Narita International Airport Terminal 1: Alkohol….Oh, Alkohol

<—-Kisah Sebelumnya

Pintu masuk Narita International Airport Terminal 1

Membayar 1.000 Yen (Rp. 136.000) kepada pengemudi berdasi, menerima selembar tanda bayar, diakhiri dengan menduduki bangku paling belakang, kini aku bersiap menelusuri Higashi Kanto Expressway. Ini adalah jalanan yang sama ketika aku melewatnya untuk pertama kali sesaat setelah tiba di Tokyo beberapa hari lalu.

Menempuh jalur aspal sepanjang 70 kilometer dan dalam tempo satu jam, membuatku terlelap di sepanjang dua prefektur yang dilalui oleh JR Kanto Bus, yaitu Tokyo dan Chiba. Aku terbangun ketika bus telah sampai di Narita International Airport dan berhenti sejenak di Terminal 2 untuk menurunkan beberapa penumpangnya. Kini aku diserang kekhawatiran apabila bus telah melewati Terminal 1. Tetapi aku berusaha tetap tenang dan mengikuti arus bus.

Beruntungnya diriku ketika melihat nameboard Terminal 1 jauh di hadapan. Yups, ternyata stop pointku belum terlewat.

Tepat pukul 16:41, aku diturunkan di drop-off zone oleh pengemudi JR Bus Kanto, lalu bergegas memasuki salah satu pintu masuk Narita. Aku semakin percaya diri dengan keberadaan logo Peach Aviation di deretan logo para maskapai yang beroperasi di Terminal 1.

Aku sudah berada di terminal yang tepat”, batinku riang.

Tetapi tantangan lain hadir, aku masih berjarak lima jam dari jadwal keberangkatan. Konter self-check-in belum mengizinkanku mencetak boarding pass.

Baiklah, aku tunggu saja”, aku menyabarkan diri.

Dua setengah jam menunggu di sebuah kursi departure hall, akhirnya aku sukses melakukan proses selfcheck-in tepat pukul 19:25. Kugenggam selembar boarding pass lalu melangkah mantab menuju gate. Begitu tiba, ternyata gate masih saja belum siap.

Konter Peach Aviation.
World Sky Gate_Narita sebagai branding baru dari Narita International Airport.
Floor plan Narita International Airport Terminal 1..

Hingga akhirnya, aku memutuskan mencari minimarket untuk berburu makan malam. Aku menemukan keberadaan Lawson di salah satu koridor dan memasukinya tanpa pikir panjang. Dengan cepat aku mengambil satu kemasan onigiri seharga 248 Yen (Rp. 34.000) dan air mineral termurah seharga 103 Yen (Rp. 14.000) lalu membawanya ke kasir.

Selesai membayar, kulanjutkan langkah menuju observation deck, kemudian terduduk di salah satu kursinya untuk menikmati lalu lintas pesawat berbagai maskapai yang sibuk hilir mudik di Narita International Airport. Outdoor observation deck itu dihembus oleh angin musim dingin yang konsisten membekukan badan.

Walau tak nyaman karena dingin, aku tetap berusaha menikmati makan malam, tetap menduduki salah satu bangku observation deck dan terus terpesona dengan pasangan kegiatan take-off dan landing pesawat-pesawat berbadan besar.

Aku terus berusaha menampilkan senyum terbaik dalam menguyah onigiri, tak mau kalah dengan mimik bahagia para khalayak di sekitarku ketika menikmati harumnya sajian restoran yang mendiami sepanjang sisi observation deck.

Potongan terakhir onigiriku tuntas tak bersisa. Aku lantas membuka air mineral kemasan. Kubuka tutupnya dan tanpa ragu menenggaknya layaknya orang kehausan. Setenggak penuh air akhirnya meluncur mulus di tenggorokan. Tetapi mataku melotot karena hidungku tersengat aroma asing. Sensani hangat menyelimuti sepanjang tenggorokan. Dan akhirya, secara otomatis, aku terbatuk sejadi-jadinya.

Bukan air mineral murni !….Minuman bening itu jelas memuat kandungan alkohol di dalamnya. Akhirnya aku bisa merasakan sensasi alkohol walau secara tak sengaja….Duh, istighfar atau menikmati ya?….Wadaow.

Aku masih saja enggan membuang air kemasan beralkohol itu dan memasukkannya ke dalam backpack. Jika nantinya tak disita di screening gate, biar saja menjadikannya kenangan selama di Osaka.

Akhirnya, selepas puas menikmati lalu lintas bandara, aku segera menuju gate dan bersiap diri untuk terbang.HHmmhh… Begitu memasuki gate, informasi delay langsung menghampiri. Karena penasaran berat, aku menanyakan secara langsung ke ground staff wanita perihal kevalidan delay ini. Dia membenarkan bahwa Peach Aviation bernomor terbang MM6320 memang mengalami keterlambatan ketibaan di Narita dan aku harus menunggu kembali hingga satu jam ke depan.

Boarding pass yang cukup sederhana.
@Kids park, menunggu pesawat datang menjemput.

Kuhabiskan waktu tambahan selama  satu jam ke depan dengan memejamkan mata di ruang tunggu. Aku terduduk di sebelah Kids Park  dekat gate Terminal 1….

