Nonton Bola di Way Kambas

<—-Kisah Sebelumnya

Seporsi soto mie seharga tiga belas ribu rupiah yang terlahap di sebuah kedai di sekitar arena atraksi menjadi penawar lapar setelah menempuh perjalanan sejauh sembilan puluh kilometer dari Bandar Lampung menggunakan sepeda motor sewaan. Genap tiga jam lamanya perjalanan itu, mengendapkan segenap rekam alam di salah satu ruang memori kepalaku.

Beberapa menit lalu aku serasa kembali pulang, akibat percakapan berbahasa Jawa dengan seorang petugas parkir di area parkir motor Way Kambas.

Pépétké kiwo aé mas”, celetuk petugas parkir bercelana pendek dan bertelanjang dada itu.

Sontak aku mesam-mesem menahan tawa.

Nggih pak sekedap, kulo pépétké mriku”, jawabku singkat.

Walah, ini mah kayak piknik ke Sragen aja”, batinku masih saja meyakinkan diri bahwa aku sedang berada di ujung selatan Swarnadwipa.

Membayar parkir sebesar lima ribu rupiah, aku meninggalkan area parkir dan mata mulai menyapu segenap sisi jalan untuk berburu informasi mengenai wisata Way Kambas yang sudah ada di hadapan. Sungguh tak kusangka, tempat wisata yang dahulu selalu kuhafal di buku pelajaran saja.

Tentu aku memilih menuju ke sisi jalan yang lebih ramai. Melewati sebuah aula dan mushola, langkah cepat membawaku menuju ke sebuah playground yang dipenuhi oleh para pengunjung. Di sebuah titik, tampak antrian tak teratur, memanjang dari bilik triplek bercat hijau. Hal tersebut memunculkan rasa penasaran dan berhasil menarik minatku untuk mendekat.

Standar Operasional Prosedur Tunggang Gajah. Jam operasional 09:00-12:00 dan 14:00-16:00. Umur maksimal 58 tahun. Dilarang memberikan makan dan minum pada gajah. Tiket Rp. 20.000”, begitulah informasi yang berhasil kutangkap dari deretan kalimat di depan bilik.

Selama masa libur Idul Fitri tidak melayani Jungle Track dan Safari Gajah”, Oh, kedua atraksi itu berarti tak bisa kunikmati. Tetapi tak menjadi soal, masih banyak atraksi lain yang bisa kunikmati di Pusat Konservai Gajah, Taman Nasional Way Kambas.

Meninggalkan bilik persegi mini itu, aku kini berdiri mengamati di salah satu sisi tangga yang digunakan untuk menaiki gajah. Para pengunjung yang sudah membeli tiket tampak mengantri di sisi tangga yang lain demi menunggu giliran menunggang gajah yang tentu akan ditemani oleh seorang mahout1*) untuk menjamin keamanan.

Dua ekor gajah yang berkeliling taman tentulah menjadi actor utamanya siang itu. Segenap pandang tertuju padanya. Tampak diatas punggungnya seorang ayah waspada menjaga ketiga anaknya yang bersamaan menunggang gajah yang sama. Sementara kedua gajah itu tampak nyaman saja melakukan tugasnya sembari menguyah rumput jenis “gajahan” tiada bosan.

Sementara anak-anak lain yang tak mendapat kesempatan menunggang gajah lebih memilih berkhusyu’ria menikmati berbagai wahana permainan sederhana di playground, seperti prosotan yang berpangkalkan patung bledhug*2), ayunan dan titian gantung rendah.

Khusus anak-anak umur 6-12 tahun”, begitu bunyi papan kayu yang menggantung di sebuah pokok*3). Mewarnai lukisan berbayar dan para pedagang balon tampak menguasau beberapa titik playground.

Area parkir. Kanan: parkir mobil. Kiri: parkir sepeda motor.
Menunggang gajah di sekitar playground.
Playgroundnya lucu ya….Wkwkwk.

Sementara itu, di setiap sisi playground yang berbatasan dengan jalan, tampak diakuisisi oleh kedai-kedai street food dengan harga jajanan yang terjangkau.  Sepotong es krim saja hanya dijual seharga lima ribu di area ini. Membuatku tergugah mencicipnya sepotong demi meredakan gerah badan yang beberapa waktu lalu berkendara cukup lama menembus panas surya dari Bandar Lampung.

