adalah Es Krim Angi yang kini lokasi outletnya sedang kucari di layar telepon pintarku.

Berdasarkan cerita beliau, dahulu kala es krim ini hanyalah es krim bergerobak dorong yang dijual di depan SMP dan SMA Petrus. Karena rasanya yang enak akhirnya mengantarkan es krim ini menjadi sebuah kuliner idola dan bahkan kemudian boleh dikatakan melegenda di Kota Pontianak.

Berbalas pesan dengan beliau pada malam sebelumnya berhasil menggugah rasa ingin tahu dalam hati. Aku yang penasaran setelah mengetahui informasi tersebut akhirnya memutuskan untuk mengunjunginya siang itu juga.

Tentu siang itu menjadi momen yang sangat tepat karena aku baru saja usai menyantap makan siang, maka sajian Es Krim Angi bisa menjadi sajian penutup (dessert) dalam rangkaian makan siangku.

—-****—-

Usai menemukan lokasinya di aplikasi maka aku segera memesan transportasi online demi menuju ke sana. Lokasinya yang berjarak hampir empat kilometer dari Warong Pa’ Ngah dan cuaca yang teramat terik membuatku urung untuk berjalan kaki.

Tak perlu waktu lama, akhirnya transportasi online yang kupesan pun tiba. Aku segera naik dan mengonfirmasi tujuan kepada pengemudi.

Menyusuri  sepanjang Sungai Jawi melalui Jalan Hasanuddin, aku berbelok di Jembatan Gertak 2 untuk menyambung perjalanan melaui Jalan Merdeka Barat. Kemudain berganti ke Jalan HOS Cokroaminoto setelah melintasi Bundaran Tugu Penghargaan Bank Indonesia. Untuk kemudian melintasi ruas terakhir di Jalan Gusti Sulung Lelanang sebelum tiba Jalan Karel Satsuit Tubun dimana Es Krim Angi berada.

Aku sedikit kebingungan ketika diturunkan di titik terakhir perjalanan. Mataku awas memperhatikan sekitar demi mencari plang nama kedai es krim tersebut. Aku tak kunjung menemukannya, tetapi mataku tertuju pada sebuah rumah yang sangat ramai.

Setelah memperhatikan dengan teliti, ternyata aku menenemukan sebuah plang nama kecil bertuliskan “Es Krim Angi Est 1950” yang sedikit tertutup dahan. Aku mulai memasuki pekarangan rumah dan kemudian faham bahwa es krim ini menggunakan pekarangan rumah untuk berjualan.

Satu hal yang membuatku sedikit was-was adalah begitu penuhnya bangku kedai es krim tersebut oleh para pengunjung. Aku sedikit khawatir dengan resiko penularan COVID-19 dengan keramaian seperti itu. Tetapi tak mungkin juga aku harus menggagalkan rencana menikmati es krim legendaris ini. Maka pada akhirnya aku memberanikan diri untuk duduk di salah satu bangku.

Dan sebelum duduk, aku sudah memesan es krim kombinasi rasa coklat, durian dan vanilla yang disajikan dalam batok kelapa muda. Begitulah cara memesan es krim di kedai ini, penjual akan meminta kita menyebutkan tiga jenis rasa yang akan dituangkan dalam dua pilihan wadah, yaitu di batok kelapa atau di gelas kertas berukuran standar.

Di kedai ini, selain es krim yang dijual dengan gerobak, juga terdapat display kue dan snack yang bisa dibeli oleh para pengunjung. Jadi bisa sekalian membeli buah tangan bagi yang berminat.

Plang nama yang sedikit tersembunyi.
Keramaian pengunjung outlet.
Gerobak es krim dan jajanan lain.
Ini dia aktornya….

Benar adanya, es krim ini memang menyuguhkan tekstur lembut di lidah dengan rasa es krim yang sangat lezat. Aku menyantapnya pelan karena tak akan pernah tahu kapan lagi bisa ke tempat tersebut. Jadi sensasi kelezatan es krim tersebut benar-benar kunikmati dengan khidmat.