Kisah Selanjutnya—->

Tokyo Shuttle dari Narita International Airport ke Tokyo

<—-Kisah Sebelumnya

Aku melompat dari pintu depan dan tak lama kemudian wajah-wajah putih bermata sipit  memperhatikan dengan seksama kehadiranku. Senang rasanya aku bisa berbaur dengan kaum menengah di dalam bus itu. Aku bersama seluruh penumpang akan bergerak menuju pusat kota Tokyo. Lalu aku sudah saja mendudukkan diri di baris ketiga dari belakang, sebelah kanan dekat dengan kaca jendela. Aku terbantu dengan keberadaan soket elektrik untuk menambah daya gawai pintarku, tetapi sayang Wi-Fi itu tak bisa kumanfaatkan.

Kotak transportasi dengan warna kombinasi sepadan hijau putih itu konsisten menyemburkan campuran emisi dan uap air dari knalpotnya di limit beku udara Narita. Warna nama kombinasi merah-hijau sangat mencolok untuk mengingat brand moda transportasi yang satu kepemilikan dengan perusahaan kereta api swasta raksasa di dua prefektur yaitu Chiba dan Tokyo. Keisei nama perusahaan transportasi itu.

Tokyo Shuttle” begitu nama bus itu, akan merayap selama satu jam menuju Distrik Chiyoda dimana Stasiun Tokyo berada. Menyusuri jalanan kota sejauh 65 Km, bus melewati  jalan tol Higashi Kanto Expressway.

Higashi Kanto Expressway di Prefektur Chiba.
JR Bus Kanto melintas.
Willer Express Bus mengejar.

Antar ruas jalan tol itu berbataskan guard rail dan setiap ruasnya hanya bersusun dua jalur. Jalan tol antar distrik yang biasa saja. Sebagian pepohonan yang tampak gersang akibat dormancy  menjadi pemandangan yang sering dalam perjalanan ini, menyisakah jari jemari dahan yang menunjuki langit.

Sementara sutet-sutet raksasa berjarak konsisten mengangkangi tol, mengalirkan listrik antar kota dengan gagahnya. Masuk lebih jauh, perjalanan mulai mempertontonkan kanal-kanal lebar dan bersih terawat dengan beberapa apartemen rendah, sedang dan tinggi pada jarak yang tak bisa dibilang rapat.

Ketika sebagian besar penumpang terlelap dan tertelan laju bus itu, fikiranku semakin runyam. Aku tak bisa menikmati injakan halus pedal gas sang sopir yang berhasil menyirap semua penumpangnya itu.

Apakah nanti akan semudah membalikkan telapak tangan saat mencari kereta ke Nakano?”.

“Bagaimana mencari tombol untuk membeli one day pass di stasiun nanti?”.

Bisakah aku menahan hawa dingin mencekat ini di luar sana?”

Aku tenggelam dalam kegelisahanku sendiri sepanjang perjalanan. Tak mampu menikmati dengan sepenuh hati pemandangan indah di luar sana. Padahal, bukannya selama ini aku merindukan Jepang. Duh….

Semakin pendek jarak dengan pusat kota, pemandangan berganti. Kanal-kanal yang masih saja bersih di jejali dengan bangunan-bangunan apartemen dan perkantoran yang berbaris rapat menongkrongi sepanjang kanal. Tapi tetap saja, semua tampak rapi, bersih dan teratur. Sungguh beradab bangsa itu.

Memasuki Distrik Koto, Prefektur Tokyo.
Ariake-nishi canal.
Heikyu River.

Aku tiba di Stasiun Tokyo dan diturunkan di halte bus berbentuk persegi panjang dengan 5 kaki yang diletakkan pada dua sisinya saja, di pinggir Sotobori-dori Avenue tepat di depan Tekko Building. Aku tak pernah menemukan petunjuk pasti menuju gerbang stasiun itu.

Bahkan belum juga mencari petunjuk pun, aku sudah bersusah payah melawan udara musim dingin Jepang. Menjadi semakin heran kenapa penduduk setempat berlalu lalang begitu saja dengan selapis baju kantoran, tanpa sarung tangan, tanpa penutu kepala dan telinga. Berbeda denganku yang sudah berjaket lapis dua dengan tambahan t-shirt di lapisan pertama bajuku, winter gloves dan earmuffs. Masih saja aku bergetar melawan suhu beku itu.

Aku terus menyusuri jalan tanpa petunjuk latin itu. Hingga kutemukan tulisan latin pertama semenjak aku turun dari bus Tokyo Shuttle. “Tokyo Station”, pelan kubaca signboard besar di atas bangunan stasiun. “TOKYO STATION Yaesu North Entrance”.

Mari menuju Nakano.

Kufikir lebih baik aku segera memasuki stasiun dan mencari kehangatan daripada  membeku di luaran sana.

Saatnya berfikir untuk menuju Nakano.

Link video perjalanan ini: https://youtu.be/pwb_kv0CaeY

Transportasi dari Narita International Airport menuju ke kota Tokyo juga bisa dicari di 12Go atau link berikut: https://12go.asia/?z=3283832

Kisah Selanjutnya—->