Channel No 63 Hotel Kaga

<—-Kisah Sebelumya

Malam nanti adalah malam tahun baru. Ini pertama kalinya aku akan menikmati pergantian tahun di luar negeri, Osaka tepatnya. Tak pelak aku telah meniatkan untuk menikmati bagaimana meriahnya malam Osaka saat New Year’s Eve Countdown.

Tapi ini baru pukul 17:00 ketika aku menyudahi menu makan siang yang sangat terlambat.  Aku meninggalkan restoran rumahan yang berdiri pada sebuah gang di Amerikamura, setelah menikmati sajian chicken ramennya.

Kini aku punya satu niatan yang harus kutunaikan….Yupz, TIDUR.

Aku tak bisa menyembunyikan lunglai badan setelah semalaman hanya tertidur di Kansai International Airport selama empat jam. Aku sendiri tak mau menghadiri hitung mundur Tahun Baru dalam keadaan tak segar nanti malam.

Sampai jumpa Amerikamura”,  batinku berseloroh ketika menapak keluar dari sebuah gang dan mulai menyisir Mido-suji Avenue menuju Stasiun Shinsaibashi. Hampir setengah enam sore ketika aku mulai menaiki gerbong Osaka Metro menuju Stasiun Dobutsuen-mae melalui Midosuji Line.

Dari Stasiun Dobutsuen-mae, aku melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri Saka-suji Avenue untuk mencapai penginapan. Aku perlahan memasuki daerah Haginochaya dan tak lama kemudian tiba di Hotel Kaga.

Hello, Mr. Donny. So afternoon you arrive”, resepsionis laki-laki berkacamata itu menyapaku ringan lalu berdiri dari kursinya dan sigap mengambil backpack biruku.

Yes, Sir. Osaka is very interesting, so I will regret it if I come back to hotel too early”, aku menangkap backpack yang dia sodorkan.

I think I should sleep to prepare myself for New Year’s Eve tonight”

Yes, that’s a great idea, Sir”.

Aku meminta izin untuk segera memasuki kamar setelah dia memberikan kunci. Aku sudah membayar biaya penginapan tadi pagi saat menitipkan backpack. Kuayunkan langkah dengan cepat mengejar lift yang pintunya sudah terbuka karena ada orang yang menggunakannya, kemudian meluncur ke lantai tiga. Begitu tiba di kamar, aku segera menggantung winter jacket, melepas sepatu boots, menurunkan backpack, menarik kasur lipat dan menghempaskan tubuh ke atas kasur.

Kamar tunggal yang kupesan sebulan sebelum keberangkatan.
Kamar seharga 1.800 Yen (Rp. 256.000) per malam.

Zzzzz……..Zzzzz…..Zzzzz….Dengan cepat aku terlelap saking lelah badan dan mengantuknya mata.

Lewat sedikit dari jam setengah sembilan malam ketika aku otomatis terbangun. Seperti itulah aku, jika ada niatan bangun pada jam tertentu maka tanpa menyalakan alarm pun maka aku akan terbangun dengan sendirinya pada jam yang dimaksud. Jarang sekali meleset, mungkin ini sisa kebiasaanku di waktu kecil ketika sering bangun jauh sebelum shubuh untuk belajar. #sokdisiplin

Aku masih merasa malas untuk beranjak dari kasur dan terus ternyamankan dengan hangat ruang kamar. Terus membayangkan begitu tak nyamannya jika bepergian di luar sana yang suhunya hampir menginjak nol derajat Celcius. Kusambar remote TV di sampingku, aku baru sadar kalau sebelum tidur tadi aku telah menyalakan TV. Praktis TV lah yang menontonku di saat tidur, bukan aku yang menontonnya.

Mau nonton acara TV Jepang….Waspadalah….Waspadalah!

Tentu aku tak tahu apa yang diperbincangkan pada setiap acara Televisi Jepang. Yang kutahu itu hanya reality show tentang percintaan, kuis berhadiah atau menebak-nebak beberapa kasus dan kejadian dalam acara berita malam. Aku terus menjelajah lebih jauh hingga ke channel bernomor di atas 40. Beberapa  acara olahraga serta flora dan fauna mulai hadir. Kini channel menginjak angka 60. Aku terus menjelajah….

61….62….

Tiba-tiba aku terperanjat ketika memasuki CHANNEL NO. 63. Bagaimana tidak, itu adalah channel film dewasa tanpa sensor. Wuannnjiiirrrr, apalagi ini…..Aku mencoba untuk melewatkannya saja, berpindah ke channel berikutnya. Belum juga lama berpindah, entah kenapa tangan ini selalu penasaran memencet pintas ke CHANNEL NO. 63, lalu mencoba melawan berpindah ke channel lain lagi. Geblek….Kemudian berpindah lagi ke CHANNEL NO. 63…..Pertempuran “Hitam-Putih” tampak sengit di benakku. Hingga akhirnya tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan.

Sudah saatnya aku pergi ke perayaan Tahun Baru bersama warga Osaka dan turis lainnya di luar sana. Aku telah membaca pengumuman di banyak stasiun siang tadi bahwa jam operasional Osaka Metro akan diperpanjang hingga lewat dini hari. Itu berita yang menggembirakan dan membuatku tak perlu membobol kantong untuk mencari taksi saat pulang nanti.

Kupakai kembali sepatu boots dan kukenakan kedua jaketku untuk melawan dingin. Masih ingat ketika aku tak sengaja menenggak alkohol di Narita International Airport?. Yups, minuman beralkohol itu masih ada dan hanya berkurang satu tenggakan saja kala itu. Aku memasukkan ke kantong winter jacket dan kufungsikan sebagai langkah antisipasi. Aku harus bersiap apabila suhu diluar nanti menjadi terlalu ekstrim di tengah malam….WHO KNOWS?….Tapi mudah-mudahan saja aku tak perlu menenggaknya lagi hingga petualangan di Osaka berakhir.