Tetapi, setelah mengetahui bahwa jadwal atraksi gajah masih cukup lama, membuatku memutuskan untuk berkeliling ke spot lain di Way Kambas. Aku menuju ke timur playground, melintas Kantor Pusat Latihan Gajah dan gedung Visitor Centre, hingga sampai di dua kolam besar, yaitu Kolam Minum Gajah di utara jalan dan Kolam Mandi Gajah di selatannya. Sementara di sekitar kolam ditempatkan rumah-rumah para mahout dan terdapat bangunan besar yang lebih menonjol dari bangunan lain yaitu Mahout House.

Aku memilih duduk di bawah gazebo demi melihat gajah-gajah yang dilepas di hamparan luas padang rumput di sebelah timur Kolam Mandi Gajah. Tampak tujuh gajah berjalan bebas di sana….tetap sambil menguyah rumput jenis gajahan yang tampaknya sengaja di taruh di beberapa titik oleh para mahout. Aku hanya berfikir bahwa gajah-gajah itu tidak boleh dibiarkan lapar, daripada terjadi masalah yang lebih serius.

Sewaktu kemudian, seorang mahout turun dari bilik pantau di tengah padang rumput dan mendekati seekor gajah. Gajah itu berukuran paling besar dari yang lainnya. Entah bicara apa dengan si gajah, mahout itu bisa naik ke punggungnya. Perlahan dia mengarahkan gajah itu untuk minum di sebuah bak beton berukuran panjang, lalu si gajah perlahan menuruni kolam mandi dan sang mahout mulai melakukan pertunjukan memandikan gajah. Si gajah berendam dengan santainya dihadapan para pengunjung yang perlahan-lahan memenuhi sisi-sisi kolam.

Wah, beruntungnya diriku bisa menyaksikan pertunjukan itu walau sebetulnya ini hanya keberuntungan yang tak terduga”, hatiku girang.

Pertunjukan mandi gajah ini beralangsung kilat, tak lebih dari seperempat jam. Lalu, entah dibawa kmanakah si gajah itu oleh mahoutnya.

Kantor Pusat Latihan Gajah.
Visitor Centre.
Mahout House.
Gajah di alam bebas.
Pertunjukan memandikan gajah.

Sudahlah…Aku menyempatkan berdzuhur di mushola untuk kemudian bersiap diri untuk menonton acara pemungkas…Yups,  Atraksi Gajah.

Saatnya  dengan mata kepala sendiri,melihat bagaimana keseruan sekawanan gajah menendang bola”, Hahaha….Hatiku tertawa terpingkal.

Buset, jauh-jauh ke Lampung hanya buat nonton gajah nendang bola”, gilee emang aku nih.

—-****—-

Soto mie bening itu menjadi makanan ternikmat yang kudapat  di “sarang gajah”. Tetap saja….Asal Jawa, si ibu penjualnya. Baru saja melintas di depan kedai, dia menyapa,

Pinarak, Mas. Sotonipun eco lho, Mas…..”, Walah……

Kini….Aku telah membayar  menu itu, kemudian bergegas menuju loket penjualan tiket. Membeli tiket seharga dua puluh ribu rupiah dan membayarnya melalui lubang kusen jendela bagian bawah, aku mendapatkan selembar tiket. Menjadi pembeli pertama membuatku leluasa memilih tempat duduk di tribun tunggal. Kuputuskan duduk di bagian tengah tribun demi bisa melihat pemandangan keseluruhan arena dengan leluasa.

Yuk atraksi sudah dimulai….

Empat ekor gajah ber-mahout yang saling bergandengan (belalai seekor gajah melilit ekor gajah lain di depannya), tampak memasuki arena setelah dipanggil pemandu atraksi yang berdiri memegang mikrofon di salah satu pojok arena. Seingatku gajah termuda bernama Pangeran .

Diajak berkeliling arena, keempatnya memberikan salam hormat kepada penonton dan para gajah membuka atraksi dengan upacara bendera dimana salah satu ekor gajah berukuran paling kecil berperan sebagai pengibar bendera….Wkwkwk, gokil.