Aku menyudahi kunjungan di Es Krim Angi dengan membayar pesananku sebesar Rp. 23.000.

Setelah merasakan nikmatnya sajian ini maka sudah kupastikan bahwa kalian harus mencobanya jika berwisata ke Kota Pontianak.

Bubbor Paddas: Mencicip Hidangan Para Raja

Ojek online yang kupesan tampak mendekat dari sisi timur Jalan Rahadi Usman. Kendaraan itu berhasil menyeberang dengan susah payah di tengah arus jalanan yang padat.

“Warong Pa’ Ngah ya, bang?”, pengemudi transportasi online itu mengonfirmasi tujuan.

“Ya, bang”, aku singkat membenarkan.

Destinasi berikutnya ini berada dua setengah kilometer di barat Taman Alun Kapuas. Hanya perlu waktu tak lebih dari sepuluh menit menyusuri Jalan Pak Kasih dan berakhir di sebuah sisi Jalan Komodor Yos Sudarso setelah melintasi aliran Sungai Jawi.

Aku tiba di sebuah rumah makan dua tingkat yang merupakan hasil penggabungan dari dua unit rumah toko (ruko). Tampak rumah makan itu sudah memiliki pengunjung yang menempati beberapa meja.

Aku mengambil tempat duduk bagian teras untuk mengurangi resiko penularan virus COVID-19. Tanpa pikir panjang karena terlalu lapar maka aku segera memesan menu andalan di rumah makan itu, yaitu Bubbor Paddas dan untuk minuman aku memilih Es Timun Serut untuk mendinginkan gerah tubuh sebagai dampak dari cuaca panas kota.

Beberapa saat setelah memesan maka hidangan itu pun disajikan. Kuperhatikan dengan seksama  bahwa secara kasat mata Bubbor Paddas ini berwarna cokelat.

Aku merasakan tekstur lembut dari tepung beras yang dipadukan dengan rempah dan potongan-potongan kecil sayuran seperti kangkung, tauge, daun pakis dan jagung. Semakin nikmat rasa bubur itu karena potongan-potongan daging sapi yang tersaji setengah tenggelam di dalam sajian bubur. Sementara aroma harum ditebarkan oleh bawang goreng yang berwarna cokelat muda. Sedangkan kacang goreng dan ikan teri disajikan terpisah untuk ditaburkan ketika hendak menyantap bubur ini.

Walaupun bernama Bubbor Paddas atau Bubur Pedas ternyata rasanya tak terlalu pedas. Rasa pedas itu kurasakan berasal dari tekstur lada yang telah tercampur semenjak dihidangkan.

Di tengah menikmati bubur, aku merasa bahwa satu porsi Bubbor Paddas tak akan mampu meredam rasa lapar yang teramat sangat. Akhirnya aku menambah pesanan dengan seporsi nasi putih untuk disantap bersama bubur. Dan strategiku cukup ampuh untuk membuat kenyang siang itu.

Dan untuk menutup makan siang maka aku meneguk perlahn Es Timun Serut yang menyegarkan.

Momen makan siang kala itu berhasil membuatku terkesan karena aku kembali mengoleksi satu dari sekian banyak jenis kuliner khas Kalimantan Barat. Bubbor Paddas merupakan makanan khas etnis Melayu Sambas.

Inilah makanan kaum bangsawan yang dihidangkan pada acara-acara kesultanan yang kini bisa dinikmati oleh khalayak umum.

Cukup murah untuk menebus menu makan siang itu, aku hanya membayar dengan harga Rp. 25.000 saja.

Oh,ya….Selain Bubbor Paddas, Rumah Makan Pa’Ngah juga menyediakan menu special seperti  Bakso Sapid an berbagai jenis sop, seperti Kaki Sapi, Tulang Rusok, Buntot Sapi, Daging, Bandong.