Kisah Selanjutnya—->

Uang Koin di Amerikamura

<—-Kisah Sebelumnya

Dari Stasiun Namba aku menaiki Osaka Metro di arus Midosuji Line, tak berselang satu stasiun pun, aku turun di Stasiun Shinsaibashi. Kemudian mulai mengambil langkah ke selatan menelusuri Mido-suji Avenue. Mido-suji Avenue sendiri berupa jalanan empat ruas yang diapit oleh jalur lambat di kiri-kanannya. Jalur lambat dan jalur cepatnya dibatasi oleh jajaran pepohonan rindang yang tertata rapi mengikuti kontur jalan.

Dalam tiga ratus meter ke depan, aku akan sampai di Amerikamura. Jaraknya yang cukup dekat dari Namba Parks membuatku tertarik untuk sekalian menyambangi tempat itu.

Amerikamura atau khalayak sana menyebutnya Amemura adalah perkampungan yang didesain ala Amerika sepanjang sembilan blok dan terletak persis di sisi timur Mido-suji Avenue, di Distrik Kota Chūō-ku tepatnya. Sebelah selatan perkampungan ini dibatasi oleh Dōtonbori Canal, sebelah utara dibatasi oleh Nagahori-dori Avenue sedangkan sebelah timur dibatasi oleh jalur Osaka Metro Yotsubashi Line. Amerikamura menempati lahan tak kurang dari enam belas hektar. Luas bukan?

Di depan New American Plaza.

Mengadopsi lifestyle bangsa Amerika, maka daerah ini sangat kental dengan brand Paman Sam. Memasuki sebuah gang, langkahku disambut oleh gerai Starbucks lalu gerai McDonald’s meyusul setelahnya. Toko-toko fashion dengan logo Levi’s, Ralph Lauren, Calvin Klein dan brand ternama lainnya sangat mudah ditemukan.

Gang di kawasan Amerikamura memiliki lebar tak lebih dari lima meter. Jalurnya yang sempit membuat arusnya dibuat satu arah. Tiang lampu jalan didesain bak karakter hidup yang ceking dan tinggi. Seni mural juga mudah ditemukan di setiap sisi Amerikamura. Sepanjang tepi trotoar dipasang bollard untuk melindungi pejalan kaki. Sedangkan persewaan sepeda bertebaran di berbagai titik.

Sepanjang kaki melangkah, Amerikamura memang didesain sebagai tempat berbelanja.  Toko fashion berjajar sangat rapat menjejali setiap sisi jalan berpadu dengan bar, minimarket, restoran dan tentunya penginapan.

Hampir satu jam berkeliling ke setiap sudut Amerikamura, aku mulai merasa lapar. Aroma menggoda makanan khas Asia Timur konsisten mencemari jalanan. Aku memutuskan untuk mulai mencari tempat makan. Beruntungnya, kebanyakan restoran di Amerikamura menampilkan harga menu andalannya di depan pintu. Jadi setiap pengunjung bisa memilih makanan yang sesuai dengan minatnya. Kalau aku, bukan perihal menu, aku menilik setiap menu yang terpampang hanya untuk melihat berapa harga terendahnya. Lama sekali mencari restoran untuk mendapatkan harga yang bersahabat dengan kantong.

Langkahku akhirnya terhenti pada sebuah restoran rumahan yang menawarkan menu hemat. Restoran ini dikelola oleh si empunya rumah dibantu oleh anak laki-lakinya yang tampak masih bersekolah dasar.

Aku duduk di bangku pojok berselang satu meja dengan perempuan kantoran berusia muda yang tampak bersemangat menyantap sajian mie di depannya. Aku memesan chicken ramen dan seperti biasa untuk minum, aku mengandalkan air putih yang disediakan dalam teko di setiap meja restoran. Dalam duduk, aku memperhatikan kelincahan anak itu dalam mengantarkan pesanan setelah bapaknya selesai mengolah menunya.

Tak lama setelah memesan, chicken ramenku pun datang. Aku menyantapnya sambil membunyikan serutupan mie di mangkok, tentu aku ingin menghormati dan menunjukkan bahwa chicken ramen si empunya restoran begitu nikmat. Chicken ramen itu habis tak kurang dari lima belas menit.

Nyammm….

Kini aku menampilkan kekonyolan berikutnya. Aku sengaja  membayar dengan uang koin. Karena  aku memang memiliki banyak uang koin yang terkumpul sedari petualanganku di Tokyo. Ketika si anak memberikan bill di nampan kecil, aku menumpahkan koin senilai 600 Yen (Rp. 81.000) di nampan itu. Si anak terlihat kerepotan dan gugup menghitungnya. Aku hanya tersenyum geli melihatnya ketika dia harus mengulang-ulang dalam menghitung koin itu. Perempuan kantoran di sebelah bangku pun tampak tertawa menutup mulut dengan tangannya.

Merasa menyerah menghitungnya, si anak melarikan nampan itu ke meja kasir dan menyerahkan kepada bapaknya untuk menghitung. Setelah selesai menghitung, si Bapak menuliskan sesuatu pada kertas bill dan si anak kembali menujuku. Oh, si Bapak menuliskan bahwa aku membayar kurang 12 Yen. Aku menggenapi kekurangan itu dan si anak tersenyum lebar menatapku. Aku membalas senyumnya dan mulai berkemas untuk meninggalkan restoran.

Kisah Selanjutnya—->