Empat gajah terlatih itu kemudian melakukan atraksi pertama dengan berdiri di atas sebuah tiang beton pendek. Wah….Hebat juga….Gajah segede itu bisa muat berdiri di tonjolan beton yang sempit. Dan atraksi utama gajah di beton itu tentunya adalah duduk berkursikan kursi beton,

Gajah-gajah lucu ini juga bisa duduk berjegang di arena, belajar menghitung, berdiri dengan dua kaki, bermain holahop, serta mengangkat sang mahout dengan belailainya.

Wah jian….Pangeran ki ra nggatekke”, celetuk pemandu atraksi ketika Pangeran salah menjawab sebuah operasi pengurangan. Membuatku terpingkal tak kepalang.

Hal lain yang menggemaskan adalah kelucuan gajah ini menerima saweran  penonton usai bergoyang diiringi musik dangdut. Lembaran dua dan lima ribuan diterima dengan belalainya dan diberikannya kepada sang mahout.

Atraksi ini diakhiri dengan pertunjukan idaman yaitu gajah bermain sepak bola. Akhirnya impian masa kecilku terpenuhi….Alhamdulillah.

Aku dan penonton lain di tribun bersiap menikmati atraksi.
Tuh kan….Kek brand sarung nyang ituh.
Gajah juga bisa begituan rupanya. Ga cuma anjing ajah….Huhuhu.
Yuk, saatnya menerima saweran.

Genap satu jam pertunjukan itu berlangsung, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Aku memutuskan untuk segera meninggalkan Pusat Konservasi Gajah, Taman Nasional Way Kambas demi menuju Bandar Lampung.

Aku khawatir kesorean di jalan karena harus berkendara motor….

Terimakasih para gajah yang sudah menghiburku.

Sehat-sehat selalu ya, Jah….

———-

Keterangan kata:

Mahout1*) = Pelatih sekaligus pawang  gajah.

Bledhug*2) = Anak gajah.

Pokok*3) = Pohon.

Bersepeda Motor ke Taman Nasional Way Kambas….Amankah?

<—-Kisah Sebelumnya

WAY KAMBAS….Diambil dari nama sungai yang mengalir di dalam area Taman Nasional itu sendiri. Taman Nasional seluas 125 ribu hektar ini merupakan rumah bagi program konservasi beberapa hewan langka seperti gajah, badak dan harimau sumatera

Hanya saja ketika Aku bertanya kepada salah satu petugas di Pusat Pelatihan Gajah (PLG) Way Kambas, Pusat Konservasi Badak dan Harimau Sumatera belumlah dibuka untuk umum.

Beberapa jam sebelum kedatanganku di TNWK………………….??????

Hari itu adalah hari keduaku dalam eksplorasi Lampung. Pada malam hari sebelumnya, Aku sibuk mencari informasi tentang keamanan menggunakan sepeda motor menuju Way Kambas dengan bertanya kepada empat temanku yang asli Lampung. Dari keempatnya, tiga diantara temanku meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja sedangkan seorang lagi lebih ragu jika aku bermotor ke Way Kambas karena Aku bukan asli orang Lampung…..takut begal lah intinya….seakan otakku sudah tercemar media yang sering mengabarkan hal itu…..”tentang Lampung dan tentang begal motor”.

Simple saja akhirnya….karena pendapat mereka tiga berbanding satu, Aku putuskan untuk berangkat ke Way Kambas keesokan harinya menggunakan sepeda motor sewaan.

Perjalanan dimulai,

Berangkat dari Redoorz @ Jalan Pangeran Diponegoro di daerah Teluk Betung, Bandar Lampung tepat pukul 07:25. Menyusuri jalanan kota Bandar Lampung selama 35 menit akhirnya Aku benar-benar meninggalkan Kota melalui gerbang akhirnya:

Gerbang “Selamat  Jalan Bandar Lampung” di Jalan Lintas Barat Sumatera.

Aku mulai menyusuri jalanan yang banyak dilewati bus antar kota dan truk-truk bermuatan logistik. Jalur cepat ini mengharuskanku menarik gas sepeda motorku supaya tidak diklakson terus-menerus dari belakang.

Pada menit ke-40, Aku tiba di keramaian warga lokal. Aku mencari papan alamat disekitar, baru Kutahu bahwa ini adalah pasar Natar.

Pasar Natar….nadi ekonomi diantara Bandar Lampung dan Metro.