Terkantuk di Taman Alun Kapuas

Di bawah terik surya yang membakar, aku meninggalkan halaman depan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Berjalan dari sisi tanggul beton sungai sempit, aku menuju dermaga demi mencari keberadaan perahu bermesin untuk menyeberangi Kapuas.

Melompat dari area tanggul ke bagian jembatan kayu, aku berhasil menyeberangi sungai yang merupakan cabang kecil dari Sungai Kapuas dan mendekat ke lelaki tua yang berdiri di atas sebuah perahu.

Tak menunggu lama maka terjadilah tawar menawar antara kami berdua.

“Berapa pak berlayar ke seberang?”

“Enam puluh ribu, dek….Saya antar keliling”, dia menjelaskan sembari menarik sebuah tambang demi menepikan perahunya.

“Dua puluh lima ribu ya pak….Nyebrang saja ke tepi sebelah sana!”, aku menunjuk sebuah titik di sisi selatan.

“Oh ga keliling ya, dek? ….Ya sudah, tiga puluh ribu ya, dek”.

“Baik pak….Ayo kita menyeberang”.

Kesepakatan pun tercapai dan pelayaran pun dimulai.

Tentu ini bukan menjadi yang pertama kali menaiki perahu. Dulu aku pernah menjadi pengemudi perahu yang hebat ketika bekerja di sebuah perusahaan perikanan di Waduk Jatiluhur. Oleh karenanya, aku tak begitu terpesona ketika berada di atas perahu. Satu-satunya yang membuatku terkesan hanyalah hamparan luas Sungai Kapuas yang mengisi ruang pengalamanku saja.

Perahu mesin itu tiba di sisi selatan dengan cepat. Perahu merapat ke dermaga dan aku pun melompat meninggalkan pria tua tersebut.

Aku kembali berada di titik yang sore hari sebelumya kukunjungi, tepatnya di sepanjang badan Sungai Kapuas dan di sisi Taman Alun Kapuas.

Tanpa pikir panjang, aku segera memasuki area taman demi menghindari terik matahari. Memasuki taman seluas satu setengah hektar tersebut, aku merasakan kesejukan yang luar biasa. Pandanganku menyapu segenap sisi taman, mencari tempat duduk beton yang masih kosong untuk kutempati.

Tak sedikit warga lokal yang sengaja tidur di atas bangku-bangku itu. Mungkin mendinginkan badan di area taman menjadi rutinitas bagi mereka sehingga mereka bisa tertidur dengan lelapnya.

Aku menemukan bangku kosong di sisi barat dan memutuskan meluangkan waktu untuk menikmati suasana. Dua puluh menit lamanya aku terkantuk-kantuk di area taman. Sejenak rasa laparku menjadi sirna.

Sisi dermaga.
Menyeberang Sungai Kapuas.
Salah satu sisi Taman Alun Kapuas.
Meninggalkan Taman Alun Kapuas.

Tetapi beberapa saat aku tersadar bahwa terlalu lama berada di keteduhan taman akan membuatku kehilangan banyak waktu eksplorasi.

Di tengah perlawanan terhadap rasa kantuk itu, aku berhasil memaksa diri untuk keluar dari area taman dan dalam waktu beberapa menit kemudian aku sudah berada di tepian Jalan Rahadi Usman.

Perut yang lapar menimbulkan hasrat untuk melakukan wisata gastronomi, membalikkan niatan semula yang hendak menikmati makan siang seadanya.

Berada di tepian jalan maka aku berselancar cepat di mesin pencari dan menemukan sebuah kuliner kenamaan di Pontianak. Aku memutuskan untuk bersantap siang di sana.

Kondisi yang terik menyengat berhasil memaksaku untuk memesan transportasi online kembali. Aku pun mulai membuka aplikasi di telepon pintarku untuk mendapatkannya.