Lambang Persatuan di Sepanjang Rumah Radakng

Usai mengunjungi Rumah Adat Melayu, aku bergegas menuju pelataran sebelah barat. Di pelataran itu terdapat satu lagi rumah adat yang nampaknya lebih ramai dikunjungi oleh wisatawan dan masyarakat lokal terutama para pelajar.

Adalah Rumah Radakng yang merupakan rumah adat terpanjang di Indonesia. Panjangnya mencapai hampir 140 meter. Rumah Radakng ini dibangun untuk mengembangkan sekaligus melestarikan adat istiadat Suku Dayak di Kalimantan Barat.

Boleh dikatakan Rumah Radakng adalah landmark kedua Kota Pontianak setelah Tugu Khatulistiwa yang terletak di daerah Batu Layang.

Pemandangan di Rumah Radakng siang itu tampak didominasi oleh kehadiran para pelajar Sekolah Menengah Atas yang entah sedang mengerjakan tugas apa dari sekolahnya karena banyak diantara mereka duduk berkelompok dan sedang berdiskusi.

Di sisi lan tampak para wisatawan begitu ceria ketika mengenakan baju adat Dayak dan berpose di beberapa titik untuk diambil foto oleh sesama temannya.

Ketika aku menjadi begitu penasaran untuk mengetaui bagian dalam Rumah Radakng, maka aku mendapatkan kesempatan melongok ketika bercakap dengan tiga pria yang sedang mengeluarkan beberapa pot bunga dan meja dari dalam rumah. Tampaknya mereka sedang membereskan peralatan yang digunakan pasca event tertentu yang berlangsung di dalam Rumah Radakng.

Tak ada apa-apa, Bang di dalam, hanya ruangan kosong saja mirip hall, begitu dia menjelaskan dengan singkat kepadaku. Aku pun menyempatkan diri melongok sebentar untuk menghapus rasa penasaran. Ketiga pria itu pun tertawa memperhatikan tingkahku yang tak percaya dengan apa yang mereka katakan.

Ruangan itu memang hanya berebentuk ruangan kosong memanjang. Adapun filosofi asli dari bentuk Rumah Radakng adalah apabila ada seorang anak yang sudah berumah tangga maka dia akan tinggal di ruangan berbeda dari orang tuanya dan dia akan dibuatkan ruangan yang bersambung dari rumah orang tuanya, begitu seterusnya hingga menyebabkan Rumah Radakng akan semakin panjang dengan kehadiran keluarga-keluarga baru karena ikatan pernikahan. Konon rumah sepanjang 138 meter ini bisa digunakan oleh 30 keluarga….Wah banyak juga ya.

Aku begitu gugup ketika harus menaiki tangga utama yang terbuat dari segelondong kayu utuh hanya dengan pegangan besi tunggal memanjang dari bawah ke atas di sepanjang tangga. Harus ekstra hati-hati menitinya karena kemungkinan jatuh bisa saja terjadi apabila aku lengah.

Gerbang masuk Rumah Radakng.
Tampak belakang.
Sculpture burung Enggang di halaman depan.
Bagian atas Rumah Radakng.
Rumah Adat Melayu terlihat dari atas Rumah Radakng.

Sedangkan sculpture enam Burung Enggang menjadi ikon utama di halaman depan Rumah Radakng. Burung Enggang sendiri adalah burung yang dikeramatkan oleh Suku Dayak. Burung yang memiliki sebutan lain Burung Rangkong ini adalah lambang perdamaian dan persatuan bagi Suku Dayak. Suku Dayak menganggapnya sebagai panglima dari segala macam burung sehingga tak pelak burung ini bisa ditemukan di setiap sendi kehidupan masyarakat Dayak seperti pada patung, ukiran, pakaian, lukisan, interior rumah, monumen dan makam-makam suku Dayak.

Tentu mengunjungi Kompleks Perkampungan Budaya yang luasnya lebih dari empat hektar dengan cuaca kota yang panas bisa membuat kita kehausan. Tetapi tentu tak perlu khawatir karena tersedia  kedai minuman yang terletak di kolong Rumah Radakng ini.

Jadi sehabis berkeliling kamu bisa menikmati minuman dingin di kedai tersebut.

Tukang Foto Keluarga di Rumah Adat Melayu

UP2U Food Court.

Aku baru saja usai menunaikan Shalat Maghrib di dalam kamar bernomor 319 milik G-Hotel Pontianak untuk kemudian waktu biologis makan malamku pun tiba tepat waktu….Aku kelaparan.

Aku memutuskan untuk segera turun ke lobby dan mencari tempat makan terdekat dari hotel. Berjalan menuju timur akhirnya aku menemukan sebuah food court yang menyediakan banyak pilihan. Adalah UP2U Food Court yang menyediakan beberapa outlet kuliner di dalamnya, seperti MEAET, ToriFuru, Sumo Squid, Ayam Gepuk Djogja, Tarohouse dan lainnya.