Melanjutkan perjalananku kembali, di menit ke-55, Aku sampai di depan Bandara Internasional Radin Inten.

Bandara ini tepat sekali berada di pinggiran Jalan Lintas Barat Sumatera.

Tertegun sejenak dan duduk diatas sepeda motor yang kumatikan, Aku mengamati sebentar aktivitas di sekitar Bandara. Sengaja kuluangkan waktu, karena Aku belum pernah mencicipi sama sekali Bandara ini. Sayang kedatanganku ke propinsi paling selatan Sumatera ini menggunakan jalur darat yang dikombinasikan dengan jalur laut Merak-Bakauheni.

Perjalananku di sepanjang Jalan Lintas Barat Sumatera ini berkejaran dengan bus ukuran tiga perempat.

ayolah bang sopir, Kita balapan.

Sebetulnya Aku bisa saja naik bus ini menuju Metro lalu berganti lagi dengan bus lain menuju Way Jepara (daerah terdekat dari Way Kambas yang terakses dengan angkutan umum). Dari Way Jepara bisa berlanjut dengan ojek menuju Way Kambas.

Atau bisa juga menggunakan Bus DAMRI, yang menurut info terkini yang kudapat, hanya berangkat sekali setiap hari dari Terminal Rajabasa di Bandar Lampung pada pukul 8 pagi dan berhenti tepat di Pusat Latihan Gajah, Way Kambas.

Tapi Aku lebih memilih menggunakan motor sewaan seharga Rp. 150.000/hari karena sepulang dari Way Kambas, Aku bisa leluasa mengeksplore kota Metro. Selain itu, Aku lebih bisa mendeteksi secara akurat jalur yang akan Kulewati menuju Way Kambas.

Menit ke-65, Aku tiba di sebuah pertigaan besar yang  kedua percabangannya sama-sama menuju ke Metro.

Tugu Punduk (sebutan untuk keris asli Lampung)….Pilih lurus atau ke kanan?

Aku lebih memilih memakai jalur alternatif ke kanan. Menurut google maps, jalur ini lebih cepat dan tidak macet.

Benar bro…kagak macet….swear

tapi sepi minta ampun…..Jalan Raya Kota Metro memacu detak jantungku….mulai sedikit jiper.

Setelah melewati hamparan kebun karet itu, Aku selalu mengikuti lekukan jalanan dan kanal disisi kanannya.

kanal disisi kanan jalan Raya Kota Metro.

Senangnya hati berhasil melewati kesepian itu ketika menembus gerbang awal Kota Metro

Menit ke-90, Selamat Datang Kota Metro.

Kembali menemukan keramaian, kuputuskan untuk memenuhi tangki bahan bakarku sebelum Aku terjebak dalam kesepian kembali.

Tugu Pos Polisi ini adalah landmark pertama yang kulewati ketika memasuki pusat Kota Metro.

Menit ke-115….bye-bye keramaian…

Aku meninggalkan Kota Metro di Jalan AH Nasution
Gerbang “Selamat Datang Kabupaten Lampung Timur “bersebelahan dengan Gerbang “Selamat Jalan Kota Metro”.

Terjebak dalam kemacetan panjang, Aku penasaran, ada apakah gerangan?. Mecoba merangsek ke depan dengan Honda Beat sewaanku menerobos jalan tanah di pinggiran aspal jalan raya, akhirnya kutemukan jawabnya….Bus penumpang besar mogor di tengah jalan karena kehabisan bahan bakar, mencoba didorong banyak penumpang dengan pengawasan para polisi lalu lintas.

Menit 120. Welcome Pasar Pekalongan !….pasti disini banyak orang keturunan Jawa….namanya aja begituh.

Pasar Pekalongan di jalan AH Nasution

Menit ke-130, Aku kembali dihadapkan pada dua pilihan….dirimu atau dirinya?

Aku lebih memilih Dia…..#apaansih.

Ambil belokan ke kanan menuju Jalan Raya Batanghari Nuban
Taman Maskot tepat di tengah pertigaan itu.
Beginilah suasana Jalan Raya Batanghari Nuban

Halusnya aspal Jalan raya ini akan berlanjut hingga Jalan Raya Sukadana….tapi ya begitu, Akulah si pemilik jalan raya….sepi brur.

Pada menit ke-150, tibalah diperempatan ini:

Perempatan Jalan Soekarno-Hatta dan Jalan Lintas Timur Sumatra

Muara jalan ini sebetulnya sama:

Ke Kanan ke Way Jepara dan Kamu akan menelusuri Jalan Lintas Timur Sumatera.

Atau bisa juga lurus, Ke Way Jepara juga sih….tapi Kamu akan melewati perkampungan warga dan akan tembus kembali ke Jalan Lintas Timur Sumatera.

Tentu kupilih yang lurus, supaya aku bisa melihat aktivitas para warga Sukadana.

Mencapai Pusat Perbelanjaan Sukadana di menit ke-160

Tak berselang lama, Kamu akan melewati landmark ini:

Tugu Kota Sukadana sebagai kecamatan yang menjadi ibu kota Kabupaten Lampung Timur.

Tugu kota Sukadana ini menampilkan sosok pejuang kemerdekaan dari Kecamatan Sukadana yaitu Kolonel Arifin.

Dari tugu ini luruslah hingga bertemu perempatan di dekat Kantor Kecamatan Sukadana, lalu segeralah berbelok kekiri

Menuju Jalan Minak Rio Ujung setelah belok kiri

Pada menit ke-170, Aku memasuki Jalan Lintas Timur Sumatera setelah melewati landmark ini:

Taman Banding menampilkan patung pahlawan Nasional Kiai Haji Ahmad Hanafiah

Boleh kubilang aspal jalanan Lintas Timur Sumatera di Lampung Timur ini sangat mulus.

Jalan Lintas Timur Sumatera kayak aspal sirkuit motogp ya….
Tugu Selamat Jalan Kecamatan Sukadana kulewati di menit ke-175

Aku berganti memasuki Kecamatan Way Jepara. Dan yang kutunggu tiba……ya, Aku ingin melihat bagaimana aktivitas pasar Tridatu. Pasar yang terkenal di dunia maya karena sering disebut para traveler ketika menuju ke Way Kambas.

Pasar Tridatu di menit ke-180.

Aku tak akan berbelok kekiri dari pasar ini untuk menuju ke Way Kambas. Aku lebih memilih lurus untuk menambah kembali referensiku dan kubagikan ke kalian.

Ya….Aku lebih memilih menuju Pasar Gunung Terang (sayang Aku lupa membuatkan fotonya untuk kalian) yang berjarak 5 menit berkendara motor lalu baru berbelok ke kiri.

Belokan setelah Pasar Gunung Terang, masuk gerbang Desa Labuhan Ratu VI

Semakin dekat dengan Pusat Latihan Gajah Way Kambas, Aku memasuki desa Labuhan Ratu VI

Jalanan sepanjang Desa Labuhan Ratu VI
Rest Area Labuhan Ratu di ujung desa

Rest area ini banyak digunakan para wisatawan yang akan menuju atau bahkan telah usai dari wisata PLG Way Kambas.

Karena rest area ini tepat berada dipertigaan di pinggiran Taman Nasional Way Kambas, maka aku mengikuti petunjuk arah dengan berbelok ke kanan.

Perhatikan tanda panah….belok ke kanan menyusuri jalanan yang membelah Taman Nasional Way Kambas
Jalan sepanjang Taman Nasional Way Kambas

Disepanjang jalan TNWK, Aku sesekali menemukan mobil para wisatawan berhenti untuk sekedar memberi makan kepada sekawanan monyet liar yang sering melintas jalanan.

Akhirnya penantianku tiba….MENIT KE 205 Aku tiba di gerbang Pusat Latihan Gajah, Taman Nasional Way Kambas.

Bahagia banget sampai di Gerbang Pusat Latihan Gajah Way Kambas.

AMANKAH perjalananku?…..Boleh kusimpulkan sangat aman dan tak ada nuansa kriminalitas disini. Hanya pesan dari para temanku yang asli Lampung….Jangan pulang melebihi jam 6 sore.

Bahkan Aku meninggalkan TNWK tepat pukul 14:00

Jadi sudah pernahkan Kamu melihat gajah liar?

Atau lihat gajah mandi?….porno ih

Atau lihat gajah main bola?….atau main holahop?

Makanya dong ke Way Kambas………

Kisah Selanjutnya—->