Tanpa pikir panjang, aku segera memasukinya dan segera berburu menu yang cocok dengan seleraku malam itu. Puas berkeliling, akhirnya aku memesan sate cumi dengan sambal terasi untuk kemudian kusantap di sebuah meja di pojok food court yang cenderung jauh dari kerumunan pengunjung.

Dan di akhir cerita, makan malam itu aku tutup dengan membeli segelas jus mangga di sebuah kedai “Aroma Jus” yang berlokasi di samping timur hotel.

—-****—-

Pagi kembali tiba……

Dari semalam aku sudah menetapkan rencana untuk mengunjungi Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng di daerah Sungai Bangkong yang berjarak hampir empat kilometer di sebelah barat G-Hotel Pontianak.

Tak ada pilihan yang lebih baik tentunya selain memesan transportasi online menuju ke sana. Oleh karenanya sehabis sarapan di restoran hotel aku segera mengambil duduk di lobby untuk berburu trasnportasi online melalui aplikasi.

Tak lama kemudian….transportasi online itu datang. Usai mengonfimasi tujuan aku segera naik dan meluncur ke tujuan.

Tetapi memang dasar kebiasaanku yang lebih suka berjalan kaki, maka dalam perjalanan kali ini aku hanya memesan transportasi online ini hingga di Kantor Pertanahan Kota Pontianak. Dari kantor itu aku memutuskan untuk berjalan kaki ke tujuan akhir.

Ternyata ideku tak berjalan mulus. Begitu aku turun, hujan gerimis datang. Beruntung aku menyimpan sebuah payung lipat di dalam folding bag sehingga perjalananku menuju tujuan akhir tak tertunda.

Aku terus melangkah di sepanjang Jalan Sultan Abdurrahman dan berlanjut ke Jalan Sultan Syahrir. Ketika sebagian besar pengendara motor menghindari gerimis dan memilih berteduh justru aku berasyik ria berjalan kaki menggunakan payung yang kubawa dari rumah. Tak sedikit dari mereka yang akhirnya memperhatikan tingkah lakuku di sepanjang jalan yang sering berfoto selfi dan mengambil beberapa foto di spot kota yang menarik.

Aku akan memulai eksplorasi kali ini dari Rumah Adat Melayu.

Setelah berjalan sejauh satu setengah kilometer, aku tiba di Kompleks Perkampungan Budaya. Terdapat dua rumah adat di kompleks ini, yaitu Rumah Adat Melayu dan Rumah Radakng khas Suku Dayak.

Dimulai dari bagian luar, tepatnya di sepanjang trotoar di depan rumah adat ini dihiasi dengan tiang-tiang lampu berbahan kayu penuh ukiran yang membuat suasana semakin kental dengan budaya Melayu. Pintu gerbangnya pun dibuat anggun dengan ukiran khas Melayu

Bentuk rumah balai dalam adat Melayu melambangkan falsafah gotong royong dan kesetiakawanan sosial. Rumah Adat Melayu ini selain berfungsi sebagai tempat tujuan wisata, juga berfungsi sebagai pusat acara adat dan sebagai tempat musyawarah bagi Majelis Adat Budaya Melayu.

Rumah adat berusia 17 tahun ini memiliki bentuk yang anggun dengan model rumah panggung dan memiliki atap Lipat Kajang dengan kemiringan yang curam. Berwarna dasar kuning khas Melayu yang melambangkan kejayaan.

Sedangkan di halaman Rumah Adat Melayu tampak beberapa patung lelaki Melayu yang sedang mengeluarkan jurus dalam pencak silat yang merupakan kesenian bela diri khas Melayu. Tepat di depan rumah terdapat Meriam tunggal berukuran besar. Sedangkan tanaman-tanaman hias tampak membuat suasana semakin asri di halamannya.

Aku menyempatkan diri mengelilingi rumah adat ini walaupun tidak bisa memasukinya karena tidak dibukanya akses masuk.

Melintas di depan Pontianak Convention Centre.
Bagian terluar dari Rumah Adat Melayu
Tampak depan.
Halaman berhiaskan meriam besar.
Salah satu sculpture di Rumah Adat Melayu.

Sebelum meninggalkan area Rumah Adat Melayu, aku bertemu dengan satu rombongan keluarga asal Bandung yang sedang kesusahan mengambil foto dengan tripod. Oleh karenanya , aku berinisiatif untuk membantu mengabadikan foto mereka di halaman utama Rumah Adat Melayu ini.

Kiranya kunjungan ke Rumah Adat Melayu telah usai, saatnya bergeser ke sebelah barat. Terdapat satu lagi rumah adat di Kompleks Perkampungan Budaya ini.